Hukum Meminta/Mencalonkan Jabatan Diri Sendiri

HUKUM asalnya minta jabatan tidak dibenarkan dan bukan akhlak terpuji, banyak hadis-hadis yang berbicara tentang buruknya orang yang meminta jabatan. Namun permasalahannya tidak dipukul rata begitu saja kepada orang yang ingin mencalonkan diri atas jabatan tertentu seperti mencalonkan dalam pilkada.

Sebab larangan tersebut berlaku kepada orang yang benar-benar menjadikan kedudukan semata sebagai tujuannya dan hanya untuk kepentingan diri dan dunianya saja, sementara di sisi lain ada orang lain yang lebih cocok dan lebih layak memegang jabatan tersebut.

Adapun jika seseorang mencalonkan diri, karena dipandang tidak ada orang lain yang cakap dalam masalh tersebut, atau ada kekhawatiran calon lain yang dikenal dapat membahayakan bagi kaum muslimin atau masyarakat secara umum, yang akan merebut kekuasaan tersebut, atau karena dia didorong oleh masyarkat atau kelompok atau partai karena dikenal kecakapannya bukan semata keinginan pribadinya.

Intinya kekuasaan baginya adalah sarana untuk melakukan kebaikan maka insya Allah hal tersebut tidak termasuk dalam larangan yang dimaksud dalam hadis-hadis yang ada.

Karena sering dalam masalah ini kita berada dalam kondisi dilematis. Kekuasaan jika dibiarkan akan direbut oleh orang yang tidak baik, sementara ada larangan mengejar kekuasaannya. Maka para ulama mengajarkan untuk memilih yang paling ringan mudaratnya.

Ini juga merujuk kepada kisah Nabi Yusuf alaihissalam yang menawarkan diri untuk menjadi bendahara kerjaaan Mesir karena merasa dirinya mampu menunaikan amanah tersebut sebagaimana tercantum dalam surat Yusuf ayat 55.

Wallahu a’lam. [Ustaz Abdullah Haidir]

 

sumber:MozaikInilahcom

Wasiat dan Pesan Penting Nabi Untuk Pemuda Muslim (2)

Jika Engkau Meminta, Mintalah Kepada Allah

Ini adalah pengajaran tauhid/keimanan dari Nabi. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah.Jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan hanya kepada Allah.Serupa dengan bacaan dalam suratalFatihah yang selalu diulang oleh setiap orang yang sholat pada setiap rokaatnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepadaMu kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan.” (QS: alFatihah:5).

Sebagaimana kita menyembah hanya kepada Allah, maka meminta pertolongan juga hanya kepada Allah. Apakah kita tidak boleh meminta pertolongan kepada selain Allah? Ya, untuk permintaan pertolongan yang hanya Allah saja yang bisa memenuhinya, maka wajib bagi seseorang untuk meminta pertolongan itu hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Seperti : permohonan ampunan, meminta dikaruniai anak, panjang umur, kesembuhan dari penyakit, jodoh, ketentraman hati, keselamatan dunia dan akhirat, hidayah (taufiq), dan semisalnya. Hal-hal semacam ini hanya Allah saja yang bisa memenuhi.Meminta hal-hal semacam itu kepada selain Allah adalah kesyirikan, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama  dalam kitab-kitab tentang aqidah.

Meski kita meminta pertolongan kepada seseorang yang mampu mengerjakannya, namun kepasrahan dan ketawakkalan hati hanya kepada Allah, karena hanya Dialah saja yang Maha Berkuasa di atas segala sesuatu. Jika tidak Allah kehendaki, maka upaya makhluk apapun, sebesar apapun, tak akan bisa membantu kita mendapatkan yang kita harapkan.

Bahkan, dalam hal-hal yang remeh sekalipun, meski tali sandal putus, seorang Muslim hendaknya meminta ganti kepada Allah dalam doanya, dengan berupaya (ikhtiar) sesuai kemampuannya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:  “Mintalah kepada Allah segala sesuatu, sampai-sampai tali sandal, karena sesuatu yang tidak diberi kemudahan oleh Allah tidaklah berjalan dengan mudah.” (riwayat Abu Ya’la)

Jika makhluk sering diminta akan marah (karena memiliki banyak kekurangan), sebaliknya Tuhan kita Allah Yang Maha Kaya akan murka jika seseorang hamba tidak meminta kepadaNya.

مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Allah murka kepadanya.” (H.R atTirmidzi)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللهَ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا مَأْثَمٌ وَ لاَ قَطِيْعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِحْدَى ثَلاَثٍ : إِمَّا أَنْ يَسْتَجِيْبَ لَهُ دَعْوَتَهُ أَوْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوْءِ مِثْلَهَا أَوْ يَدَّخِرَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلَهَا قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِذًا نُكْثِرُ قَالَ : اللهُ أَكْثَرُ

Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturrahmi, kecuali akan diberikan kepadanya salah satu dari 3 hal: bisa jadi Allah akan kabulkan doanya(di dunia), atau Allah palingkan (jauhkan) darinya keburukan yang setara dengan hal yang diminta, atau Allah simpan sebagai perbendaharaan pahala semisalnya di akhirat. Para Sahabat berkata: Wahai Rasulullah, kalau demikian kami akan memperbanyak (doa), Rasul bersabda: Allah lebih banyak lagi (mengabulkan).”(H.R atTirmidzi,Ahmad, alHakim, al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Kenalilah Allah di Masa Lapang Dan Sempit

Di dalam riwayat hadits yang lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di masa lapang (senang), niscaya Allah akan mengenalimu di masa engkau menghadapi kesulitan.” (Dalam Shahihul Jaami’)

Makna hadits tersebut adalah : ingatlah selalu Allah (banyak berdzikir), banyak bersyukur terhadap nikmat-nikmatnya, banyak beribadah, dan banyak berdoa di masa-masa kita mendapatkan kelapangan hidup/ kesenangan, niscaya di saat kita mengalami kesusahan dan kesempitan Allah akan mengenali kita dan menolong kita.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثِرْ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ

Barangsiapa yang senang (ingin) Allah kabulkan doanya di masa kesulitan dan genting, hendaknya memperbanyak doa (ketika) di masa lapang.” (H.R at Tirmidizi)

Seperti Nabi Yunus yang di masa susah ( dalam perut ikan) berdoa kepada Allah, Allah pun kemudian memberi jalan keluar baginya. Hal itu dikarenakan dulunya saat hidup di daratan (di masa lapang) Nabi Yunus sering melakukan sholat, sehingga Allah selamatkan ia ketika kesulitan, sehingga tidak sampai mati di dalam perut ikan.
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ (143) لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (144)

“Kalaulah ia tidak termasuk orang yang dulunya banyak bertasbih (sholat), niscaya ia akan tetap tinggal di perutnya (hiu) hingga hari dibangkitkan.” (QS as-Shoffaat:143).

Perhatian Rasulullah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam mengajarkan kepada kita bahwa pemuda adalah asset utama bangsa, dan pelanjut, penerus estafet kepemimpinan. Menurut ahli kepribadian, usia itulah (15-30) yang menentukan arah dan pertumbuham kehidupan seseorang.Generasi muda adalah istilah yang mengacu kepada tahapan masa kehidupan seseorang yang berada diantara usia remaja dan tua.

Antara fase murohaqah dan syaikhukhah.Ia sudah meninggalkan masa remajanya, namun belum memasuki masa tua. Dalam posisinya yang sedemikian itu, generasi muda sering tampil dengan ciri-ciri fisik dan psikis yang khas dan unik.Secara fisik, ia telah tampil dengan format tubuh, panca indera yang sempurna pertumbuhannya. Tinggi badan, raut muka, tangan, kaki dan sebagainya terlihat segar, laksana bunga yang baru tumbuh. Sedangkan secara psikisi tampil dengan jiwa dan semangat yang menggebu-gebu, penuh idealisme, segalanya ingin cepat terwujud dan seterusnya.

Dalam keadaan yang demikian itu ia sering menunjukkan dinamika dan kepeloporannya dalam menegakkan dan membela sebuah cita-cita. Dengan demikian gerakan sosial, protes, demontrasi dan sebagainya sering dipelopori generasi muda.

Nabi Muhammad misalnya mengingatkan dalam sabdanya sebagai berikut:

اُوْصِيْكُمْ بِالشَّبَابِ خَيْرًا فَاِنَّهُمْ اَرَفُّ اَفْئِدَةً اِنَّ اللهَ بَعَثَنِيْ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا فَخَالَفَنِى الشُّيُوْخُ ثُمَّ تَلاَ قَوْلَهُ تَعَالَى فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلاَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ.

“Aku wasiat-amanatkan kepadamu terhadap pemuda-pemuda (angkatan muda) supaya bersikap baik terhadap mereka.Sesungguhnya hati dan jiwa mereka sangat halus. Maka sesungguhnya Tuhan mengutus aku membawa berita gembira, dan membawa peringatan. Angkatan mudalah yang menyambut dan menyokongaku, sedangkan angkatan tua menentang dan memusuhi aku. Lalu Nabi membaca ayat Tuhan yang berbunyi: “Maka sudah terlalu lama waktu (hidup) yang mereka lewati, sehingga hati mereka menjadi beku dan kasar”.

Ahli hikmah mengatakan, siapa yang tumbuh pada masa mudanya dengan orientasi, akhlak, kepribadian, karakter tertentu, maka rambutnya akan memutih dalam kondisi ia memiliki karakter yang telah diperjuangkannya itu (man syabba syaaba ‘alaihi).

Imam Syafii mengatakan : Sungguh pemuda itu distandarisasi dari kualitas ilmu dan ketakwaannya. Jika keduanya tidak melekat pada struktur kepribadiannya.Ia tidak layak disebut pemuda. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan (syubbanul yaum rijalul ghod).

Allah Subhanahu Wata’ala mengingatkan kepada kita agar tidak meninggalkan generasi yang lemah.Lemah iman, lemah ilmu, lemah akhlak, dan lemah ekonomi.

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْتَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا

Artinya: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS: An-Nisa/4:9).

Balasan Sesuai dengan Perbuatan

Hadits ini menunjukkan bahwa balasan yang didapat seseorang sesuai dengan perbuatannya. Al Jazau ‘ala jinsil ‘amal. Al Ujratu ‘ala qadril masyaqqah (pahala itu berbanding lurus dengan tingkat kepayahan). Barangsiapa yang menjaga (syariat/batasan) Allah, niscaya Allah akan menjaganya. Hal yang semakna dengan ini sangat banyak dijumpai dalam al-Quran maupun hadits, di antaranya:

إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolong kalian, dan mengokohkan kaki-kaki kalian.” (QS: Muhammad:7)

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

Maka ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian.” (Q.S al-Baqarah:152)

وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ

“Dan penuhilah perjanjian denganKu, niscaya Aku penuhi perjanjian dengan kalian.” (QS: al-Baqarah:40). (Dalam faidah yang disarikan dari Jaami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab)

Point-poin pesan Nabi tersebut bisa disimpulkan

1. Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu
2. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu
3. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah
4. Jika engkau meminta tolong, mintalah tolong hanya kepada Allah
5. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu manfaat (keuntungan), maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu
6. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu
7. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. Artinya, pena yang menuliskan taqdir telah diangkat (tidak menulis lagi) dan lembaran-lembaran yang ditulisnya pada Lauhul Mahfudzh sudah kering, tidak akan lagi tambahan dan pengurangan. Taqdir semua makhluk yang telah Allah tuliskan, dan hanya Allah saja yang tahu, tidak akan pernah berubah sama sekali.*

 

 

Oleh: Shalih Hasyim, Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

9 Anggota Keluarga Terdekat Namun Bukan Ahli Waris

ADA beberapa anggota keluarga yang memang seringkali agak rancu kita memandangnya. Banyak dikira mereka itu termasuk ahli waris, padahal setelah dilacak lebih jauh dalam daftar ahli waris, memang tidak tercantum. Artinya mereka memang bukan ahli waris.

Sayangnya, karena kurang teliti seringkali mereka dianggap sebagai ahli waris. Alasannya karena memang posisinya yang nyaris sangat dekat dengan almarhum. Saya mencatat paling tidak ada sekitar sembilan anggota keluarga dan bisa saja lebih dari itu. Mereka ini sering tertukar dan dianggap sebagai ahli waris, padahal bukan. Mereka adalah:

1. Anak Angkat
Anak angkat bukan termasuk anak yang mendapat hak waris. Karena yang dimaksud dengan anak adalah anak yang merupakan dari benih sang muwarrits sendiri, dimana anak itu hasil pernikahan yang sah secara syariah. Sebenarnya bukan hanya anak angkat yang tidak menerima harta waris, tetapi juga termasuk ayah angkat, ibu angkat, saudar angkat, paman angkat dan seterusnya.

Tambahan lagi bahwa syariat Islam tidak mengakui adanya anak angkat, bahkan mengharamkan pengangkatan anak. Meski pun hukum yang berlaku di negeri kita mengakui keabsahan anak angkat, namun dalam urusan bagi waris, anak angkat tetap bukan ahli waris.

Kalau pun mereka tetap ingin diberikan harta dari almarhum, jalannya bukan dengan pewarisan, tetapi bisa dengan hibah atau wasiat yang dilakukan sejak almarhum masih hidup. Atau bisa saja para ahli waris setelah menerima harta waris sepakat untuk memberi semacam ‘uang kerahiman’ kepadanya. Tetapi yang jelas anak angkat tidak menerima harta dari almarhum lewat jalur waris. Dan cara hibah atau wasiat ini juga bisa diberlakukan kepada semua daftar berikut ini.

 

2. Anak Tiri
Anak tiri bukan termasuk ahli waris. Yang dimaksud tiri adalah anak dari pasangan. Misalnya, seorang laki-laki menikahi janda yang sudah punya anak. Dalam keseharian, sering kita sebut dia sebagai anak tiri. Meski hubungan keduanya sangat dekat, tetapi dalam hukum syariah, anak tiri bukan ahli waris. Karena anak itu bukan dari darah daging muwarrits. Dan termasuk yang juga bukan ahli waris adalah ayah tiri, dan ibu tiri.

 

3. Mantan Suami Mantan Istri
Suami adalah ahli waris dari istri yang meninggal. Istri juga ahliwaris dari suami yang meninggal. Tetapi hubungan saling mewarisi ini berhenti tatkala hubungan suami istri di antara keduanya telah selesai karena perceraian. Maka mantan istri bukan ahli waris dan mantan suami juga bukan ahli waris. Walau pun mereka pernah hidup bersama puluhan tahun lamanya.

4. Keponakan
Keponakan memang ada yang masuk dalam ahli waris, namun tidak semua keponakan termasuk dalam daftar ahli waris. Dari 4 hubungan keponakan, hanya satu saja yang menjadi ahli waris.

– Anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum. (Hanya keponakan yang satu ini saja yang termasuk ke dalam ahli waris)
– Anak laki-laki dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.
– Anak perempuan dari saudara laki-laki almarhum, bukan termasuk ahli waris.
– Anak perempuan dari saudari perempuan almarhum, bukan termasuk ahli waris.

 5. Mertua Menantu
Meski sudah seperti anak sendiri, hubungan antara mertua dan menantu tidak saling mewarisi. Yang menjadi ahli waris adalah anak muwarrits langsung atau orangtuanya. Sedangkan pasangannya jelas bukan termasuk ahli waris. Dalam kasus sering terjadi menantu malah lebih repot mengurusi harta pasangannya. Yang jadi anaknya saja tidak terlalu meributkan, malah menantu yang bukan ahli waris kelihatan punya ambisi untuk mendapat harta dari peninggalan mertuanya.

6. Saudara Ipar
Saudara ipar adalah saudara dari istri atau suami. Misalnya, seorang wanita ditinggal mati suaminya. Maka saudara wanita itu adalah saudara ipar bagi almarhum. Kedudukannya tidak terdapat dalam daftar ahli waris. Misal lain, seorang suami ditinggal mati istrinya. Maka saudara suami itu adalah ipar bagi almarhumah. Kedudukannya bukan sebagai ahli waris.

7. Cucu Dari Anak Perempuan
Meski pun cucu termasuk dalam daftar ahli waris, namun tidak semua cucu bisa termasuk di dalamnya. Cucu yang merupakan anak dari anak perempuan almarhum bukan termasuk ahli waris, baik cucu itu laki-laki atau pun perempuan. Yang termasuk ahli waris adalah cucu dari anak laki-laki, baik cucu itu laki-laki atau perempuan.

8. Paman dan Bibi Jalur Ibu
Paman memang termasuk dalam daftar ahli waris, tetapi tidak semua paman. Hanya paman yang merupakan saudara ayahnya almarhum saja yang termasuk ahli waris. Sedangkan paman yang merupakan saudara ibunya almarhum, bukan termasuk ahli waris.

 9. Saudara lain ayah lain ibu
Dalam daftar para ahli waris ada saudara seayah seibu, saudara seayah saja dan saudara seibu saja. Mereka bisa saling mewarisi. Tapi adakah saudara yang lain ayah lain ibu? Jawabnya ada. Misalnya seorang duda yang punya anak menikah dengan janda yang punya anak. Maka anak si duda dan anak si janda adalah saudara. Tetapi hubungan persaudaraan di antara mereka unik, yaitu saudara lain ayah dan lain ibu.

Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

sumber: Mozaik Islam

Wasiat dan Pesan Penting Nabi untuk Pemuda Muslim (1)

MENGELOLA masa muda agar memili karakter kuat dalam keagamaan, merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah dan sederhana. Sebab pertentangan yang paling berat dan sulit serta menantang dalam fase kehidupan kita adalah menundukkan masa muda untuk tumbuh dalam beribadah kepada Allah (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah).

Dorongan kebaikan dan keburukan sama kuatnya. Semakin sering kita kalah dalam menghadapi godaan, seperti itulah akhir kehidupan kita. Semakin sering kita menang dalam pertarungan melawan musuh internal dan eksternal, akan seperti itulah akhir/ending kehidupan kita.

Itulah sebabnya Rasulullah menyebutkan di antara tujuh golongan yang memperolah naungan pada saat tiada naungan kecuali naungan dari-Nya pada hari kiamat adalah pemuda yang tumbuh dalam kerangka beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Pemuda yang ingin sukses adalah pemuda yang pandai memanfaatkan peluang masa mudanya untuk maju dan berubah.Ia menyadari bahwa peluang itu tidak akan berulang. Ia memanfaatkan masa muda sebelum datang masa lemahnya (tua), masa sehat sebelum sakitnya, masa lapang sebelum sempitnya, masa terang sebelum masa gelapnya.

Ada ungkapan dalam sastra Arab yang melukiskan sebuah penyesalan di masa beruban. “Aduhai alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini, akau akan menceritkan kepahitan pada masa beruban.”

Mencermati dinamika kehidupan yang fluktuatif dan terus berubah, para pemuda Muslim dituntut memiliki modal kuat khususnya dari ajaran Islam, agar kelak di masa tua tak menyesal.

Setidaknya ada beberapa kemampuan yang perlu dimiliki para pemuda Muslim hari ini; mencakup daya pikir (ijtihad), daya kalbu (mujahadah), dan daya raga (jihad) dalam arti yang seluas-luasnya.Termasuk jihad peradaban (kehidupan) di mana memilih hidup dalam kemuliaan Islam dan meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Jagalah Allah
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْماً، فَقَالَ: يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: اْحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ [رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح وفي رواية غير الترمذي: احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَّةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْراً].

Dari Abu Al ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata: Pada suatu hari saya pernah berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai anak muda, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjaga kamu. Jagalah Allah, niscaya kamu akan mendapati Dia di hadapanmu. Jika kamu minta, mintalah kepada Allah.Jika kamu minta tolong, mintalah tolong juga kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang sudah Allah tetapkan untuk dirimu. Sekiranya mereka pun berkumpul untuk melakukan sesuatu yang membahayakan kamu, niscaya tidak akan membahayakan kamu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” (HR. Tirmidzi). (dari Syarh Hadits Ke-19 Arbain an Nawawiyyah)

Makna ‘menjaga Allah’ dalam hadits di atas adalah menjaga hak-hak Allah, perintah-perintah, dan larangan-laranganNya.Karena Allah sendiri tidak butuh dengan penjagaan siapapun, bahkan Dialah yang Menjaga seluruh makhluk di alam semesta.

Hak Allah yang paling pertama harus dijaga oleh seorang hamba adalah tauhid.Tauhid adalah penentu utama seseorang untuk masuk surga atau neraka. Hal yang pertama dinilai adalah: apakah ia mensekutukan Allah (berbuat syirik) atau tidak, sesuai dengan hadits:

مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, maka ia masuk Jannah (surga). Barangsiapa yang bertemu denganNya mensekutukanNya dengan sesuatu, maka ia masuk anNaar (neraka).” (H.R Muslim).

Di antara hak-hak Allah yang paling agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?”Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari: 2856 dan Muslim: 48)…

Jagalah tauhid (keimanan) dari kemusyrikan (selingkuh dengan Allah SWT), niscaya Allah akan menjaga kita agar tidak terjerumus ke neraka.

مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ

… Barangsiapa yang mensekutukan Allah, maka Allah haramkan baginya surga, dan tempat tinggalnya adalah neraka… (Q.S al-Maidah (5) :72)..

Setelah tauhid, penentu berikutnya adalah jagalah syariat (sholat). Jika baik sholatnya, maka akan baik seluruh amalannya.

Jagalah shalat, niscaya Allah akan menjaga kita

مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يكُنْ لَهُ نُورٌ ، وَلاَ بُرْهَان ، وَلاَ نَجَاة وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ ، وَفِرْعَونَ ، وَهَامَانَ ، وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ

Barangsiapa yang menjaganya (sholat) maka ia akan memiliki cahaya, penjelas, dan keselamatan dari anNaar pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya, ia tidak akan memiliki cahaya, penjelas, dan keselamatan dan pada hari kiamat akan dikumpulkan bersama Qarun, Firaun, Haaman, dan Ubay bin Kholaf.”  (H.R Ahmad)

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjaga kita di dunia dan di akhirat

Jaga larangan-larangan Allah jangan dilanggar, dan jaga perintah-perintahNya jangan ditinggalkan. Demikian juga termasuk dalam upaya menjaga Allah adalah menjaga lisan dari segala bentuk kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing, dan menjaga kemaluan serta menundukkan pandangan.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda;

“Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim:8066 dan Ibnu Hibban: 107)

Doa Meminta Penjagaan dari Allah pada Seluruh Sisi

Disunnahkan untuk membaca doa pagi petang yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam guna memohon penjagaan dari Allah pada seluruh penjuru:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي

“Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu ‘afiat (keselamatan dari segala keburukan) di dunia dan di akhirat.Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu pemaafan dan ‘afiat pada agamaku dan kehidupan duniaku, keluarga, dan hartaku.Ya Allah tutuplah aurat-auratku, berikan rasa aman padaku. Ya Allah jagalah aku dari arah depan, belakang, kanan, kiri, dari atas, dan aku berlindung pada keagunganMu agar aku tidak tersambar dari bagian bawahku.” (H.R Abu Dawud)

Beberapa Contoh Penjagaan Allah dalam Kehidupan Dunia

Barangsiapa yang menjaga Allah, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan di masa muda, Allah akan menjaga badannya di masa tua. Abu  Thoyyib at Thobary yang berusia melewati 100 tahun masih memiliki kekuatan yang luar biasa. Pernah suatu ketika ia melompat dari perahu ke tepi daratan, sehingga orang-orang di sekelilingnya mengkhawatirkan keadaanya yang sudah tua. Tapi beliau mengatakan :Tubuhku ini aku jaga dari kemaksiatan sejak muda, sehingga Allah menjaganya ketika aku sudah tua. (Dalam Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/186)).

Para ulama dikenal kuat menjaga hafalan, pemahaman, dan kefaqihannya di usia yang sudah sangat tua, terhindar dari kepikunan, di saat orang-orang lain seusianya sudah banyak yang lupa bahkan tidak mengenal lagi anak-anak dan orang terdekatnya.

Suwaid bin Ghoflah –salah seorang tabi’i yang pernah mengambil ilmu dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali- masih kuat hafalannya dan menjadi imam pada sholat tarawih di bulan Romadhan pada saat usianya sudah 120 tahun (Riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’(4/175).

Harta kedua anak yatim dijaga Allah melalui perbuatan Nabi Khidhr yang menegakkan dinding rumahnya yang miring, sedangkan di bawah dinding tersebut terdapat simpanan harta mereka (Qur’an surat al-Kahfi ayat 82). Nabi Khidhir menyatakan bahwa ayah kedua anak yatim itu adalah orang yang sholeh. Para ulama menjelaskan bahwa inilah bukti bahwa keshalehan dan ketakwaan dari seseorang menjadi sebab Allah akan menjaga dirinya dan keturunannya.

Tentang kasus pagar halaman sebuah rumah itu adalah milik dua anak laki-laki yatim di negeri itu.Di bawah pagar rumah itu ada harta simpanan berharga milik kedua nak itu. Dahulu ibu bapaknya adalah orang-orang shalih. Tuhanmu ingin agar kedua anak itu mencapai umur dewasa, dan keduanya dapat mengeluarkan harta simpanan berharga itu sebagai rahmat dari Tuhanmu.Aku melakukan semua itu bukan karena kemauanku sendiri (QS. Al Kahfi (18) : 82).*/bersambung “Jika Engkau Meminta, Mintalah Kepada Allah”

 

 

Oleh : Sholih Hasyim, Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

Hukum Tahiyatul Masjid di Mushola Kantor

KATA masjid diambil dari kata sa-ja-da yang artinya bersujud. Secara makna bahasa, masjid diartikan sebagai tempat untuk sujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga kata masjiddigunakan untuk menyebut tempat yang berupa bangunan, yang digunakan untuk salat.

Az-Zarkasyi mengatakan,

Mengingat sujud adalah gerakan salat yang paling mulia, karena kedekatan hamba kepada Rabnya ketika sujud maka tempat yang digunakan untuk sujud diturunkan dari kata ini. orang menyebutnya, Masjid, dan mereka tidak mengatakan Marka (tempat rukuk). (Ilam as-Sajid bi Ahkam Masajid, hlm. 27)

Allah membolehkan umat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk salat di manapun di muka bumi ini. Karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan, bahwa Allah menjadi bumi ini sebagai masjid untukku,

Allah menjadikan seluruh permukaan bumi ini sebagai masjid dan alat tayamum untukku. Siapapun di antara umatku yang menjumpai waktu salat, hendaknya dia salat. (HR. Bukhari 335 & Muslim 521).

Sementara masjid secara istilah diartikan sebagai, “Tempat yang digunakan untuk salat selamanya.” (Mujam Lughah al-Fuqaha, Prof. Muhammad Rawas, hlm. 397)

Karena itulah, untuk bisa disebut masjid sesuai pengertian istilah tempat itu harus menjadi milik umum, ada izin umum dari masyarakat untuk menjadikan tempat itu sebagai tempat salat. Baik ditegaskan bahwa itu wakaf atau tidak ditegaskan. Demikian pendapat jumhur ulama. (al-Mausuah al-Fiqhiyah, 37/220).

Ibnu Qudamah mengatakan,

Wakaf bisa dilakukan dengan ucapan maupun perbuatan yang mengindikasikan bahwa itu wakaf, seperti dibangun masjid dan mengizinkan masyarakat untuk salat di sana. (al-Kafi fi Fiqh Ibnu Hambal, 2/280).

Karena itu, mushola kantor yang hanya sementara digunakan untuk salat, tidak bisa disebut masjid. Sehingga tidak berlaku hukum masjid, tidak ada tahiyatul masjid, atau aturan masjidlainnya. Dalam Fatwa Lajnah Daimah, ada pertanyaan, “Apakah tahiyatul masjid disyariatkan untuk mushola (tempat salat di kantor)?”

Jawaban Lajnah,

Masjid adalah tempat khusus untuk salat wajib secara terus-menerus, dan telah diwakafkan untuk itu. Sementara musholayang digunakan untuk salat sesekali, seperti salat id, atau salatjenazah, atau salat lainnya, dan tidak diwakafkan untuk salat 5 waktu, maka tidak dianjurkan untuk tahiyatul masjid ketika memasuki mushola. (Fatwa Lajnah Daimah, 5/169).

Tempat yang dijadikan sebagai tempat salat dalam kurun waktu lama meskipun sementara, seperti mushola kantor, boleh dijadikan sebagai tempat salat jamaah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Boleh menyewa rumah untuk dijadikan masjid, dan digunakan untuksalat. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan Imam as-Syafii.” (al-Mughni, 6/143).

Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

 

sumber:Mozaik Inilahcom

Aneh, Orang Miskin Bisa Bangun Masjid Megah

MUNGKIN kita tak percaya jika tidak melihat faktanya. Seorang yang tidak kaya, bahkan tergolong miskin, namun mampu membangun sebuah masjid di Turki. Nama masjidnya pun paling aneh di dunia, yaitu “*Shanke Yadem*” (Anggap Saja Sudah Makan).

Sangat aneh bukan? Di balik masjid yang namanya paling aneh tersebut ada cerita yang sangat menarik dan mengandung pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

Ceritanya begini: Di sebuah kawasan Al-Fateh, di pinggiran kota Istanbul ada seorang yang wara dan sangat sederhana, namanya Khairuddin Afandi. Setiap kali ke pasar ia tidak membeli apa-apa. Saat merasa lapar dan ingin makan atau membeli sesuatu, seperti buah, daging atau manisan, ia berkata pada dirinya: Anggap saja sudah makan yang dalam bahasa Turkinya “Shanke Yadem” .

Nah, apa yang dia lakukan setelah itu? Uang yang seharusnya digunakan untuk membeli keperluan makanannya itu dimasukkan ke dalan kotak (tromol)Begitulah yang dia lakukan setiap bulan dan sepanjang tahun. Ia mampu menahan dirinya untuk tidak makan dan belanja kecuali sebatas menjaga kelangsungan hidupnya saja.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun Khairuddin Afandi konsisten dengan amal dan niatnya yang kuat untuk mewujudkan impiannya membangun sebuah masjid. Tanpa terasa, akhirnya Khairuddin Afandi mampu mengumpulkan dana untuk membangun sebuah masjid kecil di daerah tempat tinggalnya. Bentuknyapun sangat sederhana, sebuah pagar persegi empat, ditandai dengan dua menara di sebelah kiri dan kanannya, sedangkan di sebelah arah kiblat di tengahnya dibuat seperti mihrab.

Akhirnya, Khairuddin berhasil mewujudkan cita-citanya yang amat mulia itu dan masyarakat di sekitarnyapun keheranan. Kok Khairuddin yang miskin itu di dalam dirinya tertanam sebuah cita-cita mulia, yakni membangun sebuah masjid dan berhasil dia wujudkan. Tidak bayak orang yang menyangka bahwa Khairudin ternyata orang yang sangat luar biasa dan banyak orang yang kaya yang tidak bisa berbuat kebaikan seperti Khairuddin Afandi.

Setelah masjid tersebut berdiri, masyarakat penasaran apa gerangan yang terjadi pada Akhiruddin Afandi. Mereka bertanya bagaimana ceritanya seorang yang miskin bisa membangunmasjid. Setelah mereka mendengar cerita yang sangat menakjubkan itu, merekapun sepakat memberi namanya dengan: “Shanke Yadem” (Anggap Saja Saya Sudah makan).

Informasi di atas saya dapat di sini, sungguh luar biasa. Kita belajar banyak dari kesederhanaan, ketulusan dan keikhlasan Khairuddin. Beramal bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja tidak harus menjadi kaya dulu. Bahkan banyak orang yang diberikan kekayaan oleh Allah lantas menjadi lupa untuk beramal.

Harta yang digunakan Khairuddin untuk membangun mesjid diperoleh dengan cara yang halal dan itulah salah satu penyebab orang senang datang ke mesjid yang dibangunnya walaupun mesjid tersebut sangat sederhana. Semoga di Indonesia akan banyak orang-orang seperti khairuddin yang beramal bukan karena ingin di puji orang akan tetapi semata-mata mengharapkan Rida dari Allah SWT, amin.

 

sumber:Mozaik Islam

Berjalan Kakilah Menuju Masjid!

SETELAH berwudhu, menyucikan diri dari segala najis dan kotoran secara sempurna sehingga tubuh dan jiwa kita siap untuk melaksanakan salat berjemaah. Semua ulama bersepakat mengenai anjuran salat berjemaah, bahkan sebagaian ulama mewajibkannya.

Kita sebagai umat Islam, diharuskan untuk berkumpul di masjid untuk mendirikan salat berjemaah dalam barisan yang rapi. Selain pahala besar yang dijanjikan Allah, berjalan menuju masjid untuk mendirikan salat juga mengandung faedah luar biasa bagi kesehatan.

Rasulullah saw sering kali menganjurkan umatnya untuk berjalan kaki menuju masjid atau tempat salat. Anjuran tersebut beliau sampaikan dalam beberapa hadis. Dan, Allah juga akan memberikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berjalan menuju tempat salat.

Orang yang paling jauh jaraknya menuju masjid niscaya akan mendapat pahala yang paling besar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Maukah kalian ditunjukkan kepada suatu amal yang dengannya Allah menghapus dosa dan meninggikan derajat?”

Lalu, para sahabat menjawab, “Tentu saja, Rasulullah.”

“Menyempurnakan wudhu dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai, memerbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu waktu salat dengan mendirikan salat. Itulah keutamaan. Itulah keutamaan.” (HR.Muslim)

Abu Musa ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mendapat pahala salat yang paling besar adalah yang paling jauh jarak perjalanannya ke masjid.” (HR.Muslim)

Hadis ini dan hadis sebelumnya menegaskan keutamaan rumah yang jauh dari masjid sehingga butuh banyak langkah untuk sampai ke sana. Pahala yang didapatkannya pun lebih banyak dibandingkan dengan orang lain. Semakin jauh rumah seseorang dari masjid, makin besar pahala salatnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang bersuci di rumahnya kemudian berjalan menuju salah satu rumah Allah untuk melaksanakan kewajiban dari Allah, niscaya langkahnya itu akan menghapus dosanya dan mengangkat derajatnya.” (HR.Muslim)

Semua hadis di atas menegaskan anjuran kepada kita, umat muslim untuk berjalan kaki menuju masjid sekuat tenaga, tidak diatas kendaraan apapun meskipun rumahnya jauh dari masjid, selama tidak ada uzur atau hambatan yang menghalangi perjalanannya. Ingat, pulang juga dianjurkan dengan berjalan kaki.

 

Sumber: Mozaik Islam

Etika Istri Bicara dengan Suami

Pasang surut hubungan suami istri dalam membina hubungan rumah tangga merupakan sesuatu yang wajar. Pertengkaran antara dua pasangan menjadi bumbu penyedap rumah tangga.

Hanya, ada kalanya kaum ibu yang sudah lelah dengan pekerjaan rumah tangga melampiaskan kekesalan kepada suaminya. Tanpa sadar, sang istri pun membentak suami dengan suara yang tinggi. Bagaimana sebenarnya etika istri untuk berbicara kepada suaminya?

Mengumpat suami atau sebaliknya merupakan perbuatan yang tercela. Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, berkata kasar dan jelek kepada suami adalah bentuk kefasikan. Tindakan itu semestinya dihindari oleh siapa pun, tak terkecuali istri kepada suami. Mencela atau memaki, sebagaimana ditegaskan hadis dari Abdullah bin Mas’ud di riwayat yang lain, tidak termasuk karakter seorang mukmin.

Suami yang sudah lelah mencari nafkah sudah selayaknya mendapat perlakuan yang baik dari istri. Sikap lembut istri akan membuat keringat suami setelah bekerja kering seketika. Kelembutan istri pun menjadi perlambang rasa syukur terhadap nafkah yang didapat suami seberapa pun kecilnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda tentang neraka yang kebanyakan dipenuhi para perempuan. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim tersebut, Rasulullah SAW menjelaskan penyebab populasi perempuan yang banyak di neraka. “Karena mereka tidak mau mengakui kebaikan suaminya dan tidak bersyukur kepada suaminya, tidak berterima kasih dengan apa yang telah suami berikan, dan karena kesalahan sepele suami lalu istri berkata, ‘Tidak pernah aku dapat kebaikan apa pun darimu’.”

Dalam istilah fikih, pembangkangan seorang istri terhadap suami disebut dengan nusyuz. Bahtul Masail Nahdlatul Ulama menjelaskan, “pembangkangan” merujuk pada ketidaksediaan istri untuk berhubungan suami-istri dan tindakan perlawanan istri terhadap suami.

Bila tampak tanda-tanda pembangkangan dari seorang istri, seperti berakhlak buruk dan merasa lebih tinggi dari suami, suami harus menasihatinya dan mengingatkannya akan sanksi yang Allah siapkan di akhirat. Tak hanya itu, suami pun berkewajiban mengingatkan tentang mudharat di dunia sesuai dalam syariat yang akan menderanya, seperti gugur kewajiban nafkah dari suami. Bila istri masih saja membangkang, suami boleh memilih pisah ranjang.

Meski demikian, suami tidak boleh mendiamkan istrinya. Ingatlah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Seorang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” Hanya, bila istri terus pada pembangkangannya, suami boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan melukai. Kalau terpaksa juga memukul, ia tidak boleh memukul wajah karena larangan Rasulullah SAW terhadap pemukulan anggota tubuh yang vital sehingga berdampak bahaya yang luar biasa.

Karena itu, istri harus menghormati posisi suami dalam hidup berumah tangga. Sejumlah keutamaan yang dimiliki suami dan istri mestinya menuntun bahtera rumah tangga ke arah ridha Allah SWT. Ketaatan istri kepada suami menjadi sebuah keutamaan yang disabdakan Rasulullah SAW. Seandainya, kata Rasulullah SAW di sabdanya yang dinukilkan oleh Imam at-Tirmidzi, ada sosok yang lebih pantas untuk bersujud di hadapannya, maka niscaya kepada suamilah seorang istri itu dituntut bersimpuh.

Tiap masalah yang terjadi dan berdampak pada gesekan antarkeduanya harus diselesaikan dengan bijak, bukan dengan umpatan dan kata kasar. Meski demikian, menurut Syekh Shalih Ibn al-Utsaimin, jika suami berlaku kasar dan cenderung jauh dari ketakwaan, istri berhak untuk tidak memenuhi sejumlah kewajibannya sebagai pendamping. Misal, bila suami suka bermaksiat misalnya. “Barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS al-Baqarah [2]: 194). Tetapi, tetap dalam koridor yang diperbolehkan.

Kekerasan fisik ataupun nonfisik berupa ucapan-ucapan tak sedap di telinga atau perasaan bukan cara yang tepat dalam mengurai masalah rumah tangga. Sikap saling terbuka, hormat-menghormati, dan tetap menjaga etika dibutuhkan kala menghadapi persoalan. Membalas keburukan dengan kebaikan adalah keutamaan yang tak ternilai harganya, sekalipun memang sulit dilakukan.

Maka, sudah selayaknya seorang istri mengingat kembali sebuah hadis Rasulullah SAW tentang kriteria perempuan salehah. “Ingatlah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu simpanan yang paling baik bagi seseorang? Yaitu wanita salehah. Jika suami memandangnya, maka dia membuatnya senang, jika suami menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suami tidak ada di sisinya maka dia menjaganya “(HR Abu Dawud).

Sebaliknya, suami pun berkewajiban bersabar saat menjalin hubungan dalam rumah tangga. Allah SWT berpesan kepada para suami lewat surah an-Nisaa’ ayat 19, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”  

 

sumber: Republika Online

Bolehkah Muslimah Memotong Rambut?

Tampil cantik dan menarik, menjadi dambaan setiap perempuan Muslim. Sebab, dengan tampil cantik dan menarik, maka dalam interaksi sosial masyarakat, hal itu akan berjalan dengan baik dan lancar.

Sebaliknya, perempuan yang membiarkan dirinya tak terawat, maka yang demikian itu akan membuat interaksi sosialnya menjadi terganggu. Sebab, akan muncul sentimen negatif pada diri perempuan muslim tersebut.

Dalam Islam, setiap Muslim (baik laki-laki maupun perempuan), memiliki kewajiban untuk senantiasa menjaga penampilan. Apalagi, dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk selalu tampil cantik, indah, dan menarik.

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).

Rasul SAW pun memerintahkan hal serupa. Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim).

Ayat dan hadis di atas menunjukkan, bahwa Allah dan Rasul-Nya, sangat menyukai keindahan dan membenci ketidakrapian. Kendati demikian, Islam mengajarkan adab berhias. Untuk tampil cantik dan menarik, tidak perlu harus dengan biaya yang mahal atau berlebih-lebihan, cukup dengan kesederhanaan, namun rapi dan menarik dipandang.

Lalu, bagaimanakah hukumnya seseorang perempuan Muslim memotong rambut? Ada dua pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan boleh dan adapula yang menyatakan tidak boleh (haram).

Dari Aisyah RA, Rasul SAW bersabda: Sepuluh hal yang termasuk fitrah, yakni mencukur kumis, memotong kuku, menyela-nyela (mencuci) jari jemari, memanjangkan jenggot, siwak, istinsyaq (memasukkan air ke hidung), mencabut bulu ketiak, mencukur rambut kemaluan, dan intiqashul ma’ (istinja), dan berkumur-kumur.”

Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, ada lima perkara yang merupakan bagian dari fitrah, yakni memotong kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan khitan.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Jabir bin Abdullah RA, ia berkata, Rasul SAW datang kepada kami, kemudian beliau melihat seseorang yang rambutnya acak-acakan (tidak rapi). Rasul SAW langsung menegurnya, Apakah orang ini tidak memiliki minyak yang dapat dia pergunakan untuk merapikan rambutnya?” (HR Nasai dan disahihkan oleh Syekh Nasiruddin al-Albani).

Hadis di atas menunjukkan perintah secara umum kepada pihak laki-laki Muslim. Lalu bagaimana dengan perempuan Muslim, bolehkah memotong rambut? Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan, hukum memotong rambut bagi perempuan itu tergantung pada niatnya.

Jika niatnya untuk menyerupai perempuan-perempuan kafir atau fasiq, maka tidak boleh. Tapi jika niatnya untuk menyenangkan suami atau untuk meringankan dirinya, menurut saya ini tidak terlarang. Dengan sayarat sesuai dengan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, bahwa istri-istri Nabi SAW dahulu memotong rambut mereka hingga sepanjang kuping (tempat anting-anting) telinga,” jelas Al-Albani dalam kitabnya Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah (Fatwa-Fatwa Al-Albani).

Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam Fiqh Muslimah, dan Sayyid Sabiq dalam Fiqh as-Sunnah, menyatakan, tidak diperbolehkan seorang perempuan Muslim mencukur rambutnya, kecuali suatu hal yang mengharuskannya. Dan ia tidak diperkenankan menyambung rambutnya, walaupun dengan rambutnya sendiri atau milik orang lain, rambut atau bulu hewan, dan lainnya.

Mengapa menyambung rambut dilarang? Karena perbuatan tersebut merupakan menipu, yang membohongi orang lain. Rasul melawan tipu daya, dan tipu daya perempuan adalah menyambung rambut.”

Sekarang ini, sesuai dengan perkembangan zaman, banyak perempuan Muslim yang menghiasi dirinya dengan cara memotong rambut sesuai mode. Menurut Syekh Muhammad Shalih al-Utsaimin dalam Majmu’ Durus wa Fatawa Haramil Makki, hal itu tidak diperbolehkan, mengingat hal tersebut merupakan perbuatan pemborosan dan berlebih-lebihan.

Namun apabila ia pergi ke tukang rambut untuk mengaturnya dengan biaya yang ringan, dengan maksud untuk berhias untuk suaminya, maka perbuatan itu tidak apa-apa,” jelasnya sebagaimana dikutip dari kitab Fatwa-fatwa tentang Perempuan (Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah).

Para ulama Hanabilah (Hanbali), menyatakan, seorang perempuan dimakruhkan untuk memotong rambutnya selain pada waktu haji dan umrah. Bahkan sebagian ahli fikih Hanabilah mengharamkan perempuan untuk memangkas rambutnya. Dari Ali bin Abi Thalib RA, Rasul SAW telah melarang perempuan mencukur rambutnya.” (HR Tirmidzi dan Nasai).

Namun demikian, ulama yang berpendapat, boleh saja seorang perempuan untuk memotong atau mencukur rambutnya, selama tidak menyerupai laki-laki. Sebab, yang demikian itu dilarang keras.

Berdasarkan hal ini, sebagian ulama usul fikih menyatakan, sesungguhnya memotong rambut itu hukumnya boleh. Alasannya, berdasarkan kaidah usul fikih yang menyatakan, Bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah boleh, hingga ada dalil yang mengharamkannya.”

Menurut ulama usul fikih, larangan dalam hadis Nabi SAW adalah masalah menyambung rambut, dan bukan memotongnya. Namun demikian, kebolehan memotong rambut itu hendaknya tidak berlebihan. Sebab, Allah melarang yang berlebih-lebihan dan menyerupai laki-laki.

Selain itu, memotong rambut hendaknya tidak menyerupai perempuan-perempuan kafir. Barang siapa yang menyerupai satu kelompok orang, maka ia termasuk kelompok tersebut.” (HR Ahmad).

Berdasarkan hal di atas, Allah SWT menciptakan rambut perempuan sebagai kecantikan dan perhiasan, sehingga haram bagi perempuan mencukur habis rambutnya, kecuali karena darurat. Misalnya alasan penyakit atau sejenisnya.

Namun pada waktu haji dan umrah, perempuan dianjurkan memotong sedikit rambutnya. Sementara kaum laki-laki pada waktu haji dan umrah dianjurkan untuk menggundul rambutnya.

Hal ini menunjukkan bahwa yang disyariatkan bagi perempuan adalah membiarkan rambutnya menjadi panjang dan tidak memangkasnya. Kecuali untuk mempercantik diri, karena penyakit, karena kondisi kemiskinan sehingga tidak mampu mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan rambut.

Pada saat demikian seorang perempuan diberi keringanan untuk memangkas sebagian rambutnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian istri Nabi SAW setelah beliau wafat. (Lihat Fatwa-fatwa Seputar Tatarias Rambut). Wallahu A’lam.

 

sumber:Republika Online