PERTANYAAN ini memang menarik untuk dikaji, terutama sebagai benteng pertahanan para juru dakwah, bila menghadapi serbuan tasykik (membuat keraguan) para zindiq dan musuh-musuh Allah yang menggoyahkan keyakinan kita.
Untuk itu perlu dijelaskan kepada siapapun, bahwa kedudukan seorang nabi di tengah umatnya tidak sama. Kedudukannya jauh lebih tinggi, bahkan dari derajat para malaikat sekalipun. Bukankah sampai pada titik tertentu dari langit yang tujuh itu, malaikat Jibril pun harus berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan mi’raj? Sementara nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri saja yang boleh meneruskan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa derajat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lebih tinggi dari malaikat Jibril `alaihissalam.
Demikian juga dengan masalah dosa. Kalau manusia umumnya bisa berdosa dan mendapat pahala, para nabi justru sudah dijamin suci dari semua dosa (ma’shum). Artinya, seandainya mau, para nabi itu mengerjakan hal-hal yang diharamkan, sudah pasti Allah tidak akan menjatuhkan vonis dosa kepada mereka. Sebab tugas mereka hanya menyampaikan syariah saja, baik dengan lisan maupun dengan peragaan. Namun karena para nabi itu dijadikan qudwah (contoh) hidup, maka mereka pun beriltizam (berpegang teguh) pada syariat yang mereka sampaikan.
Dalam implementasinya, memang secara jujur harus diakui adanya sedikit detail syariah yang berbeda antara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan umatnya. Namun pengecualian ini sama sekali tidak merusak misi utamanya sebagai pembawa risalah dan juga qudwah. Sebab di balik hal itu, pasti ada hikmah ilahiyah yang tersembunyi. Misalnya, bila umat Islam tidak diwajibkan melakukan salat malam, maka Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam justru diwajibkan untuk melakukannya.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil: 20)
Bila umat Islam diharamkan berpuasa dengan cara wishal (bersambung hingga malam), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru diperbolehkan bahkan diperintahkan. Dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah berpuasa wishal di bulan Ramadhan. Lalu orang-orang ikut melakukannya. Namun beliau melarangnya. Orang-orang bertanya, “Mengapa Anda melakukannya?” Beliau menjawab, “(Dalam hal ini) aku tidak seperti kalian. Sebab aku diberi makan dan diberi minum.”
Bila istri-istri umat Islam tidak diwajibkan bertabir dengan laki-laki ajnabi, khusus buat para istri Rasulllah telah ditetapkan kewajiban bertabir. Sehingga wajah mereka tidak boleh dilihat oleh laki-laki, sebagaimana mereka pun tidak boleh melihat wajah laki-laki lain. Hal itu berlaku buat para istri nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejadian itu bisa kita lihat tatkala Abdullah bin Ummi Maktuh yang buta masuk ke rumah nabi, sedang saat itu beliau sedang bersama dua istrinya. Rasulullah lalu memerintahkan mereka berhijab (berlindung di balik tabir), meski Abdullah bin Ummi Maktum orang yang buta matanya. Namun Rasulullah menjelaskan bahwa kedua istrinya bukan orang yang buta.
Karena itulah Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran: “Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab: 53)
Bila wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya selesai dari ‘iddah mereka boleh dinikahi oleh orang lain, maka para janda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru haram dinikahi selamanya oleh siapapun. Bahkan kepada mereka disandangkan gelar ummahatul mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Haramnya menikahi janda Rasulullah sama dengan haramnya menikahi ibu sendiri. Dan masih ada beberapa lagi kekhususan Rasulullah. Salah satunya adalah kebolehan beliau untuk tidak menceraikan istri yang jumlahnya sudah lebih dari 4 orang. Sedangkan umat Islam lainnya, disuruh untuk menceraikan istri bila melebihi 4 orang.
Sebagaimana kita ketahui di masa lalu dan bukan hanya terjadi pada bangsa Arab saja, para laki-laki memiliki banyak istri, hingga ada yang mencapai ratusan orang. Barangkali hal itu terasa aneh untuk masa sekarang. Tapi percayalah bahwa gaya hidup manusia di masa lalu memang demikian. Dan bukan hanya tradisi bangsa Arab saja, melainkan semua bangsa. Sejarah Eropa, Cina, India, Afrika, Arab dan nyaris semuanya, memang terbiasa memiliki istri banyak hingga puluhan. Bahkan para raja di Jawa pun punya belasan selir.
Lalu datanglah syariat Islam yang dengan bijaksana memberikan batasan hingga maksimal 4 orang saja. Kalau terlanjur sudah punya istri lebih dari empat, harus diceraikan suka atau tidak suka. Kalau kita melihat dari sudut pandang para istri, justru kita seharusnya merasa kasihan, karena harus diceraikan. Karena itulah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Ta’ala tidak memerintahkannya untuk menceraikan para istrinya. Tidak ada pembatasan maksimal hanya 4 orang saja. Justru pengecualian itu merupakan bentuk kasih sayang Nabi kepada mereka, bukan sebaliknya seperti yang dituduhkan oleh para orintalis yang hatinya hitam itu. Mereka selama ini menuduh Rasulullah sebagai orang yang haus perempuan, nauzu bilahi min zalik.
Semoga Allah menghancurkan tipu daya para orientalis terlaknat, merusak semua sumber dana dan media propaganda sesat mereka, serta meruntuhkan kesombongan mereka. Amin Ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bishshawab wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc.]
– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2375033/menjawab-kenapa-rasul-beristri-lebih-dari-4-orang#sthash.TiEU2pts.dpuf