Kisah Kaum Sabat

Di antara orang-orang yang berusaha keras untuk melawan Islam dan menghalangi penyebaran Islam adalah orang-orang Yahudi. Mereka bahkan bekerja sama dengan orang-orang musyrik dan menghasut suku-suku Arab kafir terhadap Islam, meskipun mereka seharusnya menjadi orang pertama yang percaya dan membantu Islam.

Al-Qur’an menegur mereka terkait dengan perbuatan keji mengerikan, dan menantang mereka untuk menyebutkan cerita tentang Sabat di mana beberapa dari mereka bermetamorfosis menjadi monyet dan babi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

“Dan tanyakanlah kepada Bani Israel tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa.’ Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang lalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.” (Al-Araf :163-166)

“Hai orang-orang beriman, janganlah teman dan pelindung orang-orang yang membawa agama untuk olok-olok atau olahraga, – apakah di antara mereka yang menerima Kitab sebelum kamu, atau di antara orang-orang yang kafir, tetapi kamu takut kepada Allah, jika kamu beriman (memang). Ketika kamu nyatakan ajakan Anda untuk doa mereka bawa (tetapi) sebagai ejekan dan olahraga; itu adalah karena mereka adalah orang-orang tanpa pemahaman.” (QS Al-A’raf [7]: 163-166)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. Katakanlah: “Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?” Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al-Maidah [5]: 57-60)

Dalam ayat tersebut di atas, seorang muslim dilarang bersikap loyal terhadap orang-orang yang dikutuk dan melecehkan Islam. Di antara ajaran Islamic diejek oleh orang-orang Yahudi adalah adzan. Al-Qur’an mengecam dan mengingatkan mereka tentang salah satu tindakan memalukan yang mengakibatkan satu kelompok orang-orang Yahudi diubah menjadi kera.

Dalam kisah ini, Allah telah menguji keyakinan mereka dan sejauh mana mereka mematuhi-Nya. Di beberapa desa yang terletak di Laut Merah, orang-orang Yahudi bekerja sebagai nelayan. Allah memerintahkan ikan untuk tidak mendekati pantai, kecuali pada hari Sabtu. Pada hari Sabtu ikan melimpah datang ke pantai. Jadi, ketika mereka menemukan bahwa ikan hanya datang pada hari Sabtu, maka mereka mulai membuat beberapa trik dengan menyebarkan jaring ikan, lalu mereka mengumpulkan ikan-ikan yang tertangkap jaring pada hari Minggu. Padahal dalam Kitab Taurat orang-orang Yahudi diperintahkan untuk tidak bekerja pada hari Sabtu.

Ada tiga kelompok orang yang memperdebatkan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Beberapa dari mereka memperingatkan kelompok kedua, yaitu orang-orang yang berbuat dosa, akan siksaan akibat perbuatan mereka itu. Sementara kelompok ketiga menolak untuk mengambil bagian dalam dosa. Bahkan mereka berkata kepada yang kelompok pertama yang memberi nasihat kepada kelompok kedua, “Untuk apa kamu menasihati orang-orang yang berdosa itu?” Itulah nasehat yang diberikan jauh sebelum hukuman Allah terjadi. Hukuman Allah itu terjadi dengan begitu cepat, dan orang-orang yang berdosa itu pun bermetamorfosis menjadi kera. Cerita ini dihapus dari Taurat meskipun masih ada beberapa jejaknya. Yang pertama adalah:

“Engkau memandang ringan terhadap hal-hal yang kudus bagi-Ku dan hari-hari Sabat-Ku kaunajiskan.” (Yehezkiel 22:8)

Seperti apa cerita hari Sabat? Ini adalah pertanyaan yang tidak ada jawabannya dalam bab kanonik, namun masih ada beberapa bukti yang menjelaskan bagaimana mereka menistakan Sabat dan bagaimana mereka memanipulasinya dalam Talmud, kisah-kisah kuno orang Yahudi. Bahkan ada bukti dalam tulisan suci yang tercatat setelah penulisan Talmud yang menoleransi penyebaran jaring ikan untuk menangkap ikan dan jaring untuk menangkap binatang-binatang di hari Sabtu untuk mereka kumpulkan di hari berikutnya.
Yang terakhir dari bukti-bukti ini ditemukan di Kitab Rabbinci dan Talmud Aramaic. Dalam buku ini dijelakan Jacopo bernubuat bahwa keturunan Efraim, anak Yusuf, akan mengalami bencana karena menangkap ikan dengan mulut, dan sebagai akibatnya mereka akan menjadi bisu lalu mati seperti ikan.

Kepada mereka yang masih mengklaim bahwa Nabi Muhammad Saw. mengadopsi kisah-kisah dalam Al-Quran dari kitab suci mereka kita katakan: Apakah mungkin beliau membaca kitab suci mereka meskipun beliau buta huruf dan tidak pernah tahu salah satu bahasa dari buku-buku ini untuk menyisipkannya di dalam Al-Qur’an? Apakah mungkin beliau mendapatkan buku-buku ini lalu membaca potongan-potongan cerita yang berserakan dan kemudian menemukan garis samar yang menghubungkan semua bagian, kemudian menulis cerita ini? Tidak diragukan lagi itu adalah kitab yang nyata dari Allah dan setiap kata adalah benar.

Keistimewaan Para Nabi Dibandingkan Manusia Biasa

NABI dan rasul adalah manusia-manusia terbaik pilihan Allah SWT untuk mengemban risalahnya. Para nabi dan rasul ini juga memiliki keistimewaan tertentu dan diantaranya tidak dimiliki oleh manusia biasa.

Di antara keistimewaan nabi dan rasul adalah:

Para nabi dan rasul memiliki fisik yang lebih baik dari manusia biasa. Sebagaimana Nabi Musa yang kuat, Nabi Yusuf memiliki ketampanan luar biasa, dan secara umum tidak ada nabi dan rasul yang cacat.

Allah anugerahkan mereka akhlak yang mulia. Para nabi dan rasul terjaga dari akhlak yang rendah, agar orang-orang tidak mencela mereka ketika mereka berdakwah dan menyeru kepada kebaikan saat diperintahkan berdakwah.

Memiliki nasab atau silsilah keturunan yang baik atau dari anak-anak keluarga yang dipandang di masyarakatnya.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang cerdas. Sebagaiman kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan ayahnya dengan cara yang santun, berdialog dengan kaumnya dan Raja Namrud dengan argumentasi yang tidak terbantahkan. Demikian juga nabi dan rasul lainnya.

Kesabaran mereka tidak tertandingi. Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun hanya dengan segelintir pengikut, yang tidak lebih dari 10 orang.

Para nabi menerima wahyu.

Terjaga dari dosa, apalagi sampai berbuat syirik. Oleh karena itu, tidak bernah apa yang dikatakan oleh orang-orang filsafat bahwasanya Nabi Ibrahim sempat mengalami fase pencarian Tuhan.

Saat tidur, hati mereka tetap terjaga. Berbeda dengan kita manusia biasa seperti kita, ketika tidur maka hati kita pun tertidur; tidak berdzikir dan mengingat Allah atau aktivitas hati lainnya.

Ketika nyawa mereka hendak dicabut, maka Allah berikan pilihan; agar tetap kekal di dunia atau berjumpa dengan Allah. Sebagaimana Nabi Muhammad yang memilih “ila rofiqul ala”.

 

 

Jasad para Nabi tidak hancur di kubur-kubur mereka.

Ketika wafat, harta mereka tidak diwariskan akan tetapi menjadi sedekah. Oleh karena itu Abu Bakar tidak mengabulkan Fathimah radhiallahu anha tentang peninggalan Nabi Muhammad SAW.

Dimakamkan di tempat mereka wafat. Sebagaimana Nabi Muhammad yang wafat di kamar ummul mukminin Aisyah radhiallahu anha, maka beliau di kubur di kamar sang istri tercinta.

Para nabi dan rasul khusus dari kalangan laki-laki, tidak dari wanita.

Para nabi dan rasul adalah orang-orang merdeka, tidak seorang pun di antara mereka adalah budak.

Para nabi didoakan, oleh karena itu sering disertai nama-nama Nabi dengan shallallahu alaihi wa sallam atau alaihissalam karena shalawat adalah di antara kekhususan para nabi.

Doa para nabi, doa yang mustajab.

Para nabi dan rasul memiliki telaga di akhirat kelak untuk umat-umat mereka. Walaupun hadis tentang ini diperselisihkan oleh para ulama, apakah selain Nabi Muhammad juga memiliki telaga. Adapun tentang telaga Nabi Muhammad para ulama sepakat tentang keshahihannya.

Para nabi dan rasul adalah orang yang tinggal di perkotaan, bukan dari kalangan badui atau desa.

Para nabi tidak mengalami mimpi “basah”, karena mimpi yang demikian adalah mimpi yang berasal dari setan.

Mimpi para nabi dan rasul adalah sesuatu yang akan menjadi kenyataan. Ketika para nabi dan rasul melihat sesuatu dalam mimpi mereka, maka hal itu akan terjadi. Sebagaimana mimpi Nabi Yusuf di kala kecil, melihat matahari, bulan, dan bintang bersujud kepadanya. Wallahu alam. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2369051/keistimewaan-para-nabi-dibandingkan-manusia-biasa#sthash.9vEeOTnI.dpuf

Hukum Membunuh Maling atau Tukang Begal

BAGAIMANA kiranya hukum membunuh tukang begal? Apakah hal ini menjadi halal karena ia merampas harta kita?

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanyakan mengenai orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi di mana mereka menghalalkan harta dan darah orang lain, seperti pencuri (pencopet) dan perampok (begal), jika ada yang diteror, apakah ia harus menyerahkan hartanya atau ia membunuhnya? Apakah jika seseorang membunuh salah seorang di antara perampok tersebut, apakah ia disebut nafal? Apakah ia berdosa jika membunuh orang yang dituntut untuk dibunuh?

Syaikhul Islam menjawab, “Para ulama sepakat akan bolehnya melawan para perampok (begal). Telah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan hal ini, “Siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid.” [1]

Apabila tukang begal ingin merampas harta korban (yang tidak halal dirampas hartanya), maka si korban tidak wajib menyerahkan hartanya dengan sepakat para ulama. Namun dia bisa melawannya dengan cara paling mudah yang ia mampu. Jika tetap tidak bisa dihentikan, kecuali dengan senjata, maka korban boleh menggunakan senjata untuk melawannya. Jika korban terbunuh, maka dia mendapat pahala syahid. Jika korban berhasil membunuh salah satu di antara gerombolan perampok (begal) dengan cara seperti di atas, maka darahnya tidak bisa dituntut. Demikian pula, ketika begal hendak membunuh korban, ulama sepakat korban boleh melawannya, meskipun sampai harus terjadi pembunuhan.

Jika begal ini hanya mengancam harta, maka melindungi harta hukumnya tidak wajib. Korban boleh menyerahkan hartanya dan tidak melawannya. Jika ancaman yang diberikan adalah pembunuhan, ulama berbeda pendapat, apakah wajib membela diri atau tidak. Ada dua pendapat dari Imam Ahmad mengenai hal ini. (Majmu Fatawa, 34: 242).

Namun jika yang membunuh ialah orang lain seperti warga yang tidak mengalami ancaman dibunuh seperti korban, tentu hal ini tidak diperkenankan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. [Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]

Referensi: Majmuatul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
[1] (HR. Abu Daud no. 4772 dan An Nasai no. 4099. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2369346/hukum-membunuh-maling-atau-tukang-begal#sthash.IUDyrNib.dpuf

Jejak Haji Rasulullah, Kendaraan Unta, Cukur Rambut, dan Tawaf

Hari Tarwiyyah, 8 Dzulhijah, adalah hari dimulainya hajjul akbar di mana seluruh kaum Muslimin dan Muslimat berbondong-bondong berangkat dari Makkah ke Mina. Pada hari Kamis, 8 Dzulhijah, Rasulullah Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum Muslimin yang sudah bertahallul (menggunting rambut dan melepaskan ihram) karena tidak membawa hewan hadyu (kurban), untuk memakai ihram buat haji.

Rasulullah dengan berkendaraan unta bernama Qashwa bersama-sama para sahabatnya dan kaum muslimin yang berjumlah 114 ribu orang, berangkat menuju Mina, sekitar 7 kilometer dari Makkah. Di Mina, Rasulullah bermalam, menegakkan shalat Zhuhur, Asar, Maghrib, Isya, dan Subuh. Pada hari Arafah, 9 Dzulhijah, Rasulullah SAW berangkat menuju Namiroh, sebuah tempat dekat Padang Arafah, setelah matahari terbit, melewati Masy’aril Haram.

Sesampainya di Namiroh, Rasul berhenti di suatu gua (sekarang sudah tidak ada) yang di depannya telah dipasang tenda, dan beliau beristirahat di situ hingga pada waktu menjelang zawal (tergelincir matahari). Kemudian Rasul turun ke Wadi (lembah) Namiroh (sekarang Masjid Namiroh) dan berkhutbah di sana yang terkenal dengan ‘Khutbatul Wada’. Dalam khutbah yang panjang itu beliau meninggalkan pesan-pesan yang sangat penting bagi umat Islam. “Aku tinggalkan dua perkara untuk kamu sekalian (kaum Muslimin), kamu tidak akan sesat selama-lamanya jika kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah (Alquran) dan sunah Nabi-Nya,” katanya.

Kemudian Beliau menyuruh orang untuk azan dan iqamat, lalu Beliau shalat dua rakaat. Kemudian Beliau memerintahkan iqamat lagi, dan Beliau shalat dua rakaat lagi. Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar, masing-masing dua rakaat dengan azan dan iqamat seperti di atas. Rasul tidak melakukan salat selain yang telah dikerjakannya itu, dan sekalian sahabat serta muslimin lainnya dan yang datang dari Makkah mengerjakan salat seperti shalatnya Rasulullah.

Di Padang Arafah

Jabir berkata, kemudian Nabi SAW mengendarai unta menuju ke tempat wukuf (mauqif) di sebuah batu terhampar, Beliau menghadap ke kiblat. Beliau wukuf di Arafah itu hingga terbenamnya matahari. Beliau memerintahkan agar semua manusia (Muslimin) keluar dari lembah ‘Irnah (Namiroh) untuk berwukuf dan bersabda, “Saya berwukuf di sini, tetapi seluruh Arafah ini adalah mauqif (tempat wukuf).” Kemudian Rasulullah memerintahkan pula untuk berwukuf di Masy’aril Haram setelah mereka bertolak dari Arafah, sebab itu adalah dari peninggalan Nabi Ibrahim as.

Di sinilah Ahlu Najd (warga Najd) pernah bertanya kepada Rasul tentang persoalan haji. Rasul Allah menjelaskan, “Haji itu adalah Arafah. Barang siapa melaksanakan wukuf sebelum subuh, maka sungguh ia menjumpai haji. Hari Mina adalah hari tasyrik. Barang siapa yang tergesa dalam masa dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa berakhir (memenuhi tiga hari), maka tidak pula dosa baginya.”

Ketika berdoa, Rasulullah mengangkat tangannya setinggi dada. Dan di Arafah itu Rasul bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa di Arafah.” Di Arafah ini turun ayat, “Al-yauma akmaltu lakum diinakum wa-atmamtu ‘alaikum bini’mati warodliitu lakumul Islaama diina (Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kamu sekalian.” (Alquran, surat al-Maidah, ayat 3).

Di Arafah ini pula seorang sahabat yang sedang berpakaian ihram jatuh dari untanya dan meninggal dunia. Kemudian Rasul memerintahkan para sahabat untuk memakamkannya tanpa dimandikan dan diberikan wewangian dan tanpa ditutup kepalanya, sebab besok pada hari kiamat, ia akan dibangkitkan dalam keadaan bertalbiyah.

Mabit di Muzdalifah

Pada malam hari Nahar, 10 Dzulhijjah setelah terbenam matahari, Rasulullah SAW bertolak dari Arafah menuju Muzdalifah. Di belakang untanya duduk Usamah bin Zaid, dan dalam perjalanan Nabi bertalbiyah. Sesampainya di Muzdalifah, Nabi memerintahkan adzan dan iqamat, kemudian Beliau shalat Maghrib. Selesai shalat, Nabi perintahkan iqomat lagi, kemudian shalat Isyah qashar.

Kemudian Beliau mabit (bermalam) di Muzdalifah dan mengizinkan keluarganya untuk datang ke Mina sebelum fajar karena kondisi mereka lemah. Rasul mewasiatkan keluarganya agar tidak melempar jumrah sampai matahari terbit.

Pada awal waktu Subuh, Rasulullah memerintahkan untuk azan dan iqamat dan Beliau melakukan shalat Subuh. Kemudian Nabi pergi menuju Masy’aril Haram dan Beliau berzikir dan berdoa di situ hingga di ufuk timur terlihat merah sekali (tanda akan terbitnya matahari).

Melempar jumrah

Selanjutnya dengan membonceng Fadlal bin Abbas, Rasulullah SAW berangkat menuju Mina–diikuti oleh seluruh kaum Muslimin, dan Beliau bertalbiyah serta memerintahkan kepada Fadlal agar mengambil batu kerikil di sepanjang jalan yang dilaluinya. Sewaktu sampai di lembah Wadi Muhassir (sekarang sudah tak tampak), maka Rasul mempercepat jalan untanya, Qashwa. Sampai di Mina, waktu menunjukkan sudah awal waktu Dhuha. Beliau melempar jumrotul aqobah (jumrotul kubro) dengan tujuh kali lemparan batu kerikil, dan bertakbir pada setiap akan melempar.

Rasul melempar jumrotul aqobah dari lembah di atas untanya dan dipayungi oleh Usamah, sedangkan Bilal memegang kendali untanya. Kemudian beliau kembali ke Mina dan berkhutbah di sana. Setelah itu, Nabi memotong hewan hadyunya (kurban) sebanyak 63 ekor kambing dengan tangan beliau sendiri dan memerintahkan kepada Ali untuk menyembelih selebihnya (37 ekor). Dan Rasul memerintahkan daging kurban itu diberikan kepada masakin (orang-orang miskin).

Setelah selesai menyembelih kurbna, Ia memanggil Mu’ammar bin Abdullah, tukang cukur untuk mencukur rambut Beliau. Di kala Mu’ammar berdiri dengan pisau cukurnya, Rasul bersabda, “Hai Mu’ammar, Rasulullah menempatkanmu pada daun telinganya dengan pisau terbuka.” Maka Mu’ammar menjawab, “Ya Rasulullah inilah kenikmatan Allah atas diri saya.”

Rasul memerintahkan agar dicukur sebelah kanan dahulu, kemudian baru yang sebelah kiri. Selesai itu, rambut itu diserahkan kepada Abu Thalhah dan dia membagikannya di antara orang-orang yang di dekatnya. Khalid bin Walid mendapatkan bagian itu.

Tawaf Ifadah

Rasulullah SAW kemudian berganti pakaian dan istrinya Aisyah mengharuminya. Kemudian beliau meneruskan perjalanan menuju Makkah al-Mukarramah untuk melakukan tawaf ifadah pada hari Nahar, 10 Dzulhijah itu. Beliau shalat Zhuhur di luar kota Mina dan kembali ke Mina setelah melakukan Thawaf Ifadloh. Menurut riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah, Rasul shalat Dzuhur di Makkah pada tanggal 10 Dzulhijjah dan kembali ke Mina untuk bermalam di sana selama hari-hari tasyrik.

Pada hari kedua, tanggal 11 Dzulhijah, Rasulullah tidak melontar jumrah melainkan setelah zawalus syamsi (tergelincirnya matahari). Pada hari itu, beliau melempar jumrah dengan tujuh kali lempar. Setiap lemparan Beliau mengucapkan: Allahu Akbar. Ketika melempar jumrah, beliau menghadap ke kiblat. Seusai melempar, Beliau menengadahkan tangan (mengangkat tangan tinggi-tinggi) sambil berdoa, lama sekali. Kemudian beliau menuju jumrotul wustho. Sebagaimana di jumrotul ula, Beliau menghadap kiblat, kemudian melempar tujuh kali, dan berdoa setelah selesai melempar.

Selanjutnya, Beliau menuju jumrotul aqobah dan melemparnya dengan tujuh buah batu kerikil seperti yang dilakukan pada jumrah sebelumnya. Beliau menghadap ke utara sehingga Ka’bah berada di sebelah kiri dan Kota Mina di sebelah kanannya. Selesai melempar jumrah, beliau cepat-cepat meninggalkan jumrah itu tanpa berdoa. Dalam melaksanakan haji tersebut, Rasulullah berdoa di enam tempat, yaitu di Shafa dan Marwah, ketiga di Arafah, keempat di Muzdalifah, kelima di jumrotul ula, dan keenam di jumrotul wustho (Mukhtashor Siratur-Rasul: II/397).

Dan beliau berkhutbah empat kali, pertama di Dzulhulaifah (Bir Ali), kedua di Arofah, ketiga di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah, dan keempat juga di Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah. Pada tanggal 13 Dzulhijjah, Rasulullah SAW keluar dari Mina setelah Dzuhur (dalam riwayat lain ada dikatakan menjelang waktu Dzuhur), dan singgah di al-Abthoh, perkampungan Bani Kinanah dan shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya di sana.

Rasul kemudian meneruskan perjalanan ke Makkah, dan melaksanakan tawaf wada’ pada waktu sahur. Beliau tidak berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama sebagaimana biasanya Beliau melakukan, Beliau berjalan biasa. Menjelang waktu Subuh beliau siap keluar Kota Makkah untuk kembali ke Madinah. Beliau meninggalkan Makkah sebelum waktu Subuh, seusai Aisyah mengerjakan umrah dan thawaf wada’.

 

 

IHRAM.co.id