Carilah Rezeki yang Halal, Jauhi yang Haram (Bagian 2)

Merupakan hal yang lumrah pula di tengah-tengah masyarakat, kebiasaan suka menunda dalam memberikan hak orang lain.

Sebagian orang yang tidak paham berpendapat, menunda hak orang lain dan memakan harta orang lain, merupakan hal yang cerdik dan cerdas, padahal hal itu akan menghapus keberkahan dan kebaikan harta yang dimilikinya.

Allah Ta’ala telah mengancam orang yang mempekerjakan seorang buruh akan tetapi tidak memberikan haknya, melalui lisan Nabi-Nya, yang mana Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

قَالَ اللهُ ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Ada tiga golongan orang yang kelak pada hari kiamat akan menjadi musuhku.

Seorang yang berjanji setia kepadaku lalu dia ingkar (berkhianat); seorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan uang harga penjualannya; seorang yang memperkerjakan seorang buruh, tapi setelah menyelesaikan pekerjaannya orang tersebut tidak memberinya upah.” (HR. Al-Bukhari).

Banyak manusia yang suka mengurangi hak orang lain, dengan tidak memberikannya secara penuh kepada mereka. Allah Ta’ala telah memperingatkan sifat buruk ini melalui firman-Nya,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang).” (QS. Al-Muthaffifin: 1).

Berhati-hatilah wahai saudaraku, jangan sampai kebakhilan menggiringmu ke neraka jahanam.

Ketahuilah, bahwa dunia tempat beramal bukan tempat hisab (semua amal diperhitungkan), sementara akhirat tempat hisab bukan tempat beramal.

Oleh karena itu, bersiap-siaplah dan berhati-hatilah, jangan sampai Allah menimpakan adzab kepadamu ketika kamu lalai.

Jauhilah segala macam bentuk yang haram, agar kamu menjadi orang yang doanya mustajab (dikabulkan), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Sa’ad,

يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ

“Wahai Sa’d, perbaikilah makananmu maka kamu akan menjadi orang yang doanya mustajab.”(HR. Ath-Thabrani).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menceritakan kisah,

الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Ada seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,

”Wahai Rabbku, wahai Rabbku” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan doanya.” (HR. Muslim).

 

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Carilah Rezeki yang Halal, Jauhi yang Haram

Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menanggung rezeki semua hamba-hamba-Nya juga ajal mereka, dan semua yang berhubungan dengannya di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman-Nya Ta’ala,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh) (QS. Hud: 6)

Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk memakmurkan dunia dengan melakukan usaha yang halal, seperti berdagang, bercocok tanam, berburu dan lain sebagainya, dan memperingatkan mereka untuk tidak mengkonsumsi segala macam yang haram.

Adalah hal yang lumrah di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang perbuatan memberi dan mengambil suap, dan mereka menamakannya dengan nama-nama lain untuk mengelabui dan memperhalus bahasa.

Pada prinsipnya, yang haram akan tetap haram meskipun digunakan bermacam-macam nama. Firman Allah Ta’ala,

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 188).

Terkait suap ini pernah diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

 لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ

“Allah melaknat orang yang meyuap dan menerima suap dalam hukum.” (HR. Imam Ahmad)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru Radhiyallahu Anhuma ia berkata, ”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Laknat Allah atas orang yang menyuap dan menerima suap.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani).

Hati-hatilah wahai saudaraku, jangan sampai barang haram masuk ke perutmu, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih utama baginya. (HR. Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Al-Albani).

 

[Abu Syafiq/BersamaDakwah]

Kisah Imam Abu Dawud Membeli Surga dengan Satu Dirham

Kita semua pasti mengenal Imam Abu Dawud rahimahullah. Setidaknya, pernah mendengar namanya. Beliau adalah ulama besar, imam ahli hadits yang telah menyusun kitab Sunan. Sunan Abu Dawud.

Biografi Singkat Imam Abu Dawud

Nama lengkap beliau, Sulaiman bin Al Asy’at bin Syidad bin Amr bin Imran. Kakek kedua beliau yang bernama Imran ini adalah salah seorang yang berjuang bersama Ali bin Abi Thalib dalam perang shiffin.

Sulaiman dilahirkan pada tahun 202 hijriyah dan wafat pada 16 Syawal 275 hijriyah. Sejak belia, Sulaiman banyak belajar, menekuni rihlah dalam rangka mengumpulkan hadits, dan kemudian menjadi ahli hadits terkemuka.

“Abu Dawud adalah imam ahli hadits di masanya tanpa diragukan lagi,” kata Al Hakim memberikan pujian.

“Beliau seorang imam dalam hadits, ulama besar dalam bidang fiqih dan kitab-kitab karya beliau adalah buktinya,” kata Adz Dzahabi.

Abu Dawud tinggal di Bashrah, namun sering keluar masuk kota Baghdad untuk mencari dan meneliti hadits. Ia juga mendapat pujian saat menyodorkan kitabnya kepada Imam Ahmad bin Hambal.

Dari 500.000 hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ditulisnya, ia seleksi hingga tinggal 4.800 hadits dan itulah yang ia susun menjadi kitab As Sunan.

Membeli Surga dengan Satu Dirham

Suatu ketika, Imam Abu Dawud berada di atas perahu penyeberangan sungai Dajlah. Tiba-tiba ia mendengar seseorang di tepi sungai bersin dan mengucapkan “alhamdulillah.”

Abu Dawud mengeluarkan uang satu dirham dan memberikannya kepada tukang perahu agar mendekat sejenak ke tepian. “Yarhamukallah,” ucapnya mendoakan orang yang bersin tadi. Mendengar didoakan, orang yang bersin itu pun menjawab, “yahdikumullah wa yuslihu baalakum.”

Perjalanan dilanjutkan. Orang-orang keheranan mengapa Abu Dawud mau bersusah payah membayar tukang perahu hanya demi mendoakan orang yang bersin dan mendapat doa darinya.

“Semoga menjadi doa yang mustajab,” jawab imam ahli hadits itu.

Ketika para penumpang perahu itu tertidur, semuanya mendengar seruan dalam mimpi mereka, “Wahai para penumpang perahu, sesungguhnya Abu Dawud telah membeli surga Allah dengan satu dirham.” Begitu terbangun, mereka saling menceritakan mimpi itu.

Kisah ini dicantumkan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bari dengan sanad yang baik. Lalu ditulis kembali oleh Ustadz Salim A Fillah dengan judul Sunnah Sedirham Surga dan kemudian judul ini dijadikan judul buku terbarunya.

Imam Abu Dawud… “hatinya yang lembut amat peka untuk beramal dengan sunnah kekasih yang dirindukannya, meski terlihat remeh dalam pandangan manusia,” tulis Ustadz Salim A Fillah mengambil ibrah dari kisah ini. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]

 

BESAMA DAKWAH

Tidak Ada Paksaan dalam Agama

BERIKUT ini penafsiran tentang ayat Laa ikraha Fiddin, sebagaimana ditulis muslimorid. Semoga kita semua dapat memertik hikmahnya.

Allah Taala berfirman, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Sebagian orang salah dalam memahami ayat ini sehingga terjebak dalam pemahaman pluralisme agama. Yaitu bahwa semua agama itu benar, dan Islam bukanlah agama yang paling benar. Paham ini juga mengajarkan bahwa Islam memberi kebebasan kepada manusia untuk memeluk agama apa saja, dan agama apapun dapat mengantarkan pemeluknya kepada Surga Allah Taala. Dengan demikian, menurut para pluralis, dalam Islam tidak ada konsep mumin dan kafir.

Padahal Islam sama sekali tidak mengajarkan pluralisme agama, bahkan Islam mengajarkan tauhid. Dan Allah Subhanahu Wa Taala sama sekali tidak ridha terhadap agama selain Islam, serta segala bentuk kemusyrikan. Lalu bagaimana dengan ayat di atas? Mari kita simak pembahasannya.

Penafsiran Ahli Tafsir

Islam mengajarkan kepada ummatnya agar mengembalikan setiap permasalahan kepada ahlinya. Allah Taala berfirman, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu” (QS. An Nahl: 43)

Bahkan, dalam urusan duniawi, harus dikembalikan kepada orang yang ahli dalam urusan tersebut. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda, “Engkau lebih tahu urusan dunia kalian” (HR Muslim no.2363)

Dan setiap orang berakal tentu akan menerima konsep kembalikanlah setiap urusan kepada ahlinya. Kita tentu tidak akan menanyakan obat suatu penyakit kepada ahli matematika, melainkan kepada dokter bukan?Oleh karena itu marilah kita bersikap bijak untuk mengembalikan urusan penafsiran Al Quran kepada ulama ahli tafsir, bukan opini masing-masing atau opini dari orang yang bukan ulama ahli tafsir.

Seorang imam ahli tafsir yang terkemuka, Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan:”Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam enam pendapat:

-Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh (dihapus). Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memaksa orang arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Masud dan dari banyak ahli tafsir.

-Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy Syabi, Qatadah dan Adh Dhahhak.

-Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahuanhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Said bin Jubair, Asy Syabi dan Mujahid.

-As Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”

-Makna ayat ini: “Orang yang ber-Islam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”

6. Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Dinukil dari Tafsir Al Qurthubi secara ringkas)

Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain.

Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni. Ash Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan” (Shafwatut Tafasir)

Pendapat yang lebih kuat, wallahualam, sebagaimana yang dikuatkan oleh imam ahli tafsir yang lain, Ibnu Jarir Ath Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh (dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath Thabari)

Telah Jelas Kebenaran dan Kebatilan

Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabiin dan tabiut tabiin. Sehingga setiap pendapat dapat diterima dan dapat ditoleransi. Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan konsep pluralisme agama. Sama sekali tidak! Karena Allah Taala berfirman, “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelaskan kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.

Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Tafsir Ibnu Katsir)

Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Tafsir Ath Thabari)

Maka jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status kafir dari diri mereka sebagaimana diklaim oleh para pluralis.

Agama yang Benar Hanya Islam

Satu hal yang wajib dijadikan pegangan setiap muslim, yaitu bahwa ayat-ayat Al Quran tidak ada yang saling bertentangan. Allah Taala berfirman, Apakah kalian tidak mentadabburi Al Quran? Andaikan Al Quran bukan diturunkan dari sisi Allah, tentu akan banyak pertentangan di dalamnya” (QS. An Nisa: 82)

Dan di dalam ayat lain, pemahaman bahwa semua agama sama dan semua agama itu benar telah dibantah oleh Allah Taala sendiri. Allah Taala berfirman, “Agama yang diridai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Allah Taala juga berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan Islam dalam ayat-ayat ini dengan berserah diri. Menurut mereka, semua agama itu benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam,

“Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8)

Sehingga ber-Islam bukanlah hanya sekedar berserah diri kepada Tuhan, siapapun Tuhan-nya. Namun Islam yang diinginkan oleh Allah Taala adalah berserah diri kepada Allah Taala saja dengan menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan kepada yang lain.

Inilah inti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda,

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallah” (HR. Bukhari no. 1399, Muslim no. 124)

Oleh karena itu jelaslah, bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak mengakui bahwa Islam itu agamanya yang paling benar dan agama yang hanya diridhai oleh Allah Taala.

Dari sini kita pun melihat keanehan dan kelemahan argumen para pluralis, mereka mencomot sebuah dalil namun di sisi lain menginjak-injak dalil yang lain.

Tidak Memaksa Bukan Tidak Membenci

Inti ajaran Islam adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Taala semata. Karena hanya Allah Taala-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah. Allah Taala-lah Dzat yang paling berhak mendapat kecintaan dan ketundukan terbesar dari setiap manusia. Konsekuensinya, seorang mukmin akan membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan kecintaan terhadap sesembahan selain Allah, serta membenci orang-orang yang melakukan demikian.

Sebagaimana firman Allah Taala,

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)

Sebagai bentuk kebencian itu, Allah Taala juga melarang kaum muminin menjadi teman akrab, merendahkan diri, serta tunduk kepada orang kafir,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, sebagai wali. (Yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

Wali secara bahasa artinya orang yang dicintai, teman akrab, atau penolong (Lihat Qamush Al Muhith). Selain itu, rasa benci terhadap kekufuran ini adalah tuntutan iman dan syarat sempurnanya iman.

Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam juga bersabda,

“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah, imannya telah sempurna” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Dengan demikian jelaslah bahwa tidak memaksa orang kafir untuk masuk Islam bukan berarti tidak membenci mereka. Kita tidak memaksa mereka, namun tetap menyimpan rasa benci kepada mereka selama mereka belum mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya sesembahan yang berhak disembah dan memeluk Islam.

Namun perlu digaris bawahi, rasa benci terhadap kekufuran dan orang kafir wajib ada di hati setiap muslim. Akan tetapi kebencian ini bukan berarti harus menyakiti, menzhalimi atau bahkan membunuh setiap orang kafir yang kita jumpai. Karena dalam aturan Islam, orang kafir dibagi menjadi beberapa jenis, ada yang boleh disakiti dan diperangi, ada pula orang kafir yang haram untuk disakiti dan diperangi. Hal ini telah kami singgung dalam artikel “Salah Kaprah Memahami Islam Sebagai Rahmatan Lil Alamin”. Walau demikian tetap tidak boleh memberikan kasih sayang dan loyalitas kepada mereka.

Demikian penjelasan singkat mengenai tafsir ayat ini. Mudah-mudahan Allah Taala senantiasa memberikan kita keteguhan hati untuk terus meniti di atas jalan-Nya yang lurus.

 

MOZAIK

—————————————————————-
Download-lah Aplikasi CEK PORSI HAJI dari Smartphone Android Anda agar Anda juga bisa menerima artikel keislaman ( termasuk bisa cek Porsi Haji dan Status Visa Umrah Anda) setiap hari!
—————————————————————-

Sholat Jum’at di Al-Aqsa, MUSIAD Desak Pengusaha Muslim Berinvestasi di Palestina

Delegasi MUSIAD, Asosiasi Industri dan Pengusaha Independen Turki, baru-baru ini mengunjungi wilayah Yerusalem Timur, di mana para anggota delegasi pun berkesempatan menunaikan sholat Jum’at di Masjid Al-Aqsa, Jumat (11/08).

Ketua Asosiasi Industri dan Pengusaha Independen Turki (MUSIAD), Abdurrahman Kaan mengatakan bahwa kunjungan rombongannnya ke Al Haram Ash Sharif dimaksudkan untuk “menunjukkan rasa solidaritas dengan saudara-saudara Palestina”.

Sembari mengecam keras tindakan Israel yang terus menerus melakukan pelanggaran terhadap Muslim Palestina di Yerusalem, Kaan berkata, “Kami berdiri dengan saudara-saudara kami; Itulah mengapa kami berada di sini.”

“Kami telah melihat pelanggaran tersebut secara langsung dan menolak untuk menerima tirani ini terhadap kiblat pertama kami,” imbuhnya mengacu pada Masjid Al-Aqsa, yang bagi umat Islam merupakan situs tersuci ketiga di dunia setelah Mekkah dan Madinah.

“Kita harus memberikan setetes minyak di pantai yang akan membawa Masjid Al-Aqsa keluar dari tirai kegelapan dan masuk ke dalam cahaya terang benderang dan dengan melindungi nilai-nilai budaya bersama kita,”

Ketua MUSIAD itu juga menyerukan umat Islam di seluruh dunia untuk mengunjungi Al-Aqsa tempat yang sangat dihormati dan suci bagi Muslim itu.

Kaan juga mendesak para pengusaha Muslim untuk berinvestasi di kawasan ini dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Palestina.

Ratusan pengusaha Turki ikut serta dalam kunjungan Jumat (11/08) ke tempat suci tersebut.

Setelah terjadi bentrokan baru-baru ini di kompleks Masjid Al-Aqsa yang menyebabkan setidaknya 20 orang terbunuh, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mendesak umat Islam di seluruh dunia untuk mengunjungi situs tersebut dan menunjukkan dukungan solidaritas kepada Muslim Palestina di Yerusalem.[IZ]

 

PANJIMAS

Jamaah Haji Diimbau Jauhi Peternakan Unta

Jamaah haji Indonesia diimbau untuk tetap hati-hati terhadap virus MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome coronavirus). Jamaah haji juga sangat disarankan untuk menjaga kebersihan tubuh sebaik mungkin serta menjauhi peternakan Unta agar terhindar dari virus MERS-CoV.

“Benar sekarang lagi ada informasi tentang adanya kasus MERS CoV di Saudi. Walau pun kejadiannya bukan di tanah suci, artinya bukan di Makkah, Madinah dan Jeddah tapi kita mesti waspada,” kata Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) Haji dari Kementerian Kesehatan, Eka Jusuf Singka kepada Republika.co.id, Ahad (13/8).

Dia mengatakan, jamaah haji Indonesia jangan sampai terkena MERS-CoV. Guna mencegah terkena virus MERS-CoV, jamaah haji diimbau jangan dekat-dekat dengan peternakan Unta apalagi berlama-lama di sana. Jamaah haji biasanya sering foto-foto di dekat peternakan Unta, sebaiknya hal ini jangan dilakukan agar terhindar dari MERS-CoV.

Biasanya peternakan Unta sering dijadikan tempat wisata oleh jamaah haji asal Indonesia. Jamaah haji ingin minum usus Unta segar dari peternakan sambil berwisata. Tapi, bukan susu Unta yang berbahaya, dekat-dekat peternakan itu yang berbahaya.

“Jamaah haji juga harus memakai masker, karena penularannya juga melalui selaput lendir, hidung, mata. Terus yang paling penting juga harus sering cuci tangan,” ujarnya.

Eka menyampaikan, jadi sebaiknya jamaah haji sering-sering mencuci tangan di toilet umum. Mengenai kondisi kesehatan jamaah haji Indonesia saat ini memang banyak yang sedang dirawat di klinik dan Rumah Sakit (RS). Semua jamaah haji yang dirujuk ke RS di Arab Saudi, mereka diperiksa untuk memastikan apakah mereka terkena virus MERS-CoV atau tidak.

“Sampai saat ini, tidak ada jamaah haji Indonesia yang terkena virus MERS-CoV. Tapi, kalau jamaah yang sakit banyak. Penyebabnya kebanyakan karena kelelahan dan cuaca panas,” jelasnya.

Guna mencegah jamaah haji Indonesia terkena virus MERS-CoV, lanjut Eka, pemerintah membentuk tim kesehatan untuk mengingatkan jamaah haji agar selalu ingat dan tetap menjaga kesehatannya dengan baik. Informasi, imbauan dan peringatan juga selalu ditayangkan di bus-bus agar jamaah lebih berhati-hati.

Tim kesehatan yang mengingatkan jamaah haji adalah tim promotif preventif yang terdiri dari tim kesehatan Indonesia dan tim pendukung kesehatan. Mereka bekerjasama dengan dokter dan perawat di setiap sektor. Setiap waktu mereka terus melakukan sosialisasi dan mengimbau jamaah haji agar menjaga kebersihan dan kesehatan.

 

REPUBLIKA

Menjaga Asupan Gizi Saat Berhaji

Melakukan ibadah haji membutuhkan persiapan yangmatang dan terencana. Selain ruhani dan finansial, persiapan jasmani adalah salah satu yang tidak bisa diabaikan. Sebab, untuk dapat menjalankan ibadah dengan lancar, tubuh juga harus dalam kondisi sehat dan bugar.

Aktivitas yang tinggi di Tanah Suci serta kondisi iklim yang berbeda dengan Indonesia, tentunya akan membuat jamaah kewalahan jika tidak diimbangi dengan asupan makanan yang sehat dan gizi seimbang. “Untuk itu, sebelum berangkat asupan gizi harus seimbang mulai dari karbohidrat, protein dan lemak,” ujar spesialis gizi klinik RSCM dr. Dian Permatasari, Selasa (1/8).

Dian juga menyarankan agar calon jamaah haji memperbanyak mengonsumsi buah dan sayuran. Di dalam buah dan sayuran terdapat kandunganvitamin dan mineral yang berfungsi menjaga daya tahan tubuh supaya tidak mudah menurun. Makanan yang dikonsumsi ini harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori.

Tidak hanya memperhatikan asupan makanan, calon jamaah hajijuga disarankan untuk rutin berolahraga sebelum berangkat ke Tanah Suci. Tujuannya, agar tubuh lebih siap dan tidak kaget dengan tingginya aktivitasfisik.

Sementara itu, selama di Tanah Suci, Dian menyarankan, agar jamaah haji tetap menjaga waktu makan sebanyak tiga kali sehari dengan memperbanyak asupan protein dan karbohidrat untuk mendapatkan energi lebih. Sebagai camilan, Dian menyarankan, jamaah haji sebisa mungkin membawa makanan yang bisa langsung dimakan seperti biscuit dan buah-buahan.

“Perbanyak proteindari hewani atau pun nabati. Dibutuhkan juga ekstra makanan seperti susu untukmenambah kalori dan tenaga,” kata Dian menambahkan.

Jika diperlukan, jamaah boleh mengonsumsi multivitamin demi mempertahankan stamina tubuh. Untuk meningkatkan kekebalan tubuh, jamaah juga bisa mengonsumsi madu atau minuman herbal. Sebaiknya, minuman herbal yang dibawa berasal dari rempah-rempah asli Indonesia agar tubuh bisa langsung menyesuaikan diri.

Mengingat cuaca ekstrim dengan suhu yang tinggi di TanahSuci, Dian menyarankan, agar jamaah haji tidak lupa memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh. Jika pada saat cuaca normal seseorang harus mengonsumsi minimal dua liter air per hari, maka pada cuaca ekstrim seperti di Tanah Suci jamaah haji harus menambah asupan cairan minimal 2,5 liter air per harinya.

“Usahakan kemana-kemana bawa air putih dan minum setiap satujam sekali di saat haus ataupun tidak haus,” kata Dian.

Selama di Tanah Suci, jamaah haji juga sebaiknya menghindari makanan yang dapat memicu batuk dan diare karena akan sangat mengganggu kelancaran ibadah.

 

REPUBLIKA

Tahan, Jangan Manjakan Keinginan!

Hal-hal sederhana dalam aktivitas sehari-hari sering kali kita cuekin. Di rumah, kampus, sekolah, pasar, bahkan masjid; sering banget kita lupa bersopan santun.

Apalagi kalangan remaja, kalau lagi asyik-asyiknya bercanda bareng teman-teman, lupalah kalau sopan santun mesti dijaga. Sopan santun nggak cuma ada dalam interaksi antar sesama manusia, lho. Dengan Allah ta’ala kita juga mesti jaga sopan santun. Juga dengan sesama ciptaanNya yang selain manusia. Nah, yang satu ini, nih, yang sering banget dicuekin banyak orang. Dan emang banyak orang belum faham kalo bentuk interaksi yang itu pun mesti pakai sopan santun. Termasuk dalam ranah ini adalah pemakaian energi dan sumber daya alam.

Energi dan sumber daya alam adalah nikmat Allah ta’ala buat memenuhi kebutuhan makhlukNya. Air, bahan bakar minyak, dan listrik, adalah sebagian contohnya. Banyak banget orang di masyarakat kita yang nggak bersopan santun dalam memakainya.

Misalnya, nih, di tempat wudhu masjid sering kita jumpai saudara-saudara kita –atau malah kita sendiri– menghamburkan air sepuas-puasnya. Keran yang sebenernya udah bisa mengalirkan cukup air tanpa mesti dibuka penuh, tetap aja dibuka sampe penuh. Hadeeh… Akhirnya air mengucur deras banget dan lebih banyak yang terbuang sia-sia ketimbang yang terpakai untuk membasuh kulit kita. Dan parahnya lagi, orang di sebelah mesti ikut berbasah-basah kena percikannya. Ini namanya nggak sopan sama alam dan nggak sopan sama orang. Parah!

Di dalam ruangan di tempat umum, contohnya kamar kecil, sering kali kita jumpai lampu nyala padahal cahaya matahari yang menembus ventilasi udah cukup bikin ruangan itu terang. Bahkan di sekolah-sekolah yang adalah tempat mendidik generasi muda, di siang bolong banyak lampu nyala tanpa ada yang peduli dan merasa berdosa.

Gimana cara Antum pergi ke sekolah, kuliah, atau kerja? Juga gimana Antum pergi ke masjid buat shalat berjama’ah saban harinya? Kalo pakai kendaraan bermotor, cobalah diitung-itung yang jujur, berlebihan apa enggak kita nyumbang polusi udara? Apakah pantas disebut bijaksana kalo jarak cuman 50 meter aja kita tempuh dengan naik motor, padahal kondisi fisik sehat wal afiat? Kalo suatu jarak udah cukup ditempuh pakai jalan kaki atau sepeda, apakah terpuji kalo kita pilih naik kendaraan bermotor?

Naifnya kita, yang diitung-itung dalam pemakaian energi dan sumber daya alam tuh cuma melulu soal ekonomi. Kalo merasa masih sanggup beli bensin, beli pulsa listrik; udah merasa nggak dosa kalo berlebihan makainya. Padahal ada soal lain yang nggak kalah penting, bahkan dalam jangka panjang lebih penting ketimbang soal duit. Adalah masalah lingkungan.

Kita manusia dicipta oleh Allah ta’ala dan ditempatkan di muka bumi adalah untuk jadi khalifah: pengelola interaksi antar makhlukNya demi terciptanya kehidupan yang harmonis, yang berkeseimbangan dan berkelanjutan (equilibrium and sustainable culture). Sungguh memrihatinkan banget kalo dalam pemakaian energi, kita nggak bijaksana sama sekali. Rasanya nggak perlu dalil banyak buat mengevaluasi persoalan ini, cukuplah ayat berikut buat direnungi.

“…. dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-Israa’: 26-27).

Wallahu a’lam. [IB]

 

PANJIMAS

Langkah Cici Menuju Baitullah: dari Jualan Sayur, Menabung 7 Tahun, hingga Bersedekah

“Alhamdulillah, dari hasil penjualan sayur, saya tabung dan mengikuti arisan bersama teman-teman hingga uang saya terkumpul sebanyak Rp 25 juta. Dan saya mampu mendapatkan kursi di tahun 2011, hingga tahun 2017 mampu melunaskan keseluruhan dari biaya haji.”

 

TAQDIR, kemauan, dan usaha yang gigih. Tiga kekuatan yang dimiliki seorang wanita renta, yang bersama suaminya dalam perjalanan menunaikan rukun Islam yang kelima.

Di Masjid Asrama Haji Jawa Barat Embarkasi Bekasi, wanita itu mengambil shaf di bagian belakang, ia tampak duduk dan mulai mengaji.

Cici, 64 tahun, demikian nama singkat jamaah calon haji asal Sumedang itu. Kamis siang, 10 Agustus 2017, hidayatullah.com menghampiri Cici. Setelah mengucapkan salam, ia menutup mushafnya dan memulai percakapan.

Ia bertutur, kesehariannya merupakan penjual sayur di Pasar Darmaraja, Sumedang, Jabar. Saban hari, sebelum sakit-sakitan, Cici pergi ke pasar pada pukul 1 dini hari dan pulang ke rumahnya jika azan ashar mulai berkumandang.

Namun ketika ia mulai sakit-sakitan, Cici bersama suami berangkat ke pasar setelah shalat subuh bersama suami dan anak-anaknya.

Keberangkatan Cici untuk naik haji berawal dari niatnya yang kuat bersama suami, Parja. Segala daya dan upaya ia usahakan, mulai dari menjual sayur mayur, kelontongan, serta apa saja yang bisa menghasilkan uang.

“Saya selalu mendawamkan dalam hati saya, agar diberangkatkan ke Tanah Suci, ada aja rezeki yang Allah kasih,” ungkapnya saat ditemui media ini sehabis shalat zhuhur di Masjid Embarkasi Bekasi.

Selama tujuh tahun pun, Cici terus menabung rupiah demi rupiah bersama suaminya. Sembari mengumpulkan dana untuk berangkat ke Baitullah, ia selalu bermunajat kepada Allah, agar selalu dimantapkan hatinya dan selalu bertawakal kepada-Nya.

“Alhamdulillah, dari hasil penjualan sayur, saya tabung dan mengikuti arisan bersama teman-teman hingga uang saya terkumpul sebanyak Rp 25 juta. Dan saya mampu mendapatkan kursi di tahun 2011, hingga tahun 2017 mampu melunaskan keseluruhan dari biaya haji,” lanjutnya dengan wajah tampak gembira.

Cici lantas menuturkan kehidupan masa lalunya, dimana ia mengalami kesempitan ekonomi. Belum lagi, saat anak laki-lakinya mulai terpengaruh lingkungan buruk dengan menenggak minuman keras, ini merupakan episode terburuk yang Cici alami dalam hidupnya.

Hingga kemudian, tuturnya, ia mulai rajin berpuasa, dan berdoa kepada Allah agar dimudahkan segala urusannya.

 

Harapan di Baitullah

Tentu, jamaah calon haji pasti memiliki azam yang tinggi dan berharap banyak sesampainya nanti di Tanah Suci, salah satunya untuk memanjatkan doa. Begitulah yang dirasakan Cici. Ia memiliki harapan yang kuat agar dimudahkan beribadah di Baitullah nanti.

“Insya Allah, jika saya sampai di Makkah, saya ingin shalat di depan Kabah dan berdoa agar anak-anak saya menjadi anak yang shaleh dan shalehah, rajin beribadah, dijauhkan dari bala dan marabahaya, dipanjangkan umurnya, serta diberikan segala kebaikan,” tuturnya.

Saat menuturkan cerita itu, tak terasa air matanya mulai mengaliri pipinya. Sesekali ia sesenggukkan mengingat masa lalu yang pernah ia hadapi, termasuk ketika orangtuanya meninggal dunia, hingga ia banting tulang bersama suami demi menafkahi anak-anaknya yang masih kecil kala itu.

Cici pun bertutur, di balik usaha-usaha untuk bisa menuju Baitullah itu, ada kebiasaan lain yang ia amalkan bersama suaminya. Ia juga mengajak keluarganya yang lain untuk selalu mengamalkan kebiasaan ini.

Apa itu? Rupanya, Ibu Cici selalu berusaha untuk bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan darinya,

“Banyak sedekah, Nak, kepada anak yatim piatu dan peduli kepada sesama, insya Allah dimudahkan segala urusan kita,” pesannya kepada awak media ini.

“Selalu bahagia, Nak, meski sesusah apa pun kamu. Allah masih selalu bersama kamu,” pungkasnya berwasiat, sambil menghadiahkan senyuman kepada hidayatullah.com sebelum ia pamit ke kamar tempatnya beristirahat.

Selamat menunaikan ibadah haji Cici beserta suami, semoga Allah menjadikan keduanya dan jamaah yang lain sebagai haji mabrur.* Zulkarnain

 

HIDAYATULLAH

Semua Atas Izin Allah

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa, menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang husnul khotimah. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Tiada satupun racun, sekuat apapun racun itu, yang bisa membuat mati. Kematian terjadi hanya atas izin Allah Swt. Racun sama sekali tidak mematikan. Racun hanya jalan dari kematian yang Allah tetapkan. Ini hanya sebuah ilustrasi.

Kita tidak boleh memiliki pikiran atau keyakinan bahwa ada sesuatu yang bisa terjadi tanpa keterlibatan izin Allah. Sungguh, tidak ada selembar daunpun yang jatuh ke atas bumi melainkan ia jatuh atas izin Allah.

Perbuatan yang diusahakan oleh manusia adalah perbuatan yang Allah ridhoi dan Allah izinkan terjadi, maka perbuatan tersebut berbuah pahala. Sedangkan perbuatan yang diusahakan oleh manusia, lalu Allah mengizinkan itu terjadi namun Allah tidak ridho, maka berbuah dosa. Maka, tidak ada pencurian yang terjadi kecuali atas izin Allah, akan tetapi Allah tidak ridho dan bagi si pencuri pasti ada balasannya. Sedangkan bagi yang dicuri, jika dia tafakur, sabar dan taubat, maka baginya pahala dan naik derajatnya di hadapan Allah Swt.

Demikian pula dengan obat. Obat tidak bisa memberi manfaat, tidak bisa menyembuhkan, kecuali atas izin Allah. Obat hanya jalan bagi ketetapan Allah untuk menyembuhkan seseorang.

Allah Swt. berfirman, “Jika Allah menimpakan sesuatu kemadhorotan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Yunus [10]:107)

Jadi, kejadian apapun, baik kita sukai maupun yang tidak kita sukai, pasti terjadi atas izin Allah. Semoga kita senantiasa bisa menafakuri setiap kejadian apapun dan menjadi ladang amal bagi kita untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di hadapan Allah Swt. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar