Month: October 2016
Belajar Memaafkan
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan juga tidak dianugerahkan melainkan kepada orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS. Fushshilat [41]: 34-35)
Salah satu cara menolak kejahatan adalah memberi maaf kepada orang yang berbuat salah. Memberi maaf merupakan ajaran Islam yang sangat mulia.
Memberi maaf termasuk kebaikan hati yang dapat menghindarkan diri dari permusuhan dan dendam yang tidak pernah padam.
Menurut Ibn Al-Qayyim, hakikat memberi maaf adalah menggugurkan hak untuk membalas dendam atau melawan karena kemurahan hati yang bersangkutan, meskipun ia dapat melampiaskan dendam dan permusuhannya.
Jadi, pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti, mencaci maki, memusuhi orang lain yang telah menzhaliminya, meskipun ia sanggup melakukannya.
Orang yang bermurah hati seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT pahala (kebaikan dunia dan akhirat). “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya (menjadi tanggungan) Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS.. Asy-Syura [42]: 40).
Memaafkan adalah puncak kemuliaan hati orang yang disakiti atau dizhalimi. Dalam sejarah Islam, pemberian maaf (pengampunan) tidak hanya menarik simpati musuh-musuh Islam untuk memeluk Islam, tetapi juga menunjukkan betapa keluruhan Islam dibangun atas fondasi kemanusiaan yang kokoh: persaudaraan, persatuan, perdamaian, dan toleransi.
Musthafa as-Siba’i, dalam bukunya, Min Rawa’i Hadharatina (Di antara Pesona Peradaban Kita), menyatakan memberi maaf adalah kata kunci rekonsiliasi dan sinergi potensi umat manusia.
Ingatlah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan orang-orang kafir Quraisy yang dalam kondisi kalah dan bersalah saat terjadi fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah).
Beliau bertanya kepada mereka: “Apakah kalian mengira bahwa aku akan melakukan balas dendam terhadap kalian?” Mereka menjawab: “(Kami berharap engkau) berbuat yang terbaik untuk kami, wahai saudaraku.” Nabi SAW pun memberi pengampunan massal: “Pergilah kalian, kalian semua itu bebas (tidak ada yang dihukum)!”
Memberi maaf itu tidak selalu mudah karena kadar kesalahan orang lain terhadap kita ada yang besar (sulit dimaafkan) dan ada yang kecil.
Prinsip utama bagi yang bersalah, terutama kepada sesama, adalah meminta maaf dan sekaligus mengembalikan hak-hak yang pernah diambilnya secara tidak halal kepada yang berhak. Sedangkan kewajiban sebagai Muslim adalah memberi maaf kepada orang pernah bersalah kepadanya.
“Allah tidak menambah seorang hamba karena mau memberi maaf melainkan kemuliaan; dan tidaklah seseorang yang bersikap rendah hati di hadapan Allah melainkan akan diangkat oleh Allah derajatnya.” (HR.. Abu Daud).
Memberi maaf juga termasuk sifat orang bertaqwa (QS.. Ali Imran [3]: 133), dan sekaligus merupakan manifestasi dari sikap meneladani sifat Allah yang Maha Penerima taubat, Pemaaf, dan Pengampun.
Belajar memaafkan kesalahan orang lain sejatinya merupakan manifestasi dari seni menikmati hidup bahagia. Alangkah menderita dan tersiksanya, jika seseorang terus-menerus menyimpan rasa dendam kepada orang lain.
Alangkah sengsaranya jika hati diberati rasa emosi dan amarah yang tidak berkesudahan. Belajar memaafkan jauh lebih mulia daripada menunggu orang lain meminta maaf kepada kita. Karena itu, hidup ini akan lebih indah jika ungkapan tiada maaf bagimu diubah menjadi aku sudah maafkan semuanya.
Memaafkan bukan berarti menafikan penegakan hukum dan keadilan, melainkan mengedepankan moral kemanusiaan. Mereka yang terbukti bersalah secara hukum harus ditindak tegas.
Jika hukuman sudah dijalani dan yang bersangkutan sudah menyadari kesalahannya, maka dosa sosial dan moralnya perlu dimaafkan. Jadi, kita semua perlu terus belajar menjadi arif, agar kita tidak mudah terjebak dalam kemarahan permanen.
Ramadhan merupakan bulan penuh permaafan. Karena itu, Ramadhan kali ini harus dijadikan sebagai momentum pemaafan bagi sesama demi terciptanya kedamaian dan keharmonisan sosial.
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Lebih Keji dari Zina tapi Paling Sering Dilakukan
ZINA merupakan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah Ta’ala. Ini sudah jelas tertera dalam Alquran yang suci. Meskipun ancamannya sudah pasti neraka, masih banyak orang yang melakukan perbuatan terkutuk ini.
Tetapi tahukah bahwa ada suatu perbuatan yang lebih keji dan hina daripada melakukan zina sebanyak 30 kali? Yaitu gibah atau menggunjing. Perbuatan ini tanpa sadar sering kita lakukan khusunya kaum wanita, meskipun tak jarang kaum laki-laki juga sering melakukan. Imam Al Ghazali menegaskan dalam kitab Bidayah Al Hidayah dan menjelaskan bahwa: “Dosa menggunjing adalah lebih kejam daripada dosa karena berbuat zina yang dilakukan sebanyak 30 kali dan mendapatkan jaminan neraka. Wal Iyaadzu Billah”
Berbicara tentang keburukan orang lain memang sekilas terlihat sulit dilepaskan dari kebiasaan. Seolah-olah ini merupakan pembahasan yang menarik. Apalagi jika yang digunjingkan melewati mereka, maka hati-hati para penggunjing akan bertambah puas untuk merendahkan. Imam Nawawi rahimahullah kemudian memperjelas lagi definisi Gibah ini dalam komentarnya:
“Gibah adalah menceritakan tentang seseorang dengan sesuatu yang dibencinya baik badannya, agamanya, perkara dunianya, dirinya, fisiknya, perilakunya, hartanya, orang tuanya, anaknya, istrinya, pembantunya, hamba sahayanya, serbannya (penutup kepalanya), pakaiannya, gerak langkahnya, gerak geriknya, raut mukanya yang berseri atau masam, atau hal lain yang berkaitan dengan penyebutan seseorang baik dengan lafaz (verbal), tanda, ataupun isyarat dengan menggunakan mata, tangan ataupun kepala.” (Al-Adzkaar: 336).
Penting untuk diketahui bahwa menggunjing merupakan perbuatan yang amat dibenci oleh Allah Ta’ala. Melakukan ini sama saja dengan memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman. Jauhilah kebanyakan prasangka. Sesungguhnya kebanyakan parasangka itu adalah dusta dan jangan kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Apakah kamu suka jika salah seorang di antara kamu makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Hujurat:12).
Anas radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda,
“Tatkala saya diangkat ke langit, saya melewati kumpulan orang yang memiliki kuku terbuat dari tembaga, dengannya mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri, lantas sayapun bertanya pada Jibril alaihissalam: Siapakah mereka itu wahai Jibril? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka memakan daging manusia (menggunjing), dan suka menghina harga diri mereka”. (HR Ahmad 3/224, dan Abu Daud : 4878, sahih).
Orang yang menggunjing akan ditanya tentang kebenaran gunjingan tersebut di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadis: “Barangsiapa yang menggunjing orang lain dengan sesuatu yang orang tersebut tidak lakukan, dengan tujuan untuk mengolok-oloknya, maka Allah akan memenjarakannya dalam neraka jahannam sehingga ia mendatangkan kebenaran/bukti perkataannya tersebut”. (HR Thabarani 3/420),
Walaupun hadis ini dinilai daif oleh Hafidz Al-Haitsami dan Syaikh Al-Albani dari segi sanad, namun maknanya benar, dan ia pasti akan diazab sebagaimana dalam banyak hadis sahih lainnya. Meskipun akhlak kita sudah baik, alangkah lebih bagus jika kita menebalkan keimanan dan menambah amalan yang jelas-jelas akan membawa kita menuju surgaNya. Tanyakan pada diri sendiri, apakah kita ini sudah lebih baik daripada orang lain? [radarislam]
Satu Keluarga Tewas di Provinsi Idlib Akibat Serangan Bom Basyar Assad
Serangan yang dilakukan rezim Basyar Assad kali ini, telah menewaskan 18 orang, dimana 7 orang diantara korban tewas merupakan satu keluarga. Dalam pertempuran yang terjadi di Suriah, siapa saja dapat menjadi korban, bahkan sekalipun ia seorang wartawan ataupun petugas medis.
BUMISYAM|Suriah (22/10) – Hari Kamis, jet tempur Basyar Assad kembali mengguncang Provinsi Idlib, namun kali ini serangan menargetkan kota Maershourin yang terletak di sebelah utara Provinsi Idlib.
Petugas medis mengatakan, dalam serangan yang terjadi di kota Maershourin, sedikitnya 18 orang tewas, dimana 7 orang diantaranya merupakan satu keluarga yang tewas terkena jet tempur rezim.
Seperti dilansir Zaman Al Wasl, petugas medis dan kelompok pertahan sipil juga mengatakan, dari 9 orang anggota keluarga, hanya dua anak yang tersisa, sedangkan 7 orang lainnya telah tewas, termasuk, ayah dan ibu dua anak itu.
Sedangkan 11 orang tewas lainnya adalah orang-orang yang berasal dari seluruh wilayah di bawah kendali pasukan oposisi, seperti wilayah Kafranble, Maerzeita, Babolin, Sheikh Mustafa, Jisr al-Shughour, Tama a, dan Merret al-Numa. (Eka Aprila)
SOHR: Serangan Udara Rusia Bunuh Anak-anak Sekolah di Idlib Suriah, 26 Jiwa Melayang
Setidaknya 26 warga sipil, termasuk anak-anak, tewas ketika serangan udara menghantam sebuah sekolah dan daerah sekitarnya di provinsi Idlib wilayah barat laut Suriah, demikian menurut pernyataan SOHR, seperti dilansir Al Arabiya News Channel.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan pada hari Rabu (26/10) bahwa serangan udara, diyakini dilakukan oleh pesawat tempur Rusia, menargetkan desa Hass, termasuk kompleks sekolah.
“Anak-anak yang tewas adalah para siswa dan pesawat tempur diyakini milik Rusia,” kata Rami Abdel Rahman, Kepala kelompok pemantau SOHR yang berbasis di Inggris itu.
Idlib adalah benteng dan markas utama kubu oposisi Suriah, meskipun beberapa kelompok-kelompok milisi juga berada di sana.
Secara rutin wilayah Idlib dibombardir oleh pesawat-pesawat tempur rezim Assad dan militer Rusia serta pasukan koalisi pimpinan AS yang menargetkan kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
Sebuah rekaman yang diposting oleh para aktivis pada garis depan telah menunjukkan segumpal besar asap mengepul yang berasal dari daerah serangan. Tim Penyelamat tampak bergegas menyelamatkan para korban di sepanjang jalan yang berdebu dengan bangunan-bangunan hancur.
Tubuh wanita terlihat sedang ditandu sementara tubuh-tubuh lainnya, ditutupi kain dan sementara satu tubuh hanya ditutupi dengan topi, jasad-jasad itu berbaring di bawah semak-semak taman diantara gedung-gedung. Sementara itu, tubuh korban lainnya dalam rekaman itu tampak sedang diangkut menggunakan truk-truk pick-up.
Seorang aktivis yang berada di tempat kejadian, Muaz al-Shami, mengatakan sebanyak 10 serangan udara diyakini telah menghantam daerah perumahan.
“Saya tidak ingin pergi ke sekolah lagi,” kata seorang gadis muda sembari terdengar isak tangisnya. [IZ]
Pasukan Keamanan Iran Tembak Mati Seorang Balita Ahwazi-Arab Berusia 3 Tahun, Sementara Ayahnya Ditangkap
Pasukan Keamanan Iran menewaskan seorang anak Ahwazi-Arab berusia 3 tahun setelah mereka menembaki mobil keluarganya saat ia bepergian dengan orangtuanya di kawasan Alawi, bagian barat Ahvaz.
Sumber mengatakan kepada Al Arabiya bahwa pasukan keamanan Iran menembaki mobil keluarga naas itu pada Senin malam (24/10) karena ayah anak tersbeut yang bernama Abbas Sawari, sedang diburu oleh pasukan keamanan internal Iran, mobilnya diberondong peluru setelah Ia tidak mematuhi perintah pos pemeriksaan untuk berhenti.
Akibatnya, putri Abbas Sawari yang berusia 3 tahun meregang nyawa, Raghed ditembak dan dibunuh segera oleh pasukan Iran, sedangkan istrinya ditembak, namun tubuhnya yang luka-luka segera dapat dipindahkan ke Rumah Sakit untuk perawatan intensif.
Sumber menambahkan bahwa pasukan keamanan Iran kemudian menangkap Abbas Sawari dan membawanya ke lokasi yang tidak diketahui.
November lalu, ratusan orang melakukan protes setelah Ali Jalali, seorang anak Ahwazi-Arab berusia 17 tahun , tewas akibat tembakan polisi Iran dalam serangan terhadap pasar yang populer di lingkungan al-Nahda di Ahvaz. [IZ]
10 Alasan Laki-Laki Harus Sholat Berjamaah di Masjid -4-
Ada Apa dengan Alquran Seluler?
ALQURAN seluler adalah program Alquran dalam memori telepon seluler yang dapat diaktifkan sehingga dapat dibaca dan/atau dapat pula mengeluarkan rekaman suara seorang Qari` yang membacakan ayat-ayatnya.
Hukum seputar Alquran seluler ini termasuk masalah baru, sehingga pembahasan fiqihnya tak dapat ditemukan secara langsung dalam kitab-kitab ulumul Qur’an klasik, seperti Al Mashahif karya Imam Sijistani (w. 316 H), At Tibyan fi Adab Hamalatil Qur`an karya Imam Nawawi (w. 676 H), Al Burhan fi Ulumil Qur’an karya Imam Zarkasyi (w. 794 H), dan Al Itqan fi Ulumil Qur`an karya Imam Suyuthi (w. 911 H). Bahkan pembahasannya juga belum disinggung dalam kitab-kitab ulumul Qur`an kontemporer, seperti Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an karya Ahmad Saalim Malham (2001), Ar Ruuh wa Ar Raihan fi Fadha`il wa Ahkam Al Mashahif wa Al Qur`an karya Amr Abdul Munim Salim (2003), dan Al Mut-haf fi Ahkam Al Mushaf karya Shalih Muhammad Rasyid (2003).
Namun belakangan beberapa ulama kontemporer mencoba membahasnya, seperti Abdul Aziz Hajilan dalam kitabnya Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Qur`an (2004) dan Fahad Abdurrahman Yahya dalam kitabnyaTakhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal wa Maa Yataalaqu bihi min Masa`il Fiqhiyyah (2010). Metode pembahasannya sebenarnya bukan ijtihad atau qiyas, melainkan apa yang disebut dengan “takhrij al furuu ala al ushuul” (mengeluarkan hukum cabang dari hukum pokok), atau “tathbiq al hukm ala al masa`il allaty tandariju tahtahu.” (menerapkan hukum yang sudah ada, pada masalah-masalah baru yang merupakan derivat/turunan dari hukum yang sudah ada). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/203-205).
Di antara hukum syara terkait Alquran seluler dalam kitab-kitab tersebut sbb:
Pertama, kapan program Alquran seluler dihukumi sebagai mushaf Alquran? Fahad Abdurrahman Yahya mengatakan program Alquran seluler yang nonaktif, dianggap sama dengan mushaf Alquran yang masih tertutup (tak dibuka). Maka program nonaktif tersebut tak dihukumi sebagai mushaf Alquran, sehingga tak disyaratkan bersuci (thaharah) dari hadats besar atau hadats kecil bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program tersebut. Dalam hal ini para ulama kontemporer tak ada perbedaan pendapat. (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).
Adapun jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, yaitu ketika tampak gambar ayat Alquran dalam layar ponsel, maka ia dianggap sama dengan mushaf Alquran yang lembarannya sudah dibuka. Maka dari itu, program aktif tersebut dihukumi sama dengan mushaf Alquran. Di sinilah kemudian diberlakukan hukum-hukum syara seputar mushaf Alquran, misalnya hukum menyentuh mushaf, hukum membawa mushaf ke dalam toilet (al khala`), dsb. (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).
Kedua, jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, apakah disyaratkan thaharah bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program itu? Di sini ada tafshil (rincian) hukumnya; jika yang disentuh bukan layar monitornya, tapi bagian perangkat ponsel lainnya, seperti tepian layar monitor atau tombol-tombol huruf pada keypad, tidak disyaratkan thaharah. Sebab dapat diterapkan di sini hukum tak wajibnya thaharah jika seorang Muslim menyentuh mushaf dengan penghalang (ha`il) seperti tali gantungan atau kulit/cover mushaf, atau jika menyentuh kitab tafsir Alquran yang mengandung ayat dan tafsirnya.
Adapun jika yang disentuh adalah layar monitornya secara langsung (misal pada layar touchscreen), disyaratkan wajib thaharah. Sebab di sini diterapkan hukum wajibnya thaharah bagi yang menyentuh mushaf secara langsung (tanpa penghalang). (Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Qur`an Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 92). Wallahu alam.
Bagaimana Atasi Quran Rusak, Dibakar atau Dikubur?
SEBAGAI bagian dari memuliakan syiar, kita menjaga Alquran jangan sampai berada di tempat yang tidak terhormat. Apalagi tercecer di tempat sampah.
Menurut sebagian ulama, inilah latar belakang, mengapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang kaum muslimin membawa Alquran ke negeri kafir yang memusuhi Islam. Sebab, dikhawatirkan Alquran jatuh ke tangan orang kafir kemudian mereka menghinanya.
Ibnu Umar mengatakan,
“Bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang safar dengan membawa Alquran ke negeri musuh (kafir). (HR. Ahmad 5417, Bukhari 2990, dan yang lainnya).
Di antara yang perlu kita perhatikan adalah masalah Alquran bekas yang tidak lagi dimanfaatkan. Terutama yang jilidannya sudah pudar, sehingga bagian halamannya lepas berserakan.
Cara menangani Alquran bekas
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan penanganan untuk Alquran bekas. Pertama, mereka menyatakan bahwa Alquran bekas dikubur di tempat yang terhormat dan tidak diinjak orang. Seperti di sudut rumah atau di halaman yang atasnya aman tidak diinjak.
Alauddin Al-Haskafi ulama hanafiyah (w. 1088 H), mereka mengatakan,
“Mushaf yang tidak lagi dimanfaatkan untuk dibaca, dikubur sebagaimana seorang muslim. dan orang nasrani tidak boleh menyentuhnya. (ad-Dur al-Mukhtar, 1/177).
Ibnu Abidin menjelaskan keterangan beliau,
“Maksudnya, quran yang tidak terpakai itu dibungkus dengan kain suci, kemudian dikubur di tempat yang tidak dihinakan dan tidak diinjak. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/177).
Keterangan lain juga disampaikan Al-Buhuti ulama hambali (w. 1051 H). Beliau mengatakan,
“Ketika mushaf Alquran telah rusak dan usang, maka dia dikubur, menurut riwayat dari Imam Ahmad. Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abul Jauza memiliki Alquran yang sudah usang. Kemudian beliau menggali tanah di tempat salatnya dan menguburkannya di sana. (Kasyaf al-Qana, 1/137).
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam. Dalam Majmu Fatawa beliau mengatakan,
“Mushaf yang sudah tua, sudah sobek, sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk tilawah, maka mushaf semacam ini dikubur di tempat yang terjaga. Sebagaimana kehormatan badan seorang mukmin, dia harus dimakamkan di tempat yang terjaga. (Majmu Fatawa, 12/599)
Kedua, ada juga ulama yang mengatakan bahwa mushaf yang tidak lagi dimanfaatkan, dia dibakar sampai jadi abu, hingga hilang semua tulisan hurufnya.
Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Syafiiyah. Dalil yang mereka pegangi adalah praktik Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu ketika beliau membakar mushaf selain mushaf al-Imam.
Mushaf al-Imam adalah sebutan untuk mushaf yang ditulis di zaman Utsman. Imam Bukhari menceritakan hal ini dalam sahihnya,
“Utsman meminta Hafshah untuk menyerahkan mushaf dari Umar, untuk disalin, kemudian dikembalikan lagi ke Hafshah. Kemudian Hafshah mengirim mushaf itu ke Utsman. Lalu Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Merekapun menyalin manuskrip itu lalu beliau kirimkan ke berbagai penjuru daerah satu mushaf salinannya. Kemudian Utsman memerintahkan mushaf Alquran selainnya untuk dibakar. (HR. Bukhari no. 4988).
Kata Musab bin Sad,
“Aku melihat banyak orang berkumpul ketika Utsman membakar mushaf-mushaf itu. Mereka keheranan, namun tidak ada satupun yang mengingkari sikap Utsman. (HR. Ibnu Abi Daud dalam al-Mashahif, no. 36 )
Di antara yang setuju dengan tindakan Utsman adalah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma.
Suwaid bin Ghaflah menceritakan, bahwa ketika Ali melihat Utsman membakar mushaf selain mushaf al-Imam, beliau mengatakan,
“Andai Utsman tidak melakukan pembakaran itu, saya siap melakukan. (HR. Ibnu Abi Daud dalam al-Mashahif, no. 35)
Ibnu Batthal mengatakan,
“Perintah Utsman untuk membakar mushaf lain, setelah semua disatukan dengan Mushaf al-Imam, menunjukkan bolehnya membakar kitab-kitab yang di sana tertulis nama Allah. Dan itu dilakukan dalam rangka memuliakannya, melindunginya agar tidak diinjak atau berserakan di tanah. (Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Batthal, 10/226).
As-Suyuthi ulama Syafiiyah (w. 911 H) mengatakan,
“Jika dibutuhkan untuk membuang sebagian lembaran mushaf yang telah usang atau rusak, tidak boleh ditaruh di sela-sela tembok atau roster. Karena bisa jatuh dan terinjak. Juga tidak boleh disobek-sobek, karena akan memotong-motong hurufnya dan susunannya jadi tidak karuan. Dan semua itu menghinakan tulisan yang ada jika dibakar dengan api, tidak masalah. Ustman Radhiyallahu anhu membakar beberapa mushaf yang di sana ada ayat dan bacaan yang telah mansukh, dan tdak diinkari. (al-Itqan fi Ulum al-Quran, 2/ 459).
Jika kita perhatikan, masing-masing pendapat cukup beralasan. Karena itu, kedua cara apapun yang kita pilih, insyaaAllah tidak masalah. Prinsipnya, kita berusaha menghormati nama Allah, firman Allah atau kalimat tayyibah lainnya, agar tidak sampai terinjak atau dihinakan. Allahu alam. [konsultasisyariah]
Awas! Petaka Datang Jika Anda Pelit dan Tercela
BERHATI-hatilah dengan pelit, jadilah dermawan. Janganlah pelit dan memiliki akhlak yang tercela. Tidaklah berkumpul kedua (sifat) ini bersama keimanan yang benar. Jadilah orang yang dermawan dengan harta dan bersikap lemah lembutlah.
Arti dari bait kalimat di atas adalah berhati-hatilah apabila berkumpul dalam dirimu sifat pelit dan akhlak yang tercela. Karena kedua sifat itu tidak mungkin berkumpul di dalam diri seseorang yang beriman. Dengan kata lain, iman tidak mungkin ada dalam diri seseorang apabila kedua sifat [pelit dan akhlak tercela] itu ada di dalam dirinya.
Karena pelit itu lahir dari prasangka buruk (su’udzan) kepada Allah dan tidak yakin kepada jaminan Allah atas orang-orang yang dermawan. Sedangkan akhlak yang tercela lahir dari hati yang sempit.
Dalil Alquran tentang sifat pelit, Allah berfirman:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya (hatinya) sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. (al-Anaam 125)
Dalil dari hadis Nabi Muhammad tentang hubungan pelit, akhlak tercela dan seorang mukmin, yang artinya: “Dua perkara yang tidak berkumpul dalam hati seorang mukmin: pelit dan akhlak yang tercela.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengandung peringatan yang keras atas dua perkara yang tercela tersebut. Karena kedua perkara pelit dan akhlak tercela dapat menghilangkan kesempurnaan iman dalam diri seseorang, yang selanjutnya dapat mencabut iman dari diri seseorang dan berakhir dengan mati dalam keadaan su’u al-khatimah. Semoga Allah memberikan kita ampunan dan melindungi kita dari kedua perkara tercela tersebut.
Alquran memuji sifat dermawan
Mengenai pujian atas kedermawanan dan celaan atas sifat pelit telah dijelaskan dalam Alquran,
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.(al-Lail [92]:5-ll)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada hari ketika seorang hamba memasuki waktu pagi kecuali kedua malaikat berdoa. Salah satunya berdoa, ‘Ya Allah berilah kepada orang yang berinfak gantinya.’ Dan malaikat yang satu berdoa, ‘Ya Allah berikan kepada orang yang pelit kehancuran.”‘ (HR. Bukhari- Muslim)
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, Rasulullah saw bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya apabila kamu menginfakkan harta yang lebih milikmu itu baik bagimu dan apabila kamu pelit atasnya itu buruk bagimu, dan tidaklah tercela bagi orang-orang yang memiliki harta sebatas yang dibutuhkan.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan oleh Ibn Masud, Rasulullah bersabda, “Allah menghidupkan dua hamba dari hamba-hambaNya setelah keduanya meninggal dunia. Keduanya adalah orang yang memiliki harta dan anak yang banyak. Allah berkata kepada salah satu dari kedua orang itu, ‘Apa yang kamu lakukan atas apa yang telah Aku berikan kepadamu?’ orang itu berkata, ‘Aku meninggalkannya untuk anak-anakku karena aku takut mereka menjadi miskin.’ Allah berkata kepadanya, ‘Apakah kamu tidak yakin dengan kemurahanku. Sesungguhnya apa yang kamu takutkan atas mereka telah Aku turunkan kepada mereka (kemiskinan).’ Lalu Allah berkata kepada yang satunya, ‘Apa yang kamu lakukan atas apa yang telah Aku berikan kepadamu?’ orang itu berkata, ‘Aku infaqkan dalam ketaatan kepadaMu, dan aku yakin dengan nasib anak-anakku sebab kemurahanMu.’ Allah berkata, ‘Apa ang telah kamu yakini atas mereka, sungguh telah aku berikan kepada mereka (kekayaan).'” (Thabrani).
Imam Ghazali berkata: Ketahuilah! Sesungguhnya sifat pelit itu akan membawa kepada kerusakan yang sangat besar. Dasar dari sifat pelit adalah cinta kepada harta, baik atas harta miliknya atau milik orang lain yang ingin dimilikinya.
Ketahuilah! Memiliki harta itu bukanlah hal yang tercela. Karena setiap orang untuk menuju Allah memerlukan kendaraan yaitu tubuhnya. Dan, tubuh itu memerlukan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Akan tetapi orang yang memahami tujuan dari harta itu, dia tidak akan mengambilnya kecuali sebatas apa yang diperlukan. Apabila berlebihan, maka seperti seorang musafir yang membawa bekal terlalu banyak sehingga memberatkan dirinya sendiri dan dia dapat celaka dengan barang bawaannya sendiri.
Begitu pula, memiliki harta yang lebih dari apa yang diperlukan dapat membawa kerusakan, karena ia dapat membawa hawa nafsunya dalam kemaksiatan. Hal itu disebabkan dia dapat melakukan apa saja dengan harta yang dimilikinya. Sedangkan untuk menjaga dirinya dia tidak mampu, karena sabar atas apa yang dia mampu lakukan sangatlah erat. Selain itu, harta yang berlebih dapat memalingkan dirinya dari kikir dan beribadah kepada Allah, yang merupakan inti dari kebahagian yang abadi. Dan, bagi yang menyia-nyiakan keduanya (dzikir dan ibadah) akan mengalami kerugian yang sangat besar.
Allah berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (al-munaafiquun [63]:9)
Hal itu dapat terjadi, ketika hati disibukkan dengan urusan perusahaan seperti pengaturan manajemen, mencari solusi dalam pertengkaran di antara karyawan atau manajemen keuangan. Semua itu akan menyibukkan hati dan raganya dari ibadah kepada Allah, bahkan akan membuatnya cinta kepada dunia dan kebencian akan kematian. Yang berarti dia benci bertemu dengan Allah dan orang yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci bertemu dengannya.
Selanjutnya dia akan melakukan hal-hal yang dimurkai Allah, seperti mencari muka dihadapan manusia, riya (pamer), munafik dan mengatas namakan agama untuk kepentingan duniawi. Bukan hanya itu saja, akan timbul permusuhan dan pertengkaran untuk meraih itu semua. Dan, masih banyak lagi hal-hal negatif yang ditimbulkan darinya.