Mari Menjaga Kemuliaan Rumah Kita

KEMULIAAN rumah (hurmah al-bayt) sebenarnya tidak ditarik dari sejumlah hukum, sebagaimana kasus pemisahan antara pria dan wanita dalam kehidupan Islam, juga tidak dinukil dari satu riwayat maupun aktivitas sejumlah Sahabat dan kaum muslim yang lain, dengan seluruh rinciannya.

Namun, kemuliaan (kehormatan) rumah ini merupakan hukum obyek tertentu, yang dinyatakan oleh Alquran dengan dalil yang qathi. Karena itu kemuliaan (kehormatan) rumah bagi pemiliknya ini merupakan hukum yang qathi, baik dari aspek sumber maupun maknanya.

Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian agar kalian (selalu) ingat (QS an-Nur [24]: 27).

Allah SWT melanjutkan:

Jika kalian tidak menemui seorang pun di dalamnya, janganlah kalian masuk sebelum kalian mendapat izin. Jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah,” maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian. Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (QS an-Nur [24]: 28).

Kedua nas di atas merupakan dalil yang qathi dari aspek sumbernya, karena diambil dari Alquran, juga dari segi maknanya, yang dengan tegas menyatakan kemulian (kehormatan) rumah bagi pemiliknya. Karena itu, rumah tidak boleh dimasuki, kecuali dengan izin pemiliknya, baik rumah tersebut berpenghuni maupun tanpa penghuni. Jadi, kemuliaan (kehormatan) rumah tersebut ditegaskan melalui larangan memasukinya, kecuali dengan izin.

Dengan demikian, siapa saja yang memasuki rumah seseorang tanpa seizin penghuni atau pemiliknya, dia sesungguhnya telah menodai kehormatan rumah tersebut, dan tentu bisa dinyatakan telah melakukan keharaman. Alasannya, karena ada larangan menodai kehormatan rumah yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil, baik dari aspek sumber maupun maknanya. Maka dari itu, status hukum ini harus dijalankan, dan siapa saja yang mengingkari hukum ini, maka dia bisa dinyatakan kafir.

Inilah status hukum tentang kehormatan rumah. Ini merupakan hukum syariah untuk rumah, bukan untuk bangunannya. Hukum untuk rumah, dari aspek rumah itu sendiri, bukan karena berpenghuni atau tidak. Sebab, status hukum tersebut berkaitan dengan rumah dan kemuliaannya. Menodai kehormatan (kemuliaan) rumah itu identik dengan memasuki rumah tanpa izin. Dengan begitu, menjaga kehormatan (kemuliaan) rumah berarti tidak memasuki rumah, kecuali dengan izin.

Adapun apa yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah, apakah bisa dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah atau tidak? Inilah yang menjadi pertanyaan, termasuk menggeledah rumah untuk mencari barang bukti.

Untuk menjawab masalah ini, bisa diambil dari ayat yang sama, dan dari kondisi rumah yang diberikan solusi oleh ayat tersebut. Perlu dicatat, meski ayat di atas melarang masuk ke rumah seseorang, larangan masuk ini juga mencakup larangan untuk melakukan apa saja yang menjadi konsekuensi memasuki atau berada di rumah tersebut. Karena itu, apa saja yang menjadi konsekuensi dari memasuki rumah atau berada di dalam rumah tersebut hukumnya sama dengan larangan memasuki rumah itu sendiri. Sebab, hukum haramnya memasuki rumah tidak hanya menyatakan keharaman memasukinya saja, tetapi juga menyatakan keharaman melakukan apa saja di dalam rumah tersebut sebagai akibat dari memasukinya. Maka dari itu, kalau memasuki rumah tanpa izin hukumnya haram, dan dianggap menodai kehormatan (kemuliaan) rumah tersebut, hukum yang sama juga berlaku untuk aktivitas apapun yang dilakukan oleh orang lain di rumah tersebut. Kesimpulan di atas diambil darimanthuq dan dari dalalah iltizam dua ayat di atas.

Pertanyaannya kemudian: apakah izin tersebut harus dari kepala rumah tangga, ataukah cukup izin dari penghuninya, atau izin yang dimaksud adalah izin dari Pembuat syariah?

Jawabannya, ayat tersebut berbentuk mutlak. Ayat tersebut menyatakan: hatta tastanisu(hingga kalian meminta izin) dan hatta yudzana lakum” (hingga kalian diizinkan). Dari kata”idzn” tersebut bisa dipahami, bahwa “hatta yudzana lakum” ini dinyatakan dalam bentukmajhul, tanpa menyebutkan pemberi izin. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa siapa saja yang mempunyai kewenangan untuk mengizinkan masuk ke rumah, maka izinnya cukup bagi seseorang untuk memasuki rumah tersebut. Apakah orang yang memberi izin tersebut kepala rumah tangga, atau penghuninya, selama dia berakal (waras) dan mumayyiz. Dengan catatan, selama dia mempunyai kewenangan untuk memberi izin. Sebab, izin ini hanya diakui sebagai izin jika diberikan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk memberi izin tersebut. Inilah pemahaman literal dari konteks “Izin masuk”.

Adapun pemahaman secara literal tentang konsekuensi memasuki rumah, maka harus diteliti terlebih dulu:

(1) Jika aktivitas di dalam rumah tersebut merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti kebolehan untuk duduk atau berdiri di dalamnya, maka izin memasuki rumah tersebut sekaligus menjadi izin untuk berdiri dan duduk di dalamnya.

(2) Jika aktivitas tersebut bukan merupakan konsekuensi dari izin tersebut, seperti melakukan penggeledahan, makan, minum, tidur atau yang lain, maka izin memasuki rumah tersebut tidak bisa serta-merta menjadi izin untuk melakukan penggeleda-han, makan, minum dan tidur di dalamnya.

Dalam konteks yang kedua ini, selain izin yang diberikan oleh tuan atau penghuni rumah, maka dibutuhkan adanya izin Pembuat syariah sehingga berbagai aktivitas ini bisa dilakukan di dalam rumah tersebut. Adanya izin dari tuan atau penghuni rumah untuk memasuki rumahnya tidak cukup bagi seseorang sehingga dia bisa menggeledah rumahnya. Apalagi aktivitas penggeledahan rumah ini merupakan aktivitas tajassus (memata-matai), yaitu tafahush al-akhbar (memeriksa dan menginvestigasi berbagai informasi dan dokumen), yang jelas-jelas diharamkan di dalam Islam (Lihat: QS al-Hujurat [49]: 12).

Karena itu, aparat negara tidak boleh masuk ke rumah rakyatnya tanpa izin dari tuan atau penghuninya. Jika dia diizinkan masuk, dia pun tidak boleh menggeledah rumah tersebut. Dia juga tidak boleh melakukan tindakan apapun di dalamnya, meski dengan maksud untuk melakukan riayatu as-syuun (mengurus urusan rakyatnya). Tindakan ini hukumnya haram dilakukan oleh negara dan aparatnya, sekalipun atas perintah Khalifah. Sebab, perintah tersebut bertentangan dengan perintah Allah SWT. Dalam hal ini, perintah Allahlah yang harus dilaksanakan. Apalagi perintah tersebut melanggar keharaman tajassus.

Hanya saja, ada kondisi darurat yang mengharuskan untuk memasuki rumah tersebut, seperti menyelamatkan penghuni rumah saat rumah tersebut terbakar, atau rumah tersebut tenggelam, atau menolong orang sebatang kara yang sakit di rumahnya dan hendak dibawa berobat, atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghilangkan bahaya dari rumah tersebut. Namun, jika bahaya tersebut tidak dinyatakan oleh nas, seperti mencari pencuri di dalam rumah, menggeledah isi rumah, atau sejenisnya, maka alasan bahaya tersebut tidak bisa menjadi justifikasi untuk melakukan tindakan di dalam rumah tersebut.

Mengenai alasan “mengurus urusan rakyat”, alasan tersebut tidak bisa digunakan oleh negara untuk memasuki rumah rakyatnya, termasuk menangkap orang yang melakukan perbuatan haram di dalamnya dengan cara yang salah. Karena “mengurus urusan rakyat” ini tidak berarti boleh mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram; kecuali jika kewajiban “mengurus urusan rakyat” mengharuskan negara untuk memasukinya seperti memasang instalasi listrik, saluran telpon, air minum dan sebagainya. Dalam hal ini, izin untuk memasuki rumah berarti termasuk izin untuk melakukan pemasangan instalasi dan saluran di dalamnya. []

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2362081/mari-menjaga-kemuliaan-rumah-kita#sthash.dCfK4gTn.dpuf

Harga Ketakwaan bagi Orang Beriman

IMAN dan takwa adalah hal pokok dalam kehidupan seorang Muslim. Segala perbuatan bisa terhitung baik jika mengalir dari telaga iman tersebut. Sedang takwa biasanya berfungsi mengawal hal itu menjadi kebaikan yang sempurna.

Tak heran, dalam setiap nasihat khutbah, juru khatib selalu berpesan untuk merawat serta meninggikan kadar iman dan takwa dalam diri setiap orang beriman.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya,  dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS: Ali Imran [3] : 102)

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu (Ra) berkata, jika kalian mendapati ayat yang dimulai dengan kalimat “Ya ayyuha al-ladzina amanu” hendaklah kalian sungguh-sungguh memperhatikan ayat tersebut. Sebab sesudah (lafazh) itu, datang perintah yang wajib dikerjakan atau larangan yang mesti dijauhi.

Membersihkan Hati dengan Terus Memperbarui Iman

Ibnu Mas’ud menambahkan, maksud sebenar-benar takwa di adalah menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufr) di dalamnya (Tafsir Ibnu Katsir: Dar at-Thayyibah, 1999).

Senada, Imam az-Zuhri Rahimahullahu menegaskan, jika kalian mendapati firman Allah “Ya ayyuha al-ladzina amanu” maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam (Saw) sebagai teladan umat Islam juga telah mengerjakan hal tersebut.

Ayat di atas menggunakan maf’ul muthlaq (penyebutan obyek yang berasal dari kata kerja), yaitu “ittaqullaha haqqa tuqatihi”.

Disebutkan, semacam itu mengandung penegasan sebuah makna. Allah menyuruh bertakwa dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, bukan setengah atau separuh, apalagi jika agama ini dijadikan permainan.

Selain itu terdapat nafyu (penegasian) dan itsbat (penetapan) dalam lafazh “wa la tamutunna illa wa antum muslimuna“.

Sebuah gaya bahasa penegasan dari Allah tentang larangan mati selain di atas agama Islam. Bahwa hendaknya seorang Muslim tak henti berproses menjaga iman dan takwanya hingga akhir hayat nanti

 

Takwa Menurut Ulama

Pengarang kitab Jami al-Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab menyebutkan, takwa adalah perilaku seorang hamba yang menjadikan sesuatu yang menghalanginya dari apa yang ia takutkan dan terjadi padanya.

Ketika hamba itu bertakwa kepada Allah berarti ia melakukan segala upaya yang menghindarkan dirinya dari ancaman dan murka Allah Ta’ala. Yaitu memenuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Al-Qusyairi berpendapat, takwa adalah kumpulan segala kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Bermula dari menjauhi perbuatan syirik lalu meninggalkan maksiat dan keburukan. Setelah itu berusaha menjauhi perkara syubhat hingga akhirnya tak berlebihan dalam hal-hal yang mubah.

Jelasnya, takwa ialah manifestasi dari rangkaian amalan kebaikan yang berpangkal dari kokohnya iman yang menancap pada diri seorang beriman.

dua sisi mata uang, iman dan takwa adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Keduanya saling menguatkan. Iman bisa bertambah seiring nilai ketakwaan yang meningkat. Sedang takwa itu lahir dari adanya iman pada diri orang tersebut.

Sebagai modal utama dalam mengarungi kehidupan, persediaan bekal iman dan takwa sedikitpun tak boleh menipis apalagi habis. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seorang musafir yang kehabisan bekal di tengah bentangan padang pasir misalnya.

Seperti itulah harga ketakwaan bagi orang beriman. Takwa menjadi harga mati dalam kamus orang beriman. Olehnya Allah senantiasa mengulang-ulang pesan takwa tersebut.

Syarat Utama Takwa

Meski menjadi bekal utama, ternyata takwa tak semudah membalik tangan. Takwa tersebut hanya bisa diraih melalui mujahadah (upaya sungguh-sungguh) dalam beribadah mendekat kepada Allah.

Disebutkan, selain iman maka perkara ilmu menjadi syarat utama meraih takwa. Sebab orang yang buta ilmu agama tak mungkin menjadi pribadi yang bertakwa. Sebaliknya sosok orang bertakwa niscaya punya ilmu tentang agamanya.

Imam Ibnu Rajab menjelaskan, prinsip dasar takwa adalah mengetahui urusan ketakwaan tersebut lalu ia bertakwa di dalamnya.

Seorang alim Bakr bin Khunais juga berkata, bagaimana mungkin seseorang bisa bertakwa sedang ia tak mengetahui mana (perintah) yang ia harus kerjakan dan mana (larangan) yang ia harus tinggalkan.

Penutup

Dengan segala dinamika persoalan yang dihadapi sekarang ini, ada baiknya para pemimpin bangsa dan seluruh elemen masyarakat mentadabburi ayat berikut ini. Allah berfirman:

(وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

 … Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah jadikan baginya jalan keluar (atas segala permasalahan.” (QS: At-Talaq [65]: 2).*/Masykur Abu Jaulah

 

sumber: Hidayatullah.com

Jadikan Keluarga sebagai Pengikat Ketaatan, Bukan Musuh

SETIAP anggota keluarga memiliki porsi cinta dan kasih sayang masing-masing. Demikian fitrah yang digariskan bagi setiap manusia yang menjalani bingkai kehidupan berkeluarga.

Uniknya meski keluarga adalah orang-orang terdekat yang patut dikasihi dan dicintai, Allah Subhanahu Wata’ala justru mengingatkan hal sebaliknya.

Keadaan yang sangat bertolak belakang dengan sebelumnya. Yaitu, mereka juga bisa jadi musuh yang laik berhati-hati dengannya.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

 “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS: at-Taghabun [64]: 14)

Disebutkan, alarm itu menyala jika keluarga tak lagi berfungsi sebagaimana fitrahnya, tempat meraih sakinah (kebahagiaan) mawaddah (kasih sayang), dan rahmat.

Allah mengingatkan, meski berbalut ikatan cinta yang halal, namun potensi yang terkandung pada dorongan syahwat bisa saja lepas tak terkendali.

Ibarat seekor kuda yang lepas dari tali kekangnya, hewan tunggangan yang semula jinak dan bersahabat tadi tiba-tiba berubah menjadi liar dan memusuhi tuannya sendiri.

Alhasil, semangat yang terbangun dalam keluarga bukan lagi spirit tanashuh (saling menasihati) dalam amal shalih dan ketaatan. Namun ia berubah menjadi sarana dalam mengerjakan keburukan dan kemaksiatan.

Imam al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata: Permusuhan yang terjadi di sini bukanlah secara hukum asal karena istri dan anak itu pada hakikatnya adalah karunia dari Allah.

Mereka berubah menjadi musuh atau lawan karena adanya perilaku menyimpang dan sifat buruk yang dipunyai anggota keluarga tersebut.

Sedang tiadalah perbuatan paling buruk dan dimusuhi oleh Allah kecuali yang berusaha memalingkan kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya.

Lebih jauh, Abdurrahman as-Sa’di dalam Tafsir as-Sa’di menguatkan, tidaklah Allah menyebut sebagian keluarga sebagai musuh kecuali karena dampak yang ditimbulkan benar-benar berbahaya.

Ibarat musuh dalam suatu peperangan, maka yang musuh fikirkan hanyalah satu saja. Yaitu menjerumuskan lawannya kepada kebinasaan.

Inilah puncak badai yang terjadi dalam sebuah keluarga. Ketika di antara anggota keluarga justru saling menjauhkan dari beramal shalih dan taat kepada Allah.

Untuk itu, al-Hasan al-Bashri menyatakan: kata “min azwajikum wa auladikum” bermakna sebagian saja (li at-tab’idh).

Sebab hukum asal suatu pernikahan dalam Islam adalah sunnah. Sebagai sarana dan alat peraga efektif untuk saling menguatkan dalam hal kebaikan dan ketaatan di antara sesama mereka.

Dalam masyarakat, keluarga juga menjadi simpul awal dalam memproses potensi amanah dan kepemimpinan seseorang. Di saat yang sama, keluarga juga menjadi pondasi dasar seorang anak beroleh ilmu dari kedua orang tuanya.

Imam Ibnu Katsir lalu mengutip sebuah hadits yang diceritakan oleh Abu Malik al-Asy’ari. Nabi bersabda, ”Bukanlah permusuhan ini yang jika kalian membunuhnya maka kalian lalu merasa mendapatkan kemenangan. Sebagaimana kalian tak juga dapat jaminan masuk surga jika kalian terbunuh dan dikalahkan dalam permusuhan ini. Sebab boleh jadi musuh-musuhmu tak lain adalah anak keturunan yang lahir dari rahim tulang rusukmu sendiri.” (Riwayat ath-Thabrani).

Terakhir, Imam al-Qurthubi menyimpulkan tafsirannya, ayat ini mencakup perintah berhati-hati secara umum, baik kepada laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri.

Meskipun secara tersurat lebih ditujukan kepada laki-laki sebagai nakhoda utama dalam sebuah keluarga.

Namun dalam tataran realitas, tak ada jaminan jika titik permasalahan itu selalu bersumber dari istri dan anak. Sebab boleh jadi biang permusuhan itu justru datang dari sang suami yang notabene selaku kepala keluarga.*/Masykur Abu Jaulah

 

sumber:Hidayatullah

Berbagi Iklan Kematian

“SETIAP yang bernyawa pastilah merasakan kematian.” “Ketika tiba ajal mereka, tak akan mundur walau sedikitpun dan tak akan maju.” Demikian Allah berfirman dalam kitab suci al-Qur’an. Kematian adalah sebuah keniscayaan, namun sayangnya tak banyak yang tahu dan mau mencari tahu tentang hakikat kematian itu sendiri.

Tak ingin tahukah kedahsyatan sakaratul maut, saat kematian tiba? Tak ingin tahukah tentang kehidupan pasca-kematian? Bagaimana kita kelak di alam kubur, bagaimanakah malam pertama kita di alam kubur? Bagaimanakah perjumpaan kita dengan dua malaikat yang akan bertanya kepada kita di alam kubur kelak?

Kita pasti mati. Tinggal menunggu waktu. Tak inginkah kita mati tersenyum, kembali kepadaNya dengan damai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sungguh membuat penasaran. InsyaAllah akan kami bajas tuntas dalam Training Sehari bertema “Menjemput Kematian dengan Senyum (Renungan dan Terapi Kehidupan Islami) bersama saya dan team.

Untuk Kabupaten Sumenep angkatan pertama akan diadakan tanggal 24 Februari 2017. Untuk Surabaya akan diadakan pada 5 Maret 2017. Semoga kita semua bisa menikmati jalan hidup di dunia ini dan menikmati jalan kematian menuju Allah SWT. Salam, AIM. [*]

 

oleh: KH Ahmad Imam Mawardi

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2360704/berbagi-iklan-kematian#sthash.z7WnE4Dy.dpuf

 

Kisah Nenek Usia Panjang

ORANG yang sabar itu memang berpotensi panjang umur. Ada seorang wanita yang masa mudanya tak begitu bahagia karena selalu dibully dan dimanfaatkan teman-temannya. Namun wanita itu super sabar, tak pernah marah dan tak pernah membalas. Raut mukanya bersih dari kerutan kesedihan.

Saat ini nenek ini berusia 111 tahun. Masih sehat dan tetap sabar seperti dulu. Banyak orang bertanya tentang rahasianya bisa panjang umur. Jawabannya singkat saja: “Jangan banyak protes. Sabar.” Resepnya pendek namun pelaksanaanya membutuhkan latihan dengan waktu cukup panjang.

Seorang wartawan tertarik mewawancarai nenek ini untuk menguak tentang kesan nenek atas kehidupannya selama ini. Lama sekali wawancara itu karena banyak hal ditanyakan. Membaca hasil wawancaranya saja saya juga capek, apalagi menuliskannya kembali untuk para pembaca yang terhormat. Namun, saya tertarik untuk menuliskan pertanyaan terakhir dan jawaban si nenek itu.

Wartawan itu bertanya: ” Menurut nenek, apa hikmah panjang umur dan apa hal membahagiakan yang nenek rasakan saat ini yang membedakan dengan masa nenek masih muda dulu?” Nenek ini menjawab dengan lugu sekali: “Sekarang, di usia segini ini, saya tak lagi dibully dan diolok-olok oleh teman-temanku yang dulu suka bully dan olok-olok saya.”

Apakah karena teman-temannya yang dulu itu sudah insaf dan berubah menjadi baik? Bukan. Karena teman-temannya sudah meninggal semua. Salam, AIM. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361143/kisah-nenek-usia-panjang#sthash.JobG2Mfb.dpuf

Takut Pada Kematian

ADA seorang sastrawan Mesir yang sangat terkenal. Kepandaiannya mengungkapkan rasa yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat yang indah mengagumkan tak ada yang bisa membantahnya.

Dia adalah peraih hadiah nobel sastra. Namanya Najib Mahfoudh. Mereka yang tak memiliki kemampuan seperti itu tak perlulah iri. Bisa jadi memiliku keahlian di bidang lain, seperti pengungkap rasa dengan senyum dan air mata.

Saat ini saya ingin berbagi satu kalimat yang disampaikan oleh Najib Mahfoudh itu yang sangat dalam maknanya. Kalimat itu berbunyi, “Rasa takut itu tak mencegah –datangnya– kematian. Rasa seperti itu hanya mencegah –lancarnya jalan–kehidupan.” Jelas sekali kalimat indah ini mencoba untuk mengungkapkan kebanyakan rasa yang ada di benak kebanyakan manusia, yakni takut mati.

Ditakuti atau tidak, kematian pasti datang pada waktunya. Mau menjauh dari kematian ternyata malah ketemu dengannya di waktu dan tempat bersembunyi. Ada orang yang lari menjauh dari medan perang karena takut kilauan pedang dan lesatan anak panah, ternyata terjatuh ke dalam lubang yang dihuni oleh ular berbisa. Lalu, dia mati dengan terhina.

Takut pada kematian hanya akan membuat manusia menjadi murung, tak bergairah hidup, malas bekerja dan putus asa karena menganggap bahwa semuanya akan segera berakhir. Dia lupa bahwa hidup masih akan terus berlanjut entah sampai kapan.

Dia pun lupa bahwa setelah kematian kita, ada kehidupan orang lain yang berkaitan dengan kehidupan kita. Oleh karena itu yang perintahkan bukanlah takut kepada kematian, melainkan takut kepada Allah dan bersiap-siap untuk kematian.

Teruslah berbuat, teruslah bekerja dan teruslah beribadah untuk bekal kematian. Nikmati jalan hidup kita masing-masing dengan dan dalam cara yang disukai Allah. Hapuskan kemurungan, buanglah kegelisahan. Semoga panjang umur dalam beramal. Salam, AIM, sahabat dan saudaramu

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2361424/takut-pada-kematian#sthash.V4yg8TQf.dpuf


Baca juga: Kematian itu Sunatullah, Jangan Takut

Kunjungan Raja Salman ke Indonesia, Ini kata Pengamat Timteng UI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Dr Yon Machmudi menilai, kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz ke Indonesia yang dijadwalkan berlangsung pada 1-9 Maret 2017, memiliki arti penting dan strategis bagi kedua negara. “Mengapa kunjungan ini sangat penting? Ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kunjungan ini adalah yang pertama bagi Raja Saudi setelah hampir 47 tahun ini tidak ada kunjungan ke Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Jumat (24/2).

Padahal, sejak Orde Baru beberapa Presiden Indonesia telah melakukan beberapa kali kunjungan yang dimulai dari Gusdur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, maupun Jokowi. Rencananya, dalam kunjungan ke Indonesia, Raja Salman akan membawa 1.500 anggota delegasi, termasuk 10 menteri dan 25 pangeran. Menurut Yon, tidak adanya kunjungan Raja Saudi sejak tahun 1970 hingga saat ini adalah sesuatu yang janggal.

Kedua, lanjut dosen Program Studi Arab UI itu, perubahan politik dunia, terutama di Amerika Serikat yang sedang kurang bersabahat dengan Islam dan Timur Tengah, juga menjadikan kunjungan ini menjadi penting. Kata dia, kebijakan Presiden Trump yang diskriminatif terhadap Islam dan Timur Tengah membuat ketidaknyamanan bagi para investor Timur Tengah.

“Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia mulai dilirik oleh negara-negara di kawasan Timur Tengah,” tutur peraih gelar PhD dari The Australian National University itu.

Yon menilai, sejak kepemimpinan Raja Abdullah (2005-2015) telah terjadi pergeseran arah politik luar negeri Arab Saudi dengan menjadikan Asia sebagai mitra alternatif menggantikan hegemoni Barat (Amerika). “Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, di mana pada 2050 akan masuk empat besar raksasa ekonomi dunia sangat berpotensi menjadi alternatif bagi para investor Saudi,” ujarnya.

Polisi yang Ikut Amankan Kunjungan Raja Salman akan Dihajikan

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Komisaris Besar (Kombes) Martinus Sitompul mengatakan, rencana pertemuan antara Duta Besar Arab Saudi Usamah Mohammed al-Shuibi dengan Kepolisian RI, juga akan membicarakan soal pemberian hadiah kepada personil yang ikut mengamankan kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud.

“Ada beberapa reward yang akan disampaikan Kedubes Arab Saudi, kepada beberapa personel kepolisian dalam upaya membantu kegiatan Kedubes Arab Saudi,” ujarnya di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (24/2).

Adapun hadiah tersebut yaitu mengirimkan personil kepolisian untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Martinus mengatakan, saat ini pihaknya masih menginventarisir nama-nama personil yang diikutsertakan. “Ini yang masih kita inventarisir, nama-nama yang akan diminta oleh Kedubes Arab Saudi itu,” kata dia.

Martinus belum bisa menyampaikan jumlah personil kepolisian yang akan diberangkatkan haji atau umrah. Sebab, pihak Kedubes Arab pun belum memberikan informasi lebih lanjut terkait kuota jumlah personil yang akan diberangkatkan. Martinus juga belum tahu apakah haji atau umrah yang menjadi hadiah dari Kedubes Arab.

“Mereka pun belum memberitahu lebih lanjut. Tapi, kami serahkan ke polda-polda, siapa yang mau. Semakin banyak (kuotanya), semakin bagus,” ujar dia.

Namun, Martinus memastikan, personil yang akan diikutkan dalam keberangkatan haji atau umroh itu adalah yang ikut serta menjaga keamanan dalam kunjungan Raja Salman ke Jakarta dan Bali. “Kriteria khususnya belum ada. Tapi yang pasti anggota polisi yang menjaga,” kata dia.

 

 

sumber:IhramCoID

Raja Salman akan Kunjungi Istiqlal 30 Menit

Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud, dijadwalkan mengunjungi Masjid Istiqlal selama 30 menit dalam lawatan kenegaraan selama tiga hari di Jakarta. Kepala Bagian Protokol Masjid Istiqlal Abu Hurairah Abdul Salam mengatakan, informasi yang pihaknya peroleh, Raja Salman akan berkunjung ke Istiqlal pada Kamis 2 Maret.

“Raja Salman akan berkunjung selama 30 menit. Tidak tur keliling masjid, hanya shalat dua rakaat. Rencananya, beliau akan ke Istiqlal ba’da Dzuhur,” kata Abu, Jumat (24/2).

Durasi yang singkat di Istiqlal itu direncanakan protokol Kerajaan Saudi. Tapi praktinya akan selama apa, pengelola Istiqlal pun belum tahu.

Kunjungan ke Istiqlal dilakukan usai Raja Salman berpidato di Kompleks DPR MPR di Senayan. Pada pukul 12.30 WIB, baru ke Istiqlal. “Agenda bincang-bincang dengan Imam Istiqlal juga tidak ada. Mungkin semua akan difokuskan di Senayan,” kata Abu.

Selain penyelesaian pemasangan lift, pengelola Masjid Istiqlal juga sudah memodifikasi tempat wudhu dan toilet. Tak ada persiapan fasilitas khusus lain yang disiapkan pengelola Istiqlal mengingat singkatnya kunjungan Raja Salman.

Raja Salman dari Arab Saudi berencana mengunjungi Indonesia pada 1 hingga 9 Maret. Terdapat sejumlah agenda yang akan dilakukan Raja Salman di Indonesia, termasuk kunjungan singkat ke Istiqlal.

 

sumber:Republika Online

Keunggulan Dinar Emas

Selain mata uang kertas yang dikenal saat ini, sejumlah komoditas, seperti emas, perak, beras, gandum, dan terigu, bisa juga dipakai sebagai alat tukar sepanjang diterima oleh masyarakat.

Bahkan, dalam berbagai riwayat, ungkap Direktur Wakala Induk Nusantara, Zaim Saidi, Rasulullah SAW menyebutkan sejumlah komoditas yang bisa dipakai sebagai alat tukar, yaitu emas, perak, terigu, syair (sejenis jewawut), kurma, dan garam. Di Indonesia, misalnya, beras dapat digunakan sebagai alat tukar yang valid.

Namun, dari sekian banyak macam alat tukar, emas dan perak memiliki banyak keunggulan dibandingkan alat tukar lainnya. Kepala Departemen Bisnis Administrasi Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen International Islamic University Malaysia, Ahamed Kameel Mydin Meera, dalam bukunya yang berjudul The Islamic Gold Dinar setidaknya menyebutkan bahwa ada tujuh dampak positif dengan menggunakan mata uang dinar emas.

Ketujuh dampak positif tersebut sebagai berikut.
* Membuat sistem moneter dan keuangan suatu negara lebih stabil.
* Nilai tukarnya tidak pernah jatuh secara drastis.
* Karena terbuat dari emas, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya spekulasi dan manipulasi terhadap nilai tukarnya.
* Mengurangi tingkat risiko dalam berbisnis.
* Memperluas promosi perdagangan antarnegara.
* Menciptakan harmonisasi antara sektor riil dan sektor keuangan.
* Mengatasi berbagai macam persoalan sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan ketimpangan distribusi pendapatan.
* Menjadi alat proteksi suatu negara dari dominasi ekonomi dan kebudayaan negara lain.

Sementara itu, jika dikaitkan dengan laju inflasi dan stabilitas harga bahan kebutuhan pokok, menurut Zaim, dinar emas tidak mengenal inflasi. Ini berdampak pada harga jual bahan kebutuhan pokok yang cenderung stabil. Hal ini sudah dibuktikan sejak zaman Rasulullah SAW hingga kini, di mana harga jual bahan kebutuhan pokok cenderung stabil jika mengacu kepada nilai tukar emas dan perak.

 

sumber:Republika Online