Niat, Keutamaan dan Waktu Untuk Puasa Syawal, Puasa Sunnah Setelah Ramadhan

Puasa syawal yaitu puasa yang dikerjakan oleh umat muslim dibulan syawal atau sesudah mereka usai melakukan puasa dibulan suci ramadhan, puasa syawal dikerjakan sepanjang 6 hari secara berturut-turut maupun secara selingan diawali dari tanggal 2 syawal, karena apabila puasa syawal dikerjakan tanggal 1 syawal maka hukumnya haram, karena itu adalah hari raya untuk umat islam hari dimana semua umat islam menutup kegiatan puasa ramadhan dan melaksanakan shalat ied. Dan Hari idul fitri adalah hari yang diharamkan bagi umat muslim berpuasa.

Puasa syawal mempunyai keutamaan yang sangat besar salah satunya yaitu faedah atau pahala yang dijanjikan oleh Alloh SWT.pada umat muslim yang beriman melakukan puasa 6 hari dibulan syawal akan memperoleh pahala seperti orang muslim yang berpuasa satu tahun penuh lamanya, yaitu pahala yang sangat besar untuk umat muslim sendiri ditambah lagi kita ketahui bahwa puasa satu bulan penuh dibulan ramadhan saja telah mempunyai banyak keutamaan serta pahala yang sangat besar.

Selain dari itu pahala yang dijanjikan oleh Alloh swt bagi orang yang berpuasa dibulan syawal juga adalah akan diampuni dosa-dosanya selama 2 tahun kebelakan yang artinya dosa yang pernah dilakukan selama dua tahun yang lalu akan diampuni oleh Alloh swt. Subhanalloh, sungguh pahala yang sangat luar biasa bayangkan saja dosa-dosa kita yang sudah 2 tahun lamanya akan diampuni oleh Alloh swt dengan hanya melakukan puasa syawal selama 6 hari dengan niat karena igin mendapatkan keridhoan Alloh swt.

Kemudian keutamaan puasa dibulan syawal juga adalah sebagai penyempurna puasa dibulan suci ramadhan yang memungkinkan umat muslim yang beriman memiliki semua keutamaan-keutamaan yang akan di berikan kepada mereka yang berpuasa ramadhan dan berpuasa 6 hari dibulan syawal, sungguh orang-orang yang sangat beruntung yang mampu melaksanakan keduanya .

Jadi bagi sebagian umat muslim yang beriman puasa 6 hari di bulan syawal selalu dilaksanakan oleh mereka dan mewajibkan melaksanakannya, karena memang manfaat dan pahalanya yang sangat luarbiasa yang Alloh swt berikan kepada mereka yang beriman dengan sepenuh hati dan mengharapkan keridhoan dan ampunan Alloh swt.

 

sumber: Szaktudas.com

Menggabungkan Puasa Syawal dengan Puasa Senin Kamis

Assalamulaikum,

Bolehkah menggabungkan niat puasa syawal dengan puasa senin-kamis ? Terima kasih

Kang Bagus

Jawab:

Wa alaikumus salam wa rahmatullah,

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dilihat dari latar belakang disyariatkannya ibadah, para ulama membagi ibadah menjadi dua,

Pertama, ibadah yang maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Sehingga ibadah ini harus ada secara khusus. Semua ibadah wajib, shalat wajib, puasa wajib, dst, masuk jenis pertama ini.

Termasuk juga ibadah yang disyariatkan secara khusus, seperti shalat witir, shalat dhuha, dst.

Termasuk jenis ibadah ini adalah ibadah yang menjadi tabi’ (pengiring) ibadah yang lain. Seperti shalat rawatib. Dan sebagian ulama memasukkan puasa 6 hari bulan syawal termasuk dalam kategori ini.

Kedua, kebalikan dari yang pertama, ibadah yang laisa maqsudah li dzatiha, artinya keberadaan ibadah itu bukan merupakan tujuan utama disyariatkannya ibadah tersebut. Tujuan utamanya adalah yang penting amalan itu ada di kesempatan tersebut, apapun bentuknya.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui apakah ibadah ini termasuk maqsudah li dzatiha ataukah laisa maqsudah li dzatiha, adalah dengan memahami latar belakang dari dalil masing-masing ibadah.

(Liqa’ al-Bab al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, volume 19, no. 51).

Kita akan lihat contoh yang diberikan ulama untuk lebih mudah memahaminya.

Contoh pertama, shalat tahiyatul masjid.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Apabila kalian masuk masjid, jangan duduk sampai shalat 2 rakaat. (HR. Bukhari 1163)

Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan agar kita shalat 2 rakaat setiap kali masuk masjid sebelum duduk. Artinya, yang penting jangan langsung duduk, tapi shalat dulu. Tidak harus shalat khusus tahyatul masjid. Bisa juga shalat qabliyah atau shalat sunah lainnya. Meskipun boleh saja jika kita shalat khusus tahiyatul masjid.

Dari sini, shalat keberadaan ibadah shalat tahiyatul masjid itu bukan merupakan tujuan utama. Tapi yang penting ada amal, yaitu shalat 2 rakaat ketika masuk masjid. Apapun bentuk shalat itu.

 

Contoh kedua, puasa senin-kamis

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengapa beliau rajib puasa senin kamis, beliau mengatakan,

ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Di dua hari ini (senin – kamis), amalan dilaporkan kepada Allah, Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amalku dilaporkan, saya dalam kondisi puasa. (HR. Ahmad 21753, Nasai 2358, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hadis ini, siapapun yang melakukan puasa di hari senin atau kamis, apapun bentuk puasanya, dia mendapatkan keutamaan sebagaimana hadis di atas. Amalnya dilaporkan kepada Allah, dalam kondisi dia berpuasa. Baik ketika itu dia sedang puasa wajib, atau puasa sunah lainnya. Meskipun boleh saja ketika dia melakukan puasa khusus di hari senin atau kamis.

Menggabungkan Niat Dua Ibadah

Para ulama menyebutnya ”at-Tasyrik fin Niyah” atau ”Tadakhul an-Niyah” (menggabungkan niat).

Terdapat kaidah yang diberikan para ulama dalam masalah menggabungkan niat,

إذا اتحد جنس العبادتين وأحدهما مراد لذاته والآخر ليس مرادا لذاته؛ فإن العبادتين تتداخلان

Jika ada dua ibadah yang sejenis, yang satu maqsudah li dzatiha dan satunya laisa maqsudah li dzatiha, maka dua ibadah ini memungkinkan untuk digabungkan. (’Asyru Masail fi Shaum Sitt min Syawal, Dr. Abdul Aziz ar-Rais, hlm. 17).

 

Dari kaidah di atas, beberapa amal bisa digabungkan niatnya jika terpenuhi 2 syarat,

Pertama, amal itu jenisnya sama. Shalat dengan shalat, atau puasa dengan puasa.

Kedua, ibadah yang maqsudah li dzatiha tidak boleh lebih dari satu. Karena tidak boleh menggabungkan dua ibadah yang sama-sama maqsudah li dzatiha.

Menggabungkan Niat Puasa Syawal dengan Senin Kamis

Dari keterangan di atas, puasa syawal termasuk ibadah maqsudah li dzatiha sementara senin kamis laisa maqsudah li dzatiha.

Sehingga niat keduanya memungkinkan untuk digabungkan. Dan insyaaAllah mendapatkan pahala puasa syawal dan puasa senin kamis.

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ’alaih)

Karena dia menggabungkan kedua niat ibadah itu, mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang dia niatkan.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel www.KonsultasiSyariahcom

Bolehkah Puasa Syawal Sebelum Qadha Ramadhan?

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya mau bertanya. Bagi kaum hawa, puasa wajib di bulan Ramadan sangat sulit untuk dipenuhi dalam satu bulannya. Pertanyaan saya, jika setelah Ramadan, kita ingin melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, apakah kita wajib membayar puasa Ramadan dahulu, baru (setelah itu) mengerjakan puasa enam hari (puasa Syawal) atau boleh langsung mengerjakan puasa enam hari baru (kemudian) membayar puasa Ramadan?

Selain itu, saya juga pernah mendengar sekilas tentang pembahasan tentang membayar puasa Ramadan dan puasa enam hari dalam satu niat. Apakah memang ada ketentuan seperti itu, Ustadz? Bagaimana niatnya? Mohon dijelaskan, dan jika memang ada dalil, sunah, dan lain-lain, mohon dicantumkan, Ustadz.

Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Dyanti (vieXXXX@yahoo.com)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Bismillah wash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.

Pertama, terkait dengan puasa wajib Ramadan, puasa sunah ada dua:

[1]. Puasa sunah yang berkaitan dengan puasa Ramadan. Contoh puasa sunah semacam ini adalah puasa sunah Syawal. Berdasarkan hadis,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa selama setahun.” (HR. Ahmad 23533, Muslim 1164, Turmudzi 759, dan yang lainnya)

[2]. Puasa sunah yang tidak ada kaitannya dengan puasa Ramadan. Seperti: puasa Arafah, puasa Asyura’, dan lain-lain.

Kedua, untuk puasa sunah yang dikaitkan dengan puasa Ramadan, puasa sunah ini hanya boleh dikerjakan jika puasa Ramadan telah dilakukan dengan sempurna, karena hadis di atas menyatakan, “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian …,”

Sementara orang yang memiliki utang puasa Ramadan tidak dikatakan telah melaksanakan puasa Ramadan. Karena itu, orang yang memiliki utang puasa Ramadan dan ingin melaksanakan puasa Syawal harus
meng-qadha utang puasa Ramadan-nya terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan puasa Syawal.

Fatwa Imam Ibnu Utsaimin tentang wanita yang memiliki utang puasa ramadhan, sementara dia ingin puasa syawal,

إذا كان على المرأة قضاء من رمضان فإنها لا تصوم الستة أيام من شوال إلا بعد القضاء ، ذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول : ( من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال ) ومن عليها قضاء من رمضان لم تكن صامت رمضان فلا يحصل لها ثواب الأيام الست إلا بعد أن تنتهي من القضاء

Jika seorang wanita memiliki utang puasa ramadhan, maka dia tidak boleh puasa syawal kecuali setelah selesai qadha. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadan, kemudian dia ikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal…”. Sementara orang yang masih memiliki utang puasa ramadhan belum disebut telah berpuasa ramadhan. Sehingga dia tidak mendapatkan pahala puasa 6 hari di bulan syawal, kecuali setelah selesai qadha. (Majmu’ Fatawa, 19/20).

Ketiga, untuk puasa sunah yang tidak terkait dengan puasa Ramadan, boleh dikerjakan, selama waktu pelaksanaan qadha puasa Ramadan masih panjang. Akan tetapi, jika masa pelaksanaan qadha hanya cukup untuk melaksanakan qadha puasanya dan tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan puasa sunah lainnya maka pada kesempatan itu dia tidak boleh melaksanakan puasa sunah. Contoh: Ada orang yang memiliki utang enam hari puasa Ramadan, sedangkan bulan Sya’ban hanya tersisa enam hari. Selama enam hari ini, dia hanya boleh melaksanakan qadha Ramadhan dan tidak boleh melaksanakan puasa sunah.

Keempat, makna tekstual (tertulis) hadis di atas menunjukkan bahwa niat puasa Syawal dan niat qadha puasa Ramadan itu tidak digabungkan, karena puasa Syawal baru boleh dilaksanakan setelah puasa Ramadhan telah dilakukan secara sempurna. Bagaimana mungkin bisa digabungkan?

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits, (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Empat Pesan untuk Alumni Ramadhan

Sewaktu Ramadhan pergi, seakan ia berpesan kepada semua alumninya agar memegang teguh janji (adab) sebagai ikatan persahabatan sejati yang pernah terjalin. Paling tidak, ada empat pesan penting yang ia titipkan kepada kita jika betul merasa sedih saat kepergiannya dan rindu menanti kedatangannya.

Pertama, tetaplah lapar (al-juu’un). Lapar memang sengsara membawa nikmat. “Wa maa ladz-dzatu illa ba’da ta’bii” (tiada kelezatan kecuali setelah kepayahan). Apa maknanya? Yakni, meneruskan kebiasaan tak makan pada siang hari dengan menjalankan puasa sunah, seperti enam hari saat Syawal, puasa Senin-Kamis, apalagi puasa Nabi Daud, sehari lapar sehari kenyang.

Mengapa lapar itu penting dijaga? Karena, hanya orang lapar yang mengerti arti sesuap nasi. Jika ia makan, tak pernah bersisa walau sebutir. Makan yang nikmat adalah ketika lapar. Tetaplah lapar karena lapar membuat badan sehat dan enteng, pikiran cerdas dan hati lembut, serta mudah berempati kepada derita sesama, lalu senang bersedekah kepada yatim dan dhuafa.

Kedua, tetaplah haus (al-‘athsun). Semakna dengan lapar, ia juga derita, tetapi melahirkan kelezatan. Minum yang nikmat ketika haus. Maka, berhaus-hauslah pada siang hari (puasa) agar enak minum pada sore hari (berbuka).

Ketika air banyak berlimpah, kita sering membuang-buangnya seakan tak berdosa, padahal itu mubazir (QS 17:26-27). Lalu, kapan air baru berharga? Ketika kehausan atau kekeringan melanda karena kemarau panjang, seperti yang terjadi saat ini. Orang yang haus akan menghargai segelas air dan jika ia minum, tak bersisa walau setetes. Orang puasa akan menghargai, menjaga kebersihan, dan kejernihannya. Mereka tidak akan mengotori, mencemari, atau merusak lingkungan.

Ketiga, tetaplah bodoh (al-jaahilun). Orang yang merasa bodoh tak berprasangka macam-macam kepada orang lain. Mereka polos menjalani kehidupan dan sadar akan kekurangan dirinya, lalu terus belajar (QS 58:11). Orang yang merasa bodoh itu pertanda tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun yadri annahu laa yadri). Tapi, orang yang merasa tahu, pertanda tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).

Orang yang merasa tahu semua hal sebenarnya tidak ada apa-apanya dan itu merupakan kesombongan. Meski sudah banyak belajar, mengkaji, meneliti, mendengar tausiah, tetaplah merasa bodoh (murid). Tanda orang berilmu itu menyadari bahwa yang diketahuinya lebih sedikit daripada yang tidak diketahuinya (rajulun yadri annahu yadri). Yang paling berbahaya adalah orang dungu, yakni tidak tahu bahwa ia tidak tahu (rajulun laa yadri annahu laa yadri).

Keempat, tetaplah rendah hati (tawadhu). Walaupun sudah banyak ilmu yang dipahami, sedekah yang ditebarkan, kearifan yang didapatkan, kenikmatan spritual yang dirasakan, tetapi tetaplah rendah hati.

Penyakit orang kaya dan orang berilmu itu keangkuhan. Hanya sedikit orang kaya rendah hati, yakni yang dermawan. Sedikit pula orang berilmu rendah hati, yakni yang saleh. Setinggi apa pun pun pangkat, sebanyak apa pun harta, seluas apa pun ilmu, sehebat apa pun pencapaian, tetaplah rendah hati. Karena, keangkuhan adalah awal dari setiap kejatuhan.

Pesan-pesan ini saling berkaitan satu sama lain. Keempatnya adalah kesalehan indvidual yang berbuah pada kesalehan sosial. Itulah mukmin sejati, yakni al-Muttaqiin (orang-orang bertakwa). Allahu a’lam bish-shawab.

 

sumber: Republika Online

Teladan Khalifah Umar dan Shalauddin al-Ayubbi

Oleh: Muslimin

Sejatinya, penghancuran dan perusakan tempat ibadah agama apa pun dalam Islam sangat dilarang. Sebab, dalam Islam, diperintahkan untuk menghormati dan menyayangi sesama.

Tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada umat non-Muslim. Sebagaimana yang dikemukakan Rasulullah SAW, “Tidaklah beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain juga dijelaskan, “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah adalah yang paling baik terhadap sesamanya. Di samping itu, sebaik-baik tetangga di sisi Allah adalah yang paling baik kepada tetangganya.” (HR Bukhari, Turmudzi, dan Ahmad).

Oleh karenanya, seorang Muslim tidak dapat dikatakan memiliki keimanan yang benar bila membiarkan ketidakadilan dan penderitaan berlangsung terus di sekitarnya. Perhatian terhadap sesama Muslim maupun non-Muslim sangat fundamental dalam ajaran Islam.

Sebab itu, saat Khalifah Umar Ibn Khattab dan tentaranya menaklukkan Kota Yerusalem pada 636 Masehi, rumah-rumah ibadah umat non-Muslim tidak boleh dihancurkan, bahkan dilindungi. Kaum Yahudi yang sebelumnya dilarang menetap di sana, diperkenankan kembali menetap dan beribadah di Yerusalem. Khalifah Umar Ibn Khattab menjamin keamanan rumah-rumah ibadah dan simbol keagamaan.

Rumah ibadah juga tidak diubah menjadi tempat permukiman masyarakat. Properti kekayaan milik non-Muslim dilindungi. Sebab itu, umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup rukun dan damai di sana.

Hal yang sama juga dilakukan Shalahuddin al-Ayyubi dan tentaranya ketika memasuki Yerusalem sebagai pemenang. Tidak satu pun umat non-Muslim yang dibunuh dan tidak pula terjadi perampokan. Shalahuddin al-Ayyubi tidak sanggup menahan air matanya melihat permohonan keluarga yang terpecah-pecah dan ia membebaskan kebanyakan dari mereka dengan tanpa uang tebusan.

Tentunya, kepemimpinan Umar Ibn Khattab dan Shalahuddin al-Ayyubi yang menghormati sesama bermuara dari ajaran Islam yang berlandaskan pada konsep cinta, kasih, sayang, kerendahan hati, pengorbanan, toleransi, dan perdamaian.

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, orang yang dalam perjalanan, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS an-Nisa [4]: 36).

Umat Islam yang hidup dengan nilai-nilai dari Alquran akan menjadi pribadi yang menebarkan cinta, kasih sayang, dan rasa hormat kepada siapa pun. Karena, Islam diturunkan kepada manusia dengan tujuan agar terbentuk umat yang mampu menyayangi dan menghormati seluruh alam.

Rahasia Puasa Syawal

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya, “Barang siapa yang berpuasa selama bulan Ramadhan dan melanjutkannya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa selama satu tahun.” (HR Muslim).

Dalam pemahaman sederhananya, hadis ini hendak menyampaikan bahwa orang Islam yang berpuasa wajib selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan puasa sunah selama enam hari pada bulan Syawal, pahalanya sama dengan orang yang puasa selama satu tahun penuh.

Pahala sebanyak itu diperoleh dari matematika agama yang menyebutkan, satu kebaikan akan dibalas sepuluh pahala oleh Allah SWT. Dengan demikian, orang yang berpuasa satu hari akan mendapat pahala sama dengan berpuasa selama sepuluh hari.

Dan akhirnya, seorang Muslim yang ber puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan, kemudian dilanjutkan enam hari di bulan Syawal, totalnya ber puasa antara 35 atau 36 hari (ber gantung bilangan hari di bulan Ramadhan, apakah 29 hari atau 30 hari). Dengan begitu, ketika dikalikan 10, akan men jadi 350 hari atau 360 hari. Artinya, jumlah seperti itu sama dengan satu tahun dari segi pahala.

Hitung-hitungan pahala puasa seperti ini memiliki kesamaan dengan hikmah puasa dari segi kesehatan. Sebagaimana sudah maklum bahwa puasa bisa membuat anggota tubuh kita mampu beradaptasi dengan kadar terendah jumlah makanan yang ada di dalam pencernaan. Jika kadar makanan yang masuk ke pencernaan sedikit, tekanan pe rut ke dada akan berkurang sehingga per napasan menjadi teratur.

Jika pernapasan teratur, jantung akan memompa darah dengan stabil karena energi yang dibutuhkan pencernaan untuk mencerna makanan telah berkurang. Ketika pencernaan bisa mendapat waktu yang cukup untuk ber is tirahat, ia bisa memperbaiki sel-sel nya yang telah rusak dan menggantinya dengan sel-sel baru yang lebih baik.

Letak kesamaannya, ternyata satu hari puasa bisa membersihkan pencernaan dari sisa-sisa makanan selama 10 hari. Dengan demikian, ketika kita ber puasa selama satu bulan, manfaat yang dirasakan oleh pencernaan bisa sampai 300 hari. Dan untuk melengkapinya menjadi satu tahun, berarti membutuhkan waktu pembersihan pencernaan se lama 60 hari. Artinya, butuh waktu puasa lagi selama enam hari. Di sinilah urgensi puasa enam hari di bulan Sya wal, yakni sebagai pelengkap agar genap satu tahun, baik dari segi pahala mau pun dari segi kesehatan.

Mahabenar Allah SWT dan Rasul- Nya yang menyatakan melalui lisan Rasulullah SAW. “Barang siapa yang ber puasa selama bulan Ramadhan dan me lanjutkannya dengan puasa enam ha ri di bulan Syawal, maka pahalanya sama dengan puasa selama satu tahun.”

Sungguh, akan sangat merugi jika kita membiarkan kelimpahan pahala dan hikmah sehat dalam puasa enam ha ri di bulan Syawal lewat begitu saja tan pa kita perhatikan dan pergunakan se baik-baiknya. Sementara dalam prak tik nyatanya, belum tentu kita mampu ber puasa selama satu tahun penuh.

 

Oleh: Abdul Syukur

sumber: Republika Online

Teguran Khalifah Harun Ar-Rasyid

Oleh: Sahrim

 

Sikap yang sepatutnya ditampilkan ketika berhadapan dengan ahli ilmu, terlebih lagi bila ahli ilmu agama adalah harus hormat (takzim), memuliakannya (ikram), dan bila perlu melayani keperluannya (khidmah). Demikianlah akhlak seorang Muslim terhadap ulama, apalagi jika ia sedang atau pernah berguru langsung padanya.

Memuliakan ahli ilmu, mengagungkannya, bahkan melayaninya merupakan sikaf para salaf. Mereka melakukan hal itu karena mengharap keberkahan ilmu sang ulama turut pula mengalir kepadanya. Seorang ulama pernah bertutur, “Jika engkau menjumpai seorang murid sangat antusias memuliakan gurunya dan menghormatinya secara zahir dan batin disertai keyakinan kepada sang guru, mengamalkan ajarannya, dan bersikap dengan perilakunya, maka pasti dia akan mewarisi barakah ilmu sang guru.”

Pada masa lampau, mereka yang memuliakan guru atau ulama bukan saja para pelajar. Namun, para pemuka bahkan khalifah dan raja-raja melakukan hal serupa. Mereka itu pun mewariskan sikap demikian kepada anak keturunannya. Iman, ilmu, dan adab memang tidak bisa diwariskan begitu saja dari orang tua ke anak, tapi harus disertai keteladanan dari orang tua sendiri.

Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Mut’allim mengisahkan, suatu saat Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirimkan putranya kepada Imam Al-Ashma’i, salah satu ulama besar yang menguasai bahasa Arab untuk belajar ilmu dan adab. Di sebuah kesempatan Harun Ar-Rasyid menyaksikan Al-Ashma’i sedang berwudhu dan membasuh kakinya, sedangkan putra Harun Ar-Rasyid menuangkan air untuk sang guru.

Setelah menyaksikan peristiwa itu, Harun Ar-Rasyid pun menegur Al-Ashma’i atas tindakannya itu, “Sesungguhnya aku mengirimkan anakku kepadamu agar engkau mengajarinya ilmu dan adab. Mengapa engkau tidak memerintahkannya untuk menuangkan air dengan salah satu tangannya lalu membasuh kakimu dengan tangannya yang lain?”

Putra Ar-Rasyid, Al-Amin dan Al-Makmun pernah berebut sepasang sandal Syekh Al-kisa’i. Keduanya berlomba untuk memasangkan sandal syekhnya itu di kakinya, sehingga mengundang kekaguman sang guru. Syekhnya lalu berucap, “Sudah, masing-masing pegang satu-satu saja.” Ketika dewasa, Khalifah Al-Makmun juga berusaha untuk menumbuhkan sifat tawadhu kepada para putranya. Ibnu Khalikan dalam Wafayat Al-A’yan telah mencatat peristiwa yang menunjukkan betapa Khalifah Al-Makmun berpayah-payah dalam berusaha agar putra-putranya kelak dewasa dengan sifat mulia ini.

Sikap menghormati, memuliakan, dan melayani ahli ilmu saat ini sudah semakin memudar. Teori-teori pendidikan modern menyepelekan nilai-nilai positif di atas. Teori yang lahir hanya bagaimana cara menyerap ilmu, menelannya, masuk ke otak hingga membuat cepat mengerti. Sedikit pun tidak disinggung bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan sikap terhadap guru.

Pendidikan yang tidak menekankan adab dan sopan santun hanya akan mentransfer ilmu sampai ke otak saja. Ilmu itu tidak akan sampai ke hati. Ilmunya sebatas teori tanpa praktik. Alhasil, nantinya lahir insan-insan yang cuma pandai beretorika, tapi miskin aplikasi. Cerdas berdiplomasi, cerdas pula mempermalukan orang lain. Hal ini karena penekanan pada perubahan akhlak, lebih-lebih hormat kepada orang lain, terutama ahli ilmu sudah tidak dianggap prioritas lagi dalam pendidikan.

Pendidikan yang menekankan pelayanan, penghormatan, dan kepatuhan pada guru (ahli ilmu) melahirkan hubungan antarpersonal yang sangat erat. Keterikatan emosional dan spiritual antara murid dan guru akan terus terjalin meski sang murid tidak lagi duduk belajar di hadapan sang guru. Bahkan, hingga sang guru meninggal pun hubungan timbal balik itu akan selalu dikenang dan tak akan terlupakan begitu saja. Kesannya akan terus membekas hingga kapan pun.

 

sumber: Republika Online

Kisah Kedekatan KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan dua ormas Islam terbesar di Tanah Air. Baik NU dan Muhammadiyah sama-sama sedang menyelenggarakan perhelatan lima tahunan. Muktamar NU ke-33 digelar di Jombang pada 1-5 Agustus, dan Muktamar Muhammadiyah ke-47 dihelat di Makassar pada 3-7 Agustus.

Ternyata, pendiri NU dan Muhammadiyah memiliki keterkaitan satu sama lain. KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sama-sama menuntut ilmu dari guru yang sama.

Berikut penjelasan di akun Facebook Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Fahmi Salim tentang sepak terjang KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan dalam menegakkan Islam di Indonesia sejak sebelum bangsa ini merdeka, yang dikutip dari Ustaz Salim A. Fillah:

Menyambut Muktamar NU dan Muhammadiyah..

Sebuah bincang tentang 4 orang murid Syaikhana Cholil Bangkalan yang akan jadi tonggak dakwah Indonesia. Dari 4 orang murid Syaikhana Cholil itu, NU, Muhammadiyah,MIAI dan Masyumi terpondasi.

1. Awal 1900-an 4 murid tamatkan pelajarannya pada Kyai Cholil di Bangkalan Madura. Menyeberangi selat, 2 ke Jombang, 2 ke Semarang.

2. Dua murid yang ke Jombang, 1 dibekali cincin (kakek Cak Nun), 1 lagi KH Romli (ayah KH Mustain Romli) dibekali pisang mas.

3. Dua murid yang ke Semarang; Hasyim Asy’ari & Muhammad Darwis, masing masing diberi kitab untuk dingajikan pada Kya Soleh Darat.

4. Kyai Soleh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli falak; keluarga besar RA Kartini mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan Kartini-lah, Kyai Soleh Darat menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa agar bisa difahami.

5. Pada Kyai Soleh Darat, Hasyim dan Darwis (yang kemudian berganti nama jadi Ahmad Dahlan) belajar tekun dan rajin,lalu ‘diusir’. Kedua sahabat itu; Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan diperintahkan Kyai Soleh Darat segera ke Mekkah untuk menlanjutkan belajar

Kemuliaan dan Keutamaan Alquran

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur

Saya bertanya kepada santri-santri. “Kalo menaruh Alquran, di bawah apa di atas?” Santri-santri itu menjawab, “Di atas. Nggak pernah dannggak boleh di bawah.”

“Nah, jika di dada kita, di hati kita, di pikiran kita, ada Alquran, maka tentu keutamaan dan kemuliaan Alquran akan keikutan. Kita ikut-ikut mulia dan jadi yang utama.”

Saya kemudian bertanya lagi, “Apakah ada Alquran yang diinjak-injak?” Para santri tertawa. “Adaaa… Tapi oleh yang nggak seneng sama Islam.Nggak seneng sama Alqur’an.”

Saya pun menjawab, “Oh, kalau soal musuh mah, ya biar aja. Biar kuat dan seimbang hidup, dan kelihatan perjuangan, emang kudu ada musuh. Sedang orang tidur saja ada musuhnya, yakni nyamuk.”

”Apalagi orang hidup. Apalagi Islam wal muslimin. Bahkan Allah sendiri punya musuh. Tapi insyaa Allah, Allah akan jadi Pelindung dan Penolong.”

Saya lantas bercerita. Orang normal, apalagi jika ia Muslim atauMuslimah, nggak bakalan menginjak-injak Alquran.

Seseorang yang ada Alqur’an di dalam dirinya, maka ia nggak akan menginjak-injak Alquran. Baik harga dirinya, maupun kehormatannya, ikut mulia dan utama sebagaimana Alqur’an.

Alquran itu karunia Allah SWT bagi semesta alam dan sesisinya, sepanjang zaman. Lebih daripada matahari, bulan, langit, bumi, dengan segala apa yang ada di dalamnya.

Bila hanya dengan satu matahari, bila hanya dengan udara, air, pegunungan, hewan-hewan, angin, pepohonan, dan lain sebagainya di dunia ini, maka manusia sudah bisa hidup.

Sedangkan Alquran, ahsanu wa akbaru, wa a’dzomu, lebih baik, lebih besar, lebih utama dan lebih mulia. Maka hidup manusia yang diizinkan Allah bisa merasakan alquran, sungguh beruntung.

Di dalam satu hadits yang sahih, Allah SWT kemudian mengatakan lewat Rasul-Nya, Allah SWT akan mengangkat derajat satu kaum dengan alquran. Dan sebaliknya. Menghinakan yang menghinakan Alquran.

Alquran adalah Kalam Allah. Yang memuliakannya, sama saja dengan memuliakan Allah SWT. Sedangkan betapa kita bayangkan, jika kita mendapatkan surat dari Presiden, maka surat itu akan kita simpan dengan baik, termasuk berbagai surat yang lain seperti surat nikah, surat tanah, dan lain-lain surat-surat dunia. Lalu bagaimanakah lagi dengan Kalam Allah?

 

sumber: Republika Online

Alquran Sebagai Penyembuh

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG — Alquran memiliki kekuatan sebagai penyembuh atau asy-syifa. Ini merupakan salah satu mukjizat Alquran. Fajar bisa hafal 30 juz padahal ia menderita cacat otak sejak lahir. Menurut dokter yang merawatnya, fajar mengalami cacat otak karena lahir prematur.

Fajar lahir saat usia kandungan ibunya baru 6,5 bulan. Selama dia ditempatkan di inkubator, ayahnya setiap hari membaca Alquran sebanyak satu juz. Usia 3,5 tahun, Fajar baru bisa bicara, namun kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah hafalan Alquran.

Orang tuanya tidak menyangka anaknya itu bisa berbicara apalagi yang keluar adalah hafalan Alquran. Dua tahun lalu, sebelum pindah ke Solo untuk terapi intensif, Fajar hafal 11 juz. Saat ini, dia sudah hafal 30 juz. Cita-cita Fajar bisa ke Arab Saudi dan menjadi imam Masjidil Haram.

Alfamen, seorang kawan, lain lagi kisahnya. Ia menderita kanker stadium empat. Akhirnya, ia harus keluar dari Pesantren Gontor tempat ia menuntut ilmu. Dalam keadaan super sakitnya, ia minta waktu sama Allah.

“Jangan cabut dulu nyawa saya. Saya mau ngafal Quran. Nanti saya dicabutnya setelah hafal 30 juz,” kata Alfamen dalam doanya. Ajaib. Alquran 30 juz masuk ke dalam tubuhnya dengan jalan dihafal, dan penyakit kankernya hilang. Pergi. Digantikan dengan Alquran.

Alfamen kemudian mendirikan Pesantren Hifdzil Qur’an, Daarussalaam, di Bandung Barat, Jawa Barat. Saya pernah makmum qiyaamullail di pesantren ini. Pada 2010, saat saya kisahkan ini di salah satu televisi swasta nasional, ada anak muda yang datang dari Tegal bertanya. “Benarkah kisah ini?” tanya pemuda tersebut. Ia mengatakan, bila benar, dia mau membimbing ibunya yang juga kanker payudayara parah untuk melakukan hal sama. Saya memotivasi. Alquran itu syifa, obat, bismillah.

Dua bulan berselang, pemuda itu menemui saya lagi dan mengatakan, “Ibu saya wafat.” Anak muda ini bercerita, dada ibunya seperti dijahit dengan Alquran. Setiap ayat yang dihafal oleh ibunya, seperti melahirkan kulit tambahan di dada ibunya.

Ibunya wafat dalam keadaan bersih. Dadanya nggak bolong. “Seperti tidak sakit,” katanya. Dan, yang membahagiakan, ibunya wafat dengan membawa sekitar 30 ayat dari Surah al-Baqarah. Subhanallah.

Sekitar tahun 2009, saya berceramah di ITB dan saat itu ada mahasiswa yang menuturkan kisahnya. Ia dulunya pecandu narkoba hingga pada suatu saat sakau berat. Waktu itu,  ia melihat satu buku agama yang menjelaskan tentang surah al-Mulk dan kehebatannya.

Dinyatakan dalam buku itu bahwa siapa yang membaca, menghafal, dan menjaganya dengan istiqamah maka tidak ada siksa kubur baginya. Anak muda ini ketakutan setengah mati. Takut mati dalam keadaan maksiat. Ia memohon ampun.

Dan, dalam sakitnya, ia menahan diri untuk tidak memakai narkoba. Ia lalu mengambil Alquran dan mulai menghafal surah al-Mulk. Anak muda ini sehat bugar saat berhadapan dengan saya. “Saya sekarang sudah hafal 17 juz,” kata dia.

Alquran menyelamatkannya dan menyelamatkan hidup kita semua. Itu baru baca, baru menghafal. Bagaimana kalau kemudian kita mengerti, memahami, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkan Alquran?