Haji dan Transendensi Makna Hidup (1)

oleh Komaruddin Hidayat

Begitu siap dengan pakaian ihram, jamaah haji lalu membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku – Engkau”, dan segala urusan duniawi ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transendental secara intens. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah.

Ketika mengenakan pakaian ihram, seseorang tak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan, tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsu egoistik ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mikraj, mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah pribadi yang darinya terpancar sifat-sifat Ilahi.

Upaya mendekati, bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (Hajar Aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke Baitullah (Rumah Allah) untuk melakukan audiensi.

Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”, kampung akhirat. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta prestasi yang diraihnya ini nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

 

sumber: Republika Online

Berita Bohong

Oleh: Sarbini Abdul Murad

Ingatlah ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.” (QS an-Nuur: 15).

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan berita bohong (hadisul ifki) terhadap Sayyidah Aisyah RA. Berita itu disebarkan dari mulut ke mulut oleh kaum munafik dan sebagian kecil sahabat (Hamnah binti Jahsi, Hasan bin Tsabit, dan Misthah bin Asasah) yang juga terpengaruh. Orang-orang munafik sengaja ingin merusak kehormatan Ummul Mukminin Aisyah RA.

Perangkap ini kurang disadari ketiga sahabat itu dan mereka justru ikut berperan dalam penyebaran informasi yang tidak benar. Mereka tidak menyadari bahwa menyebarkan berita bohong di sisi Allah merupakan pelanggaran serius sampai Allah menurunkan teguran melalui wahyu.

Pada zaman digital sekarang, penyebaran segala macam informasi jauh lebih cepat dan aksesnya pun lebih mudah. Siapa pun dengan bebas menyebarkan informasi dari mana saja, bahkan dari sumber tidak jelas.

Sayangnya, sebagian mereka menyebarkannya tanpa meneliti dahulu apakah informasi itu layak disebarkan, apakah ada konsekuensi akibat tersebarnya informasi itu, apakah bisa merusak nama baik orang dan memecah-belah keutuhan umat?

Kita mesti bijak dalam menyebarkan informasi yang berseliweran di dunia maya. Keakuratan dan kesahihan informasi merupakan hal penting. Jangan sampai latah menyebarkan informasi yang kita sendiri tidak mengetahui kebenarannya. Kelatahan bukan berarti bebas dari konsekuensi kesalahan dan dosa.

Janganlah kebencian terhadap seseorang atau suatu golongan membutakan hati kita sehingga dengan sengaja menyebarkan berita bohong atau fitnah dengan maksud untuk merusak reputasi orang atau lembaga lain. Menahan diri segala macam isu yang belum tentu benar adalah sikap yang lebih bijak. (QS al-Maidah: 2).

Saling membantu dan saling menasihati adalah spirit utama umat Islam. Ibarat tubuh, apabila salah satu anggotanya sakit, anggota tubuh yang lain juga merasakan sakit.

Ayat di atas menjelaskan sekaligus menjadi peringatan bahwa saling menyebarkan berita bohong atau informasi yang tidak jelas kebenarannya termasuk dalam tolong-menolong dalam berbuat dosa. Islam melarang dan mengingatkan umatnya untuk berhati-hati agar tidak tergelicir dalam perbuatan dosa. (QS an-Nuur: 12).

Islam telah membuat bingkai dengan begitu indah supaya umat tidak jatuh ke kubangan perpecahan dan kehancuran. Penekanan pada sikap berbaik sangka merupakan dasar utama ketika kita mendengar ada informasi yang sumbernya tidak jelas.

Bertabayyun untuk mengklarifikasi informasi yang menjurus kepada fitnah dengan membuka saluran cross-check sehingga umat akan terjaga keutuhannya dan tak terpancing melakukan perbuatan bodoh. (QS al-Hujurat: 6).

Umat Islam harus waspada atas derasnya informasi yang dengan sangat cepat menjungkirbalikkan prasangka seseorang terhadap orang lain. Dengan begitu, umat Islam tidak mudah diadudomba oleh pihak yang memang senang melihat umat Islam terpecah-belah.

 

sumber: Republika Online

Makna Haji

Oleh: Komaruddin Hidayat
Persiapan haji dimulai dengan berpakaian ihram kemudian jamaah haji membaca talbiyah, yaitu pernyataan kehadiran memenuhi panggilan Tuhan. Suasana batin hendaknya hanya diisi dengan kesadaran “aku-Engkau”, dan segala urusan duniawi sudah harus ditinggalkan agar bisa memasuki orbit kesadaran transcendental secara interns. Pikiran, perasaan, ucapan dan bahkan segala tindakan kini hanya diarahkan untuk mendekati Allah semata.

Ketika mengenakan pakaian ihram seseorang harus menanggalkan semua pakaian status sosial, tidak boleh mengenakan kosmetik, tidak boleh bercermin, tidak boleh membunuh hewan, merusak pepohonan tidak juga melakukan hubungan seksual. Pendeknya berbagai nafsuegoistic ditekan ke titik nol agar seseorang mampu melakukan mi’raj. Mendekati Sang Pencipta sedekat-dekatnya dalam rangka membangun pribadi tangguh, sebuah peribadi yang darinya terpancar sifat-sifat ilahiyah.

Upaya mendekati bahkan memeluk Tuhan ini lalu secara simbolik diperagakan dalam thawaf, yaitu berputar mengelilingi Ka’bah. Batu Hitam (hajar aswad) yang dijadikan titik tolak gerakan thawaf ini bagaikan tangan Tuhan yang terjulurkan menyambut setiap hamba-Nya yang berkunjung ke rumah Allah untuk melakukan audiensi.

Dengan menyambut uluran tangan-Nya, seorang Muslim diingatkan akan kampung halamannya yang berada “di seberang sana”. Dengan menjabat tangan Tuhan seorang Muslim mempertegas kembali ikrarnya, bahwa hidup ini pada hakikatnya milik Allah dan semua fasilitas hidup serta perestasi yang diraihnya ini nantinya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

 

sumber: Republika Online

Kisah Haru Ibu yang Lemparkan Anaknya ke Tenda Saat Tragedi Mina

Kekuatan kasih ibu memang tiada bandingannya. Seperti seorang jemaah yang berhasil menyelamatkan anaknya di tengah gencetan jemaah lainnya di Mina. Beruntung, jemaah ini sendiri juga selamat.

Seperti dilansir media setempat, Arab News, Selasa (29/9/2015), jemaah yang tidak disebut identitasnya dan tidak diketahui asalnya ini melemparkan anaknya ke deretan tenda yang ada di samping jalur menuju Jamarat, saat tragedi Mina terjadi pada Kamis (24/9) lalu.

Di dekat deretan tenda itu sudah menunggu sejumlah jemaah asal Mesir yang kemudian menyelamatkan bocah tersebut. Jemaah Mesir ini sebenarnya ingin membantu secara langsung, namun terhalang jarak yang terlalu jauh.

“Dia (jemaah wanita) jauh dan kemudian melemparkan anaknya ke arah kami. Nama anak ini adalah Ibrahim. Dia selamat,” tutur sejumlah jemaah asal Mesir kepada surat kabar setempat.

Tidak disebut lebih lanjut usia bocah yang diselamatkan itu. Namun jemaah asal Mesir ini memberi anak ini makanan dan baju yang pantas. “Kemudian, kami mencari ibunda anak ini ataupun kerabatnya, tapi tidak berhasil,” terang mereka.

Selang sehari setelah kejadian, atau Jumat (25/9) pagi, jemaah Mesir ini dikejutkan oleh kedatangan seorang pria yang mengaku sebagai paman Ibrahim. “Ketika anak ini melihat pamannya, dia langsung memeluknya jadi kami akhirnya menyerahkan anak ini kepadanya,” jelas jemaah-jemaah Mesir ini.

Pria ini menuturkan, ibunda Ibrahim berhasil selamat, namun masih menjalani perawatan medis. Menurut paman Ibrahim, sang ibunda-lah yang memberitahunya soal keberadaan bocah ini.

“Ibunya Ibrahim masih memulihkan diri,” ujar paman Ibrahim.
(nvc/mad)

 

sumber: Detik.com

Dosa Meninggalkan Shalat

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Banyak orang menyatakan dirinya beragama Islam, namun diantara mereka tidak memperhatikan masalah shalat, bahkan ada juga yang tidak melaksanakan shalat sama sekali. Kenapa demikian ? Diantara penyebabnya, mereka tidak mengetahui kedudukan shalat yang sangat agung dalam agama.

KEDUDUKAN SHALAT DALAM AGAMA ISLAM
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan merupakan kewajiban terbesar setelah dua syahadat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Lâ ilâha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân.” [HR. Bukhâri, no. 8; Muslim, no. 16]

Oleh karena itu shalat merupakan tiang agama. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Pokok urusan (agama) itu adalah Islam (yakni: syahadatain) , tiangnya shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad.” [HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Karena pentingnya ibadah shalat, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjaga shalat dengan sebaik-baiknya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthâ (shalat Ashar). Dan berdirilah untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [Al-Baqarah/2: 238]

Demikian juga shalat merupakan pembatas antara iman dengan kekafiran. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan shalat. [HR. Muslim, no: 82, dari Jabir]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang ada antara kami dengan mereka adalah shalat. Maka barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. [HR. Tirmidzi, no: 2621; dll; Dishohihkan oleh syeikh Al-Albani]

Oleh karena itu, shalat merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka dia beruntung dan sukses, namun jika shalatnya rusak, maka dia gagal dan rugi. Jika ada sesuatu kekurangan dari shalat wajibnya, maka ar-Rabb (Allâh) Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Perhatikan (wahai para malaikat) apakah hambaKu ini memiliki shalat tathowwu’ (sunah), sehingga kekurangan yang ada pada shalat wajibnya bisa disempurnakan dengannya!”. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu. [HR. Ibnu Majah, no: 1425; Tirmidzi, no: 413; lafazh ini bagi imam Tirmidzi; dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Bahaya Meninggalkan Shalat
Menyia-nyiakan shalat merupakan sebab kesesatan, lalu bagaimana dengan meninggalkannya? Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ ﴿٥٩﴾ إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا

Maka datanglah sesudah mereka (yakni sesudah para Nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. [Maryam/19: 59-60]

Orang-orang yang melaksanakan shalat, namun lalai dari shalatnya, mendapatkan kecelakaan yang besar, lalu bagaimana dengan orang-orang yang meninggalkannya ? Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. [Al-Mâ’ûn/107: 4-5]

Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa meninggalkan shalat merupakan penyebab utama masuk neraka. Allâh Azza wa Jalla menceritakan jawaban para penghuni neraka ketika ditanya oleh para penghuni surga tentang sebab masuk neraka.

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ ﴿٤٣﴾ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ ﴿٤٤﴾ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ ﴿٤٥﴾ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ ﴿٤٦﴾ حَتَّىٰ أَتَانَا الْيَقِينُ ﴿٤٨﴾ فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ

Mereka (para penghuni neraka Saqor) menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian”. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.[Al-Muddatstsir/74: 43-48]

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT
Meninggalkan shalat ada dua bentuk :

• Meninggalkan shalat sambil meyakini bahwa shalat itu tidak wajib, maka pelakunya kafir. Ini berdasarkan kesepakatan Ulama.

• Meninggalkan shalat, karena malas namun tetap meyakini bahwa shalat itu wajib. Dalam masalah ini para ulama Ahlus Sunnah berbeda pendapat. Sebagian mereka berpendapat bahwa pelakunya belum kafir, sementara sebagian yang lain menghukuminya kafir. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat –insya Allâh- berdasarkan banyak dalil dan perkataan as-salafush shalih.

Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat mayoritas Shahabat. [Lihat: Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 1/172-177]

Bahkan sebagian Ulama menukilkan adanya ijma’ sahabat Nabi tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Seperti Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla, 2/242-243, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Kitâbus Shalat, hlm. 26, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti’ 2/28].

Seorang tabi’in, Abdullâh bin Syaqîq rahimahullah, berkata, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang sesuatu di antara amalan-amalan yang meninggalkannya merupakan kekafiran selain shalat”. [Riwayat al-Hakim, lihat: Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, 1/174]

Perbedaan pendapat Ulama tentang masalah meninggalkan shalat merupakan kekafiran atau bukan, ini menunjukkan besarnya kedudukan shalat.

HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum Muslimin tidak berselisih pendapat bahwa meninggalkan shalat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar yang terbesar, dan bahwa dosanya di sisi Allâh lebih besar daripada dosa membunuh, merampas harta orang, berzina, mencuri, dan minum khamr. Dan bahwa pelakunya menghadapi hukuman Allah, kemurkaanNya, dan kehinaan dariNya di dunia dan akhirat.

Kemudian ulama berbeda pendapat tentang (hukum) bunuh terhadapnya, tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya, dan tentang kekafirannya.

(Imam) Sufyân bin Sa’id ats-Tsauri, Abu ‘Amr al-Auza’i, Abdullâh bin al-Mubârak, Hammad bin bin Zaid, Waki’ bin al-Jarrah, Mâlik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syâfi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahûyah dan murid-murid, mereka berfatwa bahwa orang yang meninggalkan shalat di (hukum) bunuh. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang cara (hukum) bunuh terhadapnya. Mayoritas mereka berkata, “Dibunuh dengan pedang dengan cara dipenggal lehernya”. Sebagian pengikut imam Syâfi’i berkata, “Dia dipukul dengan kayu sampai dia shalat atau dia mati”. Ibnu Suraij berkata, “Dia ditusuk dengan pedang sampai mati, karena hal itu lebih sempurna di dalam menghentikannya dan lebih diharapkan untuk kembali (taubat)”. [Ash-Shalat wa Hukmu Tarikiha, hlm. 29-30]

Hukum bunuh tersebut tentu penguasa yang berhak melakukan setelah pelakunya diminta untuk bertaubat dan melakukan shalat, namun dia menolaknya.

Inilah sedikit keterangan mengenai kedudukan shalat yang sangat agung di dalam agama Islam, dan bahaya meninggalkannya. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu menolong kita untuk melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya. Aamiin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

 

foto: Wisata Hati Yusuf Mansur