Waspadai Cara Mencintai Allah yang Justru Tertolak

MENCINTAI Allah Ta’ala adalah menjadikan Allah dan segala perintahnya sebagai prioritas utama dalam segala wujud kehidupan sehari-hari. Cinta kepada Allah adalah cinta pada level tertinggi, mengalahkan segala bentuk cinta kepada manusia, termasuk kepada orang tua, istri, anak-anak, harta benda dan semuanya. Jangankan menjadikan yang selain Allah Ta’ala itu lebih tinggi derajatnya dengan cinta kepada Allah, bahkan bila hanya sama dan sederajat saja, sudah dikatakan zalim oleh Allah.

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa, bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 165)

Apalagi bila menjadikan semua itu lebih kita cintai dari Allah, tentu lebih parah lagi. Allah menyebut mereka yang mencintai selain dirinya dengan tingkat kecintaan yang lebih tinggi dari mencintai Allah, mereka adalah orang fasiq.

Katakanlah, “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah: 24)

Cara mencintai Allah tentu harus sesuai dengan cara yang ditentukan Allah Ta’ala. Bukan dengan cara mengarang-ngarang sendiri, apalagi menciptakan sendiri ritual-ritual aneh yang tidak ada dasarnya dari Allah. Dan bentuk mencintai Allah yang paling tepat adalah dengan cara mengikuti petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab beliau adalah petugas resmi yang diutus Allah kepada umat manusia untuk mengajarkan bagaimana cara mewujudkan bentuk real sebuah cinta kepada-Nya.

Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Ali Imran: 31)

video_syiar_islam

Apapun realisasi rasa cinta seseorang kepada Allah, tetapi kalau sampai bertentangan dengan apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan, maka pengungkapan bentuk cinta itu justru tertolak, bahkan malah melahirkan laknat dan siksa dari Allah.

Sebab kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai utusan resmi satu-satunya dari Allah kepada seluruh manusia, bahkan kepada seluruh makhluk hidup yang ada. Maka apa pun yang beliau sampaikan, wajib kita ikuti dengan sepenuh hati. Sebaliknya, apapun yang dilaranganya, tentu saja wajib kita jauhi dari diri kita. Penegasan pernyataan ini disampaikan Allah langsung di dalam Alquran Al-Kariem.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah menggambarkan sebuah pengibaratan tentang bentuk cinta kepada Allah. Beliau berkata bahwa cinta kepada Allah itu ibarat pohon dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah mengenal nama dan sifat Allah, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa)Nya, daunnya adalah rasa malu terhadap-Nya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya Dan penyiramnya adalah zikir kepadaNya. Kapanpun jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341191/waspadai-cara-mencintai-allah-yang-justru-tertolak#sthash.QDPjbRkr.dpuf

Cara Membedakan Hadis Palsu, Daif,dan Sahih (2)

SATU persatu biografi para perawi hadis itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-‘adalah dan kriteria adh-dhabth.

b. Krieria adh-dhabth

Kriteria adh-dhabth adalah penilaian dari sisi kemampuan seorang perawi dalam menjaga originalitas hadis yang diriwayatkanya. Misalnya, adakah dia mampu menghafal dengan baik hadis yang dimilikinya. Atau punyakah catatan yang rapi dan teratur. Sebab boleh jadi seorang perawi memiliki hafalan yang banyak, akan tetapi tidak dhabith atau tidak teratur, bahkan boleh jadi acak-acakan bercampur baur antara rangkaian perawisuatu hadis dengan rangkaian perawi hadis lainnya.

Biasanya dari sisi adh-dhabth ini para perawi memang orang yang saleh. Tetapi kalau hafalan atau database periwayatan hadisnya acak-acakan, maka dia dikatakan tidak dhaabith. Cacat ini membuatnya menempati posisi lemah dalam daftar para perawi hadis. Hadis yang diriwayatkan lewat dirinya bisa saja dinilai daif atau lemah.

Untuk mendapatkan kumpulan hadits yang sahih, kita bisa membuka kitab yang disusun oleh para ulama. Di antara yang terkenal adalah kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Al-Imam Al-Buhkari dan kitab Ash-Shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Akan tetapi bukan berarti semua hadis menjadi tidak shahih bila tidak terdapat di dalam kedua kitab ini. Sesungguhnya, kedua kitab ini hanya menghimpun sebagian kecil dari hadis-hadisyang sahih. Di luar kedua kitab ini, masih banyak lagi hadis yang sahih.

Keberadaan kedua kitab itu meski sudah banyak bermanfaat, namun masih diperlukan kerja keras para ulama untuk mengumpulkan semua hadis yang ada di muka bumi, lalu satu per satu diteliti para perawinya. Dan seluruhnya disusun di dalam suatu database. Sehingga setiap kali kita menemukan suatu hadis, kita bisa lakukan searching, lalu tampil matan-nya beserta para perawinya dengan lengkap mulai dari level sahabat hingga level terakhir, sekaligus juga catatan rekord tiap perawi itu secara legkap sebagaimana yang sudah ditulis oleh para ulama.

Yang sudah ada sekarang ini baru program sebatas hadis-hadis yang ada di dalam 9 kitab saja, yang dikenal dengan kutubus-sittah. Program ini sudah lumayan membantu, karena bisa dikemas dalam satu keping CD saja. Bahkan Kementerian Agama, Wakaf, Dakwah dan Irsyad Saudi Arabia membuka situs yang memuat database kesembilan kitab hadis ini, sehingga bisa diakses oleh siapa saja dan dari mana saja di seluruh dunia secara gratis.

Sayangnya, hadis-hadis yang ada di program ini masih terbatas pada 9 kitab hadis saja, meski sudah dilengkapi dengan kitab-kitab penjelasnya (syarah). Padahal ada begitu banyak hadis yang belum tercantum di dalam kutubus-sittah. Lagi pula program itu pun belum dilengkapi dengan al-hukmu ‘alal hadits. Baru sekedar membuat database hadis yang terdapat di 9 kitab itu. Dan meski setiap hadis itu sudah dilengkapi nama-nama perawinya, namun belum ada hasil penelitian atas status para perawi itu. Jadi hadis-hadis itu masih boleh dibilang mentah.

Proyek ini cukup besar untuk bisa dikerjakan oleh perorangan. Harus ada kumpulan team yang terdiri dari ribuan ulama hadis dengan spesifikasi ekspert. Mereka harus bekerja full-time untuk jumlah jam kerja yang juga besar. Tentu saja masalah yang paling besar adalah anggaran.

Sampai hari ini, sudah ada beberapa lembaga yang merintisnya. Para ulama di Al-Azhar Mesir, para ulama di Kuwait, para ulama di Saudi dan di beberapa tempat lain, masing-masing sudah mulai mengerjakan. Sayangnya hasilnya belum juga nampak. Barangkali karena mereka bekerja sendiri-sendiri dan tidak melakukan sinergi. Padahal kalau semua potensi itu disatukan dalam sebuah managemen profesional, insya Allah kita bisa menyumbangkan sesuatu yang berharga di abad 15 hijriyah ini.

Hitung-hitung sebagai kado untuk kebangkitan Islam yang sudah sejak lama didengung-dengungkan itu. Sebuah warisan pekerjaan dari generasi lampau untuk kita demi mencapai masterpiece.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341494/cara-membedakan-hadis-palsu-daif-sahih-2#sthash.EJ8ADtgm.dpuf

Cara Membedakan Hadis Palsu, Daif & Sahih (1)

YANG bisa menetapkan status sebuah hadis bukanlah kita yang awam ini, melainkan para ulama hadis. Mereka saja yang punya kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil naqd (kritik) mereka.

Menetapkan status suatu hadis dikenal dengan istilah al-hukmu ‘alal hadis. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadis (muhadditsin). Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadis. Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan hadisnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.

Kesahihan suatu hadis akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para sahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling akhir atau paling bawah.

Nama para perawi paling akhir itu adalahyang sering kita dengar sebagai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan ukuran bukan semata-mata para perawi di level paling bawah atau paling akhir saja. Melainkan keadaan para perawi dari level paling atas hingga paling bawah dijadikan objek penelitian. Khususnya pada level di bawah para sahabat. Sebab para ulama sepakat bahwa para sahabat itu seluruhnya orang yang adil dan tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.

Satu persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-‘adalah dan kriteria adh-dhabth.

a. Kriteria al-‘adalah

Kriteria pertama adalah masalah ‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketakwaan, keIslaman, akhlak, ke-wara’-an, kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran Islam. Kriteria ini penting sekali, sebab ternyata kebanyakan hadis palsu itu lahir dari mereka yang kualitas pengamalan keIslamannya kurang.

Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu hadis demi menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan kedudukan. Atau untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang bermasalah dari segi al-‘adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar black-list bila ketahuan pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akidah, akhlak dan etika Islam.

Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin ilmu khusus yang disebut ilmu al-jarhu wa at-ta’dil. Ilmu ini mengkhususkan diri pada database catatan hitam seseorang yang memiliki cacat atau kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat mendapatkan julukan khas dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah akzabun nass (manusia paling pendusta), fulan kazzab (pendusta), si fulan matruk (haditsnya ditinggalkan) dan sebagainya.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341492/cara-membedakan-hadis-palsu-daif-sahih-1#sthash.ag0b6lhY.dpuf

Pentingnya Pendidikan Agama dan Mental di Usia Dini

Pendidikan agama sangat penting ditanamkan sejak usia dini. Lebih bagus lagi bila ditanamkan dengan cara yang bisa membangun kreativitas dan perkembangan mental anak.

Melihat hal tersebut, Direktorat Pendidikan madrasah direktorat jenderal pendidikan islam kementrian Agama menggelar lomba untuk anak-anak Raudhatul Atfal (RA) atau setingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Lomba tersebut diikuti oleh puluhan RA yang berada di wilayah Jabodetabek serta Cianjur.

Direktur Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan islam kementrian Agama, Nurkholis Setiawan mengatakan tujuan diadakan lomba ini untuk membudayakan kreativitas sekaligus menumbuh kembangkan prestasi anak-anak usia dini.

“Lomba ini untuk melatih mental karena ketika anak-anak hanya terdidik dalam teori saja, namun kalau mentalnya gak kuat anak tersebut gampang goyah,” ungkapnya kepada wartawan, Selasa (30/9/2014).

Kegiatan ini untuk mengangkat mutu pendidikan madrasah yang dimulai dari tingkat RA ini. Ajang penyaluran kreativitas ini, kata dia, sudah mengakomodir semua sisi terkait pendidikan agama, seni, kreativitas dan lainnya.

Sementara, Kasubid Pendidikan Madrasah Direktorat Jenderal Pendidikan islam kementrian Agama, Sastra Juanda menjelaskan lomba ini dibagi menjadi 8 kategori, seperti lomba mengaji, hafalan doa, hafalan surat pendek, lomba adzan, seni islam, tarian dan lainnya.

“Acara ini sudah dilakukan 2 kali, namun kali ini peserta yang ikut lebih banyak. Antusias siswa nya pun terlihat sangat bagus yang sekarang,” ungkapnya.

Di ajang lomba ini, keinginan anak-anak untuk menunjukkan kebisaan mereka sangat besar. Selain untuk memotivasi anak-anak, lomba ini juga untuk memotivasi guru yang tentunya berlandaskan kepada asas pengembangan anak usia dini.

“Pendidikan anak-anak di usia dini sangat menentukan dan berdampak pada perkembangan dan kreativitas kedepannya. Kita berusaha membina anak usia dini dengan baik dan yang penting berahlak mulia,” ujarnya.

Harapannya, sebagai lembaga pendidikan yang di kelola Kementrian Agama, RA bisa menjadi fase persiapan yang sangat komperhensif terhadap sekolah dasar dan menengah.

Pengirim:

Bima Firmansyah

sumber:Liputan6

Soal Media Sosial, Ini Nasihat Ustaz Erick Yusuf

Pimpinan Lembaga Dakwah Kreatif (iHaqi) Ustaz Erick Yusuf menilai, kebanyakan orang di sosial media (sosmed) kerap kehilangan fokus. Banyak netizen mulai mengedepankan egonya untuk menang, agar bisa ‘menang’ dalam perdebatan.

“Kalau sudah seperti itu, dia sudah tidak lagi berpikir mencari kebenaran, tapi memuaskan nafsunya. Kalau sudah seperti itu pastilah caci maki yang keluar,” ujar Ustadz Erick Yusuf itu kepada Republika belum lama ini.

Dia mengingatkan, Allah SWT telah berfirman di surah al-Hujurat ayat 12. Dalam ayat tersebut, Allah SWT telah melarang orang-orang beriman untuk mencari-cari kesalahan orang dan menggunjing urusan orang lain. Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, berkatalah yang baik atau diam sama sekali.”

Rasullah SAW juga menganjurkan kepada umatnya untuk meninggalkan perdebatan-perdebatan yang hanya mengedepankan nafsu untuk menang. “Islam itu justru kalau kita tidak bisa ngomong yang baik, lebih baik diam. Hadisnya juga sudah jelas,” ujar salah satu pendiri Yayasan Ihaqi tersebut.

 

sumber:Republika Online

Meremehkan Salat Berarti Meremehkan Agama

AMIRUL Mukminin, Umar bin Al Khoththob radhiyallahu anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah salat. Barang siapa menjaga salat, berarti dia telah menjaga agama. Barang siapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan salat.” (Ash Sholah, hal. 12)

Imam Ahmad rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara salat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap salat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan salat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar salat dalam hatimu.” (Ash Sholah, hal. 12)

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Firaun dan kaumnya, kaum saleh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mumin-mushoddiq).” (Ash Sholah, 35-36)

[Muhammad Abduh Tuasikal]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341247/meremehkan-salat-berarti-meremehkan-agama#sthash.VNnxyONg.dpuf

Hanya Salat Jumat tapi Tak Pernah Salat 5 Waktu

SEGALA puji bagi Allah. Orang semacam itu pantas mendapatkan hukuman berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: ijma). Menurut mayoritas ulama (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad) wajib orang semacam itu dimintai tobat. Jika ia tidak bertobat, maka ia wajib dibunuh (atas otoritas penguasa, pen). Orang yang meninggalkan salat boleh saja dilaknat dalam bentuk umum. Sedangkan melaknat masing-masing individu sebaiknya ditinggalkan, karena mungkin saja individu yang ada bertobat. Wallahu alam. (Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/63)

Rincian Hukum Meninggalkan Salat

Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma) bahwa dosa meninggalkan salat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah- mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan salat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, hal. 7)

Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan salat, kami dapat rinci sebagai berikut:

Kasus pertama: Meninggalkan salat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, Sholat oleh, ora sholat oleh. (Kalau mau salat boleh-boleh saja, tidak salat juga tidak apa-apa). Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya salat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

Kasus kedua: Meninggalkan salat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan salat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari sahabat dan tabiin. Contoh hadis mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah salat. Barang siapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, shahih)

Kasus ketiga: Tidak rutin dalam melaksanakan salat yaitu kadang salat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ibroh bilkhotimah (Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya). (Majmu Al Fatawa, 7/617)

Kasus keempat: Meninggalkan salat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan salat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

Kasus kelima: Mengerjakan salat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.” (QS. Al Maaun: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Munim Salim, hal. 189-190)

[baca lanjutan: Meremehkan Salat Berarti Meremahkan Agama]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341245/hanya-salat-jumat-tapi-tak-pernah-salat-5-waktu#sthash.UhPnsnGB.dpuf

Hikmah Larangan Jual Beli Saat Salat Jumat

APA ada hikmah dari larangan jual beli saat salat Jumat? Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumuah: 9).

Syaikh As Sadi rahimahullah menerangkan bahwa larangan di sini adalah untuk jual beli padahal hati begitu tertarik sekali untuk melakukannya. Untuk pekerjaan lainnya yang juga melalaikan hati dari ibadah, itu pun diperintahkan untuk ditinggalkan.

Hikmah dari meninggalkan larangan jual beli disebutkan dalam ayat di atas, “Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Jumuah: 9).

Syaikh As Sadi menerangkan mengenai ayat di atas, “Ayat tersebut menunjukkan akan hikmah besar dari meninggalkan larangan. Kebaikan yang diperoleh karena menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan menyibukkan diri dengan aktivitas ibadah salat Jumat. Salat Jumat ini adalah kewajiban yang sangat penting. Kita diperintahkan untuk meraih kebaikan dan pahala di dalamnya. Di antara hikmah penting dari menghadiri salat Jumat adalah kita diperintahkan untuk mendahulukan urusan akhirat dibandingkan dengan urusan dunia.”

Beliau rahimahullah juga menerangkan, “Di antara bentuk kebaikan yang diraih dari menghadiri salat Jumat dan meninggalkan jual beli kala itu, di situ ada bentuk mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu kita. Dengan demikian, itu tanda benarnya iman orang tersebut. Tanda bahwa orang tersebut benar-benar ingin kembali pada Rabbnya. Dan tentu saja siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka akan diganti dengan yang lebih baik. Sedangkan, siapa yang mendahulukan hawa nafsunya dari ketaatan pada Allah, sungguh ia benar-benar rugi dalam urusan akhiratnya. Ditambah, ia pun akan merasakan rugi di dunia. Nah itulah yang menjadi keutamaan yang besar bagi siapa saja yang meninggalkan urusan dunia hingga salat Jumat selesai.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 139).

Syaikh As Sadi di kitab lain menuturkan, “Sesuatu di sisi Allah tentu lebih baik dan lebih kekal. Karenanya jika seseorang mendahulukan urusan dunia daripada urusan ibadahnya, tentu ia benar-benar merugi. Jika ada yang melanjutkan jual beli saat salat Jumat, ia sangka akan raih keuntungan, namun sebenarnya yang ada adalah kerugian yang nyata.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 863).

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

[Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341261/hikmah-larangan-jual-beli-saat-salat-jumat#sthash.PvKSet0w.dpuf

Saya Anak Zina, Siapa Wali Nikah Saya?

SEANDAINYA ayah biologis anda sempat menikahi ibu anda, walaupun setelah itu kembali bercerai, maka anda bukan lagi sebagai anak biologis, namun nasab antara anda dan beliau akan tersambung. Anda adalah anak beliau dan beliau adalah ayah sah anda. Beliau adalah orang yang berhak untuk menjadi wali bagi anda.

Karena itu, ada baiknya bila anda mengupayakan agar terjadi ikatan pernikahan antara kedua orang tua anda. Walau pun hanya lewat perwakilan, sehingga tidak perlu bertemu langsung. Misalnya, ayah biologis anda cukup mewakilkan wewenangnya kepada orang lain, demikian juga ayah kandung dari ibu anda, juga mewakilkan kepada orang lain lagi. Maka kedua orang yang sama-sama menjadi wakil itu melakukan akad nikah dengan disaksikan oleh minimal dua orang laki-laki yang sudah aqil dan baligh serta beragama Islam.

Namun bila ikatan akad nikah antara ayah biologis anda dan ibu anda tidak pernah terjadi, para ulama mengatakan bahwa hubungan nasab tidak terjadi. Walhasil, beliau bukan ayah anda secara nasab yang syar’i. Sehingga beliau pun bukan orang yang berhak untuk menjadi wali bagi anda. Dalam hal ini maka kita kembalikan kepada sabda nabi Muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam tentang wanita yang tidak punya wali yang sah.

Dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

 video_syiar_islam

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR Ahmad dan Empat)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu’an, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi.”(HR Ahmad).

Yang dimaksud dengan sultan adalah pemerintah yang sah. Dalam hal ini adalah presiden, karena pimpinan tertinggi anda adalah beliau. Meski tentu saja presiden boleh mewakilkan wewenangnya kepada Menteri Agama RI. Beliau pun berhak mewakilkan kepada bawahannya lagi hingga tingkat KUA. Pada level KUA inilah barangkali posisi wali buat anda.

Wallahu a’lam bishshawab, wasssalamu ‘alaikum warahmatulahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2340635/saya-anak-zina-siapa-wali-nikah-saya#sthash.gfBxusZB.dpuf

Kirgistan Bangun Masjid Khusus Perempuan

Departemen Urusan Agama Islam mengumumkan pembangunan masjid khusus perempuan. Masjid ini nantinya akan menampung 100 jamaah perempun.

Seperti dikutip Ahlul Bayt News Agency, Senin (8/4), departemen mengatakan pembangunan masjid ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Muslimah guna mempromosikan pengetahuan Islam dan Alquran.

Masjid ini juga diharapkan mampu mencegah pandangan ekstrimis yang berkembang dikalangan Muslimah. Departemen Urusan Agama Islam menggelontorkan dua juta som untuk pembangunan masjid yang berlokasi di Osh ini.

Osh merupakan kota terbesar kedua di Kirgistan. Kota tersebut sering disebut ibu kota wilayah selatan, dengan sebagian besar populasi merupakan Muslim.

 

sumber:Republika Online