Masa kejayaan peradaban Islam selama berabad-abad sejak masa Rasulullah hingga Dinasti Abbasiyah dan menyebar ke Andalusia (Spanyol) telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Tak heran, kekhalifahan Islam masa itu memiliki mata uang sendiri yang bernama dinar (koin emas) dan dirham (koin perak). Dengan kedua mata uang itu, perekonomian Islam berkembang pesat.
Pada zaman Rasulullah SAW dikenal uang berbentuk koin emas (dinar) yang berasal dari Romawi dan koin perak (dirham) yang berasal dari Persia. Dua logam mulia itu dianggap sebagai mata uang yang paling berharga. Berbeda dengan zaman sekarang yang jamak menggunakan uang kertas (fiat money) sebagai alat pembayaran.
Menurut Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, dinar dan dirham telah dikenal oleh orang Arab sebelum datangnya Islam karena aktivitas perdagangan yang mereka lakukan dengan negara-negara di sekitarnya.
Ketika pulang dari Syam, orang-orang Arab membawa uang koin emas Romawi (Byzantium). Dari Irak, mereka membawa uang koin perak Persia yang dikenal dengan sebutan drachm. Kadang-kadang, mereka membawa pula sedikit dirham Himyar dari Yaman.
Hal senada juga dijelaskan Zainal Abidin Anwar. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Penggunaan Matawang Dinar, Zainal menjelaskan, kata ‘dinar’ bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Yunani dan Latin atau mungkin versi lain dari bahasa Aramaic-Persia. Jika namanya saja bukan dari bahasa Arab, sudah barang tentu yang pertama kali mengenal dan menggunakan uang dinar bukanlah bangsa Arab.
Dalam bentuknya yang masih sederhana, uang emas dan perak diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi sekitar tahun 46 SM. Julius Caesar ini pula yang memperkenalkan standar konversi dari uang emas ke uang perak dan sebaliknya dengan perbandingan 12:1 untuk perak terhadap emas.
Berbeda dengan koin emas, penggunaan koin perak justru pernah dilakukan kira-kira pada abad ke-18 SM atau pada zaman Nabi Yusuf AS. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Alquran surah Yusuf ayat 20. Dalam ayat tersebut, tercantum kata darahima ma’dudatin (beberapa keping perak). Dan, mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yakni beberapa dirham saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. (Alquran, surah 12:20).
Berdasarkan ayat tersebut, menurut peneliti jejak dirham, yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan Muhammad Ghoniem, dalam Dirham in the Time of Joseph?, pada masa itu peradaban Mesir kuno telah menggunakan perak sebagai alat tukar.
Sementara itu, penggunaan mata uang dinar dan dirham dalam masa Islam mulai dilakukan sebagai alat transaksi dan perdagangan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Umat Islam pertama kali menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu dasawarsa setelah Rasulullah SAW wafat. Kemudian, Khalifah Umar bin Khattab pun mengganti drachm dengan dirham.
Karena itu, pada masa Khalifah Umar, umat Islam mulai mencetak mata uang sendiri dengan menggunakan teknik penempaan. Sementara itu, koin dirham pertama kali dicetak umat Islam pada tahun 651 M pada era kepemimpinan Usman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan bismillah.
Seperti drachm, dirham juga berbentuk tipis. Ukuran diameternya sekitar 29 mm dengan berat antara 2,9-3,0 gram. Dirham lebih ringan dari drachm yang mencapai empat gram. Sejak itulah, tulisan bismilah menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.
Selain itu, koin dirham dan dinar yang dicetak umat Islam pada masa keemasan mencantumkan nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah menunjukkan, kebanyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada masa Khulafaur Rasyidin mencantumkan tahun hijriyah sebagai penanda waktu koin dirham atau dinar itu dicetak.
Pemerintahan Umar pun telah menetapkan standar koin dirham dan dinar yang akan dibuat. Berdasarkan standar yang telah ditetapkan, berat tujuh dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar juga telah menetapkan standar dinar emas, yakni memakai emas dengan kadar 22 karat dengan berat 4,25 gram.
Sedangkan, dirham perak haruslah menggunakan perak murni dengan berat 3,0 gram. Keputusan itu telah menjadi ijmak ulama pada awal Islam dan pada masa para sahabat dan tabiin. Sehingga, menurut syariah, 10 dirham setara dengan tujuh dinar emas. Hasil ijmak itu menjadi adalah pegangan sehingga nilai perbandingan dinar dan dirham bisa tetap sesuai.