Aturan Puasa Syawal dan Ganjarannya

SALAH satu amal sunah di bulan Syawal adalah puasa Syawal. Puasa selama enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fitri ini memiliki keutamaan yang luar biasa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan dalam beberapa hadis sahih sebagai berikut:

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

“Barangsiapa berpuasa Ramadan, lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, ia seperti puasa setahun” (HR. Ibnu Majah, shahih)

“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh” (HR. Ibnu Majah, shahih)

Demikianlah keutamaan puasa Syawal. Setelah seseorang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan kemudian melakukan puasa Syawal, ia diganjar seperti puasa setahun penuh.

Puasa Syawal ini bisa dilaksanakan sejak tanggal 2 Syawal, baik berturut-turut maupun terpisah (misal setiap Senin dan Kamis). Adapun tanggal 1 Syawal saat Idul Fitri, maka haram berpuasa di hari itu. Wallahu alam bish shawab. [Bersamadakwah]

INILAHcom

Puasa Syawal Boleh Hari Jumat, Asal…

HARUSKAH puasa Syawal dilakukan secara berurutan dari tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal? Atau boleh dilakukan di hari lain dan tidak berurutan? Bagaimana jika hari Jumat?

Puasa syawal adalah amal sunah muakkadah. Sebuah amal sunah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di bulan Syawal. Setelah seseorang berpuasa di bulan Ramadan kemudian melakukan puasa Syawal, ia diganjar seperti puasa setahun penuh.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)

Bagaimana pelaksanaan puasa Syawal, apakah harus dilakukan secara berurutan atau boleh tidak berurutan?

Sayyid Sabiq menjelaskan di dalam Fiqih Sunah bahwa menurut pendapat Imam Ahmad, puasa Syawal boleh dilakukan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan. Dan tidak ada keutamaan cara pertama atas cara kedua.

Menurut mazhab Syafii dan Hanafi, puasa Syawal lebih utama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal.

Jadi, tidak ada mazhab yang tidak memperbolehkan puasa Syawal di hari selain tanggal 2 sampai 7, selama masih di bulan Syawal.

Namun, hendaknya tidak berpuasa khusus di hari Jumat tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu karena adanya larangan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Para ulama menjelaskan bahwa dengan adanya larangan itu, puasa di hari Jumat tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu hukumnya makruh. Wallahu alam bish shawab. [Bersamadakwah]

 

INILAHcom

Begini Cara Essien Berikan Ucapan Selamat Idul Fitri

Michael Essien tak mau ketinggalan memberikan ucapan selamat hari raya Idul Fitri 1438 H kepada semua penggemarnya yang beragama Islam. Essien mengucapkan selamat lebaran lewat akun instagram pribadinya @iam_ess pada Ahad (25/6) kemaren. Bertepatan dengan hari Idul Fitri.

“Di kesempatan yang bahagia ini saya mendoakan Anda mendapatkan kemudahan, kebahagiaan bersama Idul Fitri yang damai. Selamat Idul Fitri 1438 H untuk anda dan orang yang ada cintai. Semoga kasih sayang dan rahmat Allah menyertai kamu selalu,” tulis Essien, dikutip pada Selasa (27/6).

Dalam postingan tersebut, Essien mengunggah foto dirinya bersama puluhan anak yatim piatu di sebuah panti asuhan di Kota Bandung. Di foto tersebut mereka terlihat baru saja menyantap nasi kuning bersama.

Sejak bermain bersama Persib, Essien memang kerap memperlihatkan dirinya membaur dengan masyarakat sekitar yang beragama Islam. Essien juga sempat menghebohkan publik ketika ia mengenakan baju koko dan peci milik bek Persib Ahmad Jufriyanto. Ketika itu ada yang menyimpulkan Essien masuk Islam.

Namun kabar itu terbantahkan ketika ada informasi Essien hanya bercanda mengenakan koko dan peci Jupe. Essien memang dikenal sebagai pemain yang humoris dan kocak. Selama Persib libur lebaran selama 10 hari, Essien tetap beraktivitas di Indonesia. Ia terlihat pernah menghadiri acara buka bersama dan mengunjungi panti asuhan. Saat ini, bekas pemain Chelsea dan Real Madrid ini berlibur di Bali.

 

REPUBLIKA

Ingin Puasa Syawal? Pelajari Dulu Tata Caranya

BERIKUT beberapa tata cara melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal:

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari

Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: Barangsiapa yang berpuasa Ramadan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh. (HR. Muslim no. 1164).

Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata, Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal. (Syarhul Mumti, 6: 464).

2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah berkata, Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan. (Syarhul Mumti, 6: 465).

3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata, Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan. (Idem)

4- Usahakan untuk menunaikan qodho puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, Siapa yang mempunyai kewajiban qodho puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodhonya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal. (Lathoiful Maarif, hal. 391).

Begitu pula beliau mengatakan, Siapa yang memulai qodho puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodhonya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho itu dilakukan. (Lathoiful Maarif, hal. 392).

5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jumat dan hari Sabtu.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jumat secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jumat, maka tidaklah makruh. (Al Majmu Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jumat karena bertepatan dengan kebiasaan. Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu.

Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho Ramadan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih. [Muhammad Abduh Tuasikal]

 

Mozaik Inilah.com

Mulai Puasa Syawal Yuk!

SALAH satu amal sunah di bulan Syawal adalah puasa Syawal. Puasa selama enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fitri ini memiliki keutamaan yang luar biasa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan dalam beberapa hadis sahih sebagai berikut:

Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun (HR. Muslim)

Barangsiapa berpuasa Ramadan, lalu mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, ia seperti puasa setahun (HR. Ibnu Majah, shahih)

Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh (HR. Ibnu Majah, shahih)

Demikianlah keutamaan puasa Syawal. Setelah seseorang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadan kemudian melakukan puasa Syawal, ia diganjar seperti puasa setahun penuh.

Puasa Syawal ini bisa dilaksanakan sejak tanggal 2 Syawal, baik berturut-turut maupun terpisah (misal setiap Senin dan Kamis). Adapun tanggal 1 Syawal saat Idul Fitri, maka haram berpuasa di hari itu. Wallahu alam bish shawab. [Bersamadakwah]

Inikah Ucapan Hari Raya Sesuai Sunah?

KITAB Tanwirul Ainain Bi Ahkamil Adzahi Wal Iedain karangan Syeikh Abul Hasan Mushthafa bin Ismail As Sulaimani hafidzahullah, memuat pernyataan beliau, yang berkata:

Ibnu At-Turkimani telah menyebutkan dalam kitabnya Al-Jauhar An-Naqiy Hasyiah Al-Baihaqi (3/320-321), beliau berkata : Aku berkata: dan dalam bab ini yakni ucapan selamat hari raya ada satu hadis yang bagus yang dilupakan Al-Baihaqi, yaitu haditsnya Muhammad bin Ziyad, berkata : ketika itu aku bersama Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu dan sebagian sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang lain, lalu apabila mereka pulang sebagian mengucapkan kepada sebagian lainnya: (Taqabbalallahu minna waminkum) (semoga Allah menerima amal kami dan kalian), Imam Ahmad bin Hanbal berkata: sanadnya baik.

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab Tamamul Minnah (356): dan beliau tidak menyebutkan siapa yang meriwayatkannya dan Imam Suyuthi telah menyandarkannya juga kepada Zahir dengan sanad yang bagus dari Muhammad bin Ziyad Al-Alhani dan dia tsiqoh berkata : lalu beliau menyebutkannya. Dan Zahir dia adalah Ibnu Thahir penulis kitab : (Tuhfatul Iedul Fithri) sebagaimana dikatakan Syeikh Al-Albani.

Dan Ibnu Qudamah telah menukil dalam kitab Al-Mughni (2/259) bahwa Imam Ahmad mengatakan sanadnya baik, Wallahu Alam mengenai derajat para perawi lain yang tidak disebutkan dalam atsar ini, namun aslinya perkataan Imam Ahmad diterima sampai kita menemukan yang menyelisihinya. Wallahu Alam.

Al-Ashbahani telah mengeluarkan riwayat dalam kitabnya At-Targhib Wa At-Tarhib (1/251) dari Shofwan bin Amru As-Saksasi berkata : Aku mendengar ketika diucapkan kepada Abdullah bin Busr, Abdur Rahman bin Aaidz, Jubair bin Nafir dan Khalid bin Mikdan pada hari- hari raya : (Taqabbalallahu minna waminkum), lalu mereka mengucapkannya kepada yang lain. Dan ini sanad yang cukup baik.

Dan disebutkan dalam kitab Fathul Bari (2/446): diriwayatkan kepada kami dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang baik dari Jubair bin Nufair berkata : dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila mereka bertemu pada hari raya sebagian mengucapkan kepada sebagian lain : (Taqabbalawahu minna waminkum).

Syeikh Al-Albani rahimahullah berkata: aku tidak menemukan pernyataan dari Ibnu Hajar yang membaguskan sanadnya dalam salah satu kitabnya meskipun salah seorang penuntut ilmu telah menunjukkan tempatnya berkata : namun aku menemukannya dari Al-Hafidz As-Suyuthi dalam risalahnya Wushul Al-Amani Fii Wujud At-Tahaani (109) dan dalam satu edisi di perpustakaanku (82) dan kitab Al-Hawi juz 1 dari Al-Hawi Lil Fatawa dan beliau telah menyandarkannya kepada Zahir bin Thahir dalam kitab Tuhfah Al-Iedul Fithri, dan Abu Ahmad Al-Furadzi, dan diriwayatkan Al-Muhamili dalam kitab Al-Iedain (2/ 129) dengan sanad para perawinya tsiqoh, para perawi At-Tahdzib selain Syeikhnya Al-Muhanna bin Yahya dia tsiqoh baik sebagaimana ucapan Ad-Daruquthni, dan biographinya disebutkan dalam Tarikh Baghdad (13/166 268), maka sanadnya sahih.

Imam Malik rahimahullah pernah ditanya: apakah makruh hukumnya seseorang mengucapkan kepada saudaranya apabila pulang dari salat Id : Taqabbalallahu minna waminka, waghafarallahu lana walaka (Dan semoga Allah Mengampuni kami dan kalian), dan saudaranya menjawabnya seperti itu? Beliau berkata: tidak makruh. (Al-Muntaqa 1/322).

Dalam kitab Al-Hawi (1/82) Imam Suyuthi berkata: Ibnu Hibban telah mengeluarkan dalam kitab Al-Tsiqot dari Ali bin Tsabit berkata: Aku bertanya kepada Malik tentang ucapan orang-orang pada hari raya: Taqabbalallahu minna waminka, maka beliau berkata: hal itu masih terus berlaku seperti itu ditempat kami.

Dalam kitab Al-Mughni (2/259) beliau berkata: Ali bin Tsabit berkata : Aku bertanya kepada Malik bin Anas sejak tiga puluh lima tahun lalu, dan beliau berkata: di Madinah masih dikenal hal seperti ini.

Dalam kitab Masail Abu Dawud (61) beliau berkata: Aku mendengar Ahmad ditanya tentang kaum yang diucapkan kepada mereka pada hari raya: Taqabbalallahu minna waminkum, beliau berkata: aku berharap hal itu tidak mengapa.

Dalam kitab Al-Furu oleh Ibnul Muflih (2/150) berkata: tidak mengapa mengucapkan kepada yang lain: Taqabbalallahu minna waminkum, sebagian menukilkannya sebagai jawaban, dan beliau berkata : aku tidak memulainya, dan dari beliau : semuanya bagus, dan dari beliau : makruh, dan ditanya kepada beliau dalam riwayat Hanbal : apakah dia boleh memulainya ? beliau berkata : tidak, dan Ali bin Said menukilkan : alangkah baiknya itu kecuali jika dikuatirkan ucapan itu menjadi terkenal, dan dalam satu nasihat : sesungguhnya itu perbuatan sahabat, dan bahwa itu perkataan ulama.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu Fatawa (24/253): apakah ucapan selamat hari raya yang biasa diucapkan orang-orang : Id Mubarak (hari raya yang diberkahi), dan semacamnya, apakah ada dasarnya dalam syariat atau tidak? dan kalau ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang diucapkan, berilah fatwa kepada kami?

Maka beliau menjawab: adapun ucapan selamat hari raya dimana sebagian orang mengucapkan kepada sebagian lain apabila bertemu setelah salat Id : Taqabbalallahu minna waminkum, dan semoga Allah Menyampaikanmu tahun depan, dan semacam itu maka ini telah diriwayatkan oleh sebagian sahabat bahwa dahulu mereka melakukannya, dan dibolehkan sebagian Imam seperti Ahmad dan lainnya, tetapi Ahmad berkata: aku tidak mau memulainya lebih dahulu, namun jika seseorang mengucapkannya kepadaku maka aku menjawabnya, karena itu jawaban ucapan selamat yang hukumnya wajib, adapun mengucapkan selamat terlebih dahulu bukan merupakan sunah yang diperintahkan, dan juga bukan termasuk yang dilarang, barangsiapa yang mengerjakannya maka dia memiliki panutannya, dan siapa yang meninggalkannya maka diapun memiliki panutannya. Wallahu Alam.

Kesimpulan:

Menurut pendapat saya (Syeikh Abul Hasan): bahwa ucapan selamat lebih dekat kepada adat dari pada ibadah, dan dalam perkara kebiasaan dasarnya adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya, tidak seperti ibadah dimana orang yang mengatakannya perlu membawakan dalil atas ucapannya, seperti diketahui bahwa adat kebiasaan berbeda dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain, kecuali perkara yang telah pasti dilakukan oleh sahabat atau sebagiannya, lebih patut untuk diikuti dari pada yang lain.

Syeikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apa hukum ucapan selamat hari raya? Dan apakah ada ucapan tertentu? Maka beliau menjawab: “ucapan selamat hari raya dibolehkan, dan tidak ada ucapan selamat yang khusus, tetapi apa yang biasa diucapkan oleh manusia dibolehkan selama bukan merupakan ucapan dosa”.

Dan beliau juga berkata: “Ucapan selamat hari raya telah diamalkan sebagian sahabat radhiallahu anhum, seandainya hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh sahabat, namun hal tersebut sekarang telah menjadi perkara tradisi yang biasa dilakukan manusia, dimana sebagian mengucapkan selamat kepada yang lain dengan tibanya hari raya dan sempurnanya puasa dan qiyamul lail”.

Dan beliau rahimahullah juga ditanya: apa hukum berjabat tangan, berpelukan dan ucapan selamat hari raya setelah salat Id?

Beliau menjawab: perkara-perkara ini tidak mengapa dilakukan, karena manusia tidak menjadikannya bentuk ibadah dan taqarrub kepada Allah Azza wa Jalla, namun hanya menjadikannya sebagai tradisi, memuliakan dan menghormati, selama tradisi tersebut tidak ada larangannya secara syarie maka dasarnya adalah boleh”.

 

MOZAIK

Bachtiar Nasir: Berikan yang Terbaik untuk Islam

Ribuan orang memadati halaman depan Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, guna melaksanakan ibadah Shalat Idul Fitri 1438 H, Ahad (25/6). Shalat Idul Fitri di Masjid Agung Al Azhar ini dipimpin oleh Achmad Khotib selaku imam. Sedangkan khutbah Idul Fitri disampaikan oleh Ustadz Bachtiar Nasir.

Dalam khutbah yang memiliki tema ‘Jangan Berikan yang Sisa untuk Islam’, Bachtiar Nasir kembali mengingatkan umat Islam di Indonesia untuk senantiasa memberikan yang terbaik untuk Islam. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya umat Islam di Indonesia.

”Namun, yang jadi pertanyaan, banyak gak umat Islam ini yang memikirkan Islam dalam benaknya? Atau gak banyak di antara mereka yang memperjuangkan Islam dengan kekuasaannya, dengan hartanya, dan dengan kehormatannya?,” ujar Bachtiar Nasir di depan jamaah shalat Idul Fitri 1438 H Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Ahad (25/6).

Lebih lanjut, Ustadz Bachtiar Nasir, mengungkapkan, hal ini tidak terlepas dari perintah Allah SWT untuk masuk Islam secara total. Seperti yang tertuang dalam surat Al Baqarah ayat 208. Dalam memeluk Islam, lanjut Ustadz Bachtiar Nasir, harus secara sungguh-sungguh. Artinya, menjalankan dan menegakkan komitmen terhadap semua ajaran agama dan meninggalkan yang dilarang oleh Allah SWT.

Kesungguhan ini juga menjadi salah satu upaya untuk memerangi syaitan, yang terus menggoda manusia secara sungguh-sungguh pula. Tidak hanya itu, menurut Ustadz Bachtiar Nasir, kebangkitan Islam di Indonesia, terutama soal ibadah, terlihat cukup jelas. Ustadz Bachtiar pun memberi contoh, salah satu peningkatan ibadah kenaikan yang cukup tinggi adalah ibadah Itikaf selama bulan Ramadhan di beberapa masjid, yang naik hampir seratus persen.

Selain itu, ada pula peningkatan jumlah jamaah ibadah shalat berjamaah, termasuk shalat subuh, di beberapa masjid. Pun dengan peningkatan jumlah penerimaan zakat dan sedakah di sejumlah lembaga zakat. ”Selain itu, ada kekuatan lain yaitu Ukhuwah Islamiyah. Saya menyaksikan sendiri di lapangan, di tengah upaya pemecah belahan, saya katakan umat Islam sekarang sudah bersatu,” kata Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) tersebut.

Umat Islam di Indonesia, dengan statusnya sebagai yang terbesar di dunia, kata Ustadz, dalam segala tindak tanduk dan perbuatannya dinilai dapat memberikan pengaruh di tingkat nasional, regional, dan di tingkat internasional. Karena itu, dalam memberikan kontribusi terhadap kebangkitan dan perkembangan Islam, Ustadz Bachtiar Nasir berharap, umat Islam di Indonesia tidak setengah-setengah.

”Jangan berikan sisa waktu untuk Islam, jangan berikan sisa ilmu untuk Islam, jangan berikan sisa tenaga untuk Islam, jangan berikan sisa harta untuk Islam. Masuklah Islam secara //kaffah//. Berislamlah secara total dan berikanlah yang terbaik untuk Islam” tutur Ustadz Bachtiar Nasir.

n reja irfa widodo

REPUBLIKA

Amalan-amalan Setelah Ramadhan (seri 2)

diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika  Ramadhan masjid terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam. Seolah-olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul menjalankan ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.

Sebagian salaf mengatakan,

إِنَّ مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا، وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ بَعْدَهَا

“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)

Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini amatlah banyak, di antaranya:

[1] Shalat malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)

[2] Orang yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka. Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام, وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ, وَأَطْعِمُوا اَلطَّعَامَ, وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ, تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ

“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur, tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.” (HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no. 1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

[3] Orang yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at, maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan untuk shalat malam berjama’ah.

[4] Orang yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia akan bersemangat di pagi harinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)

Sangat disayangkan sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun shalat malam. Inilah orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata, “Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

« ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ ».

“Demikianlah setan telah mengincingi kedua telinganya.” (HR. An Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Hendaklah kita merutinkan amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,

« يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ »

“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)

Sebaik-baik orang adalah yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau ingin mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.

نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ

“Sebaik-baik orang adalah Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)

Padahal shalat malam itu mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.

 

Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai

Kalau memang kita gemar melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3 raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اكْلَفُوا مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)

Ingatlah bahwa rajin ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun menjawab,

بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ

“Alangkah buruknya tingkah mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)

Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

“Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)

 

Bid’ah di Bulan Syawal

Ada beberapa bid’ah yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:

[1] Beranggapan sial jika menikah pada bulan Syawal

Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul berlebaran.

Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini. Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan keluarga beliau tetap harmonis.

Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang dalam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »

“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

[2] ‘Idul Abror (’Ied pada tanggal 8 Syawal atau diistilahkan dengan Lebaran Ketupat)

Ini adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.

Sebelumnya mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-, mereka melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul Abror).

Abror di sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan mengatakan,

“Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)

Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied (yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, 199)

Demikian pembahasan seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Amalan-amalan Setelah Ramadhan (seri 1)

Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

 

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

 

Sungguh sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.

Setelah kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

 

Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah

Bulan Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)

Namun, amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum pria.

Lihatlah salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى

“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Shalat jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)

Namun yang sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

 

لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Saudaraku, ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)

Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)

Begitu pula shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».

“Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)

Lihatlah pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.

Bagaimanakah kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.

 

Memperbanyak Puasa Sunnah

Selain kita melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan,  hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ

“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)

Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)

Itulah di antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad, www.islamspirit.com)

Banyak puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.

 

Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal

Hendaklah di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Pada hadits ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)

Bagaimana cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”

 

Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?

Ibnu Rojab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:

  1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
  2. Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
  3. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
  4. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu,  maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)

Sungguh sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.

Penjelasan penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)

Istiqomah Setelah Ramadhan

Bulan Ramadhan yang penuh dengan berkah dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Subhanahu wa ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana tersebut dalam doa malaikat Jibril dan diamini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ – أَوْ بَعُدَ – دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Subhanahu wa ta’ala).” (HR. Ahmad [2/254], Al-Bukhari dalam al-Adabul mufrad No. 644, Ibnu Hibban No. 907 dan al-Hakim [4/170]; dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani)

Salah seorang ulama salaf berkata,

من لم يغفر له في رمضان فلن يغفر له فيما سواه

“Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan, maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” (dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam Kitab Latha-iful ma’aarif, hal. 297)

Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Dia Subhanahu wa ta’ala mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridho-Nya.

Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata,

كانوا يدعون الله تعالى ستة أشهر أن يُبَلِّغُهم رمضان يدعونه ستة أشهر أن يتقبل منهم

“Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal sholeh) yang mereka (kerjakan).” (dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Kitab Latha-iful ma’aarif, (hal. 174)

Ramadhan yang Membekas

Lalu muncul pertanyaan besar: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?

Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?

Jawabannya ada pada kisah berikut ini. Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab,

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد ويجتهد السنة كلها

“Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang sholeh adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.” (dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Kitab Latha-iful ma’aarif, hal. 313)

Demi Allah, inilah hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat tertentu.

Imam asy-Syibli pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab,

كن ربانيا ولا تكن شعبانيا

“Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya).” (dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam Kitab Latha-iful ma’aarif, hal. 313)

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya, yang artinya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Faathir: 15)

Istiqomah

Inilah makna istiqomah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal sholeh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal sholeh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf):

ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم أَتْبَعَها بَعدُ بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى

Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Subhanahu wa ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut.” (simak Kitab Latha-iful ma’aarif , hal. 311)

Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa ta’ala mensyariatkan puasa 6 hari di bulan Syawal, yang keutamannya sangat besar. Yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa 6 hari di bulan Syawal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ، فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْر

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim No. 1164)

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang sholeh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ

“Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah.” (HR. Al-Bukhari No. 7054 dan Muslim No. 1151)

Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal yang paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Al-Bukhari No. 6099 dan Muslim No. 783)

Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhyallahi anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan merutinkannya.” (HR. Muslim No. 746)

Inilah makna istiqomah setelah bulan Ramadhan. Inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu. Maka, silakan menilai diri kita sendiri. Apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya, atau malah sebaliknya. “Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS al-Hasyr: 2)

 

 

Oleh: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.

KONSULTASI SYARIAH