Secangkir Qahwah di Masjid Qiblatain

Di sela-sela tugas melayani jamaah dan mencari berita, tim jurnalis yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja Bandara Jeddah-Madinah melakukan safari ke Masjid Qiblatain.

Saya dan empat anggota tim MCH lainnya diantar oleh pengemudi setia MCH menjelang waktu Ashar.

Jarak Masjid Qiblatain tak terlalu jauh dari Masjid Nabawi. Kira-kira tujuh kilometer. Jalan-jalan di Madinah yang lebar dan kondisi kendaraan yang tak terlalu ramai membuat perjalanan kami terasa singkat.

Sesampainya di Masjid Qiblatain, saya menjumpai banyak jamaah dari berbagai negara yang memenuhi area masjid. Sebagian masih di luar, sebagian berada di dalam. Dari atribut identitas yang dikenakannya, saya dengan mudah mengenali jamaah haji yang sedang berada di Qiblatain saat itu adalah jamaah dari Cina, Irak, Nigeria, dan Turki.

Sama halnya dengan kebiasaan jamaah haji asal Indonesia, jamaah dari negara lain pun datang secara rombongan dengan menggunakan bus-bus sewaan.

Ramainya pengunjung Qiblatain merupakan pemandangan yang biasa ditemui sehari-hari. Bahkan, saat musim haji, pengunjung yang berziarah ke masjid dengan dua arah kiblat ini bisa dikatakan membeludak.

“Kalau seperti sore ini masih belum seberapa, kalau pagi-pagi ke sini tadi sudah susah berjalan di dalam masjid. Penuh oleh pengunjung,” kata Sumardi, mukimin Indonesia yang saya ditemui di Masjid Qiblatain.

Setelah mengambil wudhu dan mendirikan shalat sunat dua rakaat, para jamaah umumnya mengabadikan gambar keberadaan mereka di sana. Pengurus dan penjaga masjid membiarkan para jamaah mengambil foto di dalam masjid. Hanya saja, petugas sesekali memperingati apabila jamaah mulai membuat kebisingan dan membuat kerumuman di depan pintu masuk.

“Ya Hajj… lurus…lurus… masuk ke dalam,” begitu ujar petugas dalam bahasa Arab seraya memberikan kode tangan agar jamaah langsung masuk ke masjid.

Jamaah banyak berkumpul di mulut masjid lantaran di atas dinding tepat di pintu masuk ada isarah atau gambar ukiran menyerupai selembar sajadah. Isarah inilah penanda arah kiblat sebelumnya.

Usai melaksanakan shalat Ashar berjamaah di masjid itu, saya tak langsung meninggalkan masjid. Duduk-duduk santai sambil merekam gambar dengan telepon genggam saya. Saat asyik mengabadikan gambar, saya lihat ada dua orang Arab membawa dua tempat air (termos) dan cangkir kecil-kecil mengambil duduk di bagian belakang masjid.

Tak lama, seorang pengurus masjid bergabung dengan mereka. Pengurus masjid ini duduk dengan kursiportable, sedangkan kedua orang Arab duduk di atas karpet merah masjid.

Menurut Sumardi, ada kebiasaan di Masjid Qiblatain orang Arab Badui membawa minuman dan mengajak pengurus atau jamaah masjid minum bersama. Saya pun memberanikan diri mendekat dan duduk bersama mereka. Dengan bahasa Arab seadanya dan memberikan kode untuk meminta minum, dua orang Arab itu dengan ramah menerima kedatangan saya.

Qahwah awi syaa?” tanya orang itu pada saya. Kopi atau teh. Saya pun memilih kopi. Kopi yang dituangkan orang Arab ini berbeda sedikit dengan kopi di Indonesia.

Warnanya tidak hitam, tapi cokelat muda seperti rendaman air jahe atau mirip kopi susu. Rasa kopinya enak sekali, menurut saya. Seperti air rempah hangat yang sedikit pahit dan sepat namun menyegarkan.

Sambil menikmati kopi, saya memberanikan diri bertanya mengenai sejarah Masjid Qiblatain. Pengurus masjid yang kemudian saya ketahui bernama Ibrahim Ahmad pun menjelaskan dengan semangat.

Dari keterangannya, saya mengetahui bahwa masjid itu dulu bernama Masjid Bani Salamah. Masjid ini menjadi saksi terjadinya perubahan kiblat shalat.

Semula, Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat menghadapkan wajah mereka ke Baitul Maqdis (Yerusalem, Palestina). Saat shalat di masjid ini pada tahun kedua Hijriyah, Rasulullah menerima wahyu mengenai perintah perubahan kiblat. Ibrahim kemudian mengutip ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 144.

Kedatangan Nabi Muhammad SAW beserta beberapa sahabat ke Salamah untuk menenangkan Ummu Bishr binti al-Bara yang ditinggal mati keluarganya.

Saat wahyu turun, Rasulullah sedang mengimami shalat Dzuhur. Perubahan kiblat terjadi pada awal rakaat ketiga. Pada dua rakaat awal, Rasulullah masih shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis yang kini ditandai dengan isarah di atas dinding.

“Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW langsung berbalik badan 180 derajat. Jamaah yang awalnya di shaf pertama menjadi shaf terakhir dan shaf belakang menjadi shaf terdepan,” begitu Ibrahim menjelaskan.

Sejak saat itulah, kiblat umat Islam berpindah dari Baitul Maqdis, Palestina (menghadap ke utara dari Madinah), menuju Masjidil Haram (menghadap arah selatan dari Madinah).

Kendati menjadi tempat bersejarah dalam peribadatan umat Islam, namun Ibrahim menegaskan, tidak ada keistimewaan khusus bagi jamaah yang shalat di masjid ini. Di Madinah, hanya ada empat tempat yang memiliki keistimewaan jika seorang Muslim shalat di tempat itu. Keempatnya adalah Masjid Nabawi, Masjid Quba, Jabal Uhud, dan pemakaman Baqi.

Ibrahim melanjutkan penjelasannya. Pada awalnya, kiblat shalat untuk semua nabi adalah Baitullah di Makkah. Adapun Al Quds (Baitul Maqdis) ditetapkan sebagai kiblat untuk sebagian dari para nabi dari bangsa Israel. Al Quds berada di sebelah utara sedangkan Baitullah (jabah) di Makkah di sebelah Selatan sehingga keduanya saling berhadapan.

Saya kemudian bertanya ke mana arah kiblat masjid pertama Masjid Quba dan Masjid Nabawi saat itu? Sambil menuang qahwah yang kedua, Ibrahim menjawab, sebelum ada perintah untuk mengalihkan kiblat, Masjid Quba sebagai masjid pertama yang didirikan Nabi dan Masjid Nabawi yang saat itu hanya berpagar dari batu tanah masih menghadap Baitul Maqdis, Palestina.

“Setelah turun firman Allah SWT di sini, Rasulullah kemudian memberi tahu bahwa arah kiblat mulai saat itu ke arah Masjidil Haram di Makkah,” ujarnya.

Alhamdulillah, secangkir qahwah/pemberian Arab Badui telah mengantarkan saya pada pengalaman dan ilmu pengetahuan baru mengenai sejarah Islam, terutama Masjid Qiblatain.

 

sumber: Republika Online

Apa Haji Mabrur Itu?

Al Hasan Al Bashri rahimahullahu ta’ala pernah ditanya: “apa haji mabrur itu?”. Beliau menjawab: “sekembalinya engkau dari ibadah haji, engkau menjadi orang yang zuhud terhadap dunia dan sangat mengharapkan kebaikan akhirat”.

 

sumber: Muslimah.or.id

Daripada Umrah Berkali-kali, Lebih Baik Atasi Kemiskinan

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub mengatakan, anggapan yang muncul tentang melakukan ibadah umrah di saat bulan suci Ramadahan sama pahalanya dengan ibadah haji, merupakan anggapan yang salah dan menyesatkan.

Ali Yakub mengingatkan para agen perjalanan haji dan umrah tidak memanfaatkan anggapan yang salah tersebut, menjadi sebuah promosi untuk mencari keuntungan.

Ia menuturkan anggapan tersebut, secara tidak langsung membuat banyak umat Muslim di Indonesia, khususnya mereka yang berpenghasilan tinggi dan sebenarnya sudah pernah melakukan umrah, melakukan ibadah umrah secara berulang-ulang kali.

”Tentu saja, hal tersebut tidak tepat karena Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah melakukan ibadah umrah secara berulang-ulang kali,” ungkap Ali Mustafa Yakub kepada Republika, di Jakarta, Jumat (21/8).

Menurut pengasuh Pesantren Hadis Darussunnah, ibadah haji atau umrah merupakan jenis ibadah multi dimensi, yang tidak melulu soal amaliyah saja melainkan juga harus dapat mengubah perilaku dari orang yang melakukannya.

Artinya, selain meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah dari orang yang melakukannya, ibadah haji atau umrh tidak boleh membuat orang yang menjalankannya menjadi tak peduli ibadah sosial. “Jangan cuma amaliyah tapi tidak perduli sosial,” kata Ali.

Ali mengungkapkan, tahun ini setidaknya delapan juta orang tercatat melakukan ibadah umrah, yang banyak diantara mereka sebenarnya sudah pernah melakukan ibadah umrah atau melakukannya untuk kesekian kali.

Dibandingkan menjalani ibadah umrah secara berulang-ulang, yang tak pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW, lebih baik jika umat Muslim menyumbangkan rezekinya untuk membantu menyelesaikan permasalahan sosial yang ada.

Ali menyebutkan salah satu contoh permasalahan sosial yang wajib mendapatkan bantuan, yaitu soal tingginya angka kemiskinan di Indonesia.

Ali menerangkan, sudah beberapa kali menemukan dan membantu orang-orang terlantar di sekitar Masjid Istiqlal, mulai dari yang terusir dari orang yang berpenyakit sampai orang yang beragama lain, yang kelaparan dan terlantar.

Ia menyarankan umat Muslim yang sudah pernah melaksanakan umrah, untuk lebih memilih menyumbangkan rezekinya kepada sosial dibanding menjalankan ibadah umrah secara berulang. “Akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk mengentaskan kemiskinan,” ujar Ali Yakub mengingatkan.

 

sumber: Republika Online

Mencari Jejak Utsmani di Menara Zam-zam

“Aku shalat di Lantai 10 Menara Zam-zam, sembari nunggu cowok-cowok shalat Jumat di al-Haram,” ujar Risbiani Fardaniah, wartawan Kantor Berita Antara, kepada saya Jumat (21/8) pekan lalu.

Kala itu, sudah hampir masuk waktu shalat Dzuhur. Cowok-cowok yang dimaksud, yaitu teman wartawan laki-laki yang juga tergabung dalam tim Media Center Haji (MCH) Daerah Kerja Makkah.

Menara Zam-zam sangat mudah dikenali. Jam besar menara ini dapat dilihat hampir dari seluruh penjuru Kota Makkah yang dikelilingi bukit bebatuan. ‎

Sebelum lift mengangkut kami ke lantai 10, Mbak Riris, begitu saya menyapanya–mengambil air wudhu di lantai 3 Menara Zam-zam. Saya sedang berhalangan pekan lalu, sehingga tidak ikut mengambil air wudhu untuk shalat.

Ruangan beribadah itu terletak di salah satu sudut lantai 10 Menara Zam-zam. Ruangan itu memiliki luas hampir sama dengan dua kali lapangan futsal itu. Ketika berdiri dengan posisi menghadap kiblat, semua perempuan yang shalat akan langsung melihat Kakbah beserta jamaah yang sedang tawaf.

Masuk ke ruangan ‎beribadah itu, saya bisa melihat beberapa perempuan sudah duduk menunggu waktu shalat Jumat. Sebagian memilih shalat sunnah dua rakaat.

Ada lebih banyak perempuan yang memilih mengisi waktu dengan melantunkan ayat Alquran dengan suara pelan. Ada pula  yang bercengkerama dengan ‎anak-anak yang masih berusia di bawah lima tahun.

Mendekati waktu shalat, semakin banyak perempuan yang masuk ke dalam ruangan. Seorang ibu berjalan masuk menggunakan tongkat untuk menyangga tubuhnya. Seorang perempuan lebih muda dengan sigap meletakan kursi di tempat dia akan shalat. Ada sekitar lima perempuan yang juga menggunakan ‎kursi untuk shalat.

Sebagian besar perempuan itu tampak mengenakan abaya hitam. Abaya adalah jubah berwarna hitam yang dipakai perempuan Arab Saudi ketika keluar rumah.

‎Ketika rakaat pertama hendak dimulai, saya memilih duduk di bagian belakang ruang beribadah. Setidaknya ada enam shaf di Lantai 10 Menara Zam-zam. Dua balita di sisi kiri saya tampak asyik bermain.

Terkadang, keduanya berada di dalam barisan shalat sehingga penjaga ruang beribadah harus mengangkat mereka.

Melihat perempuan-perempuan shalat, saya pun menganggap Lantai 10 Menara Zam-zam‎ sebagai ide yang brilian. Perempuan tetap bisa shalat sambil mendengarkan khutbah dari Masjidil Haram.

Saya melupakan bahwa Menara Zam-zam pernah disebut sebagai hinaan terhadap Makkah. Menara Zam-zam ‎termasuk dalam Kompleks Abraj al-Bait. Pembangunan Abraj al-Bait sempat memunculkan kontroversi karena menggusur Benteng Ajyad peninggalan Kerajaan Turki Utsmani.

Kritikan kencang ‎dilontarkan Direktur Pelaksana Islamic Heritage Research Foundation di London Irfan al-Alawi. Seperti dilansir the Guardian pada 14 November 2006 lalu.

Alawi menyesalkan banyaknya situs sejarah. Hingga sembilan tahun lalu, Alawi menyatakan tersisa kurang dari 20 bangunan yang sudah berdiri sejak era Nabi Muhammad pada 1.400 tahun lalu.

Yang menyedihkan, situs-situs tersebut berganti dengan bangunan komersial. ‎Benteng peninggalan Kerajaan Turki Utsmani berubah menjadi  hotel dan apartemen dengan kapasitas tiga ribu kamar, pusat perbelanjaan, dan parkir berkapasitas seribu mobil.

Kritikan mengenai sisa-sisa peninggalan sejarah di Makkah pun terlontar dalam percakapan. Sembari berkelakar, seseorang bilang, “Makam Nabi kalau bisa digusur pasti sudah digusur. Cuma rumah Rajadoang yang nggak bisa digusur.

Saya ikut menikmati ‘komersialisasi’ itu pun bingung untuk pemandangan. Ada banyak toko makanan dan oleh-oleh di Menara Zam-zam. Menara Zam-zam menjadi landmark pertama ketika jamaah masuk ke Makkah dari Jeddah.

Menara Zam-zam menjadi penunjuk arah atau penanda bagi ribuan jamaah yang masuk ke Masjidil Haram. ‎Bangunan yang ‘mencakar kesucian’ ibadah para peziarah di Makkah itu juga telah ‎tempat bekerja bagi beberapa warga negara Indonesia.

Saya pun menjadikan alasan Pemerintah Arab Saudi sebagai dalih keberadaan Menara Zam-zam. Pemerintah Arab Saudi beralasan penggusuran situs-situs bersejarah untuk menjaga ketauhidan Allah. Situs-situs bersejarah ‎dapat mendorong perbuatan syirik yang mencemari keesaan Allah.

 

sumber: Republika Online

‘Naik Haji Berkali-kali Belum Tentu Berpahala’

Beribadah haji berkali-kali disinyalir menghambat kesempatan orang lain yang hendak berhaji juga.

“Saya setuju, orang yang sering naik haji tidak usah naik haji lagi, tetapi saya tidak berani untuk mengatakan zalim,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat KH Cholil Ridwan, Kamis (13/8).

Ia mengimbau, umat Muslim mengutamakan bersedekah dan memberdayakan masyarakat luas.

“Naik haji berkali-kali juga belum tentu berpahala. Kalau sedekah ke fakir miskin itu lebih konkret pahalanya,” tambah Cholil.

Cholil juga mengatakan, sampai saat ini MUI belum berencana mengeluarkan fatwa terkait naik haji berulang kali. Lantaran larangan tersebut belum menjadi salah satu agenda MUI untuk disidangkan. Terlebih lagi, belum ada anggota masyarakat yang mempermasalahkannya.

“Jika masyarakat merasa terganggu, maka harus diusulkan kepada MUI, minta agar kami membahasnya. Nanti akan ditanggapi,” ujarnya.

 

sumber: Republika Online

Daftar Tunggu Haji Jateng Hingga 2034

Jamaah calon haji (Calhaj) setelah musim haji tahun ini, musti menahan nafas panjang. Sebab, daftar tunggu haji untuk Provinsi Jawa Tengah mencapai 19 tahun. ”Jadi, waktunya cukup panjang,” kata Kepala Bagian Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Jateng Badrus Salam, Sabtu (29/8).

Tingginya daftar tunggu haji ini, menurut Badrus, disinyalir lantaran adanya layanan Talangan Haji dari perbankan. Kalau daftar sekarang, lanjut dia, berarti baru bisa berangkat tahun 2034 mendatang. Menurut dia, tingginya daftar tunggu haji ini disebabkan lantaran kuota haji dikurangi. Berkurangnya jatah kuota ini, karena adanya pembangunan di Masjidil Haram. Namun, jika pembangunan Masjidil Haram sudah selesai, maka pemerintah Indonesia akan minta kuota ditambah supaya mengurangi masa tunggu.

Pembangunan Masjidil Haram diperkirakan selesai tahun 2016. Setelah itu, maka minta penambahan kuota supaya bisa mengurangi masa tunggu. Mudah-mudahan pembangunan Masjidil Haram segara selesai. Sehingga masa tungggu haji mendatang semakin pendek. Pemerintah, melalui Kementerian Agama (Kemenag) selalu mengimbau kepada umat Islam, teruma yang sudah menunaikan ibadah haji. Mereka dihimbau, agar yang sudah pergi haji untuk tidak berhaji lagi. Ini supaya memberi kesempatan bagi umat Islam yang belum ibadah ke Tanah Suci.

 

sumber: Republika Online

———————————————–

Baca juga: Aplikasi Pengecekan Jadwal Keberangkatan Haji

Hujan Sambut Jamaah Haji Indonesia di Makkah

Matahari perlahan tertutup awan. Langit menjadi gelap. Petir dan gemuruh bersahutan  di langit Makkah, Arab Saudi, Ahad (30/8) petang. Hujan pun membasahi Tanah Haram ketika jamaah haji asal Indonesia yang tergabung dalam kelompok terbang (kloter) JKS (Jakarta-Bekasi) 01 tiba di Makkah.

Pada siang hari, Makkah sangat panas dengan suhu maksimal 44 derajat celcius. Bahkan, sekitar 30 menit sebelum jamaah tiba, temperatur di Kota Kelahiran Nabi masih mencapai 42 derajat celcius. Bus pertama yang membawa romongan jamaah haji asal Indonesia tiba di pemondokan nomor 704, Sektor 7, Jarwal, Makkah, pukul 15.00 waktu Arab Saudi (WAS).

Ketika masuk ke Hotel Jirand Al-Taseer yang menjadi pemondokan 704, jamaah disambut dengan marawis. Pengurus muasasah dan maktab membagikan bunga kepada jamaah. Pengawas perumahan dan katering Sektor 7 membagikan kunci berbentuk kartu kepada kepala rombongan.

Selanjutnya, kepala rombongan membagikan kepada jamaah. Setelah menerima kunci, jamaah langsung naik ke lantai 1. Setiap kamar berkapasitas tiga hingga empat orang. Laki-laki dan perempuan menempati kamar yang berbeda.

“Alhamdulillah, ternyata Negara kita sangat perhatian dengan jamaah haji. Di setiap titik selalu ada petugas yang memperhatikan,” kata Elis Supena Salha (39 tahun) dengan wajah sumringah ketika masuk ke dalam kamar.

Elis pun bercerita dia dan suaminya berangkat mendampingi ibunya, Ubed Jubaedah Junaedi (60). Ubed yang duduk di samping Elis tampak mengenakan gelang merah. “Di Madinah juga ternyata bisa shalat lebih dari 40 waktu,” kata Elis yang perlahan menitikan air mata.

Perempuan asal Tasikmalaya itu mengaku tidak menyangka ada banyak petugas memberikan perhatian dan memastikan jamaah dalam kondisi baik. Menurut dia, fasilitas yang diberikan juga cukup baik seperti kasur yang empuk. “Terima kasih. Semoga ibadah haji kami lancar dan mabrur,” ujar dia.

Konsul Jenderal RI Jeddah Dharmakirty Syailendra Putra yang menyambut jamaah dari Kloter JKS 01 menyatakan sebagian besar sudah masuk ke kamarnya. “Mereka sangat senang dan sudah melihat fasiltas yang ada di hotel,” kata dia.

Dharmakirty menyatakan pemondokan nomor 704 ini bakal ditempati enam ribu jamaah asal Indonesia. Selama di Makkah, jamaah juga akan mendapatkan layanan makan siang selama 15 kali. “Di area lebih dari dua ribu meter juga akan ada bus shalawat,” kata dia.

Dharmakirty pun mengingatkan jamaah untuk menjaga kesehatan. Saat ini, cuaca di Makkah memang mulai peralihan ke musim dingin. Kendati demikian, suhu pada siang hari di Kota Nabi Ibrahim ini masih sangat panas.

“Jangan paksakan untuk selalu masuk ke Masjidil Haram setiap waktu shalat. Prosesi di Arafah masih September nanti, jadi jaga fisik, jaga kesehatan. Yang tidak kalah pentingnya, jaga komunikasi sesama jamaah. Kalau pergi keluar harus saling memberitahu,” ujar Dharmakirty.

Pada Ahad ini, sebanyak 4.636 jamaah asal Indonesia yang tergabung dalam 12 kloter dijadwalkan tiba di Makkah. Mereka bakal ditempatkan di Sektor 5, 6, 7, 9, dan 1. Jamaah akan melakukan umrah qudum atau kedatangan setelah semua jamaah di masing-masing kloter berkumpul.

Ini Syarat Calhaj Hamil Bisa Ikut Naik Haji

Kabid Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Jakarta-Bekasi Ananto Prasetya Hadi menjelaskan, ada syarat- syarat yang memperbolehkan calon jamaah haji perempuan bisa tetap berangkat.

Namun, untuk calon jamaah haji kloter 22 asal Kab. Bekasi yang tidak dapat berangkat karena hamil, ia tidak memenuhi persyaratan tersebut sehingga harus dibatalkan.

“Yang boleh berangkat yang umur kandungannya antara 14 – 26 minggu. Kalau yang dari Bekasi itu umur kandungannya 7 minggu,” jelas Ananto pada Republika, Ahad (30/8).

Selain syarat usia kandungan, lanjut Ananto, ada lagi syarat lainnya. Calon jamaah tersebut harus sudah divaksin meningitis sebelumnya. Namun, penyuntikan vaksin tersebut harus dilakukan sebelum hamil.

“Ada syaratnya juga dia harus divaksin. Kalau belum divaksin nggak boleh berangkat karena kan memang kontraindikasi dengan kehamilan,” katanya.

Ananto menjelaskan, dalam kasus pemeriksaan kehamilan pada tahun-tahun sebelumnya, banyak wanita usia subur yang berbohong di daerah dalam pemeriksaan kehamilan dengan mengganti urin yang akan diperiksa. Sehingga tetap dapat vaksin meningitis. Selanjutnya saat diperiksa di embarkasi, baru terdeteksi kehamilan.

Pada pemeriksaan wanita usia subur Sabtu (29/8), Ela Nurlela (39 tahun) terdiagnosis hamil dengan usia kandungan 7 minggu 6 hari. Sehingga ia harus membatalkan keberangkatannya ke Tanah Suci yang dijadwalkan pada Ahad (30/8) pagi.

sumber: Republika Online

Jangan Memaksakan Diri ke Masjidil Haram

REPUBLIKA.CO.ID,  MAKKAH  — Konsul Jenderal (konjen) RI di Jeddah, Dharmakirty Syailendara Putra, mengimbau jamaah calon haji yang baru tiba di Makkah dari Madinah, tidak memaksakan diri untuk selalu beribadah di Masjidil Haram, karena puncak haji masih lama.

“Jaga kesehatan karena (udara) masih panas. Jangan memaksakan diri masuk Masjidil Haram,” ujarnya usai menerima rombongan pertama yang masuk Kota Makkah, di Hotel Grand Al Tasyeer, Makkah, Ahad (30/8).

Ia mengatakan puncak proses haji yaitu wukuf di Arafah masih panjang, sekitar 22 hari lagi. Oleh karena itu ia mengimbau agar jamaah menghemat tenaga untuk menghadapi proses di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

“Jaga fisik, jaga kesehatan, komunikasi dengan sesama jamaah, harus saling memberikan komunikasi,” ujar Dharmakirty. Ia menilai penyelenggaraan haji tahun ini banyak peningkatan terutama dalam akomodasi untuk jamaah.

Ditambahkan Kepala Daerah Kerja (Kadaker) Makkah, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) 1436H/2015 Arsyad Hidayat, tahun ini pemerintah berupaya meningkatkan pelayanan bagi jamaah yang bisa terlihat dari kondisi pemondokan yang ini sekelas hotel bintang tiga dan empat.

“Oleh karena itu di hotel ini tidak boleh memasak. Nanti disiapkan semacam kafetaria,” katanya. Selain itu, hotel juga menyiapkan air zam-zam, seprai yang diganti seminggu sekali, serta fasilitas keamanan dan kebersihan yang lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Rombongan jamaah asal Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi rombongan pertama calon haji yang tiba di Makkah pada pukul 15.00 Waktu Arab Saudi (WAS) atau pukul 18.00 WIB. Mereka disambut oleh Konjen RI di Jeddah Dharmakirty Syailendara Putra, Muassasah Asia Tenggara Muhammad Amin Hasan Indragiri, serta Kadaker Makkah Arsyad Hidayat.

Pada kesempatan itu Muhammad Amin mendoakan jamaah calon haji tersebut agar menjadi haji yang mabrur dan diaminkan oleh 39 calon haji dari Tasikmalaya itu.

Afrizal Sinaro: Nikmatnya Berhaji Bersama Dua Wanita Istimewa

Kenikmatan menunaikan ibadah haji sulit dilukiskan dengan kata-kata. Apalagi jika  berhaji itu bersama dengan dua wanita istimewa.

Pengalaman itulah yang dirasakan oleh Afrizal Sinaro. Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta itu pertama kali menunaikan ibadah haji tahun 2000. Ketika itu ia berhaji bersama dengan ibu kandungnya, Nadiar, yang ketika itu usianya sudah mencapai 60 tahun.

“Bagi saya, pergi haji yang pertama adalah kenikmatan yang luar biasa, karena saya bisa melayani ibu kandung saya selama 40 hari sejak awal kedatangan ke Tanah Suci hingga kembali ke Tanah Air,” ungkap Afrizal Sinaro saat berbincang dengan Republika di Resto Ahmei, Pejaten Village, Jakarta, Senin (31/8).

Sambil menyeruput teh tarik kesukaannya, lelaki kelahiran Medan, 27 April 1965 itu, menambahkan, walaupun hatinya sangat bahagia, namun di sisi lain, ia merasa pun merasa sedih. “Saya sedih, sebab ayah saya belum bisa berangkat haji tahun itu, karena keterbatasan biaya,” tutur Afrizal yang juga Ketua Umum Perguruan Al-Iman Citayam, Bogor, Jawa Barat.

Karena itulah, di depan Ka’bah, Afrizal berdoa kepada Allah, agar bisa kembali lagi berhaji bersama ayahnya. “Doa saya adalah ‘Ya Allah, kembalikan saya ke Tanah Suci-Mu ini bersama ayah dan istriku, lima tahun ke depan’,” ujar Afrizal mengutip doanya ketika itu.

Ternyata Allah mengabulkan doanya. Lima tahun kemudian, yakni tahun 2005, Afrizal dapat mengajak ayahnya, Rusdi yang kala itu berumur 65 tahun, dan istrinya tercinta, Eka Putri Handayani, melaksanakan ibadah haji.

“Itulah sebabnya, saya sering mengatakan, saya beruntung bisa menunaikan ibadah haji bersama dua wanita istimewa,” ungkapnya penuh syukur.

Redaktur : Irwan Kelana