29 Mei, Mengenang Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Umat Islam

Menjelang waktu Ashar pada Selasa, 29 Mei 1453, Konstantinopel berhasil dibebaskan. Takluknya ibu kota Romawi tersebut di tangan pasukan Muhammad Al Fatih menjadi pembuktian bisyarah (kabar gembira) Rasulullah saw delapan abad sebelumnya.

Di sela-sela persiapan perang Khandaq, Rasulullah ditanya salah seorang sahabat. “Ya Rasul, mana yang lebih dahulu jatuh ke tangan kaum Muslimin, Konstantinopel atau Romawi?” Nabi menjawab, “Kota Heraklius (Konstantinopel).” (Hadits riwayat Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim). Dan hampir 800 tahun kemudian bisyarah Rasulullah terbukti.

Dengan kekuatan tak kurang 100 ribu pasukan, pasukan kekalifahan Utsmani di bawah komando Mehmed II, panggilan Muhammad Al-Fatih, menaklukkan jantung peradaban Kristen terbesar saat itu. Mirip Tembok Besar di Cina, kota Konstantinopel dinaungi benteng yang terbentang sejauh total 20 kilometer guna menghindari serangan musuh. Serangan pasukan Al-Fatih sudah dimulai sejak 6 April atau lebih dari sebulan sebelumnya tanpa hasil memuaskan.

Tak mudah menundukkan Konstantinopel. Upaya penaklukan bahkan sudah dilakukan sejak tahun 44 Hijriah pada era Muawiyah bin Abu Sofian.

Pasukan artileri Al-Fatih gagal menusuk dari sayap barat lantaran dihadang dua lapis benteng kukuh setinggi 10 meter. Mencoba mendobrak dari selatan Laut Marmara, pasukan laut Al-Fatih terganjal militansi tentara laut Genoa pimpinan Giustiniani. Sadarlah Al-Fatih, titik lemah Konstantinopel adalah sisi timur yakni selat sempit Golden Horn (tanduk emas).

Selat ini dibentang rantai besar, memusykilkan armada kecil sekali pun untuk melewatinya. Tapi Al-Fatih saat itu usianya 21 tahun tak kehabisan akal.

Ia membawa kapal-kapalnya dari laut ke darat, demi menghindari rantai besar. Sebanyak 70 kapal digotong ramai-ramai ke sisi selat dalam waktu singkat pada malam hari. Inilah awal dari kejatuhan Konstantinopel yang fenomenal.

Jatuhnya Konstantinopel menjadi pintu gerbang bagi kekalifahan Utsmani untuk melebarkan sayap kekuasaanya ke Mediterania Timur hingga ke semenanjung Balkan. Peristiwa ini kelak menjadi titik krusial bagi stabilitas politik Utsmani sebagai kekuatan adikuasa kala itu, jika bukan satu-satunya di dunia. Tanggal 29 Mei 1453 juga ditandai sebagai era berakhirnya Abad Pertengahan.

Nama Konstantinopel kemudian diubah menjadi Istanbul yang berarti kota Islam. Istanbul, kerap dilafalkan Istambul, kemudian sebagai ibu kota kekalifahan Utsmani hingga kejatuhannya pada 1923. Kota pelabuhan laut ini menjadi pusat perdagangan utama Turki moderen saat ini.

Secara geografis, wilayah Istanbul ‘terbelah’ dua dan masing-masing terletak di Asia dan Eropa. Berpenduduk hingga 16 juta jiwa, Istanbul adalah salah satu kota terpadat di Eropa.

 

Inilah Manajemen Ramadhan Ala Rasulullah

Agar Ramadhan menjadi bulan rahmat, ampunan dan keselamatan dari neraka maka momentum yang penuh berkah ini perlu dijadikan sebagai momentum Training Manajemen Syahwat, dan sekaligus menjadi Training Manajemen Ibadah. Inilah yang dilakukan Rasul Saw. Sebab itu, kita perlu menelusuri bagaimana Rasulullah Saw. dan generasi Islam pertama, generasi terbaik umat ini, menjalankan manajemen Ramadhan.

Untuk mendapatkan gambaran utuh dari manajamen Ramadhan Rasul Saw. ada empat  situasi yang perlu kita perhatikan. Pertama, sebelum memasuki Ramadhan. Kedua, saat memasuki Ramadhan. Ketiga, setelah memasuki Ramadhan. Keempat, ketika memasuki 10 hari terakhir.

Pertama, sebelum memasuki Ramadhan

Para Sahabat dan generasi setelah mereka (Tabi’in) selalu merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka selalu berdoa agar diberi Allah kesempatan menemui Ramadhan sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba. Imam Malik, misalnya, sering minta izin pada Sahabatnya setelah pengajian untuk mempelajari bagaimana Sahabat memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang terkait dengan Ramadhan mereka. Kendati Beliau tidak hidup bersama para Sahabat, namun Beliau mampu meneladani mereka melalui sejarah hidup mereka.

Ma’la Bin Fadhal berkata : Dulu Sahabat Rasul Saw. berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.

Dari sikap dan doa yang mereka lakukan, jelas bagi kita bahwa para Sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat menjumpai Ramadhan agar mereka meraih semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa para Sahabat dan generasi setelahnya memahami dan yakin betul akan keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang diungkapkan Imam Nawawi : Celakalah kaum Ramadhaniyyin. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan. Sungguh Rasulullah, Sahabat dan generasi setelahnya mengenal Allah sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan dan di bulan Ramadhan pengenalan kepada Allah lebih mereka tingkatkan.

Kedua, saat memasuki Ramadhan

Saat hilal muncul di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan para Sahabat melihat dan menyambutnya dengan suka cita sambil membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dalam hadits berikut :

 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِصلى الله عليه وسلمإِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَمِوَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ

Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul Saw. melihat hilal (anak bulan) dia berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya. Robb kami dan Robbmu (hilal) adalah Allah. (HR. Addaromi).

Itulah contoh nyata dari Rasul Saw. dan para Sahabat ketika meyambut kedatangan Ramadhan. Bukan dengan hiruk pikuk pawai di jalanan sambil keliling kota memukul beduk dan sebagainya. Tidak pula dengan pesta petasan yang jelas-jelas menimbulkan keributan dan mubazir. Bukan pula dengan ajang promosi produk dan iklan diri agar dikenal dan dipilih masyarakat untuk jadi pejabat. Namun, keyakinan, pikiran, perasaan, kerinduan dan hati mereka tertuju hanya pada kebesaran Ramadhan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Dengan harapan, jika amal ibadah Ramadhan dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’, mereka akan meraih rahmat, ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketiga nikmat itu tidak akan ternilai harganya bagi mereka dibandingkan dengan dunia dan seisinya. 

Ketiga, setelah memasuki Ramadhan

Apa yang dilakukan Rasul dan para Sahabat setelah memasuki Ramadhan? Setelah memasuki bulan Ramadhan, sejak hari pertama dan sampai hari terakhir, Rasulullah dan para Sahabat meningkatkan kemampuan menahan diri dari berbagai syahwat, seperti syahwat telinga, syahwat mata, syahwat lidah, syahwat perut (makan dan minum), syahwat kemaluan, syahwat cinta dunia, syahwat kesombongan dan berbagai syahwat yang memalingkan mereka dari mengingat dan mencintai Allah serta akhirat. Latihan mengendalikan dan menundukkan berbagai syahwat ini dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Inilah inti shaum (puasa)  Ramadhan yang diwajibkan Allah.

Apakah setelah sepanjang hari bergulat dengan dorongan-dorongan berbagai syahwat tersebut malam harinya digunakan untuk istirahat, makan, minum dan sebagainya? Ternyata tidak. Di malam harinya Rasulullah dan para Sahabat memanfaatkannya untuk qiyam (berdiri beramal ibadah) seperti shalat taraweh, berzikir, membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah lainnya. Artinya, selama Ramadhan, Rasul dan para Sahabat benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub kepada Allah melalu training manajemen syahwat dan sekaligus training manajemen ibadah. Dua hal inilah yang harus dimiliki oleh setiap hamba yang ingin mendapat ridha Allah di dunia dan bertemu dengan-Nya di syurga.

‘Aisyah meriwayatkan : Rasulullah adalah orang yang paling dermawan. Di bulan Ramadhan Beliau lebih dermawan lagi ketika bertemu Jibril. Jibril menemui Beliau setiap malam Ramadhan untuk mengajarkan (mudarosah) Al-Qur’an. Sebab itu, kederwawanan Rasul Saw. di bulan Ramadhan lebih  kencang dari (tiupan) angin. (HR. Bukhari).

Inilah contoh nyata dari Rasul Saw. dan para Sahabat ketika mereka memasuki bulan Ramadhan. Hampir tak satupun syahwat yang tidak dapat mereka tundukkkan dan kendalikan dan tak satupun kebaikan dan amal sholeh yang mereka tinggalkan. Ramadhan benar-benar menjadi sistem penyeimbang dalam hidup ini sehingga mereka berhasil terbebas dari pengaruh syahwat buruk, karena merekalah yang mengendalikannya. Pada waktu yang sama, mereka berhasil meningkatkan kualitas diri dengan berbagai amal ibadah yang mereka lakukan dalam rangka taqorrub ilallah. Dengan demikian tercapai janji Rasul Saw. Siapa yang shaum (puasa) di bulan Ramadhan dan dia mengetahui aturannya (batas-batasnya), dia menjaga apa yang seharusnya dijaga maka akan dihapus dosa-dosa sebelumnya. (HR. Ahmad dan Baihaqi).

Keempat, ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadhan

Jika kita teliti perilaku hidup Rasul Saw. dan para Sahabat di bulan Ramadhan, kita menemukan berbagai keajaiban. Di antaranya ialah, saat memasuki 10 hari terakhir Ramadhan. Apa yang mereka lakukan sangat kontras dengan apa yang terjadi di masyarakat Muslim hari ini. 10 Hari terakhir Ramadhan mereka habiskan di masjid, bukan di pasar, tempat kerja, di pabrik, kunjungan daerah dan sebagainya.

Menurut presepsi dan perilaku kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia, 10 terakhir Ramadhan itu adalah kesempatan berbelanja untuk mempersiapkan keperluan lebaran dan pulang kampung, kendati mengakibatkan harga-harga semua barang naik dan membubung. Anehnya, mereka ikhlas dan tetap semangat berbelanja. Sebab itu, mereka meninggalkan masjid-masjid di malam hari dan tumpah ruah ke tempat-tempat perbelanjaan sejak dari yang tradisional sampai ke mall-mall moderen.

Lalu apa  yang terjadi? Berbagai syahwat cinta dunia tidak berhasil dikendalikan, dan bahkan cenderung dimanjakan di bulan yang seharusnya dikendalikan. Pada waktu yang sama, semangat beramal ibadahpun tidak terbangun dengan baik sehingga kehilangan banyak momentum dan keistimewaan yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Coba bayangkan, terhadap janji Allah yang bernama Lailatul Qadr yang nilainya lebih baik dari 1.000 bulan saja belum tertarik? Jika tertarik, tentu mereka mengejarnya di masjid pada 10 hari terakhir Ramadhan dengan cara beri’tikaf di dalamnya secara penuh seperti yang dicontohkan Rasul Saw. Ini yang terjadi pada salah seorang teman ketika ditanya kenapa gak jadi i’tikaf? Dia katakan : saya sedang sibuk-sibuknya sosialisasi ke daerah. Lalu saya katakana : Mana yang lebih mahal menurut Rasulullah, i’tikaf di masjid 10 hari terakhir Ramadhan atau sosialiasi pencalegan Anda? Kemudian Anda bisa jamin umur Anda akan sampai pada 10 terakhir Ramadhan yang akan datang? Sungguh terkadang kita berlagak seakan lebih pintar, lebih hebat dan lebih sibuk berjuang dari Rasul Saw.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah bahwa Rasul Saw. beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan. Pada tahun terakhir berjumpa Ramadhan, Beliau i’tikaf selama 20 hari. Kebiasaan I’tikaf ini diteruskan oleh para Sahabat dan istri-istrinya setelah peninggalan Beliau.

Pertanyaannya adalah : Bukankah Rasulullah orang yang paling sibuk berdakwah dan mengurusi umatnya? Bukankah para Sahabat orang yang  paling giat berdakwah dan berjihad di jalan Allah? Lalu, kenapa mereka bisa melaksanakan i’tikaf pada 10 terakhir Ramadhan? Jawabanya ialah : itulah jalan yang harus ditempuh sebagai bagian dari sistem Allah yang menyampaikan hamba-Nya ke tingkat taqwa, tak terkecuali Rasulullah dan para Sahabatnya. Lalu bagaimana dengan kita? Sudah pasti jalannya sama jika menginginkan sampai ke peringkat yang sama pula (taqwa).

 

Oleh : Ustadz Fatuddin Jaffar

ERA MUSLIM

Siapakah yang Paling Banyak Pahalanya dalam Berpuasa?

Siapakah yang paling banyak pahalanya dalam berpuasa? Masya Allah…

عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ فَقَالَ: أَيُّ الْجِهَادِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: ” أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ذِكْرًا ” قَالَ: فَأَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: ” أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ذِكْرًا “، ثُمَّ ذَكَرَ لَنَا الصَّلَاةَ، وَالزَّكَاةَ، وَالْحَجَّ، وَالصَّدَقَةَ كُلُّ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ذِكْرًا ” فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ: يَا أَبَا حَفْصٍ ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَجَلْ “.
رواه الإمام أحمد في المسند رقم: 15614 ط/ مؤسسة الرسالة.

Sahl Bin Mu’adz meriwayatkan dari ayahnya beliau berkata: Sesungguhnya ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam seraya berkata: apakah jihad yang paling besar/banyak pahalanya? Beliau menjawab: Mereka yang paling banyak dzikirnya kepada Allah. Ia bertanya lagi: siapakah orang yang berpuasa yang paling besar/banyak pahalanya? Beliau menjawab: Mereka yang paling banyak dzikirnya kepada Allah. Kemudia ia bertanya tentang shalat, zakat, haji dan shadaqah (siapakah yang paling besar pahalanya?), semuanya dijawab oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dengan jawaban: Mereka yang paling banyak dzikirnya kepada Allah.
Lalu Abu Bakr berkata kepada Umar: Wahai Abu Hafsh, sungguh orang yang (banyak) berdzikir telah pergi membawa seluruh kebaikan, maka Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berkata: ya benar”.
H. R Ahmad dalam Musnad, no. 15614 Cet. Muassasah Ar-Risalah.

Dari hadits diatas jelaslah bahwa orang yang paling utama dan paling besar/ banyak pahalanya dalam perpuasa adalah orang yang paling banyak dzikirnya kepada Allah dalam setiap kesempatan dan keadaan.

Oleh karena itu terdapat dalam al qur’an dan hadits perintah untuk bayak berdzikir dipagi dan petang hari serta dalam setiap kondisi dan keadaan, bahkan tidak terdapat didalam al qur’an perintah untuk banyak beribadah selain dzikir kepada Allah, hal ini menunjukan akan keagungan dzikir dan besar pahalanya disisi Allah Ta’ala.

قال تعالى: (والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما) . الأحزاب: 35.

“Dan orang yang banyak berdzikir kepada Allah dari kalangan lelaki dan wanita, Allah janjikan bagi mereka keampunan dan pahala yang agung/besar”.

قال تعالى: (يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا وسبحوه بكرة وأصيلا). الأحزاب: 41-42.

“Wahai orang orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan banyak, dan bertasbihlah kepadanya dipagi dan petang”

قالت عائشة رضي الله عنها: (كان النبي صلى الله عليه وسلم يذكر الله في كل أحيانه) رواه مسلم.

Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Nabi shalallahu’alaihi wasallam selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap waktu”. H. R Muslim, no. 373.

Oleh Karena itu gunakanlah lisan kita untuk selalau banyak menyebut Allah dan dzikir kepadaNya, terutama dalam ibadah kita, dan secara khusus puasa yang akan kita laksanakan dibulan Ramdhan yang penuh berkah.

Semoga Allah memberikan pertolonganNya kepada kita dalam berdzikir, bersyukur dan melakukan ibadah yang berkualitas.

“اللهم أعنا على ذكرك، وشكرك، وحسن عبادتك”.

“Ya Allah, berilah kami pertolongan untuk berdzikir kepadaMu, mensyukuri nikmatMu dan melakukan ibadah yang terbaik kepadaMu”

 

Ditulis oleh: Muhammad Nur Ihsan, Hafidzahullah.

ERA MUSLIM

Kata adalah Kematangan

Imam al-Haramain al-Juwaini, ulama terpandang masa itu, gusar dengan kecakapan ilmu sang murid sekaligus asistennya kala mengajar di Madrasah Naisabur. Sang murid baru saja membuahkan telaahnya dalam karya berjudul al-Mankhul.

Karya inilah yang membuat terkesima al-Juwaini sampai dengan nada gusar—tentu sembari bercanda—berujar pada sang murid, “Engkau telah menguburkanku sedangkan aku masih hidup! Tidak sabarkah engkau menunggu hingga aku meninggal?”

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, sang murid, tentu wajar patut berbangga. Sayang, bangganya berkawankan besar kepala. Abu Hasan Abdul Ghafir bin Ismail al-Farisi memberikan kesaksian perangkai al-Ghazali, “Perangainya kurang terpuji, selalu memandang rendah kepada orang lain karena angkuh dan sombong dengan kecerdasan, kemahiran berbicara dan pangkat yang dimilikinya.”

Demikian dicatat Majid Irsan Kaylani (2000) dalam telaah emasnya soal kiprah al-Ghazali, Hakadha Zahara Jailu Salahu al-Din wa Hakadha ’Adat al-Quds. Riwayat kebesaran kepala al-Ghazali tersebut berlangsung saat usia mudanya. Kelak ketika bersua Fadhil bin Muhammad al-Farmadzi, perubahan drastis terjadi dalam diri al-Ghazali. Besar kepalanya berubah menjadi sikap tawadhuk.

Perkembangan umur seseorang sering jadi penanda kedewasaan berpikir (juga bersikap). Sering kali kecerdasan pikiran tak seiring kematangan jiwa bestari. Letupan emosi ringan meruahkan amarah. Dus, kecerdasan yang dimiliki sering kali ringkih saat hasrat amarah tak bisa dibendung hadir dengan kata-kata. Bisa hadir dengan sombong, antikritik, atau arogansi bersikap. Semua ini lebih mungkin dihadirkan pada mereka yang punya “modal”, semisal kecerdasan atau kekayaan jabatan.

Sesungguhnya seorang remaja putri dari Banyuwangi yang beberapa tempo ini menyita perhatian publik media sosial dengan ulasan soal isu keagamaan contoh betapa kebijakan menghadapi usia perkembangan masih relevan. Tetap diperlukan bagi kita agar mengerem potensi dari rahim umat agar tidak kebablasan dan jatuh sebagai musuh Islam pada waktunya kelak. Serupa peran al-Farmadzi saat mendapati potensi amat besar al-Ghazali. Ada kalangan lain yang senang dengan uraian sang remaja karena menguntungkan pandangan pemikirannya.

Uraiannya kelihatan hebat, tapi sebenarnya biasa saja karena muncul bukan dari sebuah perenungan matang. Informasi yang ada diseleksi sesuai mekanisme berpikirnya; berpikir saat ini yang mungkin berkembang. Ia belum beranjak hebat serupa al-Ghazali, sehingga tidak perlu berlampauan menghadapinya. Usia dan potensinya perlu diarahkan pada jalur keilmuan semestinya selaku muslim beradab.

Justru yang kadang dahi publik berkernyit patut adalah bilamana mendapati sosok berpengaruh dan sudah sepuh masih mengumbar kata-kata “menyalak” serupa remaja yang mencari perhatian. Tanpa data, apalagi perenungan mendalam, mudah membuat vonis. Masjid kampus dilabel radikallah; menonton tayangan asusila lebih mendinglah karena mengundang istighfar. Dan sayangnya, sang sosok bukan sekali dua kali berujar dangkal. Padahal, titel tinggi dan sebutan ulama terhormat dari mana-mana sudah didapuk. Sayang, dewasa berpikirnya belum hadir. Hasrat menilai pihak lain yang tidak sepakat dengannya mencerminkan krisis adab selaku anutan umat di kelompoknya.

Imam al-Ghazali muda memang pernah besar kepala. Kata-katanya begitu pongah. Tapi itu kemudian diganti dengan untaian hikmah. Bukan lisan meremehkan atau merendahkan yang hadir, apatah lagi al-Ghazali sudah semakin naik posisinya selaku teladan bagi banyak anak didiknya.

Perkembangan umur seseorang dan kapasitas kecerdasan yang dimilikinya mestilah bisa beriringan. Kalaupun pernah masuk dalam kontroversi, ini bukan selalu akhir perjalanan seseorang. Siapa tahu sekadar minimnya informasi. Atau ingin mencuri sensasi sebagai tipikal gairah usia muda para peniti ilmu. Nah, yang repot kalau usia sudah uzur tapi masih setia memerlukan sensasi ataupun kontroversi agar diperhatikan kepentingannya. Padahal, ujaran-ujaran semacam itu hanya merendahkan bobot kecerdasan sejati yang dimilikinya.

Repotnya, hari ini banyak orang yang mendakwa diri pengamat atau kaum akademisi tapi mudah asbun mengulas sesuatu. Berkomentar asal demi salurkan dengki kelompok. Mirip seorang pejabat publik yang tanpa risih mengomentari kejadian bom di Jakarta beberapa hari lalu tanpa melihat kedudukannya. Asalkan dengki punya celah penyaluran, kata-kata merusak persatuan anak bangsa diumbar. Akal dan kesadaran posisinya diruntuhkan olehnya. Hanya oleh kata dalam cuitan biadabnya.

 

Oleh Yusuf Maulana, Kurator pustaka lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

REPUBLIKA

Awas! Menyandang Gelar Haji Termasuk Riya’?

GELAR haji bisa saja menjadi riya bagi yang niatnya memang riya. Bahkan bukan hanya gelar haji saja, gelar apapun bisa dijadikan media untuk melakukan riya. Seperti gelar kesarjanaan, gelar keningratan, gelar kepahlawanan dan gelar-gelar lainnya. Namun batasannya memang agak sulit untuk ditetapkan. Sebab riya merupakan aktifitas hati. Sehingga standarisasinya bisa berbeda untuk tiap orang.

Kalau kembali kepada hukum syariah, yang diharamkan adalah gelar-gelar yang mengandung ejekan, baik orang yang diberi gelar itu suka atau tidak suka. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)

Titik tekan larangan ini ada pada gelar yang menjadi bahan ejekan. Seperti mengejek seseorang dengan panggilan nama hewan, di mana di balik gelar nama hewan itu tercermin ejekan. Sedangkan gelar dengan nama hewan yang mencerminkan pujian, hukumnya boleh. Seperti kita memberi gelar kepada seorang ahli pidato dengan sebutan macan podium. Gelar ini meski menggunakan nama hewan, tetapi kesan yang didapat adalah kehebatan sesorang di dalam berpidato atau berorasi. Nilanya positif dan hukumnya boleh.

Kaitannya dengan gelar haji, pada hakikatnya gelar haji itu bukan gelar yang mengandung ejekan. Sehingga tidak ada yang salah dengan gelar itu bila memang sudah menjadi kelaziman di suatu tempat. Namun gelar haji memang bukan hal yang secara syari ditetapkan, melainkan gelar yang muncul di suatu zaman tertentu dan di suatu kelompok masyarakat tertentu. Gelar seperti ini secara hukum tidak terlarang. Sedangkan dari sisi riya atau atau tidak, semua terpulang kepada niat dari orang yang memakai gelar itu. Kalau dia sengaja menggunakannya agar dipuji orang lain, atau biar kelihatan sebagai orang yang beriman dan bertakwa, sementara hakikatnya justru berlawanan, maka pemakaian gelar ini bertentangan dengan akhlak Islam.

Dan kasus seperti ini sudah banyak terjadi. Sebutannya pak haji tapi kerjaannya sungguh memalukan, entah memeras rakyat, atau melakukan banyak maksiat terang-terangan di muka umat atau hal-hal yang kurang terpuji lainnya. Maka gelar haji itu bukan masuk bab riya melainkan bab penipuan kepada publik. Tetapi ada kalannya gelar haji itu punya nilai positif dan bermanfaat serta tidak masuk kategori riya yang dimaksud. Salah satu contoh kasusnya adalah pergi hajinya seorang kepala suku di suku pedalaman, yang nilai-nilai keIslamannya masih menjadi banyak pertanyaan banyak pihak karena banyak bercampur dengan khurafat.

Ketika kepala suku ini diajak pergi haji, terbukalah atasnya wawasan Islam dengan lebih luas dan lebih baik. Fikrah yang menyimpang selama ini menjadi semakin lurus. Maka sepulang dari pergi haji, gelar haji pun dilekatkan pada namanya. Dan rakyatnya akan semakin mendapatkan pencerahan dari kepala suku yang kini sudah bergelar haji. Bahkan akan merangsang mereka untuk pergi haji dan mendekatkan diri dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja, tujuan pergi haji itu salah satunya untuk membuka wawasan yang lebih luas tentang nilai-nilai agama Islam.

Jadi tidak selamanya gelar haji itu mengandung makna negatif semacam riya dan sebagainya. Tetapi boleh jadi juga mengandung nilai-nilai positif seperti nilai dakwah dan pelurusan fikrah. Adalah kurang bijaksana bila kita langsung menggeneralisir setiap masalah dengan satu sikap. Semua perlu didudukkan perkaranya secara baik-baik. Lagi pula sebagai muslim, kita diwajibkan Allah Ta’ala untuk selalu berhusnudzdzan kepada sesama muslim. Sebab boleh jadi seseorang bergelar haji bukan karena kehendaknya, tetapi karena kehendak masyarakat.

Seorang ustaz muda yang banyak ilmunya namun masih kurang dikenal atau malah kurang diperhitungkan oleh umatnya, tidak mengapa bila kita cantumkan gelar haji di depan namanya, bila memang sudah pernah pergi haji. Sebab di kalangan masyarakat tertentu, ustaz yang sudah pernah pergi haji akan berbeda penerimaannya dengan yang belum pernah pergi haji. Apa boleh buat, memang demikian cetak biru yang terlanjur berakar di tengah masyarakat.

Tentunya gelar haji ini sama sekali tidak berguna untuk dipakai di dalam kelompok masyarakat yang lain. Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. [Ahmad Sarwat, Lc]

 

MOZAIK

Riya Adalah Syirik Kecil

PADA dasarnya, sifat manusia sangatlah senang untuk ingin dipuji, ingin dihormati dan dihargai. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa mengatakan bahwa sifat ingin dipuji merupakan syahwat khofiyyah manusia.

Sebagaimana seseorang jika lapar dia akan bersyahwat dengan makanan, jika melihat wanita akan bersyahwat dengan wanita tersebut, maka demikian juga jika ada kesempatan untuk menonjolkan kebaikan atau kelebihan yang ada pada dirinya maka dia akan lakukan apapun untuk memenuhi syahwat ingin dipujinya tersebut. Maka tak heran jika ada seseorang yang rela berkorban besar untuk memuaskan syahwat ingin mendapat ketenaran, sanjungan dan penghormatan tersebut.

Betapa banyak para dermawan yang ingin disanjung yang kemudian dia rela mengerluarkan uangnya hanya agar mendapat pujian. Tak peduli seberapa banyak uang yang dia keluarkan yang terpenting dia mendapat sanjungan. Betapa banyak juga para ustadz yang ingin dikenal memiliki ilmu yang tinggi, dia rela menghabiskan banyak waktu menghafal dalil ini itu hanya untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain.

Jangankan waktu, jangankan harta, bahkan nyawa pun tak segan ia pertaruhkan untuk meraih pujian. Dalam sebuah hadist shahih riwayat muslim dikatakan bahwa seorang mujahid rela mempertaruhkan nyawanya hanya agar mendapat julukan sang pemberani dari manusia. Seakan dia mujahid pemburu pujian itu tak peduli walaupun harus mati yang terpenting dia bisa merasakan kelezatan dipuji-puji dihadapan manusia. Naudzubillah min dzalik.

Sifat ingin dipuji, ingin dihargai, dan ingin dihormati oleh manusia itulah pangkal dari penyakit riya. Maka sungguh riya inilah penyakit hati yang sangat berbahaya. Samar namun mematikan. Riya mengakibatkan amalan ibadah tak diterima oleh Allah swt. Bahkan Rasullullah shollallahualaihi wasallam mengatakan bahwa riya adalah syirik kecil.

“Sesungguhnya riya adalah syirik kecil”

(HR. Ahmad & Al-Hakim)

Begitu berbahayanya penyakit riya ini maka banyak orang berbondong-bondong mencari ilmu dan pelajaran tentangnya, apa saja kerugiannya, dalil-dalil yang melarangnya dan bagaimana cara agar terhindar dari penyakit riya ini. Meski demikian, manusia tetaplah manusia yang tak luput dari tipu daya syaitan.

Sebagai ilustrasi, mungkin pernah kita mendengar seseorang berkata,”Bukannya saya riya, tapi kesuksesan ini adalah hasil dari kerja keras saya”. “Bukannya saya riya, tapi sejak saya rajin bersedekah saya merasa lebih tenang”

“Bukannya saya riya, tapi memang saya merasa ada yang kurang jika tidak bangun sholat malam”

Kalimat pembuka bukannya saya riya inilah yang sesungguhnya membuka pintu riya tanpa sadar. Sebelum dirinya dituduh riya dia berupaya membela diri dengan mengatakan kata-kata ini. Dia ingin menutup-nutupi riya-nya tersebut dengan mengatakan bukannya saya riya.

Tanpa disadari seseorang yang merasa aman dengan kalimat-kalimat seperti ini sesungguhnya dia telah terjebak oleh talbis (perangkap) syaitan. Walaupun dia telah berusaha menutup dan mencegah riya dengan kata-kata itu namun hati manusia sangatlah lemah. Bahkan tidak menutup kemungkinan seseorang bisa menjadi lebih leluasa mengatakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya karena merasa telah mendapat perlindungan dari kata-kata itu. Dan tentu ini berbahaya karena semakin membuka peluang munculnya riya.

Oleh karena itu saudaraku, hendaklah seorang beriman itu hati-hati terhadap jebakan syaitan yang memang dibuat indah di mata manusia. Jangan sampai karena kita ingin terhindar dari riya kita mengatakan bukannya saya riya. Jangan sampai karena kita tak ingin berbuat sombong kemudian kita mengatakan bukannya saya sombong dan berbagai jenis kata basa basi lainnya yang sejatinya malah menegaskan bahwa seseorang itu hendak melakukan riya atau kesombongan.

Meskipun demikian, hal ini bukan berarti kita menuduh saudara kita yang mengatakan bukannya saya riya dia pasti riya. Namun ini hanyalah sebagai renungan sekaligus pengingat bagi diri kita bahwa sangat mungkin hati kita tergelincir pada perkara-perkara halus yang mengantar kepada riya. Terkadang kita mengucapkan bukannya saya riya, tapi ternyata itu hanyalah sebagai muqoddimah untuk diri kita melakukan riya. Terkadang kita mengatakan bukannya saya sombong ternyata itu hanyalah sebagai pengantar dari diri kita untuk kemudian menyombongkan diri. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari jebakan penyakit hati dan memberikan kita hati yang bersih. [Ahmad Fauzan ‘Adziimaa/bersamadakwa]

 

MOZAIK

Kreativitas Ramadhan

The power of Ramadhan betul-betul faktual bagi umat Islam. Dilihat dari sudut pandang dan dimensi kehidupan apa pun, Ramadhan memberikan arti penting bagi umat Islam. Puncak-puncak prestasi peradaban dan kebudayaan dunia Islam hampir semua terjadi di dalam bulan suci ini.

Bulan Ramadhan bagaikan memiliki kreativitas secara khusus bagi umat Islam. Pantas kalau seluruh umat Islam selalu mendambakan kehadiran Ramadhan di dalam menjalani perjalan hidupnya. Nabi pun mengajarkan doa, “Allahumma balligh wa barik lana Ramadhan” (Ya Allah sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan dan berkahilah kami di dalamnya).

Bulan Ramadhan menjadi penting bukan hanya karena di dalamnya ada rukun Islam berupa puasa dan zakat atau banyaknya ibadah-ibadah sunah yang amat istimewa yang hanya ada di dalamnya. Tetapi juga, fenomena Ramadhan juga terasa di dalam dunia ekonomi seperti geliat dinamika perkembangan pasar, mobilitas vertikal masyarakat dengan segala dampaknya, seperti kemacetan di jalan raya, kepesatan di bandara dan pelabuhan.

Bulan Ramadhan betul-betul berjumpa antara kesemarakan (scope) dan pendalaman (force) agama. Aspek kesemarakan dapat disaksikan bagaimana misalnya media massa secara spektakuler mengoptimalkan acara-acaranya selama 24 jam. Seolah-olah tidak ada selebriti yang menganggur pada bulan Ramadhan.

Konon, media-media publik meraup keuntungan berlipat ganda melalui iklan di dalam bulan Ramadhan. Hotel-hotel dan mal-mal didekorasi secara Islami. Aspek pendalaman dapat disaksikan dengan maraknya iktikaf di berbagai mesjid, kajian-kajian intensif untuk mendalami ajaran Islam semakin tumbuh dan berkembang, bukan hanya di dalam kampus, masjid/mushala dengan pesantren kilatnya, tetapi juga kantor-kantor dan acara buka puasa yang diisi dengan pendalaman agama.

Ternyata peristiwa-peristiwa paling monumental dalam dunia Islam banyak sekali terjadi pada bulan suci Ramadhan. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut ialah pertama kali turunnya ayat suci Alquran sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi. Kemenangan besar pasukan Rasulullah di dalam Perang Badr yang bersejarah itu, bertepatan pada 17 Maret 624 M atau 17 Ramadhan tahun ketujuh H.

Perebutan kembali Kota Makkah (Fathu Makkah) juga berlangsung pada bulan Ramadhan 8 H, dan setahun kemudian berlangsung Perjanjian Tsaqif yang monumental itu. Peristiwa lainnya adalah Diplomasi Qadasiayah yang membawa keuntungan besar bagi umat Islam yang terjadi dalam Ramadhan 15 H.

Penaklukan Rodesia berlangung pada Ramadhan 53 H, Perang Andalusia Spanyol (Ramadhan 91 H), penaklukan Kota Spanyol (Ramadhan 92 H), serta runtuhnya Daulat Bani Umayyah yang dinilai sudah banyak korup digantikan rezim baru Bani Abbasiyah (Ramadhan 132 H). Kejadian lainnya adalah Pemisahan diri Mesir dari Dinasti Abbasiyah (Ramadhan 253 H), pendirian Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir, Universitas tertua di dunia (Ramadhan 361 H) oleh Dinasti Fatimiyah (Syi’ah).

Salahuddin al-Ayyubi juga menghalau pasukan Salib dan merebut Kota Surya pada Ramadhan 584 H, Pasukan Salib dikalahkan di Baibars (Ramadhan 675 H), dan beberapa negara Islam memperoleh kemerdekaan dari penjajah dalam bulan Ramadhan, termasuk Negara Republik Indonesia. Sejumlah pusat kerajaan lokal di kepulauan nusantara menyerah kepada sistem pemerintahan yang bercorak Islam (Sulthan), termasuk di antaranya Kerajaan Bone Sulawesi Selatan, kerajaan terakhir di kawasan timur Indonesia menyerah ke pemerintahan baru bercorak yang Islam juga pada Ramadhan.

Peristiwa demi peristiwa yang menakjubkan di atas tentu bukan hanya terjadi pada masa lampau, tetapi juga akan terjadi pada diri kita. Insya Allah, kita memasuki bulan Ramadhan, semoga kreativitas dan kualitas Ramadhan kita kali ini jauh lebih baik daripada sebelumnya.

 

Oleh: Prof. Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

REPUBLIKA

Segala Amal akan Digandakan di Bulan Suci Ramadhan

Sangatlah beralasan bila sebagai umat Islam,  kita sepatutnya bersyukur karena dipertemukan kembali dengan Bulan Suci Ramadhan. Mengapa? Karena segala perbuatan baik yag kita lakukan, nilainya akan berlipat ganda, dan tentu saja ini kesempatan bagi kita untuk mengumpukan pahala sebanyak-banyaknya.

Hal ini seperti dinyatakan dalam salah satu satu hadits:

عَنْ سَلْمَان الفَارِسِيdمَرْفُوعاً : مَنْ تَطَوَّعَ فيِ شَهْرِ رَمَضَان بِخَصْلَةٍ مِنْ خِصَالِ الخَيْرِكَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاُه، وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ

Dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan secara marfu’, “Siapa yg mengerjakan amal sunnah meski kecil, sama seperti orang yg mengerjakan amal fardhu. Siapa yg mengerjakan amal fardhu, seperti mengerjakan 70 amal fardhu.”(Hadis Riwayat: Al-Baihaqi)

عَنْ أَنَسٍ  مَرْفُوعاً: أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةٌ فيِ رَمَضَان

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yg diriwayatkan secara marfu’, “Sedekah yg paling afdhal adalah yang diberikan di bulan Ramadhan.” (HR Tirmizy)

Kesempatan beramal kecil tapi diganjar dengan pahala yg besar, tentu saja jarang-jarang terjadi. Karena itu, Bulan Ramadhan ini ibarat bulan diskon gede-gedean?

Bagaimana mungkin kita tidak bergembira?

Hal-Hal Penting Ketika Menjalankan Puasa Ramadhan

Puasa merupakan salah satu hal terbesar untuk menuju pada ketaqwaan, karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hal ini, seperti dinyatakan di dalam surat Al Baqarah ayat 183. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

 

Dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan,tentu saja terdapat hal-hal penting, yang sepatutnya kita pahami, seperti dikatakan oelh Syaikh Abdullah bin Jarillah, di antaranya:

  1. Mengenal hukum-hukum puasa. Banyak kaum Muslimin yg memasuki bulan puasa, tanpa bekal ilmu tentang puasa sama sekali. Celakanya, mereka juga tidak begitu merasa perlu utk belajar. Padahal Allah ta berfirman: “Bertanyalah kpd para ulama, kalau kamu sekalian tidak  mengetahui.” (An-Nahl: 43)
  2. Menyambut puasa dgn hura-hura, bukan dengan banyak berdzikir, beristigfar & mensyukuri nikmat Allah SWT. Klimaksnya, bulan yg penuh berkah ini tidaklah menggiring mereka untuk semakin bertaqwa; justru sebaliknya, semakin terbuai  seribu satu kemaksiatan.

Selain itu, kita juga perlu memahami nasehat-nasehat dalammenjalankan ibadh Puasa Ramadhan, seperti berikut:


  1. Berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala Allah ta’âla agar Dia mengampuni dosa mu yang telah lalu.
  2. Jangan sampai engkau tdk puasa tanpa uzur, sesungguhnya itu termasuk dosa besar.
  3. Bangunlah pd malam Ramadhan utk melakukan shalat tarawih dan tahajud, terlebih lagi pada malam lailatul qodar dgn iman dan mengharap pahala agar Dia mengampuni dosamu yg telah lalu.
  4. Hendaknya makanan, minuman, dan pakaianmu dari harta yang halal agar amalmu dan doamu diterima. Jangan sampai engkau memuasai sesuatu yg halal tetapi berbuka dgn yg diharamkan.

 


Dari berbagai sumber

Ragam Manusia: Waspadalah Karena Manusia Tak Sama

TAK usah terkaget-kaget dengan sikap orang kepada kita yang seringkali tak sesuai dengan harapan. Manusia memang banyak macam. Sayangnya mereka tak memasang papan nama di dadanya untuk menyatakan manusia macam apa mereka itu.

Ada manusia yang melihat diri kita sebagai orang yang baik dan dalam posisi benar, lalu mereka mencintai kita. Ini adalah jenis manusia yang sehat akal dan sehat jiwa. Kecenderungan jiwanya adalah pada kebaikan dan kebenaran.

Ada manusia yang melihat kita sebagai orang baik dan orang benar, lalu mereka memanfaatkan kita dan berupaya supaya kita tak selalu baik dan benar. Mereka tega menipu kita dan bahkan membunuh karakter kita. Ini adalah karakter manusia yang sakit pikir dan sakit jiwa. Kecenderungannya selalu negatif.

Pada kasus atau kondisi lainnya, manusia tipe pertama tadi akan tetap mencintai kita dan berupaya memperbaiki kita saat kita bersalah. Sementara jenis manusia kedua tadi akan berbahagia saat kita bersalah dan menjadikannya sebagai kesempatan mengeruk keuntungan diri dan semakin memperkeruh kondisi kita.

Berhati-hatilah. Selalulah berusaha menjadi yang terbaik. Selalulah waspada menjalani hidup yang penuh jebakan ini, hidup yang tak lagi banyak hati tulus ikhlas, tak lagi marak senyuman dan sapaan yang berangkat dari hati. Salam, AIM. [*]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2381356/ragam-manusia-waspadalah-karena-manusia-tak-sama#sthash.xZy7fEW4.dpuf