Ini Rezeki yang Dijamin

Oleh: Iu Rusliana

 

Hampir setiap manusia menginginkan rezeki melimpah ruah. Kalau perlu, dapat diwariskan untuk tujuh turunan. Sifat tamak, serakah, berfoya-foya dan kikir ikut menyertainya. Padahal, harta hanyalah titipan, alat untuk menjalankan tugas kekhalifahan, memakmurkan bumi, dan beribadah kepada-Nya.

Janganlah mencari harta membuat kita lalai dari kewajiban beribadah. Karena, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim menciptakan makhluk disertai dengan rezekinya masing-masing. Dalam Alquran surah Hud ayat 6 disebutkan, “Dan tidak ada binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Lauhul Mahfuzh.”

Seperti kisah mashur seorang sufi bernama Abul Hasan al-Mishri yang menjalani hidup zuhud. Pada usia senjanya, meninggalkan jabatan di pemerintahan dengan gaji 50 dinar per bulan. Beliau beruzlah di menara Masjid Jami’ Amr bin al-Ash sampai akhir hayatnya.

Konon, Al-Mishri memilih hidup zuhud karena seekor kucing yang selalu datang ke rumahnya setiap pagi menunggu untuk diberikan makanan. Ketika diberi, kucing itu tidak langsung memakannya, tapi membawanya pergi. Karena penasaran, Al-Mishri membuntuti kucing itu. Ternyata, makanan itu dibawanya ke suatu gubuk. Di sana terdapat kucing lain yang buta. Makanan itu ia letakkan dihadapan kucing yang buta tersebut. Rupanya, dari situlah kucing buta tersebut mendapatkan makanannya sehari-hari.

Al-Mishri terkesima melihat pemandangan yang tak biasa tersebut dan ia bergumam, “Zat yang telah menjadikan kucing ini sebagai pelayan bagi kucing buta yang melarat itu sangat bisa membuatku tidak butuh kepada dunia ini.”

Dari kisah di atas, dapat diambil pelajaran bahwa dari kehidupan binatang pun manusia dapat belajar, tersadar dari kelalaiannya kepada Allah SWT. Kita sering kali sombong terhadap apa yang telah dimiliki, lupa bahwa apa yang diperoleh, selain merupakan usaha, juga ada campur tangan Allah sang pemberi rezeki.

Rasulullah SAW menegaskan, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya, niscaya Allah memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Burung berangkat pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang dengan perut yang penuh.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Hakim dari Umar bin al-Khatthab).

Hanya saja, mesti disadari, sudah menjadi sunnatullah ada yang mendapat kelebihan rezeki, tapi ada pula yang hanya dipenuhi kebutuhan primernya atau disempitkan. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 212, “…Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya tanpa batas.”

Dalam makna yang sama, Allah menyampaikan bahwa akan ada orang-orang yang diberikan rezeki melimpah, sebagaimana tertera dalam surah Ali Imran ayat 27 dan 37. Bahkan, ditegaskan pula, bila Allah SWT menghendaki, mungkin saja ada yang diluaskan rezekinya atau disempitkan. Seperti yang disampaikannya dalam surah ar-Ra’d ayat 26, “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”

Kepada mereka yang berlebih, hendaknya selalu bersyukur dan membantu yang kekurangan. Sementara, bagi mereka yang kekurangan, hendaknya bersabar, terus berusaha, tetap bersyukur atas karunia yang diberikan oleh-Nya, dan menjaga iman. Karena, kefakiran cenderung mendorong manusia kepada kekafiran.

Keyakinan bahwa rezeki dijamin Allah SWT tidak berarti hidup yang dijalani tidak produktif. Bekerja keraslah sekuat tenaga agar kita tidak meninggalkan keluarga dan keturunan dalam kefakiran.

Menjadi kewajiban kita untuk berusaha sekuat tenaga agar selain mampu memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga, juga membantu orang lain. Ingatlah, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Wallahu’alam.

 

sumber: Republika Online

Mengapa Manusia Sering Galau Soal Rezeki?

Oleh: Tengku Zulkarnain

 

Banyak orang menyangka bahwa rezeki itu merupakan sesuatu yang mesti dicari, padahal rezeki adalah sesuatu yang sudah ditetapkan Allah SWT. Rezeki pasti akan datang baik dicari atau tidak. Lantas, orang akan bertanya mengapa manusia mencari sibuk rezeki kalau dia sudah pasti datang? Jawabnya, karena mencari rezeki itu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Melakukannya berarti menjalankan sebuah ibadah, yang berarti mendapatkan pahala di dalamnya. Rasul bersabda, “Mencari rezeki dengan cara yang halal merupakan perbuatan keramat di sisi Allah SWT.”

Di Medan ada seekor ular hijau yang bertubuh kecil, tetapi sangat berbisa. Ular ini hidup di pohon kayu dan terkenal sangat pemalas, lamban ,dan jarang bergerak. Dia bukan pemakan daun, tetapi pemakan ulat dan hewan kecil lainnya. Kami menyebutnya ular kintamani. Lantas, bagaimana ular yang sangat lamban dan jarang bergerak ini mendapatkan makanannya? Orang mungkin akan berpikir bahwa ular ini akan segera mati kelaparan karena kelemahannya itu. Ternyata, tidak demikian. Ular ini setiap hari mendapatkan jatah makanannya dari beberapa ekor burung kecil. Burung itu di Medan disebut burung perenjak. Setiap hari burung itu membawakan ulat dan menyuapkannya langsung ke mulut sang ular.

Ular kintamani hijau itu akan membukakan mulutnya untuk menerima makanannya dari sang burung berulang-ulang sampai kenyang. Sekalipun ular itu tidak pernah memakan sang burung untuk mengenyangkan perutnya. Padahal, jika ular itu mau, dengan sekali tangkap binasalah sang burung itu. Dan, ular itu pun akan kenyang dengan serta-merta tanpa perlu berulang ulang memakan ulat-ulat kecil yang memakan waktu lama dan melelahkannya.

Suatu hari, Imam Malik bin Dinar berhenti sejenak dalam perjalanan beliau di sebuah padang pasir yang sepi. Beliau mengeluarkan perbekalannya untuk santap siang. Ketika beberapa potong daging dendeng diletakkan di atas suprah makannya, tiba-tiba seekor kucing liar datang menghampiri dan menangkap sepotong daging. Kemudian dengan santainya, sang kucing melenggang pergi sambil membawa daging itu. Imam Malik bin Dinar merasa heran. Tidak biasanya seekor kucing berani mencuri makanan manusia dengan setenang itu. Kejadian langka ini menyebabkan beliau membatalkan makannya.

Sambil membungkus kembali perbekalannya, beliau mengikuti sang kucing. Ajaib, ternyata kucing itu sama sekali tidak memakan daging curiannya, tetapi terus berjalan menuju setumpukan batu. Kemudian sang kucing menjatuhkan daging itu ke dalam sebuah lubang di tumbukan batu. Sejenak sang kucing memandang ke dalam lubang, kemudian beranjak pergi meninggalkan lubang tersebut.

Imam Malik segera menghampiri lubang itu untuk mengambil tahu. Apa yang dilihat beliau di dalam lubang tersebut membuatnya tercengang. Ternyata di dalam lubang itu hidup seekor ular berbisa yang buta. Dapat dipastikan sang ular akan mati kelaparan tanpa bantuan si kucing. Kisah ini semestinya membuat kita yakin bahwa rezeki sudah dijamin Allah. Benarlah Allah yang berfirman dalam Alquran, “Dan apa-apa yang melata di muka bumi melainkan telah dijamin Allah rezekinya.” Dalam ayat lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah Memberi rezeki kepada siapa Dia kehendaki tanpa perhitungan banyaknya.”

Jika demikian, mengapa kita manusia sering galau dengan rezeki sehingga rela menempuh jalan hina yang tercela untuk mendapatkannya? Sungguh tak pantas jika keyakinan manusia yang telah dilantik Allah sebagai khalifah di bumi kalah dengan seekor ular. Wallahu a’lam bish shawab.

 

sumber: Republika Online

Kenapa Besaran Rezeki Kita Berbeda?

Oleh Nashih Nashrullah

Rezeki yang diterima oleh manusia, tak pernah sama. Ada yang seharian memeras keringat, rupiah yang diperoleh tak setimpal, bahkan nihil. Sementara di sisi lain, sebagian anak Adam begitu mendapat rezeki begitu mudah, hingga melimpah ruah. Kenapa perbedaan itu terjadi?

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi mengungkapkan rahasia di balik perbedaan pembagian rezeki tersebut melalui kitabnya yang berjudulTilka Hiya al-Arzaq.
Risalah sederhana Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab  Mesir pada 1976-1978 itu berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.

Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, mengatakan perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda. Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena—sekali lagi—rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.

Karenanya, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212). Dalam ketentuan dan hitungan matematis besaran output akan ditentukan oleh besaran input.

Tetapi, tidak dalam konteks rezeki yang Allah berikan, Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberikan rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba, apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.

Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka.

Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberikan balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).

Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. “Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain telah diberikan rezeki lebih.”

Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu. Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung ataupun menghina satu sama lain. Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. “Kemuliaan itu terletak pada sejauh manakah ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu,”ujar Syekh Sya’rawi.

Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti rendah dan hina. “Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah mawas bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka,” tuturnya mengingatkan.

Simaklah surah al-Fajr [89]: 14-15. “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya Mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”

 

sumber: Republika Online

Do’a adalah ibadah yang sangat agung yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Berdo’a adalah cermin dari rasa tunduk dan rendah diri serta ketidakberdayaan dan melepaskan diri dari rasa memiliki dan berkuasa. Berdo’a merupakan simbol penghambaan, sarana untuk merasakan kerendahan diri kita sebagai manusia yang lemah dan tidak ada daya apapun di hadapan Allah. Di dalam do’a, ada pujian kepada Allah, ada permohonan yang tulus dari lubuk hati yang terdalam, dan ada perasaan yang terfokus pada kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda “do’a adalah inti dari suatu ibadah.” (H.R. Tirmidzi)

Dalam setiap kesempatan, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa bermunajat dengan do’a dan ber-tadarru (merasa rendah di hadapan Allah), serta menampakkan ketergantungan kepada Allah. Hal ini terutama dilakukan oleh beliau pada waktu-waktu yang mustajab (waktu dimana suatu do’a dikabulkan) seperti di tengah malam pada saat shalat tahajjud, pada hari Arafah, di multazam, dan sebagainya.

Di antara do’a-do’a yang beliau panjatkan adalah,

Ya Allah, perbaikilah oleh-Mu urusan agamaku karena ia adalah kendali segala urusanku. Perbaikilah urusan duniaku karena ialah tempat penghidupanku. Perbaikilah urusan akhiratku karena ialah tempat kembaliku yang abadi. Jadikanlah kehidupanku sebagai tambahan bagiku untuk memperoleh segala kebaikan. Dan jadikanlah kematian sebagai akhir dari segala keburukan.” (H.R. Muslim)

Bagaimana Islam Mengatasi Penyakit AIDS

Oleh: Hafidz Abdurrahman

AIDS adalah penyakit yang timbul akibat penyimpangan prilaku seksual, ditandai dengan menurunnya imunitas tubuh penderitanya. Penyakit AIDS ini merupakan jenis penyakit berbahaya, mematikan, dan menular. Penularan penyakit ini bisa melalui berbagai cara. Bisa melalui oral, antara penderita dengan pasangannya yang sehat. Bisa melalui hubungan badan. Bisa melalui jarum suntik bekas yang pernah digunakan oleh penderita, kemudian digunakan oleh orang sehat. Karena itu, penyebaran penyakit ini mengalami peningkatan yang signifikan, bukan hanya menimpa orang dewasa, tetapi juga anak-anak, bahkan janin yang masih dalam kandungan.

Penyakit AIDS ini, diakui atau tidak, berawal dari prilaku seksual yang menyimpang, akibat berganti-ganti pasangan seks (heteroseksual). Dengan kata lain, penyakit ini muncul karena prilaku zina yang merajalela di tengah masyarakat. Ditambah tidak adanya punishment (sanksi) yang bisa menghentikan prilaku menyimpang ini, beserta dampak ikutannya.

Karena itu mengatasi masalah AIDS ini tidak bisa berdiri sendiri, tetapi terkait dengan akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit ini. Maka, menyelesaikan wabah AIDS ini tidak bisa hanya dengan mengatasi AIDS-nya saja, sementara sumber penyakitnya tidak ditutup.

Tindakan Preventif

Sumber penyakit AIDS ini jelas, yaitu gonta-ganti pasangan seks, atau perzinaan, dan seks bebas (free sex dan free love). Maka, pintu ini harus ditutup rapat-rapat. Karena itu, dengan tegas Islam mengharamkan perzinaan dan seks bebas. Allah SWT berfirman: “Janganlah kalian mendekati perzinaan, karena sesungguhnya perzinaan itu merupakan perbuatan yang keji, dan cara yang buruk (untuk memenuhi naluriseks).” (QS al-Isra’ [17]: 32)

Islam bukan hanya mengharamkan perzinaan, tetapi semua jalan menuju perzinahaan pun diharamkan.Islam, misalnya, mengharamkan pria dan wanita berkhalwat (menyendiri/berduaan). Sebagaimana sabda Nabi saw, “Hendaknya salah seorang di antara kalian tidak berdua-duaan dengan seorang wanita, tanpa disertai mahram, karena pihak yang ketiga adalah setan.” (HR Ahmad dan an-Nasa’i)

Tidak hanya berduaan, memandang lawan jenis dengan syahwat juga dilarang. Dengan tegas Nabi menyatakan, bahwa zina mata adalah melihat (HR Ahmad). Nabi juga melarang pandangan kedua (pandangan yang disertai dengan syahwat) (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud). Bahkan, Nabi pernah memalingkan kepala Fadhal bin Abbas ketika memandangi wajah perempuan Khas’amiyah,seraya bersabda, “Pandangan yang bersumber dari syahwat itu merupakan busur panah setan.” Dalam riwayat lain Nabi menyatakan, “Dua mata berzina, ketika keduanya sama-sama melihat. Dua tangan berzina, ketika keduanya meraba..” (as-Sarakhshi, al-Mabsuth, X/145).

Islam juga mengharamkan pria dan wanita menampakkan auratnya. Dengan tegas Allah menyatakan,“Dan hendaknya para wanita itu tidak menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang boleh nampak darinya (wajah dan kedua telapak tangan).” (QS an-Nur [24]: 31). Dengan tegas ayat ini mengharamkan wanitamenampakkan auratnya, yaitu seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan bagi pria, Islam mengharamkan pria memperlihatkan pahanya, melihat paha orang hidup maupun mayit (HR ar- Razi, Tafsir ar-Razi, XXIII/371).

Islam juga mengharamkan wanita berpakaian tabarruj, yaitu berpakaian yang bisa memancing perhatian lawan jenis. Dengan tegas Allah menyatakan, “Hendaknya (perempuan) tidak berpakaian dengan tabarruj, sebagaimana cara perempuan jahiliyah bertabarruj.” (QS al-Ahzab [33]: 33). Seperti menampakkan lekuk tubuh, memakai parfum, atau make up yang menarik perhatian.

Tidak hanya itu, Islam juga memerintahkan baik pria maupun wanita, sama-sama untuk menundukkan pandangan kepada lawan jenis dan menjaga kemaluan mereka (QS an-Nur [24]: 30-31).

Ini dari aspek pelakunya. Dari aspek obyek seksualnya, Islam pun tegas melarang produksi, konsumsi dan distribusi barang dan jasa yang bisa merusak masyarakat, seperti pornografi dan pornoaksi. Karena semuanya ini bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan,“Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman, maka hukumnya haram.”

Tindakan Kuratif

Jika seluruh hukum dan ketentuan di atas diterapkan, maka praktis pintu zina telah tertutup rapat. Dengan begitu, orang yang melakukan zina, bisa dianggap sebagai orang-orang yang benar-benar nekat. Maka terhadap orang-orang seperti ini, Islam memberlakukan tindakan tegas. Bagi yang telah menikah (muhshan), maka Islam memberlakukan sanksi rajam (dilempari batu) hingga mati. Ketika Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyyah melakukan zina, maka keduanya di-rajam oleh Nabi SAW hingga mati.

Bagi yang belum menikah (ghair muhshan), Islam memberlakukan sanksi jild (cambuk) hingga 100 kali. Dengan tegas Allah menyatakan, “Pezina perempuan dan laki-laki, cambuklah masing-masing di antara mereka dengan 100 kali cambukan.” (QS an-Nur [24]: 02)

Punishment bukan hanya diberikan kepada pelaku zina, dengan rajam bagi yang muhshan, atau dicambul 100 kali bagi ghair muhshan, tetapi semua bentuk pelanggaran yang bisa mengantarkan pada perbuatanzina. Dalam hal ini, Islam menetapkan sanksi dalam bentuk ta’zir, yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada hakim. Dengan cara seperti itu, maka seluruh pintu perzinaan benar-benar telah ditutup rapat-rapat oleh Islam.

Maslahat dari penerapan seluruh ketentuan dan hukum ini adalah terbebasnya masyarakat dari perilakuseks yang tidak sehat. Tidak hanya itu, prilaku seks yang menjadi sumber penyakit AIDS pun benar-benar telah ditutup rapat. Jika pelaku zina muhshan di-rajam sampai mati, maka salah satu sumber penyebaran penyakit AIDS ini pun dengan sendirinya bisa dihilangkan.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang tertular penyakit AIDS, dan bukan pelaku zina? Seperti ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya yang heteroseksual, atau anak-anak balita, dan orang lain yang tertular, misalnya, melalui jarum suntik, dan sebagainya?

Karena itu merupakan masalah kesehatan yang menjadi hak masyarakat, maka negara wajib menyediakan layanan kesehatan nomor satu bagi penderita penyakit ini. Mulai dari perawatan, obat-obatan hingga layanan pengobatan. Khilafah juga akan melakukan riset dengan serius untuk menemukan obat yang bisa menanggulangi virus HIV-AIDS ini.

Karena ini merupakan jenis virus yang berbahaya dan mematikan, maka para penderitanya bisa dikarantina. Ini didasarkan pada hadits Nabi, “Larilah kamu dari orang yang terkena lepra, sebagaimana kamu melarikan diri dari (kejaran) singa.” (HR Abdurrazaq, al-Mushannaf, X/405). Nabi memerintahkan kita lari dari penderita lepra, karena lepra merupakan penyakit menular.

Dari hadits ini bisa ditarik dua hukum: Pertama, perintah melarikan diri, yang berarti penderitanya harus dijauhkan dari orang sehat. Dalam konteks medis, tindakan ini bisa diwujudkan dalam bentuk karantina. Artinya, penderita lepra harus dikarantika. Kedua, lepra sebagai jenis penyakit menular, bukan lepra sebagai penyakit tertentu. Berarti, ini bisa dianalogikan kepada penyakit menular yang lain. Karena itu, berdasarkan hadits ini, penderita AIDS bisa disamakan dengan penderita lepra, karena sama-sama menderita penyakit menular. Tindakannya juga sama, yaitu sama-sama harus dikarantinakan.

Dalam karantina itu, mereka tidak hanya dirawat secara medis, tetapi juga non medis, khususnya dalam aspek psikologis. Penderita AIDS tentu akan mengalami tekanan psikologis yang luar biasa, selain beban penyakit yang dideritanya, juga pandangan masyarakat terhadapnya. Dalam hal ini, ditanamkan kepada mereka sikap ridha (menerima) kepada qadha’, sabar dan tawakal. Dengan terus-menerus meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka agar lebih terpacu melakukan amal untuk menyongsong kehidupan berikutnya yang lebih baik.

Dengan cara seperti itu, Islam telah berhasil mengatasi masalah AIDS ini hingga ke akar-akarnya. Semuanya itu tentu hanya bisa diwujudkan, jika ada Negara Khilafah yang bukan saja secara ekonomimampu menjamin seluruh biaya kesehatan rakyatnya, tetapi secara i’tiqadi juga mampu mengatasi akar masalah ini dengan pondasi akidah Islam yang luar biasa.[]

 

sumber: Hizbut Tahrir

Bolehkah Ulama Masa Kini Menilai Hadis?

Oleh: Nashih Nashrullah

Penilaian hadis hanya dilakukan ulama yang berkompeten.

Pertanyaan ini muncul bukan tanpa sebab. Belakangan, sejumlah cendekiawan masa kini tampil menghukumi hadis dengan ragam kualitasnya, mulai dari sahih, hasan, lemah (daif), atau palsu (maudhu’) sekalipun.

Tak jarang, sepak terjang para cendekiawan tersebut cenderung menyalah-nyalahkan kesimpulan para ulama hadis terdahulu. Lalu, bolehkah ulama masa kini ikut andil dalam menghukumi hadis? Bukankah ragam derajat hadis telah ditetapkan ahli hadis pada era klasik?

Ada setidaknya lima syarat sebuah hadis dinyatakan sahih, yakni kesempurnaan jejaring periwayatan (sanad), kualitas spiritual atau moralitas perawi (‘adalah), kecermatan perawi (dhabth), dan sterilnya hadis dari dua kekuarngan, yakni syadz (berselisih dengan riwayat lain) atau ‘illat, yakni cacat baik yang terdapat dalam sanad, perawi, ataupun redaksi (matan) hadis.

Ketiga syarat pertama bisa ditelusuri lewat segudang referensi ilmu perawi ilm rijal. Sedangkan, kedua syarat terakhir cukup sulit dan hanya bisa dilakukan mereka yang berkompeten.

Sebab itu, para ulama tidak sepakat terkait hukum boleh tidaknya ulama masa kini ambil bagian dalam penilaian hadis.

Merujuk sejumlah kitab klasik, ada setidaknya dua kutub pendapat. Pendapat yang pertama menegaskan, para ulama yang hidup belakangan tidak berhak dan memiliki otoritas menshahihkan hadis. Opsi ini seperti yang ditegaskan sejumlah ulama, antara lain, Ibnu as-Shalah dalam Muqaddimah-nya.

Menurut dia, jika terdapat hadis yang belum dinilai shahih oleh ulama terdahulu, dia tidak boleh gegabah dengan menyimpulkan sendiri.

Cukuplah merujuk ke penilaian para pakar hadis era klasik melalui karya-karya mereka. Ada dua alasan setidaknya, di antaranya, nihilnya kapabilitas ulama masa kini.

Pertama, menilai keshahihan sebuah hadis tak sebatas mengkaji sanad apakah tersambung sempurna atau tidak, begitu pula bukan hanya bertumpu pada informasi tentang status dan kondisi sang perawi.

Akan tetapi, menilai keshahihan hadis harus  mempertimbangkan sterilnya hadis tersebut dari dua momok, yaitu syadz dan ‘illat. Bagi ulama masa kini, kedua hal itu mustahil diketahui.

Kedua, tidak ada satupun hadis shahih yang terlewatkan para pengkaji hadis di era klasik, sehingga bila ada ulama sekarang mengklaim ada satu hadis yang belakangan terungkap keshahihannya maka hal itu tak bisa dibenarkan.

Sedangkan, menurut pendapat yang kedua, penilaian keshahihan hadis atau hasan boleh dilakukan ulama masa kini bagi mereka yang berkompeten dan memiliki modal keilmuan yang mumpuni.

Seperti yang ditegaskan Imam an-Nawawi dan lainnya, aktivitas tersebut tidak hanya terhenti pada ulama era klasik.

Mereka beralasan, aktivitas pentashihan justru dilakukan sejumlah ulama yang hidup semasa dengan Ibnu as-Shalah. Sebut saja, misalnya, Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Qatthan yang wafat pada 628 H.

Lewat kitabnya yang berjudul al-Wahm wa al-Iham dia menshahihkan deretan hadis yang sebelumnya tidak dihukumi demikian. Contohnya, hadis dari Abdullah bin Umar tentang wudhu Rasulullah SAW dengan tetap mengenakan alas kaki.

Selain al-Qatthan, ada al-Hafidz Dhiyauddin Muhammad bin Abd al-Wahid al-Maqdisi yang wafat pada 743 H, tahun yang sama ketika Ibnu as-Shalah meninggal dunia.

Al-Maqdisi mengodifikasikan hadis-hadis shahih yang belum pernah divonis shahih para ulama sebelumnya melalui karyanya yang berjudul al-Mukhtar mimma Laisa fi as-Shahihaini aw Ahadihima.

Ada pula al-Hafizh Abd al-Adzim bin Abd al-Qawi al-Mundziri. Tokoh yang wafat pada 656 H itu menulis kitab at-Targhib wa at-Tarhib dengan menghukumi keshahihan sejumlah hadis.

Contohnya riwayat Bahz bin Nashr dari Ibn Wahab dari Abu Hurairah perihal pengampunan dosa yang lewat dan dosa yang akan datang. Pada periode berikutnya, tampil al-Hafizh Syarafuddin ad-Dimyathi yang mentashihkan hadis soal khasiat air zamzam.

Pendapat an-Nawawi ini diperkuat al-Hafizh al-Iraqi, Ibn Hajar al-Asqalany, dan as-Suyuthi. Akan tetapi, as-Suyuthi menggarisbawahi, selain kompetensi yang mesti dikantongi, pentashihaan oleh ulama belakangan hendaknya menggunakan redaksi sanad yang shahih, bukan keshahihan hadis secara mutlak. Ini untuk menghindari keberadaan cacat yang tidak berhasil diungkap.

Lemah dan palsu

Lantas, bagaimana dengan vonis lemah atau palsu yang disematkan oleh ulama belakangan terhadap suatu hadis?

Berbeda dengan boleh tidaknya vonis shahih atau hasan yang kontroversial di kalangan ulama, terkait vonis lemah para ulama sepakat ulama masa kini tidak boleh menghukumi lemah hadis-hadis yang telah diriwayatkan ulama sebelumnya.

Ini, kata Ibnu Hajar al-Asqalani, karena bisa jadi ada kemungkinan keberadaan jalur jejaring periwayatan lain yang menguatkan atau bahkan akurat validitasnya.

Bila sang perawi menemukan adanya keterputusan jejarang itu, cukuplah dia menyimpulkan bahwa jejaring tersebut tidak sempurna melalui jalur yang dia temukan.

Bukan lemah secara keseluruhan, termasuk redaksionalnya (matan). Sebab, bisa jadi hadis dengan riwayat lain yang menopangnya. Karena itu, hendaknya ulama masa kini tidak gegabah melemahkan suatu hadis.

Demikian pula dengan vonis palsu atas hadis tertentu. Imam as-Suyuthi menegaskan, bila ulama sepakat larangan memvonis lemah suatu hadis oleh ulama masa kini, apalagi menyimpulkannya dengan palsu.

Bagaimanapun, kemungkinan adanya jalur periwayatan lain yang menguatkan sangat terbuka. Kecuali, jika memang tanda-tanda ataupun kriteria hadis palsu sudah tampak jelas, ketidaksinkronan redaksi hadis, semisal, hadis-hadis yang dipalsukan para pendongeng ataupun kontradiktif dengan akal dan konsensus ulama.

 

sumber: Republika Online

Inilah Ciri-ciri Hadis Palsu (Bag 2-habis)

Menurut Manna’ Al-Qathan dalam Mabahis Fi Ulumil  Hadits, Hadis maudhu’  adalah yang paling buruk dan jelek di antara hadis-hadis dhaif (lemah) lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri di antara pembagian hadis oleh para ulama yang terdiri dari shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. ‘’Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri,’’ ungkap  Al-Qathan.

Lalu, bagaimana jika umat Islam menggunakan hadis palsu?  Menurut KH Ali Ya’kub, hadis palsu sama sekali tak boleh digunakan. Bebeda dengan hadis dhaif (lemah) yang masih bisa digunakan. Namun, kata dia, tak semua hadis dhaif bisa digunakan.

‘’Hadis dhaif bisa digunakan, kalau dhaif-nya tidak terlalu parah. Yang parah itu, misalnya, hadis palsu, hadis makruh, dan hadis munkar. Hadis munkar itu periwayatnya pelaku maksiat,’’ tutur Kiai Ali Ya’kub.

Sejatinya, kata dia, hadis palsu itu merupakan bagian dari hadis dhaif.  Hadis palsu adalah hadis dhaif yang paling parah. Guna memahami sebuah hadis itu palsu atau tidak, umat Islam bisa mendeteksinya dengan tiga cara. Pertama, tutur Kiai Ali Ya’kub,  dengan metode pemahaman tekstual dan kontekstual.

Kedua, dengan menggabungkan riwayat-riwayat yang lain. Dan, ketiga, melalui metode kontroversialitas hadis, misalnya. ‘’Yang tekstual dan kontekstual, misalnya, tentang fatwa nabi apakah pakaian nabi itu kita diharuskan mengikuti seperti itu termasuk sorban, misalnya. Orang yang memahami secara tekstual, apa yang dipakai oleh nabi ya harus kita ikuti. Tapi, yang kontekstual tidak karena itu budaya Arab,’’ ungkap Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

 

 

sumber: Republika Online

Inilah Ciri-ciri Hadis Palsu ( Bag 1)

Maudhu’  atau palsu berasal dari kata ata wadha’a – yadha’u – wadh’an wa maudhu’an yang berarti merendahkan, menjatuhkan, mengada-ngada,  menyandarkan atau menempelkan, serta menghinakan. Maka, hadis maudhu’  itu memiliki makna, rendah dalam kedudukannya, jatuh  tidak bisa diambil dasar hukum, diada-adakan oleh perawinya, serta disandarkan pada Nabi SAW, sedangkan beliau tidak mengatakannya.

Para ulama hadis mendefinisikan hadis palsu  sebagai apa-apa yang tidak pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan ataupun taqrir, tetapi disandarkan kepada Rasulullah SAW secara sengaja. Menurut Ensiklopedi Islam, hadis maudu’  memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Pertama, matan (teks) hadis tak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW. Kedua, bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan. Ketiga, rawinya dikenal sebagai pendusta, Keempat, pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut. Kelima ada petunjuk bahwa di antara perawinya ada yang berdusta. Keenam, rawi menyangkal dirinya pernah memberi riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.

Menurut ahli Ilmu Hadis, Prof KH Mustafa Ali Ya’kub, sebuah hadis dikatakan palsu apabila, dalam sanad-nya terdapat rawi (periwayat), yang dengan terus terang dia mengaku memalsu hadis. ‘’Maka hadisnya menjadi palsu,’’ tutur guru besar Ilmu Hadis pada Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta itu.

Selain itu, kata dia, jika perawinya pun berdusta, tapi tidak diketahui ketika menyampaikan hadisnya apakah palsu atau tidakm, namun jelas dia pembohong. Maka, menjadi hadis makruh  atau semipalsu. ‘’Kedudukan dan kualitasnya sama, yakni harus dibuang.’’

Hadis palsu dibagi menjadi tiga macam. Pertama, perkataan itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Kedua, perkataan itu dari ahli hikmah atau orang zuhud atau israiliyyat dan pemalsu yang menjadikannya hadis. Ketiga, perkataan yang tidak diinginkan rawi pemalsuannya, cuma dia keliru. Menurut para ahli hadis, jenis ketiga itupun termasuk hadis maudhu, apabila perawi mengetahuinya tapi membiarkannya.

Sejarah Munculnya Pemalsuan Hadis (2)

Guru Besar Ilmu Alquran dan Hadis Universitas Al Azhar Kairo, Mesir dan Uni
versitas Ummul Quro Makkah, Arab Saudi, Prof Dr Muhammad Ibn Muhammad Abu syahbah mengungkapkan, salah satu yang menyedihkan dari perilaku Ibn Saba’ adalah dia mendapatkan pengikut-pengikut yang patuh dari sebagian umat, terutama penduduk Mesir.

Si Yahudi yang penuh tipu daya ini berhasil membangkitkan huru-hara yang berakibat kepada khalifah ketiga, Utsman bin Affan terpenggal dari tubuhnya. Sayyidina Ali tidak memangku khilafah kecuali mendapatkan warisan yang dipenuhi dengan pertikaian.

Menurut Prof Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya Israiliyyat & Hadits-hadits Palu Tafsir Alquran, sejak hari pertama penobatan khalifah Ali bin Abi Thalib, para pendukung Utsman bin Affan telah mengumumkan permusuhan terhadapnya.

”Huru-hara pun bergolak dan terjadilan berbagai perang sengit dan banyak di antara orang-orang terbaik dari kaum Muslimin yang gugur dalam peperangan tersebut,” ungkap Prof Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah.

Akibat dari itu, sambung Prof Muhammad, lalu muncullah kelompok lain, Khawarij yang tidak ridha menerima dasar hukum antara Ali dan Muawiyah. ”Akhirnya, huru-hara menghancurkan sendi lain di antara sendi-sendi Islam, yaitu wafatnya khalifah keempat,” jelasnya.

Menurut Prof Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, umat Islam terpecah belah menjadi beberapa sekte dan golongan. Penyakit umat-umat terdahulu pun mulai kembali menjangkit.

”Huru-hara bersumber dari beberapa golongan, seperti Syiah yang membela Sayyidina Ali, Utsmaniyah yang membela Sayydina Utsman, Khawarij yang memusuhi Syiah dan lainnya, serta Marwaniah yang membela Muawiyah dan Bani Umayyah.”

Sebagian mereka, kata Prof Muhammad, membolehkan diri untuk mendukung hawa nafsu dan mazhab mereka dengan hal-hal yang dapat menguatkan golongan mereka. Dan, itu tidak lain ada dalam hadis dengan berbagai jenisnya yang memuat hukum-hukum, tafsir, sejarah, dan lainnya.

 

 

sumber: Republika Online

Sejarah Munculnya Pemalsuan Hadis (1)

Prof Dr Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Guru Besar Ilmu Alquran dan Hadis Universitas Al Azhari Kairo, Mesir, dan Universitas Ummul Quro Makkah, Arab Saudi dalam bukunya berjudul Israiliyyat & Hadits-Hadits Palsu, Tafsir Alquranmenjelaskan, salah satu akibat dari meluasnya wilayah Islam adalah banyaknya generasi umat yang terkalahkan dalam Islam.

Prof Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah kemudian mencontohkan negara-negara yang terkalahkan, seperti Persia, Romawi, dan Mesir. ”Di antara mereka ada yang tulus menerima Islam. Ada orang munafik yang sengaja menyembunyikan dalam dirinya kebencian terhadap Islam dan berpura-pura mencintainya,” ungkap Prof Muhammad ibn Muhammad.

Selain itu, sambung Prof Muhammad, ada pula orang Zindik yang berusaha dengan berbagai cara untuk menghancurkan Islam dan menimbulkan keraguan pada diri manusia terhadapnya. ”Ada juga orang Yahudi yang masih terikat dengan ke-Yahudiannya serta ada pula orang Nasrani yang masih merindukan ke-Nasraniannya.”

Para musuh Islam, seperti orang-orang munafik, zindik dan Yahudi, jelas Prof Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, telah memanfaatkan toleransi dan kehalusan budi yang dimiliki Sayyidina Utsman bin Affan ra, yang sangat pemalu, dan akibatnya benih-benih bencana pun tersebar.

”Ibn Saba’, si Yahudi yang tercela, berkeliling ke berbagai negeri dan mengumpulkan manusia di sekitarnya. Dia menyembunyikan racun-racun yang dia tiupkan di bawah tabir ajaran Syiah serta kecintaan kepada Sayydina Ali dan Ahli Bait yang mulia. Dia mengklaim, Ali ra adalah penerima wasiat Nabi SAW dan orang yang paling berhak untuk memangku kekhalifahan, bahkan jika dibandingkan dengan Abu Bakar dan Umar ra sekalipun,” ungkap Prof Muhammad.

Menurut Prof Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Ibn Saba’ memalsukan sebuah hadits atas Nabi Muhammad SAW yang artinya, ”Setiap Nabi memiliki penerima wasiat, dan penerima wasiatku adalah Ali.” Bahkan, jelas Prof Muhammad, permasalahan tidak berhenti pada klaim ini saja, tapi dia juga mengklaim ketuhanan Ali.

Sayyidina Utsman memburu Ibn Saba’. Sehingga dia pun kabur. Pada masa Sayyidina Ali, beliau juga memburu dan menghalalkan darah Ibn Saba’. Tidaklah pantas bagi Ali untuk menerima seruan keji yang diteriakkan oleh orang yang sangat membenci dan mendendam kepada Islam dan kaum Muslimin.

 

sumber: Republika Online