Wanita-Wanita Ahlul Bait di Madinah

ABDULLAH saat handak melaksanakan haji, memperoleh pesan dari pamannya, Muslim bin Sa’d, dimana sang paman menitipkan 10 ribu dirham, untuk diberikan kepada orang yang termiskin di kota itu dari kalangan ahlul bait.

Sesampai di Madinah, Abdullah pun mencari informasi mengani ahlul bait termiskin di kota itu, dan ia pun memperoleh informasi mengenai sebuah rumah. Abdullah pun mengetuk pintu, dan terdengar suara,”Siapa engkau?”

Abdullah pun menjawab,”Aku adalah lelaki di dari penduduk Baghdad, aku dititipi harta untuk diberikan kepada ahlul bait termiskin di kota ini, dan aku memperoleh informasi bahwa yang termiskian adalah Anda, maka ambillah harta ini.”

Perempuan itu pun menjawab,”Wahai Abdullah, temanmu itu mensyaratkan orang yang termiskin, berilahlah ke tetangga sebelah, ia lebih berhak.”

Akhirnya Abdullah mengetuk pintuk sebalah rumah perempuan itu, namun tatkalah ia menyampaikan maksudnya, ia mendapatkan jawaban,”Wahai Abdulllah, kemiskinan kami dengan tetangga sama, bagilah harta itu untuk kami berdua.” (Shifat Ash Shafwah, 2/206)

 

HIDAYATULLAH

Hukum Potong Rambut dan Kuku Bagi yang Hendak Berkurban

Para ulama mazhab fiqih berbeda pendapat tentang hukum memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban sejak memasuki sepuluh awal Dzulhijah menjadi tiga pedapat.

Pertama, menurut Mazhab Hanbali hukumnya wajib menjaga diri untuk tidak mencukur rambut dan memotong kuku bagi orang yang hendak berkurban sejak masuknya Dzulhijah hingga selesai penyembelihan hewan kurban.

Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw. riwayat Muslim dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
:
(إِذَا رَأَيْتُمْ هِلالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ ) وفي لفظ له : ( إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.)

“Jika kalian melihat hilal Dzul Hijjah, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaklah menahan diri (tidak memotong) rambut dan kuku-kukunya”.

Dalam redaksi yang lain: “Jika sepuluh hari awal Dzulhijah sudah masuk, dan seseorang dari kalian ingin berkurban, maka hendaknya tidak menyentuh (memotong) rambut dan bulu tubuhnya sedikitpun”.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah dari tidak mencukur rambut dan memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu tetap mendapatkan kekebalan dari api neraka. Sebagian yang lain mengatakan bahwa larangan ini dimaksudkan biar ada kemiripan dengan jemaah haji yang sedang berihram.

Kedua, menurut mazhab Maliki dan Syafi’i hukumnya sunnah untuk tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku bagi orang yang hendak berkurban mulai masuknya Dzulhijah sampai selesai penyembelihan hewan kurban. karena ada hadits dari Aisyah r.a.:

كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ يُقَلِّدُهاَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ الهَدْيَ

“Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah Rasulullah saw, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan mengirimkannya dan beliau tidak berihram (mengharamkan sesuatu) atas apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya,” (HR. Bukhari Muslim).

Asy-Syairazi (w. 476 H) dari kalangan Asy-syafi’iyah dalam matan Al-Muhazzab menyebutkan:

ولا يجب عليه ذلك لأنه ليس بمحرم فلا يحرم عليه حلق الشعر ولا تقليم الظفر

“Dan hal itu bukan kewajiban, karena dia tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan kuku”. (Asy-Syairazi, Al-Muhazzab, jilid 1 hal. 433).

Kedua mazhab ini menyimpulkan hadits Ummu Salamah di atas bukan sebagai larangan yang bersifat haram (nahyu tahrim), melainkan sebagai larangan yang bersifat makruh (lilkarahah).

Ketiga, Menurut Mazhab Hanafiy tidak disunnahkan dan tidak diharamkan bagi orang yang hendak menyembelih hewan kurban untuk memotong rambut dan kuku. Sebab orang yang ingin menyembelih hewan kurban tidak diharamkan untuk berpakaian biasa dan bersetubuh.

Adapun hadits di atas, menurut pengikut mazhab Hanafi merupakan ketentuan bagi mereka yang berihram saja, baik ihram karena haji atau umrah. Sedangkan mereka yang tidak dalam keadaan berihram tidak ada ketentuan untuk meninggalkan cukur rambut dan potong kuku.

 

Pilihan Pendapat

Sebenarnya hadits riwayat Ummu Salamah redaksi haditsnya ditujukan untuk umum, tidak ada pengkhususan kepada kondisi tertentu. Namun jika dihubungkan dengan ibadah haji, di mana ibadah kurban merupakan bagian yang tak terpisahkan maka menurut sebagian pengikut mazhab Syafi’i dan Maliki menyatakan larangan itu sebenarnya berkorelasi dengan orang yang melaksanakan ibadah haji saja sebagaimana firman Allah SWT.:

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ [Al-Baqarah : 196].

Namun kalimat hadits Umu Salamah yang bersifat umum itu, baik kepada yang sedang berihram atau tidak tetapi hendak memotong hewan kurban maka dilarang memotong rambut dan kuku. Kemudian hadits riwayat Aisyah menyatakan Nabi saw tidak mengharamkan sesuatu yang halal bagi orang yang hendak berkurban.

Maka dengan menggunakan metode penggabungan dan kompromi (al-jam’u wa al-taufiq) antara kedua hadits tersebut, maka hukum memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak berkurban mulai masuk Dzulhijah hingga selesai pelaksanaan pemotongan hewan kurban adalah makruh, sedangkan memeliharanya adalah Sunnah.

Wallahu a’lam bi al-shawab

 

Disusun oleh KH. Cholil Nafis, Lc., Ph D, Ketua Pembina Yayasan Investa Cendekia Amanah

TRIBUN NEWS

Mengenal Batu Surga Bernama Hajar Aswad

Meski belum ke Tanah Haram, Anda pasti pernah mendengar tentang Hajar Aswad. Apa itu Hajar Aswad?

Hajar Aswad punya arti batu hitam. Batu yang ada di salah satu sudut Ka`bah yakni di sebelah tenggara dan menjadi tempat mulai dan akhir untuk melakukan ibadah thawaf.

Dalam bingkai dan pada posisi 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Bentuknya bulat telur dengan warna hitam kemerah-merahan. Ada titik-titik merah campur kuning sebanyak 30 buah di dalamnya. Dibingkai dengan perak dengan ketebalan kurang lebih 10 cm buatan oleh Abdullah bin Zubair.

Asalnya batu ini dari surga sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sejumlah muhadits.

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad turun dari surga berwarna lebih putih dari susu lalu berubah warnanya jadi hitam akibat dosa-dosa bani Adam.” (HR. Timirzi, An-Nasa`I, Ahmad, Ibnu Khuzaemah dan Al-Baihaqi).

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, Allah akan membangkit hajar Aswad ini pada hari qiyamat dengan memiliki dua mata yang dapat melihat dan lidah yang dapat berbicara. Dia akan memberikan kesaksian kepada siapa yang pernah mengusapnya dengan hak.” (HR. Tirmizy, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, At-Tabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Asbahani).

Hajar Aswad, bagaimanapun juga  adalah batu biasa, meski kaum muslimin yang menciumnya atau menyentuhnya, hal tersebut hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Umar bin Al-Khattab berkata, “Demi Allah, aku benar-benar mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberi madharat maupun manfaat. Kalaulah aku tidak melihat Rasulullah SAW menciummu aku pun tidak akan melakukannya.”

Wallahua’lam.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]

 

————————————

Anda ingin membaca lebih banyak soal HajarAswad? Silakan ketik Hajar Aswad di kolom Search/Pencarian!

Yang Terbaik Bagi Perempuan Menurut Fatimah

SEPERTI biasa, para sahabat tak segera meninggalkan mesjid usai salat berjemaah. Mereka masih duduk berlama-lama di sekitar Nabi Muhammad saw.

Kerap kali Nabi menyampaikan petuah-petuah berharga pada mereka lepas salat. Kadang pula beliau menjawab sejumlah pertanyaan, tentang apa saja.

Tiba-tiba suara Nabi memecah keheningan. “Wahai sahabatku tahukah kalian, apa yang terbaik untuk perempuan? “Para sahabat saling berpandangan sambil memikirkan mencari jawaban. Tapi tak satu pun mampu menjawab sampai kemudian mereka bubar meninggalkan mesjid, menuju rumah masing-masing.

Sayyidana Ali bin Abi Thalib termasuk di antara mereka yang ditanyai Rasulullah saw. Begitu tiba di rumah, dia disambut wajah teduh istri tercinta, Fatimah Az-Zahra, putri semata wayang Nabi.

Berdua mereka duduk berhadap-hadapan. Sayyidah Fathimah mengambilkan air minum untuk Sayyidina Ali. Keduanya memang sering berbagi cerita. Ali menceritakan kejadian yang terjadi saat bersama Nabi. Fatimah cerita tentang tingkah lucu anak-anak mereka, Hasan, Husain, Zainab dan Ruqayyah.

Ali angkat bicara, “Wahai Fatimah, istriku tercinta. Tadi ayahandamu bertanya pada kami. Tak satu pun orang mampu menjawabnya.”

“Oh ya?” Fatimah tersenyum. Kilatan cahaya matanya jelas menyiratkan rasa ingin tahu.

“Nabi bertanya, apakah yang terbaik untuk seorang perempuan?” lanjut Ali.

Fatimah tersenyum lagi. Kali ini makin merekah. Ya, dia tahu benar jawaban pertanyaan itu. Bagi Fatimah, penghulu wanita terbaik di dunia dan di akhirat, jawaban pertanyaan itu terang sebenderang cahaya matahari.

“Ali tercinta yang terbaik untuk perempuan adalah dia tidak dilihat dan tidak melihat lelaki,” katanya sembari menatap lekat sang suami.

“Ah begitu. Engkau sungguh bijaksana,” kata Ali.

Kala Ali menyampaikan jawaban Fatimah pada Nabi, beliau tersenyum puas dan berkata, “Fatimah memang benar-benar belahan jiwaku.”

Mungkin jawaban singkat Fatimah itu menggelitik hati sebagian kita, utamanya kaum hawa. Apakah ini berarti wanita harus mendekam di rumah saja? Tentu saja tidak. Maksud Fatimah dengan tidak dilihat dan tidak melihat lelaki adalah perempuan harus mengenakan hijab dengan baik kala berhadapan dengan lelaki non muhrim. Persis yang pernah dicontohkan Fatimah sepanjang hidupnya.

Sejarah Islam merekam, kala keluar rumah, Fatimah selalu berkerudung panjang. Dia juga mengenakan pakaian panjang nan lebar yang benar-benar menyembunyikan bentuk tubuhnya.

Andai pun Fatimah hidup bersama kita, di zaman ini, dia pasti tetap keluar rumah dengan hijabnya yang sempurna.

 

MOZAIK

Menengok Baiq Mariah, Jemaah 104 Tahun asal NTB yang Mendunia

Baiq Mariah, jemaah asal Mambalan, Gunung Sari, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang berusia 104 tahun, sudah tiba di Tanah Suci. Sejak tiba di Mekah, dia lebih banyak di hotel. Awal-awal sempat drop, kini kondisinya cukup fit.

Nenek yang bernama lengkap Mariah Margani Muhammad itu tinggal di Sektor 3, lantai 8 Hotel Barkah Burhan. Di kamar, dia bersama beberapa haji asal Lombok Barat, termasuk pendampingnya, Rahmi (53).

Saat ditemui, Senin (28/8/2017), Baiq Mariah duduk di kursi roda. Dia kaget karena kedatangan beberapa orang. Namun, setelah dijelaskan Rahmi dalam bahasa Lombok, dia mulai tenang.

“Sempat trauma pas datang di (Bandara) Jeddah. Belum sadar kalau sudah di Mekah, tahunya masih di rumah,” kata Rahmi, yang merupakan tetangga desa Baiq Mariah.

Baiq Mariah tampak sehat. Hanya, pendengarannya memang tidak tajam lagi. Rahmi harus sedikit berteriak agar Baiq Mariah mendengar.

“Di rumah sehat. Biasa jalan kaki. Di sini dikasih kursi roda untuk jaga kondisi,” jelas Rahmi, yang berangkat haji bersama suaminya yang berprofesi sebagai polisi di Polda NTB.

Sementara itu, Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Kepala Sektor 3 yang ikut menemui Baiq Mariah, Noor Hamid, mengatakan akan terus memantau kondisi Baiq Mariah. Jika memang Baiq ingin beribadah, petugas siap mendampingi. “Jika memang itu (pendampingan) diperlukan,” kata Noor Hamid.

Baiq Mariah tiba di Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah pada Sabtu (26/8) sekitar pukul 21.50 waktu Arab Saudi. Dia disambut sejumlah pejabat dan di-interview media Saudi. Meski menempuh perjalanan 12 jam, perempuan 3 anak dan 15 cucu (sebelumnya ditulis 16 cucu) itu tampak segar. Dia mengaku senang bisa berhaji dan menikmati perjalanan Jakarta-Jeddah.

Bagi media Saudi, berhaji di usia senja termasuk istimewa. Di luar faktor kemampuan finansial dan ‘panggilan’ dari Allah, ibadah haji membutuhkan fisik yang kuat. Jemaah harus berjalan kaki, mabit (menginap) di padang terbuka, dan lain-lain. Karena itu, mereka mem-blow up rencana dan kedatangan Baiq Mariah.

Saat ini, lebih dari 203 ribu haji Indonesia telah berada di Mekah. Mereka bersiap mengikuti prosesi wukuf di Arafah pada 9 Zulhijah atau Kamis, 31 Agustus 2017. Prosesi haji akan berlangsung hingga Senin, 4 September 2017.
(try/ams)

 

DETIK

Doa Ibu Mengembalikan Sinar Mata Anaknya

BUKHARI kecil saat diterpa musibah dengan hilangnya panca indera matanya, sang ibu sangat sedih.

Bukhari kecil tidak bisa melihat. Ia buta. Saking sedihnya, pagi sore siang malam sang ibu terus menangis dan berdoa kepada Allah agar sang buah hati dianugerahkan kembali penglihatannya.

Tangisan sang ibu dari relung hati untuk sang buah hati. Ada sebuah ucapan dari sebagaian ulama yang berbunyi, “Tidak ada satu pun yang bisa menolak takdir, dan doa seorang ibulah yang, insya Allah, bisa mengubah takdir satu ke yang lain,”

Menangis dan pengharapannya kepada Allah yang begitu besar. Sehingga ia ditemui oleh Khalilullah Nabi Ibrahim alaihissalam dan sang bapak nabi tersebut berkata menyampaikan kabar gembira, “Wahai hamba Allah, berhentilah bersedih karena Allah telah mengabulkan doamu dan mengembalikan sinar mata anakmu,”

Ia terbangun dan lari kekamar sang buah hati. Ia membangunkan dengan hati-hati dan…. ia terkejut, sang buah hati membuka matanya dan memandapati sosok ibunya di depan matanya. Keduanya menangis bahagia. Ibu mendekap sang buah hati dengan tangis haru sesenggukan.

 

MOZAIK

Matematika Allah Itu Lucu

Selain mendapatkan pahala yang melakukan, sedekah ternyata membawa timbal balik secara langsung bahkan cash ketika itu juga.

Begini ceritanya, suatu hari Nurbaiti Rohmah ingin membuat rujak nanas. Tapi tak jadi, lantaran satu-satunya buah nanas yang ada ia berikan kepada guru di TPA yang juga menghendakinya. Eh, tak lama berselang, datang Engkong Ribut tetangganya membawakan lima buah nanas buat Nurbaiti.

“Masya Allah, benar-benar dibayar cash sama Allah. Alhamdulillah!” katanya tentang ganjaran sedekah yang ia terima itu.

Kali lain, seorang tetangga memberinya sekantong rambutan merah. Hadiah itu tak diusiknya, karena sudah diniatkan untuk diberikan kepada kakaknya yang akan datang bersilaturahim.

Tidak lama kemudian, datang lagi seorang tetangga memberikan sekantong rambutan rapiah. Nurbaiti geli mensyukurinya. “Masya Allah, kemarin saya ingin mencicipi rambutan rapiah. Sekarang kesampaian,” katanya.

Belum lama ini, Nurbaiti mengikhlaskan selembar Rp50 ribu yang tersisa di dompet untuk dipinjam tetangga. Ia malu dan agak takut melapor pada suami bahwa dompetnya sudah melompong. Maklum, subsidi untuk penyelanggaran TPA cukup banyak bulan ini. Nurbaiti pun diam-siam saja, sambil menentramkan hatinya yang agak khawatir besok tak bisa belanja.

Malamnya, tiba-tiba suaminya menyodorkan tiga lembar uang Rp100ribuan kepadanya, “Nih barusan ada yang bayar utang Rp500 ribu. Yang dua ratus ribu aku pegang, ya,” kata suami. Nurbaiti girang bukan kepalang dan saat itu baru mengungkapkan bahwa uang belanjanya sudah habis.

“Mas, boleh ya, saya cari uang sendiri untuk disedekahkan ke pesantren. Saya mau minta doa santri-santri penghafal Al-Quran agar penyakit saya lekas sembuh,” kata Nurbaiti. Ia memang sedang mengikuti terapi alternatif untuk menghilangkan kista di mulut rahimnya. Sedang dokter di rumah sakit menyarankannya operasi.

“Ya tidak harus mencari uang sendiri. Sebagian uang belanja kan bisa dibelokkan ke sana,” jawab sang suami.

Belum juga niat tertunaikan, beberapa hari terakhir ini Nurbaiti merasa penyakitnya luruh. Gumpalan darah kotor disertai sedikit darah segar keluar dari rahimnya. Ia pun bisa membungkuk ketika berwudhu. Tak terasa lagi perih dan benjolan yang mengganjal perut bagian bawah.

Allah Ta’ala berfirman: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki . Dan Allah maha luas (kurnia-Nya) lagi maha mengetahui” . (Al Baqarah (2) : 261)

Maha Besar Allah. (pm)

 

BERSAMA DAKWAH

Seumur Hidup Jarang Sholat, Meninggal dalam Keadaan Sholat di Tanah Suci

Ada seseorang yang berniat menunaikan ibadah umrah. Tiga hari berturut-turut mimpi mengajak tetangganya umrah. Uniknya, tetangga yang mau diajak itu tidak pernah mendirikan sholat lima waktu.

Mimpi yang lumayan aneh itu, fulan pun konsultasi kepada seorang kiai. “Yai, saya ini mau umrah. Tapi tiap malam saya bermimpi disuruh mengajak tetangga saya. Padahal saya tahu tetangga saya itu tidak pernah sholat.”

“Nah, gini saja. Nanti malam sholat Istikharah. Kemudian, lihat, nanti malam Allah kasih mimpi apa.”

Ternyata mimpinya tidak jauh berbeda; diminta ngajak umrah tetangga yang jarang sholat itu. Fulan pun konsultasi kepada sang kiai. “Ya udah. Ajak umrah,” ucap Kiai.

Fulan pun mengunjungi rumah tetangganya itu.

“Pak, kita umrah yuk!”

“Dik, boro-boro saya umrah. Sholat aja nggak. Nggak tahu sholat. Nggak pernah diajarin orangtua saya. Dan salahnya saya juga tidak mau belajar,” kata tetangga yang sepuh itu.

“Ya udah, Pak. Saya yang ngajarin bapak sholat,” kata fulan itu.

Dengan izin Allah, mereka pun berangkat ke Tanah Suci. Menjelang pulang, karena merasakan bersyukur sekali, tetangga meminta izin untuk sholat sekali lagi. Dan itulah sholat terakhir dia, meninggal di sana, di Tanah Suci. Selama di Tanah Suci ia tobat luar biasa, mohon ampun kepada Allah SWT.

Seumur-umur jarang menunaikan sholat, meninggal dalam keadaan sholat. Fulan pun bertanya kepada kiai, “Mengapa bisa begini?”

Ternyata ketiadaan ilmu dan kurangnya menimba ilmu, ada kebaikan yang lain yang dimiliki. Tetangga itu senang sedekah, senang menolong orang lain. Dan orang-orang yang ditolongnya itu ada yang sholat malam dan meminta kepada Allah agar tetangga tersebut meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Maka, kita perlu husnudzon kepada orang yang belum atau tidak mau mendirikan sholat seraya mendoakan semoga mendapatkan kebaikan.

Kematian bisa datang kapan pun. Bisa dalam keadaan meninggalkan sholat, atau dalam keadaan sholat. Allah punya kuasa atas segala hal. Dan melakukan pembiasaan baik adalah pilihan baik. Sebab, malaikat tak pernah bisa diajak kompromi ketika mencabut nyawa kita. Semoga kita husnul khatimah.

 

[Paramuda/BersamaDakwah]

Filosofi Lebah Bagi Pribadi Mukmin

Pelajaran bisa didapat dari mana saja. Hikmah Allah begitu terhampar luas dan menunggu kita untuk bisa merenunginya. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sekeliling kita. Salah satunya dari binatang penghasil madu, lebah. Lebah adalah gambaran dari seorang muslim.

Dari Abdullah bin Amru radhiallahu’anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ ‏ ‏مُحَمَّدٍ ‏ ‏بِيَدِهِ إِنَّ مَثَلَ الْمُؤْمِنِ ‏ ‏لَكَمَثَلِ النَّحْلَةِ أَكَلَتْ طَيِّبًا وَوَضَعَتْ طَيِّبًا وَوَقَعَتْ فَلَمْ تَكْسِر ولم تُفْسِد

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sesungguhnya perumpamaan mukmin itu bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Ia hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak.” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir).

Muslim seperti lebah yang hanya hinggap di benda yang wangi, memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Muslim tidak akan rela membiarkan dirinya terjerumus kepada hal-hal yang kotor (dosa) dan tidak akan pernah berani memakan yang haram. Sehingga out put dari penjagaan diri itu, terbentuklah takwa dan keimanan yang kokoh.

Muslim yang seperti lebah akan selalu menjaga kata-katanya dari ucapan yang kotor dan jorok, ghibah, namimah,dusta, dan ucapan yang mengandung kesia-siaan. Sehingga kalimat yang keluar dari lisannya selalu terasa manis, mengandung faidah dan menambah ketakwaan kepada Allah.

Lebah tidak pernah mematahkan ranting yang ia hinggapi, karena lebah hewan yang lembut. Pun muslim dengan kepribadian lebah. Dia tidak akan melakukan perbuatan yang bersikap destruktif dan merugikan. Baik merugikan diri sendiri, kelompok/ jamaah, keluarga, tetangga dan masyarakat. Ia akan menjaga tingkah polahnya. Selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk Allah dan sesama.

Layaknya lebah yang mengeluarkan madu yang bermanfaat, muslim akan selalu berusaha untuk memiliki kontribusi untuk ummat. Bahkan menjadi jalan dan pintu kebaikan dan inspirasi bagi yang lainnya.

Lebah selalu setia di dalam koloni yang dipimpin oleh ratu. Begitu pun dengan muslim. Ia akan setia dengan jamaah yang menetapi firqotun najiyah. Dia akan loyal terhadap sesama muslim.

Lebah sangat waspada dan tak segan untuk menyerang musuh ketika sarangnya diganggu. Pun dengan muslim, dia akan marah, dan ghirohnya menggelegak hebat ketika sesama muslim diganggu dan dihina. Ia akan terpanggil ketika jamaah muslim didzalimi. Karena hatinya telah peka oleh empati yang terikat iman yang kokoh.

Lebah tidak pernah merasa malas. Lebah binatang yang ulet, pekerja keras dan pantang menyerah. Bahkan ia tidak mau makan dari kerja orang lain. Maka sudah selayaknya muslim juga memilki sikap yang sama.

Berkaitan dengan karakter lebah dan muslim, Al Munawi rahimahullah berkata:

“Sisi kesamaannya adalah bahwa lebah itu cerdas, ia jarang menyakiti, rendah (tawadlu), bermanfaat, selalu merasa cukup (qona’ah), bekerja di waktu siang, menjauhi kotoran, makananya halal nan baik, ia tak mau makan dari hasil kerja keras orang lain, amat taat kepada pemimpinnya, dan lebah itu berhenti bekerja bila ada gelap, mendung, angin, asap, air dan api. Demikian pula mukmin amalnya terkena penyakit bila terkena gelapnya kelalaian, mendungnya keraguan, angin fitnah, asap haram, dan api hawa nafsu” (Faidlul Qadiir, 5/115).

Maka, hendaknya kita mencontoh lebah dalam mengkonsumsi yang baik (halal) menghasilkan yang baik (amal sholih), kesetiaan terhadap pimpinan, keuletan dan kerja keras, loyalitas, kerjasama, dan tanggung jawab personal dan jamaah.

Jangan sampai kita menjadi seperti lalat. Suka hinggap di yang kotor-kotor, menghasilkan yang kotor (belatung) dan membawa keburukan terhadap pihak lain (penyakit). Naudzubillah.

 

[BersamaDakwah]

Belajar dari Umar Menegur Orang tak Berjemaah

SELAMA beberapa hari terakhir, laki-laki ini tidak ditemukan oleh sayyidina Umar bin Khaththab dalam barisan jemaah salat Subuh. Sang Khalifah pun berniat mengunjungi rumahnya, siapa tahu laki-laki itu sedang menderita sakit atau berhalangan syari.

Pagi harinya, ketika menuju rumah si laki-laki, Sayyidina Umar bin Khaththab melihatnya sedang berada di pasar. Sibuk dengan urusan perniagaannya. Pemimpin kaum Muslimin ini pun mengundang laki-laki tersebut, dengan nada agak keras.

Mendengar panggilan sang Khalifah kedua kaum Muslimin ini, laki-laki yang tak disebut namanya itu bergegas, mendatangi Sayyidina Umar bin Khaththab dengan ekspresi ketakutan, khas rakyat yang mendatangi panggilan rajanya. Pikirannya juga sibuk menebak, kesalahan apa yang telah dia lakukan hingga sosok berjuluk al-Faruq ini mengundangnya kala itu.

“Mengapa engkau bersegera mendatangi saat aku menyebut namamu, hai Fulan?” kata ayah Hafshah itu, sebelum si laki-laki menjawab. “Sementara itu, ketika Allah Taala memanggilmu untuk mendirikan salat berjemaah, engkau tidak datang! Padahal, aku hanyalah Umar yang tak bisa menolongmu di akhirat!”

Dialog ini bisa kita temukan di banyak riwayat tentang salah satu menantu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam itu. Banyak sekali pendapat beliau yang bersesuaian dengan firman Allah Taala dalam banyak kasus.

Dialog ini, sejatinya juga tamparan buat kita semua. Betapa kita ini terlalu sombong dalam menjalani hidup sebagai hamba Allah Taala. Dengan mudahnya, kita menduakan Allah Taala dengan selain-Nya, dengan atau tanpa disadari, dalam soalan yang besar atau kecil, secara langsung ataupun tidak.

Kita lebih bersegera saat mendapat panggilan pasangan hidup, atasan di tempat kerja, orangtua, atau pemimpin di daerah tempat kita menetap, baik tingkat kecamatan, kabupaten, kota, provinsi maupun negara.

Betapa kita sangat antusias dengan undangan Presiden, misalnya, padahal Allah Taala yang menciptakan Presiden senantiasa mengundang lima kali dalam sehari agar kita mendatangi masjid-Nya untuk beribadah kepada-Nya, lalu kita bersikap acuh dan sama sekali tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa?

Teguran cerdas ini, selain sebagai tamparan buat kita secara individu, sejatinya amat efektif pula jika dipraktikkan kepada anak-anak, adik-adik, pasangan hidup, atau orang-orang yang berada di bawah perwalian/kekuasaan kita.

Semoga dengan teguran ini banyak orang yang tergerak, kemudian bergegas mendatangi azan sebab menyadarinya sebagai sebuah panggilan yang sangat istimewa.

 

MOZAIK