Jin Masuk Surga Sebagaimana Manusia?

JAWABANNYA: Firman Allah dalam AlQuran: “Dan apabila petunjuk-Ku datang kepadamu.” (Thaahaa: 123)

Adalah ditujukan kepada orang-orang yang diturunkan Allah Ta’ala dari surga dengan firman-Nya, “Turunlah semua dari surga itu kamu berdua, sebagian dari kamu menjadi musuh sebagian yang lain.” (Thaahaa: 123)

Setelah itu Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila petunjuk-Ku datang kepadamu.”

Kedua hal di atas ditujukan kepada bapak jin dan bapak manusia. Ini menunjukkan bahwa jin mendapat perintah serta larangan dari Allah Ta’ala. Mereka juga tercakup dalam syariat-syariat para nabi, dan kejahatan mereka juga layak mendapat hukuman. Ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus kepada mereka
sebagaimana diutus kepada manusia. Semua ini tidak diperselisihan para ulama.

Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang apakah jin yang muslim juga masuk surga? Mayoritas ulama berpendapat bahwa jin muslim akan masuk surga, dan jin yang kafir akan masuk neraka. Ada juga yang mengatakan bahwa pahala jin yang muslim hanyalah keselamatan dari siksa neraka namun tidak akan masuk surga. Karena surga hanya dimasuki oleh Adam dan keturunannya, dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Orang-orang yang mengatakan bahwa jin muslim juga akan masuk surga memiliki beberapa argumentasi.

Pertama. Dalam ayat 123 dari surah Thaahaa di atas, Allah Ta’ala memberitakan bahwa barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Nya, maka ia tidak akan merasa takut, sedih, tersesat dan menderita. Ini merupakan konsekuensi dari kesempurnaan nikmat-Nya. Tidak bisa dikatakan bahwa ayat tersebut hanya menunjukkan peniadaan azab, karena sudah menjadi kesepakatan bahwa jin mukmin tidak akan disiksa.

Seandainya ayat di atas hanya menunjukkan peniadaan azab, maka itu bukanlah pujian bagi manusia yang mukmin, namun sekedar informasi peniadaan ketakutan dan kesedihan. Sebagaimana diketahui bahwa konteks dan maksud ayat adalah bahwa orang yang mengikuti petunjuk Allah Ta’ala, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang paling besar dan terhindar dari penderitaan yang sangat pedih.

Allah Ta’ala mengungkapkan semua itu dengan meniadakan rasa takut dan kesedihan tersebut sesuai dengan tuntutan keadaan. Sehingga, ketika Allah Ta’ala menurunkan Adam Alaihi Sallam dari surga, maka ia dirundung rasa takut, kesedihan dan penderitaan. Lalu Allah memberitahukan kepadanya bahwa Dia memberikan janji baginya dan bagi keruturunannya.

Yakni, barangsiapa mengikuti petunjuk-Nya, maka akan terhapus ketakutan, kesedihan, kesesatan, dan penderitaan darinya. Dan dimaklumi bahwa semua itu tidak akan hilang kecuali dengan masuk ke surga. Tetapi, dengan menyebutkan peniadaan keburukan yang paling berat adalah lebih tepat.

Kedua. Firman Allah Ta’ala, “Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Alquran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata, Diamlah kamu untuk mendengarkannya. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan. Mereka berkata, Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab Alquran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah seruan orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.'” (al-Ahqaaf: 29-31)

Dalam ayat di atas Allah Ta’ala memberitahukan kepada kita tentang ancamanNya terhadap para jin, yaitu barangsiapa yang memenuhi seruan utusan-Nya, maka akan diampuni dan dibebaskan dari neraka. Seandainya ampunan bagi mereka hanya berupa pembebasan dari azab, maka cukup dengan firman-Nya, “Dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” Akan tetapi, kesempurnaan ampunan itu adalah masuk ke surga dan selamat dari neraka. Sehingga barangsiapa yang mendapat ampunan dari Allah, maka dia masuk surga.

Ketiga. Firman Allah Ta’ala tentang bidadari di surga, “Tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka) dan tidak pula oleh jin.” (ar-Rahmaan: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa jin dan manusia yang beriman akan masuk surga, dan bahwa bidadari di dalamnya belum pernah disentuh oleh mereka. Maka, ini menunjukkan jin-jin yang beriman dapat menyentuh bidadari setelah mereka masuk surga, sebagaimana yang terjadi pada manusia. Seandainya mereka tidak masuk surga, tentulah tidak pantas bagi mereka menerima berita seperti itu.

Keempat. Firman Allah Ta’ala, “Maka jika kami tidak dapat membuatnya, pasti kamu tidak akan dapat membuatnya. Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga itu, mereka mengatakan, Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 24-25)

Di antara jin ada yang mukmin dan ada yang kafir, sebagaimana dikatakan oleh jin-jin saleh di antara mereka, “Dan sesungguhnya dari kami ada orang-orang taat dan ada pula orang-orang yang menyimpang dari kebenaran.” (al-Jinn: 14)

Maka karena golongan jin yang kafir masuk dalam ayat kedua (al-Jinn: 14), maka golongan jin mukmin juga harus masuk dalam ayat pertama (al-Baqarah: 25).

Kelima. Firman Allah Ta’ala tentang jin-jin yang saleh. “Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.” (al-Jinn: 14)

Maksud ar-rusyd di sini adalah petunjuk dan kemenangan, yaitu petunjuk dari Alquran. Maka, barangsiapa tidak masuk surga, dia tidak memperoleh tujuan dari petunjuk tersebut, melainkan petunjuk tersebut sekedar dalam pengetahuannya saja.

Keenam. Firman Allah Ta’ala, “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhan dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah diberikannya kepada siapa yang dikehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Hadiid: 21)

Golongan jin yang mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan para rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka termasuk orang-orang yang memperoleh berita gembira dan berhak menerimanya.

Ketujuh. Firman Allah Ta’ala, “Allah menyeru manusia ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Yunus: 25)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan seruan-Nya bersifat umum, dan menjadikan hidayah-Nya bersifat khusus. Maka, barangsiapa mendapatkan petunjukNya, dia termasuk yang diseru kepada petunjuk-Nya itu. Jadi jin yang mandapatkan hidayah-Nya, adalah termasuk yang diseru kepada hidayah itu.

Kedelapan. Firman Allah Ta’ala. “Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dan golongan kamu sendiri yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan-Ku hari ini? Mereka berkata, Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri. Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri bahwa mereka adalah orangorang yang kafir. Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah. Dan masingmasing orang memperoleh derajat-derajat seimbang dengan apa yang dikerjakannya. Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (al-Anam: 128-132)

Penjelasan ayat ini adalah umum untuk jin dan manusia. Dalam ayat tersebut Allah SWT memberitakan kepada mereka bahwa masing-masing mereka memiliki derajat sesuai dengan amalnya. Sebagai konsekuensinya, maka jin yang melakukan kebajikan juga memiliki derajat sesuai dengan amalnya, sebagaimana manusia.

Kesembilan. Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. (Fushshilat: 30)

Dan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak ada pula berduka cita. Mereka-mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Ahqaaf: 13-14)

Ayat ini kami jadikan dalil, karena tiga alasan. Pertama, kata penghubung (alladziina) di dalam ayat tersebut bersifat umum. Kedua, disebutkannya pahala setelah hal-hal terpuji yang disebutkan sebelumnya. Dan ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyandang hal-hal tersebut berhak menerima pahala itu. Hal-hal terpuji tersebut adalah ikrar bahwa tiada tuhan selain Allah disertai dengan istiqamah.

Ketetapan ini adalah umum karena keumuman sebab. Apabila masuk surga adalah konsekuensi dari kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan pengakuan akan rububiyah-Nya, disertai dengan konsisten terhadap segala perintah-Nya, maka barangsiapa yang melakukan hal ini, dia pun berhak atas balasan tersebut.

Ketiga, Allah Ta’ala berfirman, “Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tidak ada pula berduka cita. Mereka-mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Ahqaaf: 13-14)

Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih adalah penghuni surga. Dan, tentang siapa yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih telah disebutkan dalam firman Allah, “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka mereka tidak akan merasa takut dan merasa sedih.” (al-Baqarah: 38)

Ayat ini meliputi dua golongan, dan ayat ini menujukkan bahwa siapa saja yang tidak dilingkupi rasa takut dan rasa sedih, maka dia adalah penghuni surga.

Kesepuluh. Jika jin-jin yang kafir masuk neraka karena keadilan Allah, maka masuknya jin-jin yang mukmin ke surga karena kemuliaan dan kasih sayang Allah adalah lebih utama. Sebab, kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya dan kebaikan lebih umum daripada keadilan. Oleh karena itulah, tidak akan masuk neraka kecuali mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka. Berbeda dengan surga, ia dapat dimasuki oleh mereka yang tidak pernah melakukan kebaikan sama sekali.

Karena Allah Ta’ala telah menciptakan golongan untuk surga yang akan menempatinya tanpa harus melakukan amal kebajikan. Di dalam surga juga Allah akan menaikkan derajat hambahamba-Nya tanpa ada usaha dari mereka, melainkan karena doa, salat, sedekah dan perbuatan baik yang dihadiahkan orang lain kepada mereka. Merupakan ketetapan Alquran serta kesepakatan umat, bahwa jin kafir akan masuk neraka karena keadilan Tuhan dan karena apa yang mereka perbuat.

Sedangkan, jin-jin mukmin akan masuk surga karena kemuliaan Allah dan karena amal mereka. Ada juga yang berpendapat bahwa jin-jin mukmin tersebut berada di dasar surga, di mana mereka dapat dilihat oleh penghuni surga lainnya tapi mereka sendiri tidak melihat penghuni surga lainnya. Menurut pendapat ini, kondisi mereka di surga ini kebalikan di dunia, di mana jin-jin tersebut dapat melihat anak-cucu Adam, sedangkan anak-cucu Adam tidak dapat melihat mereka.

Akan tetapi, hal seperti ini tidak dapat diketahui tanpa ada dalil yang tidak bisa dibantah. Dan jika dalil tersebut memang benar, maka itu wajib diikuti. Namun jika tidak ada dalil yang mendukungnya, maka pendapat ini sekedar disampaikan agar dapat diketahui, sedangkan kebenarannya tergantung pada dalil. Wallaahu aalam.

[Sumber: Miftah Darus Saadah karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356295/jin-masuk-surga-sebagaimana-manusia#sthash.nutWnSqu.dpuf

9 Nama Surga yang Tak Banyak Muslim Ketahui

SURGA adalah sebuah nama yang telah dikenal oleh setiap manusia, baik muslim maupun kafir sebagai tempat yang penuh dengan kenikmatan. Namun hanya muslim lah yang berhak untuk tinggal di surga, adapun orang kafir, tempat kembalinya adalah neraka.

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. Al-Bayyinah: 6-8)

Surga berarti kebun yang di dalamnya terdapat banyak pohon dan kurma. Sebagian ulama bahasa mengatakan, “Tidaklah disebut jannah/surga dalam bahasa arab kecuali di dalamnya terdapat pohon kurma dan anggur.” Sebagian yang lain mengatakan, disebut surga/jannah karena lebatnya pohon yang ada di dalamnya dan ranting / dahannya memberikan naungan bagi yang berada di bawahnya. Nama-Nama Surga:

1. Darussalam

Allah Taala berfirman, “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Rabbnya dan Dialah Pelindung mereka disebabkan amal-amal shalih yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Al-Anam: 127)

Sebagian ulama mengatakan, “Disebut darussalam karena surga adalah tempat yang terbebas dari hal yang kotor, hal yang membahayakan dan hal yang tidak disukai”. Pendapat yang lain mengatakan artinya Darullah, karena As-Salam adalah salah satu nama Allah.

2. Jannatul Khuld

Allah Taala berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Apakah (adzab) seperti itu yang baik, atau surga yang kekal yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa sebagai balasan, dan tempat kembali bagi mereka?” (QS. Al-Furqan: 15)

Disebut dengan nama ini karena penduduk surga itu kekal berada di dalam surga, tidak berpindah posisi ke tempat yang lain, dan tidak mencari cari tempat lain selain surga.

3. Jannatul Mawa

Allah Taala berfirman, “(yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 14-15)

4. Darul Muqamah

Allah Taala berfirman, “Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Rabb kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu”. (QS. Fathir: 34-35)

5. Jannatu Adn

Allah Taala berfirman, “Dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga Adn. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. Ash-Shaff: 12)

6. Maqadu Shidq

Allah Taala berfirman, “Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.” (QS. Al-Qamar: 54-55)

7. Qadama Shidq

Allah Taala berfirman, “Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Rabb kalian.” (QS. Yunus: 2)

8. Al-Maqamul Amin

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam tempat yang aman.” (QS. Ad-Dukhan: 51)

9. Jannatun Naim

Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.” (QS. Luqman: 8)

Apakah Firdaus Termasuk Nama Surga?

Firdaus adalah salah satu bagian dari surga yang letaknya paling mulia dan yang paling tinggi. Allah Taala berfirman, “Sungguh, orang yang beriman dan beramal shalih, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi: 107)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Ummu Haritsah, “Wahai Ummu Haritsah, sesungguhnya di sana terdapat banyak Surga dan sungguh anakmu telah mendapat Firdaus (Surga) yang paling tinggi.” (HR. Al-Bukhari No. 3982)

Demikianlah penjelasan singkat tentang pengertian surga dan nama-nama surga yang terdapat di dalam Alquran. Semoga bermanfaat. [Referensi: Kitab Washful Jannah Karya Musthafa Al Adawi/Wiwit Hardi P.]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2354265/9-nama-surga-yang-tak-banyak-muslim-ketahui#sthash.c84498PE.dpuf

3 Hal yang Perlu Diingat di Hari Jumat

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu ‘Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Hari Jumat adalah hari terbaik kaum muslimin. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menyampaikan, hari Jum’at adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari.

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ

Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk.” (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan al Hakim dengan sanad yang shahih)

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا

Hari terbaik yang disinari matahari adalah hari Jum’at. Pada hari itu Nabi Adam diciptakan, dimasukkan surga, dan pada hri itu pula ia dikeluarkan darinya.” (HR. Muslim)

Karenanya, wajib bagi setiap muslim memahami kedudukan hari ini dan keistimewaanya. Tujuannya, supaya bisa memanfaatkan hari tersebut untuk memperbanyak ibadah dan ketaatan, memperbanyak shalat atas Nabi, dan memperbanyak doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ibnul qayyim berkata, “Adalah di antara petunjuknya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengagungkan hari (Jum’at) ini dan memuliakannnya, serta mengistimewakannya dengan ibadah yang dikhususkan pada hari tersebut yang tidak dikhususkan pada hari lainnya. . .” (Zaad al-Ma’ad: 1/378)

Di hari ini, ada tiga perkara istimewa yang hendaknya diperhatikan, jangan dilupakan.

Pertama, Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jangan lupa bershalawat atas beliau. [Baca: Perbanyaklah Shalawat Pada Hari Jum’at !!]

Dari Aus bin Aus Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ قُبِضَ وَفِيهِ النَّفْخَةُ وَفِيهِ الصَّعْقَةُ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan, dan pada hari itu juga ditiup sangkakala dan akan terjadi kematian seluruh makhluk. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat di hari Jum’at, karena shalawat akan disampaikan kepadaku….” (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan al Hakim)

Memperbanyak shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada hari Jum’at yang menjadi sayyidul ayyam menunjukkan kemuliaan pribadi beliau sebagai sayyidul anam (pemimpin manusia).

Shalawat termasuk ibadah yang paling afdhal. Dan dilaksanakan pada hari Jum’at jauh lebih utama daripada dilaksanakan pada hari selainnya, karena hari Jum’at memiliki keistimewaan dibandingkan hari yang lain. Dan melaksakan amal yang afdhal pada waktu yang afdhal adalah lebih utama dan lebih bagus. (lihat ‘Aunul Ma’bud: 2/15)

Kedua, siapkan cahaya yang menerangi dirimu di akhirat dengan membaca surat Al-Kahfi. [Baca: Malam Jum’at Disunnahkan Baca Surat Al-Kahfi, Bukan Surat Yasin]

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ سَطَعَ لَهُ نُوْرٌ مِنْ تَحْتِ قَدَمِهِ إِلَى عَنَانِ السَّمَاءَ يُضِيْءُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَغُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jum’at.

Al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Mardawaih dalam tafsirnya dengan isnad yang tidak apa-apa.” (Dari kitab at-Targhib wa al- Tarhib: 1/298)

Ketiga, waktu mustajab, jangan lupa engkau bersungguh-sungguh berdoa padanya. [Baca: Manfaatkan Waktu Mustajab (Dikabulkan Doa) di Sore Hari Jum’at!]

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallah ‘anhu, dia bercerita: “Abu Qasim (Rasululah) shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

Sesungguhnya pada hari Jum’at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.”

Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, yang kami pahami, untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (Muttafaq ‘Alaih)

Pendapat mayoritas ulama, waktu tersebut berada di penghujung hari Jum’at. Pendapat lain menyebutkan waktu tersebut berada sejak duduknya imam di atas mimbar sampai berakhirnya shalat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah merajihkan pendapat pertama. Beliau berkata, “yang ini merupakan pendapat yang paling rajih dari dua pendapat yang ada. Ia adalah pendapat Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad, dan beberapa ulama selain mereka.” (Zaad al Ma’ad: I/390)

Namun beliau juga mengatakan, pengabulan doa itu diharapkan juga  pada saat shalat. Sehingga kedua waktu tersebut merupakan waktu ijabah (pengabulan) doa, meskipun saat yang khusus itu ada di ujung hari setelah shalat shalat ‘Ashar.

Penutup

3 perkara di atas termasuk bagian keistimewaan hari Jum’at. Tiga amal istimewa di dalamnya, shalawat atas Nabi, membaca surat Al-Kahfi, dan berdoa untuk kebiakan dunia dan akirat kita. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]

 

Oleh: Badrul Tamam

– See more at: http://www.voa-islam.com/read/ibadah/2016/01/21/41791/di-hari-jumat-jangan-lupakan-3-hal-ini/#sthash.zTNTKQyA.dpuf

Dahsyat! Inilah Balasan Jika Terbiasa Memberi

MANUSIA dilahirkan dalam kondisi tak memiliki apa-apa. Sehelai kain pun ia tak punya. Sehingga semua yang nantinya dia miliki, berupa harta dan lainnya adalah milik Allah semata.

Seperti Firman-Nya: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dikaruniakan-Nya kepadamu.”(An-Nur 33)

Seluruh harta yang ada pada mereka hanyalah titipan dari Allah. Sesuai dengan Firman-Nya:

“Dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah Menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).” (Al-Hadid 7)

Setelah Allah meyakinkan bahwa harta itu milik-Nya dan dititipkan kepada manusia, Allah memintanya untuk membagikan harta titipan itu kepada orang lain. Itupun, Allah tidak meminta untuk membagikan semua harta yang ia miliki, hanya sebagian saja yang perlu untuk dibagikan kepada orang lain. Allah swt berfirman:

“Dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami Berikan kepada mereka” (Al-Baqarah 3)

Namun anehnya, Allah menggunakan cara yang begitu indah untuk menggugah hati manusia dalam ber-infaq. Kita tau bahwa semua harta itu milik Allah, namun Allah memakai kata “hutangi-lah aku” ketika meminta manusia untuk membagikan hartanya. Seakan-akan harta itu milik manusia.

“Berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik.” (Al-Muzammil 20)

Allah meminta hutang sementara semua yang ada pada kita adalah milik-Nya. Seorang yang masih memiliki perasaan pasti tergugah untuk berbagi kepada selainnya. Karena manusia mungkin akan ragu bahwa yang ia berikan kepada orang lain akan kembali. Namun jika ada seorang yang berhutang, maka ada kemungkinan untuk kembali lagi. Dan kali ini yang berhutang adalah Allah swt. Siapa yang lebih tepat janjinya daripada Allah?

Bahkan dalam ayat lain, Allah menyebutkan bahwa siapa yang mau menghutangi Allah dengan membagikan hartanya kepada orang lain akan diganti dengan tambahan yang lebih dari Allah.

“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.”(Al-Baqarah 245)

Lalu, berapa banyak Allah akan melipat gandakan gantinya? Didalam Alquran disebutkan bahwa ganti yang Allah berikan atas mereka yang mau berinfaq adalah 10 x lipat paling sedikitnya.

Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.” (Al-Anam 160)

Bahkan didalam surat Al-Baqarah, Allah swt bukan hanya melipat gandakan 10x, namun sampai 700x lipat setiap seorang menginfakkan hartanya dijalan Allah.

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji.” (Al-Baqarah 261)

Dan lihatlah janji Allah bagi mereka yang mengeluarkan hartanya dijalan Allah:

“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan Menggantinya”(Saba 39)

Sekarang, ketika Allah telah berjanji untuk mengganti semua harta yang kita berikan, ketika Allah berjanji untuk melipatgandakan, ketika Dia meminta hutang padahal semua itu milik-Nya semata, adakah yang masih ragu untuk berbagi?

Imam Jafar Shodiq pernah bertanya: “Jika yang mengganti adalah Allah, lantas mengapa masih kikir?”

Sebenarnya, keuntungan yang akan kita dapatkan dari berinfak bukan hanya penggantian yang berlipat dari Allah. Lebih dari itu, menurut Alquran seorang yang berinfak sebenarnya dia memberi kepada dirinya sendiri.

Bukankah Allah berfirman: “Apa pun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri.”(Al-Baqarah 272)

Hanya orang yang tidak waras yang masih kikir terhadap dirinya. Dia begitu pelit bahkan untuk kebaikan dirinya sendiri. Allah pun dengan tegas menyebutkan dalam Firman-Nya bahwa siapa yang kikir sebenarnya dia kikir untuk dirinya sendiri.

“Dan barangsiapa kikir maka sesungguhnya dia kikir terhadap dirinya sendiri.”(Muhammad 38)

Ringkasnya, saat kita memiliki uang 100 ribu kemudian kita infakkan 50 ribu, tersisa berapa uang yang kita miliki? Logika dunia pasti mengatakan hanya tersisa 50 ribu. Namun logika Al-Quran, uang itu kini menjadi 550 ribu yang tersimpan dalam tabungan dihadapan Allah swt. Karena paling sedikitnya akan Allah ganti 10x lipat.

Akhirnya, apabila kita benar-benar mencintai harta kita maka titipkanlah harta itu kepada Allah. Jika tidak, maka ketika wafat akan menjadi milik ahli waris. Jika kita belikan makanan akan habis dan tersisa seperti yang keluar dari perut.

Rasulullah pun berpesan bahwa harta yang menjadi sebenar-benarnya milik kita adalah yang telah kita infakkan sementara yang masih ada di tangan kita tidak bisa menjamin akan menjadi milik kita nanti.

Suatu hari, beliau menyembelih kambing dan menyuruh istrinya Aisyah untuk membagi-bagikan daging itu. Setelah beberapa saat, Rasul bertanya tentang daging tersebut. Istri beliau menjawab bahwa semuanya sudah dibagikan kecuali sedikit yang ia sisakan untuk Rasulullah saw. Rasulullah pun menjawab bahwa yang telah dibagikan itulah yang sebenarnya milik kami sementara yang sisa sedikit itu bukan milik kami.

Sekecil apapun harta yang kita infakkan akan menjadi kekal sementara sebanyak apapun harta yang kita timbun akan segera terpisah dari kita.[khazanahalquran]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356316/dahsyat-inilah-balasan-jika-terbiasa-memberi#sthash.8wDZY6uA.dpuf

Teladan Menjalani Hidup

SENANG sekali jika kita buka lagi sejarah hidup Nabi Muhammad lalu merenungkannya seraya berharap mendapatkan hikmah. Sungguh kehidupan Rasulullah cermin kehidupan terbaik, referensi pilihan hidup yang lengkap. Tak ada cacat, benar-benar sempurna. Tak salah yang diungkap Siti Aisyah tentang akhlak beliau: “Kepribadiannya adalah al-Qur’an.”

Saat beliau akan hijrah ke Madinah, beliau berkehendak ditemani dua orang, yaitu penunjuk jalan dan teman perjalanan. Penunjuk jalan menjadi penting untuk mengarahkan jalan yang benar yang jauh dari bahaya dan celaka. Kita, dalam menjalani hidup ini, membutuhkan penunjuk jalan agar tak tersesat. Jadikanlah orang paham dan menjalankan agama sebagai penunjuk jalan kita. InsyaAllah, asal tak salah pilih, hidup kita lurus menuju surga.

Sahabat perjalanan juga penting agar ada tempat berembuk dan berbincang. Siapa yang dipilih oleh Rasulullah? Beliau punya banyak sahabat yang setia. Ada Umar bin Khattab yang gagah pemberani itu, sangat cocok mengamankan jalan hijrah. Ada Ali bin Abi Thlib yang cerdas, muda dan militan itu, cocok sebagai mitra rembuk. Ternyata yang dipilih Rasulullah adalah Abu Bakar, sahabat senior yang jiwanya selembut Rasulullah dan keimanannya adalah 100 persen kepada sang baginda Rasul.

Dalam kehidupan kita, teman yang paling dibutuhkan adalah teman yang sejiwa dan seiman. Ketika teman kehidupan kita, baik pasangan hidup ataupun mitra usaha tak sejiwa dan tak seiman, maka selalu saja ada kekhawatiran akan hadirnya konflik tak berujung, hubungan putus di tengah jalan, dan bentuk musibah lainnya. Satukan jiwa, kompakkan komitmen, perkuat iman. InsyaAllah, jalan hijrah lebih terang benderang. Salam, AIM. [*]

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2356903/teladan-menjalani-hidup#sthash.G2oEjfli.dpuf

An-Nashihat li ar-Ra’i wa ar-Ra’yat, Islam Pandang Penting Nasihat

Dalam Islam, nasihat menduduki posisi dan peranan penting. Dalam surah al-Ashr (103) ayat 3 ditegaskan bahwa berwasiat kepada sesama merupakan cara agar terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.

Al-Khuthabi memastikan hampir tak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan sebuah pesan, kritik, ataupun masukan, selain nasihat.  Karenanya, apabila merujuk kepada sejumlah referensi kamus Arab, kata nasihat adalah lafal bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.

Temuan al-Mazuri setidaknya menguatkan fakta tersebut. Menurut dia, kata nasihat berasal dari kata nashaha yang berarti bersih atau merajut dengan sebuah benang. Kata nasihat juga tercantum dalam sebuah hadis riwayat Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daari.

Hadis itu menjelaskan bahwa inti agama adalah nasihat. Menurut sebagian ulama, kedudukan hadis tentang nasihat sebagai inti agama menempati seperempat dari agama, seperti yang ditegaskan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi.

Bahkan, Imam an-Nawawi menyebut hadis itu sebagai satu-satunya jalan menggapai maksud agama. Sebab, menurutnya, hakikat tujuan-tujuan agama terangkum dalam  empat kategori nasihat.

Dalam hadis itu diterangkan ada beberapa kategori peruntukan nasihat. Pertama, nasihat kepada Allah, berupa taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, nasihat untuk kitab suci Alquran, dengan mengajarkan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ketiga, nasihat bagi Rasul-Nya, yakni mengikuti dan menerapkan sunah yang pernah dicontohkannya.

Keempat, nasihat bagi para pemimpin dan umat Islam secara keseluruhan. Dalam konteks nasihat bagi pemimpin dan umat Islam yang terakhir inilah, tercatat sejumlah karya berupa kitab tentang nasihat kepada pemimpin dan rakyat telah ditulis oleh para ulama.

Al-Mawardi pernah menulis kitab bertajuk Nashihat al-Muluk dan Nashihat al-Ikhwan. Kitab yang sama juga pernah disusun Abu Bakar al-Hanbali dengan judul Tajannub al-Fadlihah fi Taqdim an-Nashihat.

Abu al-Khair Badar ad-Din bin Abu al-Ma’mar bin Ismail at-Tabrizi (636 H) adalah satu dari sekian cendekiawan Muslim yang mempunyai kepedulian akan pentingnya sebuah nasihat. Ulama terkemuka itu menuliskan kitab yang berisi pesan-pesan dan wasiat yang pernah disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabat semasa hidupnya.

Menurut analisis at-Tabrizi, di antara sunatullah adalah menetapkan umat manusia, ada yang menjadi rakyat dan pemimpin. Fungsi pemimpin, menurut dia, mengarahkan dan menjaga rakyat agar tetap berada dalam koridor keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat.

 

 

sumber: Republika ONline

Puluhan Ribu Pelayat Antar Pemakaman Pengacara Muslim Pembela Etnis Rohingya

Puluhan ribu pelayat mengantar kepergiannya Ko Ni, pengacara muslim yang ditembak mati di Bandara Yangon Myanmar.

U Ko Ni (65 tahun), seorang penasehat hukum Liga Nasional Myanmar untuk Demokrasi (National League for Democracy),  ditembak mati di luar Bandara Internasional Yangon.

Polisi telah menangkap seorang pria bersenjata asal Kota Mandalay – Myanmar, berumur 53 tahun, sebagai tersangka pembunuhan pada hari Ahad (29/01/2017).

Seorang sopir taksi yang mencoba untuk menghentikan pria bersenjata itu juga tewas, menurut Zaw Htay, juru bicara Presiden Htin Kyaw.

Sehari setelah seorang pengacara HAM terkemuka tersebut ditembak, pemerintah Myanmar mengatakan pada hari Senin bahwa tersangka penembakan telah berusaha untuk merusak stabilitas di negara itu.

Berdasarkan kesaksian putrinya yang bernama Yin Nwe Khine, pada saat kejadian, Ko Ni baru saja memeluk cucunya saat ia melangkah keluar terminal bandara sekembalinya dari perjalanan dinas ke Jakarta untuk membahas demokrasi dan resolusi konflik.

“Ayah saya sedang berbicara dengan cucunya. Lalu, saya mendengar suara tembakan. Pada awalnya, saya pikir itu adalah ban mobil meletus, tapi kemudian saya melihat ayah saya tergeletak di tanah,” katanya Aljazeera, Senin (30/01/2017).

Semasa hidupnya, Ko Ni menulis enam buku tentang isu-isu hak asasi manusia dan pemilu yang demokratis, dan dia aktif terlibat dalam gerakan perdamaian antar agama. Selain itu, Ko Ni juga sering mengemukakan pendapatnya mengenai campur tangan kekuasaan militer dalam pemerintahan Myanmar.

“Ayah saya sering diancam dan kami diperingatkan untuk berhati-hati, tapi ayah saya tidak menerimanya dengan mudah. Dia selalu melakukan apa yang dia pikir benar,” tambah Yin Nwe Khine.

“Banyak orang membenci kami karena kami memiliki keyakinan agama yang berbeda, jadi saya pikir itu mungkin penyebab pembunuhan tersebut, tapi saya tidak tahu alasannya.” lanjutnya.

Pada pemakaman Ko Ni di senin sore, puluhan ribu orang memberikan penghormatan mereka kepadanya sebagai pahlawan bangsa.

Seorang pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi, U Tin Oo, dan Wali Kota Yangon, U Maung Maung Soe, menghadiri pemakaman; sementara Aung San Suu Kyi tidak.

“Kondisi nya sangat padat” kata Daw Wai Wai Nu, seorang aktivis Muslim Rohingya yang pernah diundang ke Gedung Putih oleh Presiden Barack Obama pada 2015. “Aku bahkan tidak bisa masuk ke tempat di mana tubuhnya disimpan di aula pemakaman” ujarnya.

Angkatan bersenjata Myanmar mengumumkan bahwa mereka akan bekerja sama dengan semua unit keamanan untuk menemukan kemungkinan tersangka lain yang terlibat dalam penembakan.

Mayjen Myo Zaw Thein, komandan wilayah Yangon, mengunjungi mayat Mr Ko Ni dan sopir taksi yang juga tewas dalam penembakan.

Militer masih merupakan institusi paling berkuasa di Myanmar, meskipun partai Aung San Suu Kyi sudah memenangkan pemilihan nasional pada tahun 2015.

Pendukung hak asasi manusia telah menyerukan penyelidikan independen terhadap pembunuhan U Ko Ni.*/Khawlah bint al-Azwar

 

sumber: Hidayatullahcom

Jadilah Manusia yang Bisa Menundukkan Nafsu

MANUSIA terbagi menjadi dua golongan. Pertama, yang berhasil dikuasai, dihancurkan, dan dikalahkan oleh nafsu sehingga tunduk di bawah perintahnya. Golongan kedua yang berhasil mengalahkan dan mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu itu tunduk di bawah perintah dirinya.

Sebagaimana orang arif berkata, “Perjalanan orang yang mencari jalan menuju Allah, maka berakhir dengan keberhasilannya mengalahkan nafsu mereka. Siapa yang berhasil mengalahkan nafsunya akan beruntung dan sukseslah mereka, dan siapa yang dikalahkan oleh nafsunya akan merugi dan celaka.”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Ada pun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya Nerakalah tempat tinggalnya. Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at: 37-41)

Memang, nafsu selalu mengajak untuk melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sementara Allah mengajak hambanya untuk takut kepadanya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu.

Di dalam Al-Qur’an, Allah menyifati nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah (tenang), lawwamah (pencela), dan ammarah bis-suu’ (penyuruh berbuat buruk).

a. Nafsu Muthmainnah

Bila nafsu merasa damai dengan Allah, merasa tentram dan tenang dengan mengingatnya, merasa rindu berjumpa dengannya, dan merasa senang berdekatan denganNya, itulah yang disebut nafsu muthmainnah.

Menurut Ibnu Abbas: “Nafsu muthmainnah ialah nafsu yang membenarkan.”

Sedangkan menurut Qatadah: “Ia adalah orang mukmin yang jiwanya merasa tenteram dengan apa yang dijanjikan Allah.” Seperti merasa tenteram dengan takdir Allah, pasrah kepada-Nya, dan rela menerima ketentuan-Nya, sehingga ia tidak merasa kesal, tidak mengeluh, dan tidak goyah iman-Nya.

Ia tidak merasa frustrasi terhadap apa yang dilewatkannya dan tidak bangga dengan apa yang diterimanya, karena musibah itu telah ditetapkan sebelum sampai kepadanya dan sebelum ia diciptakan.

Allah berfirman: Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya. (QS. At-Taghabun:11)

Banyak kalangan salaf yang mengatakan: “Itu adalah orang yang ditimpa musibah, lalu menyadari bahwa musibah itu berasal dari Allah, kemudian ia menerimanya dengan perasaan rela dan pasrah.

b. Nafsu Lawwamah

Menurut sebagian orang, nafsu lawwamah adalah nafsu yang tidak stabil. Ia sering berubah warna antara ingat dan lalai, menghadap dan berpaling, cinta dan benci, senang dan sedih, suka dan marah, patuh dan menghindar.

Nafsu lawwamah ada dua macam: nafsu lawwamah yang tercela dan nafsu lawwamah yang tidak tercela. Nafsu lawwamah yang tercela adalah nafsu yang bodoh dan zalim yang dicela Allah dan para malaikat-Nya.

Sedangkan nafsu lawwamah yang tidak tercela adalah nafsu yang tidak henti-hentinya mencela pemiliknya atas kecerobohannya dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan terus berusaha keras untuk memperbaiki diri.

Sementara nafsu yang paling mulia ialah nafsu yang mau mencela dirinya di dalam ketaatan kepada Allah dan tabah menerima celaan para pencela (sesama manusia) dalam upaya menghadapi ridha-Nya.

Jadi, ia tidak berpengaruh oleh celaan siapa pun dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, maka nafsu semacam ini terbebas dari celaan Allah. Sedangkan nafsu yang rela dengan perbuatannya dan tidak mau mencela dirinya, serta tidak tabah menghadapi celaan para pencela dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, itulah nafsu yang dicela oleh Allah.

c. Nafsu Ammarah Bis-suu’

Nafsu ammarah bis-suu’ selalu menjadikan setan sebagai teman dan sahabat setianya. Setanlah yang memberikan janji dan harapan kepadanya, memasukkan kebatilan ke dalamnya, menyuruhnya melakukan perbuatan yang buruk dan membuatnya terlihat baik olehnya. Setan juga membuatnya menjadi panjang angan-angan dan membuatnya melihat kebatilan dalam bentuk yang bisa diterimanya dan terlihat baik olehnya.

Inilah nafsu yang benar-benar tercela, karena nafsu ini selalu menyuruh seseorang melakukan segala macam keburukan, dan itu adalah watak aslinya. Maka tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari kejahatannya kecuali dengan pertolongan Allah.

Jadi kejahatan itu terdapat di dalam nafsu dan menyebabkan terjadinya perbuatan buruk. Jika Allah tidak berada di antara seseorang dan nafsu, maka orang itu akan binasa di antara kejahatan nafsunya dan perbuatan buruk yang menjadi konsekuensinya. Namun jika Allah berkenan memberikan bantuan dan pertolongannya kepada seseorang, niscaya ia akan selamat dari itu semua.

Oleh karena itu marilah kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan nafsu dan keburukan amal perbuatan kita, sebagaimana Rasullah Shalallaahu ‘Alahi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memujinya, meminta pertolongan kepada-Nya dan memohon ampun kepada-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri (nafsu) kami dan keburukan amal perbuatan kami.”*/Muhammad Zul Arifin.

 

sumber:Hidayatullah.com

Hiasi Diri dengan Sifat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

Memahami Tawadhu’

Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak (Lihat Adz Dzari’ah ila Makarim Asy Syari’ah, Ar Roghib Al Ash-fahani, 299). Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341)

Keutamaan Sifat Tawadhu’

Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142)

Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,

وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَىَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).

Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata,

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth) Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”

Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu (di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676). Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.

Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’

قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .

Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”

يقول  الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »

Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 304)

يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.

Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian tentu yang memiliki sifat tawadhu’.

قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب (6/298)].

‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)

قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.

Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”

قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.

Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari sifat takwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”

قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.

‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat tawadhu’.”

قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير

Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia miliki.”

قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر

Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.”[1]

Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.

اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ

Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).

Wallahu waliyyut taufiq.

Sumber: Musil.or.id

Keluarga Tidak Sempurna Bukanlah Alasan untuk Berhenti Mencintaimu, Istriku!

Mencintai adalah perkara mudah, tapi bertahan dari terpaan rintangan dalam menjaganya yang sulit. Jika diberi kesempatan untuk jatuh cinta, berapa kali pun itu, aku ingin menggunakannya untuk jatuh cinta padamu tiap hari. Mencintai adalah perkara mudah, membuktikannya kadang-kadang sulit. Terlebih, jika turut campur orang lain pada kehidupan kita.

Mencintai adalah perkara mudah, bertahan dari terpaan rintangan dalam menjaganya yang sulit.

Mengarungi bahtera bernama rumah tangga menjadi satu keputusan besar dalam hidupku. Siapa pun berharap ini adalah keputusan sehari seumur hidup, tidak ada orang yang ingin pernikahannya tidak baik-baik saja. Alhamdulillah, itulah yang kita rasakan hingga saat ini. Perjalanannya memang tidak mudah, tapi, toh, kita bisa bertahan dengan indah. Bukankah sesuatu akan terasa garing jika lurus-lurus saja? Mungkin begitulah yang harus kita lihat dari cobaan yang kini tengah kita rasakan ketika orang lain masih begitu peduli pada kita hingga meragukan pernikahan kita akan bertahan. Alasannya karena kamu, istriku, berasal dari keluarga yang bermasalah.

Siapa pun Tidak Ada yang Keluarganya Sempurna, meski Setitik, Ketidaksempurnaan Pasti Ada

Taraf baik dan tidak baik hanya bersifat relatif. Buruk taraf 10 mungkin hanya menjadi buruk taraf 5 bagi orang lain. Noda yang membuat cela mungkin hanya menjadi noda guratan saja bagi orang lain. Ketika satu per satu mereka di kanan kiriku mencelamu mengatakan bahwa kamu berasal dari keluarga yang berantakan, cukuplah bagi kita bergeming. Meski kasih sayang dari ibumu tidak pernah kamu rasakan hingga dewasa, lalu ayahmu pergi tanpa meninggalkan tanggung jawab, bukan berarti kamu hidup tercela karena benar-benar tidak mendapatkan kasih sayang. Allah menolongmu lewat tangan saudara-saudaramu yang baik budi.

 

Mungkin Mereka Hanya Meragukan Kita karena Pernah Merasakan Kasus Serupa

Salah satu penyebab seseorang marah mungkin karena ia menutupi sikap kecewa, takut, atau cemas. Begitu pun ketika orang lain ragu. Seperti saat ini, misalnya, mungkin mereka yang membicarakanmu adalah peragu yang sebelumnya pernah merasakan hal buruk di masa lalunya. Namun, gagal bangkit dan memilih lari. Generalisasi memang terlalu wajar dilakukan manusia, terlebih ketika mereka merasa berpengalaman. Pikirnya, “Jika kita gagal, mereka pasti gagal.” Biarpun sulit, biarkan kita mencoba. Hidupmu akan lebih indah ketika digunakan untuk menjalani pilihan sendiri. Doakan saja mereka agar hidupnya berjalan baik selalu. Mendapat berkah dengan dibukankan pintu-pintu hatinya.

 

Bukti bahwa Aku Memilihmu dan Kamu Memilihku adalah Cukup Bukti bahwa Rasa Saling Percaya Itu Ada

Jangan khawatir, istriku. Suamimu ini sudah tahu cara memilih dan menanggung pilihannya. Jangan gundah dan menyalahkan diri. Ketika aku meminangmu, memindahkan tanggung jawab nafkahmu ke pundakku, sungguh saat itu aku sudah yakin dan percaya bahwa kamu akan menjadi istri yang baik juga ibu yang luar biasa bagi keluarga kita sekarang dan nanti. Aku melihat cahaya kebaikan di matamu, melihat masa depan di wajahmu, dan melihat ketenangan di senyummu yang akan menjadi penyembuh dari segala rasa lelah dan sakitku sepanjang Allah mengizinkan kita bersama.

Istriku, jangan bersedih lagi di kala kamu merasa tidak butuh bersedih. Jangan biarkan siapa pun menghapus senyummu. Pandanglah dunia ini lewat mata kita. Masih ada banyak orang yang mencintaimu, walau mungkin tidak bisa menggantikan peran ayah ibumu. Tunjukkan pada sekitar bahwa kita bisa berjalan, walau pelan. Setiap saat kamu ingin melakukan lompatan dan belari, tanganku kala itu siap menjagamu agar tidak terjatuh. Ingat, tidak ada keluarga yang bebas dari ketidaksempurnaan.

 

 

sumber: AbiUmmi