Polisi Madinah Jamin Keamanan dan Kenyamanan Jamaah Umrah

RIYADH — Pengaturan ekstensif  akan terus dilakukan Kepolisian Madinah, Arab Saudi. Hal itu dilakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan para pengunjung, terutama jemaah umrah yang menyinggahi Tanah Suci.

Kepala Polisi Madinah, Abdul Hadi bin Shahrani, menugaskan jajarannya untuk senantiasa melakukan patroli di tempat-tempat penting yang akan dikunjungi jamaah. Ia berpendapat, langkah itu dilakukan demi memastikan pengaturan keamanan dapat berjalan sesuai sistem.

“Patroli mencakup Bait Masjid Nabawi, Masjid Quba, titik Miqat dan tempat lain seperti lokasi Perang Uhud dan pusat perbelanjaan,” kata Hadi, seperti dilansir Arab News, Selasa (31/5).

Ia menerangkan, rencana itu akan dibarengi perampingan pergerakan pejalan kaki, yang memang menjadi tugas para petugas. Rencana lalu lintas khusus juga telah disusun, untuk mengatur peningkatan volume lalu lintas yang masuk dan ke luar Madinah.

Sementara, Wakil Presiden Presidensi Umum Masjid Nabai di Madinah, Syeikh Abdul Aziz Al Falih, menuturkan kalau pihaknya telah menerjunkan 5.000 pekerja. Mereka, lanjut Al Falih, akan ditugaskan untuk melayani para tamu Allah yang akan mengunjungi Madinah selama Ramadhan.

“16.000 karpet telah didistribusikan untuk digunakan di dalam masjid, 300 ton air Zamzam sedang dipasok dari Makkah dan 385 PDAM telah dipasang,” ujar Al Falih. 

Gelang GPS Diuji Coba Pada Jamaah Haji Jabar

Pemerintah akan melakukan uji coba penggunaan gelang identitas jamaah haji berbasis Global Positioning System (GPS) pada jamaah rentan dan jamaah dari Jawa Barat dan Gorontalo untuk musim haji 1437 Hijriah.

“Setelah peristiwa jatuhnya crane dan peristiwa Mina terdapat banyak haji yang meninggal sehingga di sini negara harus hadir untuk memberikan perlindungan,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam di Jakarta dalam acara pembekalan petugas haji merujuk pada insiden pada pelaksanaan haji 1437H/2015M yang menelan korban ribuan jAmaah haji dari berbagai negara.

Untuk itu, menurut Nur Syam, muncul pemikiran memasang alat elektronik berupa chip di gelang jemaah haji untuk memudahkan pemantauan lokasi mereka. Namun karena pendanaan maka pada tahap awal gelang identitas berbasis terutama diperuntukkan bagi kelompok rentan.

Selain diberikan pada kelompok rentan, data dari Pusat Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohatkes) menyebutkan uji coba gelang identitas yang dilengkapi chip atau RFID ( Radio Frequency Identification) juga diterapkan untuk jAmaah dari Provinsi Jawa Barat, yaitu Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur serta Provinsi Gorontalo.

Nur Syam menjelaskan gelang identitas yang dilengkapi chip itu dapat memberikan bantuan informasi kepadatan arus manusia kepada jAmaah selain memudahkan petugas memantau lokasi jamaah. “Ini seperti early warning system, bisa memberitahu jamaah tentang kepadatan jamaah dengan bunyi,” katanya.

Gelang identitas untuk kelompok rentan dimaksudkan untuk memudahkan proses pemantauan, tidak hanya terkait keberadaan jAmaah, tapi juga riwayat kesehatannya. Seluruh data kesehatan jamaah rentan akan disimpan dalam chip untuk memudahkan proses pemeriksanaan kesehatan mereka.

Tahun ini pemerintah juga akan meningkatkan kualitas gelang agar tidak mudah lepas. Pada musim haji tahun ini, Indonesia akan memberangkatkan 168.800 jAmaah haji, 13.600 di antaranya adalah haji khusus. Dari jumlah itu sekitar 34,88 persen di antaranya atau 20.486 orang berusia di atas 60 tahun dan memiliki catatan penyakit.

Salat Tarawih bagi Para Wanita, Rumah atau Masjid?

SALAT Tarawih hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Dan yang lebih utama bagi para wanita dalam qiyamul lail adalah melakukannya di rumah. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

“Jangan kalian melarang isteri-isteri kalian ke masjid. Akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Daud, dalam sunannya, tercantum dalam kitab Shahih Al-Jami, 7458)

Bahkan, semakin shalatnya di tempat lebih tertutup dan lebih menyendiri, hal itu lebih baik lagi. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam: “Shalat seorang wanita di ruang tidurnya lebih baik dibandingkan shalatnya di ruang tengah. Dan shalatnya di ruang kecil di rumahnya, lebih baik dibandingkan shalatnya di ruang tidurnya.” (HR. Abu Daud dalam kitab sunan, tercantum dalam kitab Shahih Al-Jami, no. 3833)

Dari Ummu Humaid, isteri Abu Humaid As-Saidy, sesungguhnya beliau datang (menemui) Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan bertanya:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku suka shalat bersama anda engkau. Beliau menjawab: “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau suka menunaikan shalat bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar tidurmu lebih baik dibandingkan shalatmu di ruang tengah rumahmu, dan shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid khusus rumahmu, dan shalatmu di masjid khusus rumahmu, lebih baik dibandingkan shalatmu di masjid di sekitar masyarakatmu, dan shalatmu di masjid sekitar masyarakatmu lebih baik dibandingkan shalatmu di masjidku. Kemudian dia (Ummu Humaid) minta dibangunkan baginya masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung rumahnya dan paling gelap. Maka beliau shalat di sana sampai bertemu dengan Allah Azza Wa Jalla (wafat).” (HR. Ahmad, para perawinya tsiqah/terpercaya).

Akan tetapi keutamaan semacam ini jangan sampai menjadi penghalang untuk memberi izin kepada para wanita pergi ke masjid. Sebagaimana hadits Abdullah bin Umar radhiallahuanhuma, dia berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian melarang para wanita pergi ke masjid jika mereka mereka minta izin kepada kalian.” Lalu Bilal bin Abdullah berkata: “Demi Allah, sungguh kami akan melarangnya.” Kemudian Abdullah (bin Umar) menemuinya dan mencelanya dengan celaan yang belum pernah aku dengarkan (celaan) semacam itu, seraya beliau berkata, ‘Aku beritahu engkau ucapan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tapi kamu justeru mengatakan, ‘Demi Allah sungguh kami akan melarangnya!” (HR. Muslim, no. 667)

Akan tetapi kedatangan para wanita ke masjid, hendaknya dengan syarat berikut ini:

1. Memakai hijab secara sempurna
2. Tidak menggunakan wewangian
3. Mendapat izin dari suaminya.

Hendaknya ketika pergi, seorang wanita tidak melakukan perkara haram seperti berduaan dengan supir yang bukan mahram di mobil atau yang semisalnya. Kalau seorang wanita menyalahi sebagian dari apa yang disebutkan tadi, maka suami atau walinya berhak melarangnya pergi, bahkan hal itu justeru diharuskan.

Guru kami, Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang shalat Taraweh, apakah secara khusus ada keutamaan bagi wanita untuk melakukannya di masjid? Beliau menjawab dengan meniadakan. Hadits-hadits tentang keutamaan shalat wanita di rumahnnya bersifat umum, mencakup shalat Tarawih dan lainnya. Wallahu alam.

Kami memohon kepada Allah semoga kami dan seluruh saudara kita umat Islam dianugerahi keikhlasan, amalnya diterima serta dicintai dan diridai. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad.

[Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajjid]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301435/salat-tarawih-bagi-para-wanita-rumah-atau-masjid#sthash.pBlZv3jF.dpuf

Pandangan Islam tentang Salat Jumat bagi Wanita

TERKAIT hukum Jumatan bagi wanita, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan:

Pertama, ulama sepakat bahwa wanita tidak wajib melaksanakan salat Jumat, meskipun dia tidak sedang safar, dan tidak ada udzur apapun. Ibnul Mundzir dalam kitab kumpulan kesepakatan ulama karyanya, beliau menyebutkan:

“Mereka (para ulama) sepakat bahwa Jumatan tidak wajib untuk wanita.” (Al-Ijma, no. 52)

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Thariq bin Ziyad radhiallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Jumatan adalah kewajiban bagi setiap muslim, untuk dilakukan secara berjamaah, kecuali 4 orang: Budak, wanita, anak (belum baligh), dan orang sakit.” (HR. Abu Daud 1067 dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih, 1:190 dan Ibnu Rajab dalam Fathul Bari, 5:327).

Di antara hikmah, mengapa wanita tidak wajib jumatan adalah agar wanita tidak turut berada di tempat berkumpulnya banyak laki-laki. Sehingga menjadi sebab munculnya tindakan yang tidak diharapkan. Semacam, ikhtilat campur baur antara lelaki dengan wanita. (Badai As-Shanai, 1:258).

Kedua, wanita boleh menghadiri jumatan

Jika ada wanita yang menjaga adab islami, dia dibolehkan menuju masjid untuk melaksanakan salat Jumat dengan adab-adab islami pula. Cara yang dia lakukan sama persis dengan jumatan yang dilakukan jamaah laki-laki.

Artinya, dia wajib mendengarkan khutbah dengan seksama, tidak boleh ngobrol dengan temannya, dan dia hanya salat 2 rakaat bersama imam, sebagaimana aturan jumatan yang kita kenal.

Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma mengatakan:

“Mereka (para ulama) sepakat bahwa jika ada wanita yang menghadiri Jumatan bersama imam, kemdian dia shalat bersama imam, maka itu sudah sah baginya.” (Al-Ijma, no. 53).

Maksud Ibnu Mundzir, dia tidak wajib melaksanakan shalat zuhur karena telah melaksanakan Jumatan. Hal senada juga dikatakan Ibnu Qudamah, setelah beliau memaparkan, Jumatan tidak wajib bagi wanita, beliau menegaskan:

“Hanya saja jumatan itu sah dikerjakan wanita (bersama imam). Karena mereka shalat jamaahnya sah (maksudnya: wanita boleh shalat jamaah, pen.). Dulu para wanita shalat berjamaah bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Al-Mughni, 2:243)

Ketiga, shalat Jumat sendirian di rumah, tidak sah

Para ulama sepakat bahwa jumatan hanya boleh dikerjakan secara berjamaah. Tanpa jamaah, jumatannya tidak sah. Baik yang melakukan ini laki-laki maupun wanita. Dalilnya adalah hadis yang telah disebutkan di atas:

“Jumatan adalah kewajiban bagi setiap muslim, untuk dilakukan secara berjamaah..”

Artinya, tanpa berjamaah, tidak mungkin bisa jumatan. Hanya saja ulama berbeda pendapat, berapakah jumlah minimal jamaah, sehingga boleh melaksanakan jumatan. Ada yang mengatakan minimal 3 orang, ada yang mengatakan 40 orang, dan ada yang memberi batasan satu kampung.

Lebih dari itu, wanita juga tidak boleh dilakukan antar-jamaah wanita. Karena pelaksanaan jumatan bagi wanita hanya mengikuti jumatan yang diadakan kaum muslimin laki-laki di masyarakat tersebut. Mereka berkumpul di satu tempat, untuk melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah, dan melakukan banyak syiar islam di sana.

Dan itu semua tidak mungkin dilakukan oleh wanita. Oleh karena itu, jika wanita tidak jumatan di masjid maka dia shalat zuhur di rumah. Lajnah Daimah memfatwakan:

Jika wanita shalat Jumat bersama imam masjid, maka itu sudah cukup baginya sehingga tidak perlu shalat zuhur, sehingga tidak boleh melaksanakan shalat zuhur di hari itu (setelah jumatan). Namun jika dia shalat sendirian maka tidak ada kewajiban shalat baginya, kecuali shalat zuhur, dan dia tidak boleh shalat Jumat (2 rakaat, pen.). (Majmu Fatawa, 7:337)

Keempat, yang lebih afdhal, wanita shalat zuhur di rumah dan tidak ikut jumatan Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Janganlah kalian menghalangi istri kalian untuk ke masjid. Dan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Daud 567 dan dishahihkan Al-Albani)

Allahu alam. [Fatwa Islam no. 73339/Ustadz Ammi Nur Baits]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301185/pandangan-islam-tentang-salat-jumat-bagi-wanita#sthash.1kQm1LFC.dpuf

Kapan Wanita Salat Zuhur di Hari Jumat?

AL Qodhi Abu Syuja mengatakan dalam matanya, “Awal waktunya adalah saat waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Akhir waktunya adalah saat tinggi bayangan bertambah sama dengan tinggi bendanya (dan tidak termasuk panjang bayangan saat zawal).”

Awal waktu shalat Zuhur adalah waktu zawal, yaitu saat matahari bergeser ke barat. Waktu zawal ini adalah saat matahari condong dari pertengahan langit ke arah barat (Lihat Al Iqna, 1: 196).

Dalam hadits Abdullah bin Amr berikut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Waktu Zuhur dimulai saat matahari tergelincir ke barat (waktu zawal) hingga bayangan seseorang sama dengan tingginya dan selama belum masuk waktu Ashar.” (HR Muslim no. 612)

Kalau dilihat dari praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam pula, shalat Zuhur dilakukan setelah matahari tergelincir ke barat. Dalam hadits Jabir bin Samuroh, ia berkata,

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur ketika matahari telah tergelincir ke barat (waktu zawal).” (HR Muslim no. 618).

Ketika sudah masuk shalat Zuhur tersebut, maka berarti boleh melaksanakan shalat Zuhur, tanpa mesti menunggu jamaah Jumat selesai.

Semoga bermanfaat. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2301183/kapan-wanita-salat-zuhur-di-hari-jumat#sthash.ePt7rvwW.dpuf

Berdoa Tanpa Usaha, Berusaha Tanpa Doa

BERDOA tanpa usaha sama artinya dengan bohong. Berusaha tanpa berdoa artinya sombong.

Keduanya saling melengkapi aagar terpenuhi harapan diri. Tak akan kecewa hati karena keinginan tercukupi.

Doa adalah permohonan, pengharapan seorang hamba kepada Sang Khaliq. Doa itu intinya adalah ibadah, doa adalah senjata, doa adalah obat, doa adalah pintu segala kebaikan.

Dengan banyak berdoa banyak urusan terselesaikan, banyak kesempitan terlapangkan, banyak masalah akan teruraikan. Doa yang utama kala kita memperbanyak tilawah Alquran.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda: Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman:

“Barang siapa yang sibuk membaca Alquran dan dzikir kepada Ku dengan tidak memohon kepada Ku, maka ia Aku beri sesuatu yang lebih utama dari pada apa yang Aku berikan kepada orang yang meminta”.

Kelebihan firman Allah atas seluruh perkataan seperti kelebihan Allah atas seluruh makhlukNya”. (Hadits ditakhrij oleh Tirmidzi).

Dalam sebuah kisah, Muhammad Bin Qais mengatakan:

“Diberitahukan kepadaku bahwa ketika seorang bangun pada malam hari untuk mengerjakan salat Tahajjud, maka berkah dari Surga akan diturunkan untuknya. Para malaikat akan turun untuk mendengarkan lantunan bacaan Alqurannya.

Mereka berada di rumah tersebut serta semua makhluk yang ada di atmosfer ini akan mendengarkan bacaannya. Ketika dia telah menyelesaikan salat dan duduk untuk berdoa, maka para malaikat akan mengelilinginya dan membaca aamiin untuk doanya tersebut.

Setelah dia selesai mengerjakan salat tahajjud dan beristirahat, maka akan ada seruan yang ditujukan padanya, ‘seorang hamba yang telah melaksanakan ibadah dengan baik tidur dengan penuh kenikmatan”

Apapun persoalan hidup kita, apakah kita sedang bahagia atau sedih, tetaplah berdoa kepada Allah. Jangan pernah berhenti memanjatkan doa kepada Allah, karena doa adalah masa depan kita. Doa adalah kekuatan kita, doa adalah senjata kita.

Perhatikan ada-adab berdoa, dan bersabarlah menunggu dikabulkan-Nya. [Ustadzah Rochma Yulika]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2302930/berdoa-tanpa-usaha-berusaha-tanpa-doa#sthash.RvHy3l0Z.dpuf

Antara Pendoa dan Adab Berdoa

SELAIN salat, berdoa adalah termasuk bentuk kesadaran kita bahwasanya manusia hanyalah makhluk yang lemah dalam melakoni perannya di dunia. Dengan berdoa kita serahkan dan sandarkan segala hal atas diri dan hidup kita semata kepada Sang Pemilik Kehidupan.

Namun, ada kalanya kita sering melakukan kesalahan saat meminta kepada-Nya, misalnya, kita sering berdoa dengan terburu-buru, dan mungkin hati kita sering lupa dan lalai (tidak khusyuk).

Ketahuilah, kita sebagai seorang muslim seharusnya meminta kebutuhannya kepada penciptanya dengan kesungguhan dan tanpa ragu-ragu, karena Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw bersabda:

“Berdoalah kepada Allah dan hati kalian yakin diperkenankan. Ketahuilah, bahwa Allah tidak akan memperkenankan doa dari hati yang lupa dan lalai (tidak khusyuk).” (HR.At-Tarmidzi : 3816 )

Merendahkan diri dan khusyuk dalam doa juga telah diperintahkan oleh Allah kepada kita, hamba-Nya:

“Berdoalah kepada Rabb-mu dengan rendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Araf 7: 55-56)

Adapun adab lainnya dalam berdoa adalah mengulanginya tiga kali, dan tidak terburu-buru. Mengulang lantunan doa tiga kali, termasuk dari petunjuk Nabi Muhammad saw. Dari Ibnu Masud , dia berkata , Rasulullah senang berdoa tiga kali dan beristigfar tiga kali.” (HR.Abu Dawud : 1526)

Dari Abu Hurairah juga, Nabi Muhammad saw bersabda,

“Pasti akan dikabulkan doa kalian, selama kalian tidak bersikap terburu-buru, dengan berkata, “Aku telah berdoa kepada Rabb-ku namun sampai sekarang belum juga dikabulkan.” (HR.At-Tarmidzi:3715)

Yuk, mulai sekarang kita memperbaiki adab berdoa kita, mungkin saja ada hal-hal yang kita lakukan didalamnya. Dan semoga kita tidak berprasangka buruk atas doa yang belum atau lama dikabulkan oleh Allah saw. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2302102/antara-pendoa-dan-adab-berdoa#sthash.m0pOEszY.dpuf

Apakah Kita Sudah Menjaga Pintu Doa?

DENGAN sifat-Nya yang Agung, Allah akan senantiasa mengabulkan doa setiap hamba-Nya. Ada sebuah hadis yang menyampaikan dengan indah bahwa Allah mengabulkan doa dengan tiga cara: 1) Allah mengabulkan secara langsung doa yang dipanjatkan; 2) Allah menunda untuk mengabulkan doa tersebut; 3) Allah menggantikan doa tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Meski demikian, pernahkan kita merenung mengapa doa-doa kita tidak kunjung diijabah? Allah sungguh Maha Penyayang yang sangat mengerti keinginan setiap hamba-Nya. Namun, hendaknya tidak dikabulkannya doa juga menjadi bahan untuk muhasabah. Kisah pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib berikut ini insya Allah akan melimpahkan banyak hikmah yang dapat mengingatkan kepada kita tentang sebuah doa.

Dikisahkan pada masa Bani Israel, ada sepasang suami istri yang selalu berdoa kepada Allah swt, agar mereka segera dikaruniai seorang buah hati. Hingga tahun kelima yang sedih karena merasa Allah telah menjauh darinya bertanya kepada Khalifah Ali yang kebetulan sedang memberikan khutbah. “Ya Amirul Mukminin, mengapa doa kami tak diijabah? Padahal Allah swt berfiman bahwa berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan doamu.”

Ali bin Abi Thalib balik bertanya, “Apakah engkau sudah menjaga pintu-pintu doamu?”

Sang suami mengerutkan kening. “Aku tidak mengerti ucapanmu, wahai Amirul Mukminin.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan melaksanakan kewajibanmu sebagai hambaNya? Kau beriman kepada Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Apakah kau menjaga pintu doamu dengan beriman kepada Rasulullah? Kau beriman kepada Rasul-Nya, tetapi kau menentang sunah dan mematikan syariatnya.”

“Apakah kau sudah menjaga pintu doamu dengan mengamalkan ayat-ayat Alquran yang kau baca? Ataukah kau juga belum sadar tatkala mengaku takut kepada neraka, tetapi kau justru mengantarkan dirimu sendiri ke neraka dengan maksiat dan perbuatan sia-sia? Ketika kau menginginkan surga, sebaliknya kau lakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari surga,” Tanya Ali bin Abi Thalib bertubi-tubi. “Apakah kau telah menjaga pintu doamu dengan bersyukur kepada-Nya saat Dia memberikan kenikmatan? Sudahkah engkau memusuhi setan atau malah sebaliknya kau bersahabat dengan setan? Apakah kau pernah menjaga pintu doamu dari menjauhi mencela dan menghina orang lain?” lanjut sang khalifah.

Sang suami terdiam mendengarnya. Khalifah Ali kembali berucap, “Bagaimana doa seorang hamba akan diterima sementara kau tidak menjaga, bahkan menutup pintu doa tersebut? Bertakwalah kepada Allah, perbaikilah amalanmu, ikhlaskanlah batinmu, lalu kerjakanlah amar makruf nahi munkar. Insya Allah, Dia akan segera mengabulkan doa-doamu.” []

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2303254/apakah-kita-sudah-menjaga-pintu-doa#sthash.xixEdH3h.dpuf

Ramadhan dan Kesadaran Berzakat

Salah satu ibadah yang selalu melekat dengan Ramadhan adalah ibadah dengan harta dalam bentuk zakat, infak, dan atau sedekah. Dengan harapan kesadaran yang terbina pada Ramadhan ini akan terus-menerus dimunculkan dan diperkuat pada bulan-bulan yang lainnya.

Jika kesadaran berzakat dan berinfak ini menguat dan menjadi gaya hidup (life style) orang-orang yang beriman, akan melahirkan kesejahteraan hidup, baik bagi orang miskin maupun kelompok lainnya yang termasuk kategori dhuafa dan mustadhafin.

Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa tidaklah orang miskin itu kelaparan atau telanjang tidak memiliki pakaian, kecuali karena kebakhilan orang-orang yang kaya. Dan, Allah akan menghisab mereka (orang kaya yang tidak ber-ZIS) dengan hisab yang berat.

Berzakat ini pun sesungguhnya akan memberikan kebaikan bagi orang-orang yang berzakat itu sendiri (muzaki), seperti hartanya akan semakin bersih dan berkembang, pikirannya akan semakin jernih, dan karena itu orang tersebut akan semakin produktif.

Allah SWT berfirman dalam QS at-Taubah [9] ayat 103, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Serta, QS ar-Rum [30] ayat 39, “Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).

Kesadaran berzakat pun merupakan salah satu indikator utama kebahagiaan orang-orang yang beriman, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti, sekaligus indikator yang membedakan seorang Muslim/mukmin dengan orang yang kafir/tidak beriman.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah [9] ayat 11, “Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan, Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.

Serta, firman-Nya dalam QS al-Mukminun [23] ayat 1-4, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, orang-orang yang menunaikan zakat.”

Berbahagialah orang-orang yang selalu berusaha untuk berzakat, berinfak, bersedekah pada setiap penghasilan yang didapatkannya. Insya Allah dimudahkan dan diberkahkan segala urusannya oleh Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab.

 

 

Oleh: Prof Dr Didin Hafidhuddin

 

sumber: Republika Online

Keluhuran Etika Milik itu Islam, Tapi Belum Terinternalisasi dalam Jiwa Umatnya

Keluhuran etika memang dimiliki oleh Islam. Bahkan etika dalam Islam bersifat modern dan relevan dengan semua zaman, dan Islam paham atas semua persoalan yang ada.

Namun Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif meyakini etika tersebut masih belum terinternalisasi dalam jiwa umat Islam. Buya bahkan mengibaratkan etika bagi umat Islam seperti cinta tak sampai, yang hanya sebatas ajaran saja. Hanya diagung-agungkan bahwa Islam memiliki etika yang luhur, namun belum terwujud dalam kehidupan.

“Kalau hidup kita masih jauh dari etika ya mohon dimaklumi karena etika itu ada, tapi tidak tercapai. Lain hal kalau etika itu menjadi bagian dari jiwa, setiap hari kita akan menjadi sumber etika,” katanya menegaskan dalam pengajian bulanan Muhammadiyah, Jumat (12/6).

Dari segi antropologi, Buya menjelaskan bahwa etika bagi umat Islam belum menjadi bagian kognitif dalam hidup. Etika juga belum tercampur dalam dimensi afektif. Dan etika belum pernah menjadi dimensi evaluatif, yaitu tergabungnya hal-hal abstrak yang diserap dalam kesadaran intelektual hati kita, lalu termanifestasi dalam hidup.

Kemudian dia menjelaskan etika yang bersentuhan dengan sastra, kebudayaan dan sejarah, serta yang menjadi tradisi kehidupan bukan merupakan etika dari langit, melainkan applied ethic. Semua yang sudah menjadi etika sehari-hari, yang menjadi tendensi privat, moralistik, dan psikologis, berjalan merupakan etika yang dapat diaplikasikan.

Etika mengajarkan cara menilai orang, dan mewanti-wanti dalam melihat orang lain bukan dari penampilan.

Sekecil apapun, jika mengenai keluhuran mari kita terapkan, yang terpenting dalam kehidupan seberapa besar orang menjunjung tinggi etika keluhuran,” ujarnya.