Shalahuddin Al Ayyubi dan Penyebaran Akidah Al Asy’ariyah

SHALAHUDDIN AL AYYUBI disamping masyhur sebagai seorang mujahid besar pembebas Al Quds, Shalahuddin Al Ayyubi juga memiliki andil dalam hidupnya gerakan keilmuan di berbagai cabangnya di waktu itu, termasuk ilmu aqidah.

Shalahuddin Al Ayyubi memiliki perhatian besar terhadap masalah aqidah, dimana Qadhi Ibnu Syaddad menyampaikan,”Ia memiliki akidah yang lurus, banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Akidahnya diperoleh dalil- dalil, dengan perantara melalui pembahasan bersama para ahlul ilmi dan para ulama besar.” (An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Shalahuddin Al Ayyubi sendiri dalam akidah menganut akidah Al Asy’ari, dimana Ash Shafdi berkata,”Ia (Shalahuddin Al Ayyubi) bermadzhab Asy Syafi’i. Al Asy’ari dalam aqidah, dan  mentalqinkan akidah Al Asy’ari kepada anak-anaknya dan melazimkan mereka belajar di atas akidah tersebut.” (Al Wafi bi Al Wafayat, 29/48)

Para ulama pun mengetahui bahwa Shalahuddin sebagai penguasa amat memperhatikan masalah akidah, hingga mereka pun memberikan dukungan akan hal itu. Quthbuddin An Naisaburi, seorang ulama faqih madzhab Asy Syafi’i telah menyusun kitab aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi, dan karena antusiasnya, Shalahuddin Al Ayyubi pun hafal dengan baik kitab tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anaknya. Dalam hal ini Ibnu Syaddad berkata,”Aku menyaksikan Shalahuddin mengajarkannya kepada anak-anaknya, sedangkan mereka menyampaikan dengan hafalan kepadanya.”( An Nawadir As Sulthaniyah, hal. 34)

Bukan hanya Quthbuddin An Naisaburi, seorang faqih yang menjadi rujukan di Mesir, Muhammad Hibatullah bin Makki Al Hamawi telah menyusun nadzam aqidah untuk Shalahuddin Al Ayyubi yang bernama Hadaiq Al Fushul wa Jawahir Al Ushul. (Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 7/23)

Termasuk dalam rangka membentengi akidah Shalahuddin amat menjaga akidah para penuntut ilmu, dimana ia mensyaratkan gurunya berakidah Al Asya’riyah. Al Allamah Abdul Qadir Badran berkata,”Shalahuddin mengajak masyarakat kepada akidah Syeikh Abu Hasan Ali bin Isma`il Al Asy’ari, dan mansyaratkan siapa yang mengelola wakaf di Mesir harus berakidah Al Asy’ari, termasuk madrasah As Shalahiyah, Al Qamhiyah dan khaniqah Sa’id As Su’ada di Kairo. Dan keadaan itu terus berlangsung di Mesir, Hijaz dan Yaman”. (Manadimah Al Athlal wa Masamirah Al Khayal, hal. 75)

Menghapus Akidah Syi’ah dengan Al Asy`ari

Dengan menyebarnya akidah Al Asy’ariyah, Shalahuddin Al Ayyubi berhasil mengikis habis akidah Syi’ah yang pernah berkuasa di Mesir dan Syam sebelumnya pada waktu itu. Al Jabrati berkata,”Dan An Nashir Yusuf menampakkan syariat Nabi Muhammad dan membersihakn wilayah Mesir dari bid’ah-bid’ah, ajaran Syi’ah, serta aqidah yang rusak dan menonjolkan akidah Ahlu As Sunnah wa Al Jama’ah, yaitu aqidah Al Asy’ariyah dan  Al Maturidiyah. (Al Aja`ib Al Atsar li Al Jabarti, 1/10)

Gerakan Panjang Kuatkan Aqidah

Bahkan Shalahuddin Al Ayyubi berupaya keras dalam menguatkan akidah umat pada waktu itu dengan beberapa kebijakannya, dalam hal ini Al Hafidz As Suyuthi, menyatakan,”Ketika Shalahuddin bin Ayyub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap malam hingga waktu kita saat ini”. (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal. 15)

Di masa Imam As Suyuthi, tradisi melantunkan akidah Al Asy’ariyah masih berlaku, padahal ulama besar ini wafat tahun 911 H. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh madzhab Al Asy’ari sangat kuat dipegang di wilayah yang pernah dikuasai oleh Shalahuddin Al Ayyubi pada waktu itu.

Daulah Al Ayyubiyah dan Aqidah Al Asy’ari

Bukan hanya Shalahuddin Al Ayyubi yang memiliki perhatian besar terhadap masalah akidah, penguasa-pengausa Daulah Al Ayyubiyah setelahnya pun memiliki sikap yang sama. Malik Al Adil yang merupakan saudara Shalauddin yang menjadi penguasa setelahnya pun memiliki perhatian terhadap akidah, hal ini terlihat bagaimana hubungan dekatnya dengan Imam Fakhruddin Ar Razi yang merupakan ulama penganut Al Asy’ariyah, hingga Imam Fakhuruddin Ar Razi mencatat dalam muqadimah kitabnya Ta’sis At Taqdis, bahwasannya ia membuat kitab itu untuk hadiah bagi Malik Adil Al Ayyubi, yang ia sebut sebagai seorang pemimpin mujahid. (lihat, muqaddiman Asas At Taqdis, hal. 10 dan 11)

Demikian juga yang terlihat pada penguasa Damaskus Malik Al Asyraf, yang tidak lain merupakan putera dari Malik Al Adil, dimana ia mensyaratkan siapa yang mengajar di Dar Al Hadits Al Asyrafiyah haruslah bermadzhab Al Asy’ari. Sebagaimana disebutkan oleh Taj As Subki bahwasannya Al Hafidz Al Mizzi, yang merupakan mertua dari Al Hafidz Ibnu Katsir tidak menduduki kursi Dar Al Hadits kecuali telah menulis pernyataan bahwa akidahnya Al Asy’ari. (lihat, Thabaqat Asy Syafi’iyyah Al Kubra, 10/200)

Pengajar Dar Al Hadits Al Asyrafiyah sendiri  adalah para ulama besar yang juga menghasilkan para ulama besar di bidang hadits. Diantara para ulama yang mengajar di sekolah ini adalah, Al Hafidz Ibnu Shalah, Al Hafidz Abu Syamah, Imam An Nawawi, Al Hafidz Al Mizzi, Al Hafidz Taqiyuddin As Subki, Al Hafidz Ibnu Katsir dan lainnya. (Lihat, Ad Daris fi Tarikh Al Madaris, 1/15-36)

Dengan kondisi demikian, maka posisi madzhab Al Asy’ari amatlah kuat di wilayah-wilayah Al Ayyubiyyah. Dengan demikian, terlihatlah peran Shalahuddin Al Ayyubi beserta para penguasa setelahnya di dinasti Al Ayyubiyah  dalam penyebaran akidah Al Asyariyah di dunia Islam. Namun tentu saja Shalahuddin Al Ayyubi tidak melakukan sendiri, namun hal itu merupakan gerakan kolektif bersama para ulama di waktu itu.

 

HIDAYATULLAH

Amalan Sedikit tapi Rutin Itu Lebih Baik

“AMALAN yang paling dicintai Allah Taala adalah amalanyang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR.Muslim)

“Sesungguhnya sebaik-baik amal adalah yang paling kontinu meski ia sedikit.” ( HR.Ibnu Majah)

Imam Nawawi menasihatkan,

“Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan. Itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sekali saja dilakukan. Ingatlah, bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, zikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Allah. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang banyak namun sesekali dilakukan.”

Amalan yang kontinu itu, meski ia sedikit, tapi kita akan terus mendapatkan pahalanya. Sampai pun ketika kita berhalangan melakukannya karena ada uzur, maka kita tetap akan dihitung memperoleh pahalanya.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar (bepergian), maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalanrutin yang dia lakukan ketika mukim (atau tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” (HR.Bukhari)

Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja, meski jumlahnya banyak, maka pahalanya akan terhenti pada waktu kita beramal.

“Sesungguhnya bangunan di surga dibangun oleh para malaikat disebabkan amalan zikir yang terus dilakukan. Apabila seorang hamba mengalami rasa jenuh untuk berzikir, maka malaikat pun akan berhenti dari pekerjaannya tadi. Lantas malaikat pun mengatakan, “Apa yang terjadi padamu, wahai fulan?”

Sebab malaikat bisa menghentikan pekerjaan mereka karena orang yang berzikir tadi mengalami kefuturan (kemalasan) dalam beramal.” (Imam Hasan Al-Bashri)[Chairunnisa Dhiee]

 

INILAH MOZAIK

Jangan Menyerupai Sikap Ingkar Yahudi

‘IKRIMAH berkata, pada suatu hari aku mendatangi Ibnu Abbas yang sedang menangis, sedangkan mushaf berada dalam genggaman tangannya. Untuk menghormatinya aku merendahkan badanku dan terus seperti itu hingga aku mendekatinya, lalu duduk sambil berkata, “Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Abbas, semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu.“

Dia menjawab, “Lihatlah lembaran-lembaran ini, seluruhnya ada dalam surat Al-A’raf.“ Lalu dia melanjutkan, “Tahukah kamu?” Saya menjawab, “Ya, saya tahu.“

Dia berkata, “Di sana terdapat kawasan orang Yahudi yang ikan datang kepada mereka pada hari Sabtu dalam keadaan terapung, kemudian setan menggoda mereka dan berkata, “Sesungguhnya kalian dilarang untuk memakannya pada hari Sabtu, maka ambillah pada hari itu dan makanlah di luar hari tersebut.“

Sebagian kelompok di antara mereka menyetujuinya dan sebagian yang lain berkata (yang menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran), “Tetapi kalian dilarang untuk memakan, mengambil, dan berburu pada hari Sabtu.“

Mereka tetap seperti itu hingga datang Jumat berikutnya, lalu sebagian kelompok pergi dengan anak dan isteri mereka. Ada pun kelompok yang beraliran kanan (para dai) memisahkan diri, dan kelompok kiri pun memisahkan diri pula dan diam.

Kelompok kanan berkata, “Sungguh celaka kalian. Allah melarang kalian menantang siksa-Nya.“ Sedangkan kelompok kiri berkata, “Mengapa kalian menasehati sebuah kaum yang Allah akan membinasakan mereka dan mengazabnya dengan azab yang pedih?”

Kelompok kanan berkata, “Mohon ampunlah kepada Tuhan kalian agar kalian bertakwa.“ Namun mereka tetap dengan kesalahan yang mereka lakukan. Ketika pagi hari pintu rumah mereka diketuk, lantas orang-orang naik ke atas benteng kota, mereka pun berseru, “Wahai hamba Allah, ada seekor kera, sungguh ia meraung dan memiliki ekor.”

Lalu Ibnu Abbas membaca ayat, “Ketika mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim azab yang pedih disebabkan mereka selalu berbuat fasik.“ (Al-Araf: 165)

Dia berkata, “Orang yang melarang dari perbuatan jahat telah selamat, namun sekarang kita banyak melihat perkara-perkara yang kian diingkari, namun kita tidak mengatakan sepatah kata pun.”*/Sudirman STAIL (Sumber buku: Investasi Akhirat, penulis: Dr. Khalid Abu Syadi)

 

HIDAYATULLAH

Salat Berjemaah Bebaskan Neraka dan Sifat Munafik

ADA yang bertanya seputar hadis yang intinya bahwa seorang yang secara rutin 40 hari terus menerus salatnya berjemaah, akan bebas dari sifat munafik?

Dinyatakan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullahshallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Siapa yang salat jemaah selama 40 hari dengan mendapatkan takbiratul ihram, maka dia dijamin bebas dari dua hal, terbebas dari neraka dan terbebas dari kemunafikan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad 12583, Turmudzi 241, dan yang lainnya. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahannya. Sebagian menghasankan dan sebagian menilainya dhaif. Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Hadis ini dinilai dhaif oleh beberapa ulama masa silam dan mereka beralasan statusnya mursal. Dan dihasankan oleh sebagian ulama mutaakhirin. Simak Talkhis al-Habir, 2/27. (Fatawa Islam, no. 34605).

Kemudian, terdapat dalam riwayat lain dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Apabila kalian melihat ada orang yang terbiasa pulang pergi ke masjid, saksikanlah bahwa dia orang mukmin. Allah berfirman,

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah.” (at-Taubah: 18). (HR. Ahmad 11725, Turmudzi 2617, Ibn Majah 802 dan dinilai dhaif oleh al-Albani).

Hadis yang berbicara masalah ini, statusnya memang bermasalah. Hanya saja, tingkatan dhaifnya ringan. Dan sebagian ulama membolehkan berdalil dengan hadis dhaif dalam masalah fadilah amal, yang di sana tidak ada unsur hukum.

Dalam Fatawa Islam dinyatakan,

Tidak diragukan bahwa semangat untuk mendapatkan takbiratul ihram, selama rentang masa ini merupakan tanda betapa dia adalah orang yang kuat agama. Selama hadis tersebut ada kemungkinan sahih, maka diharapkan bagi orang yang semangat mengamalkannya, dia akan dicatat mendapatkan keutamaan yang besar itu. Minimal yang diperoleh seseorang dengan melakukan hal itu, dia bisa mendidik dirinya untuk menjaga syiar Islam yang besar ini. (Fatawa Islam, no. 34605). []

Aku Tak Senang Jika Rumahku di Samping Masjid

BERJALAN pulang dari masjid akan dicatat sebagaimana perginya, hal ini berdasarkan hadits berikut:

“Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui seorang pun yang jauh rumahnya dari masjid selain dia. Namun dia tidak pernah luput dari shalat. Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya, “Bagaimana kalau engkau membeli keledai untuk dikendarai ketika gelap dan ketika tanah dalam keadaan panas.” Orang tadi lantas menjawab, “Aku tidaklah senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah telah mencatat bagimu seluruhnya.” (HR. Muslim, no. 663)

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5:149) mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa langkah kaki ketika pulang dari shalat akan diberi ganjaran sebagaimana perginya.” Masya Allah, inilah keutamaan pergi dan pulang dari menunaikan shalat di masjid . Akankah kita masih melewatkannya?

Orang yang tahu di tempat lain kalau berdagang di tempat lain akan mendapat keuntungan berlipat-lipat daripada berdagang di rumah, tentu akan melangkahkan kakinya ke tempat jauh sekalipun. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat merutinkan shalat jamaah di masjid, khususnya kami maksudkan pada kaum pria. [Muhammad Abduh Tuasikal]

Batasan Seorang Ayah Melihat Aurat Putrinya

SYAIKH Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah, ditanya, “Aku pernah masuk kamar mandi bersama anak perempuanku yang berusia beliau 5 dan 7 tahun. Aku melakukannya dalam rangka untuk membantu mereka membersihkan rambut mereka. Apakah berdosa jika aku melihat aurat mereka?”

Jawaban beliau rahimahullah, “Seperti itu tidaklah mengapa. Selama anak tersebut di bawah tujuh tahun, maka tidak ada aurat yang terlarang dilihat baginya, baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan. Tidak mengapa memandikan atau membantu mereka ketika mandi. Semuanya tidaklah mengapa.

Adapun jika anak tersebut sudah di atas tujuh tahun, maka jangan lakukan. Tutuplah aurat mereka dan jangan aurat mereka disentuh kecuali bila ada hajat. Kalau ada hajat, maka tidak mengapa jika ibu atau pembantunya memandikan mereka ketika anak tersebut belum bisa mandiri untuk mandi.

[Sumber fatwa: ibnbaz.org.sa]

INILAH MOZAIK

Jangan Lelahkan Hidupmu untuk Dunia

MANUSIA satu sisi adalah makhluk yang sempurna karena kemampuannya berpikir yang digunakan untuk istiqomah di jalan yang lurus.

Namun, satu sisi, manusia adalah makhluk yang paling susah bahagia, karena besarnya angan-angan dunia, yang membuat hidupnya sibuk hingga lupa menjalankan tugas-tugas penting sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah.

Tidak sedikit orang yang karena pekerjaannya, mendapatkan income besar setiap bulannya, tapi sholat menjadi tidak sempat, mendidik anak apalagi.

Ada banyak orang yang bisa wisata ke berbagai penjuru bumi, namun menyantuni anak yatim tidak pernah, peduli terhadap Muslim yang teraniaya apalagi.

Dan, dibalik itu semua, ternyata mereka adalah orang yang hidup dalam ketidaktenangan, ketidakbahagiaan, dan karena itu, semakin hari hidup mereka dikendalikan oleh obsesi demi obsesi tentang materi.

Dr. Muslih Muhammad dalam bukunya Emotional Intelligence of Al-Qur’an mengisahkan kehidupan keluarga di Kairo Mesir.

Dia adalah seorang pria berusia 35 tahun dengan dua anak yang masih kecil. Ia dan istrinya sama-sama sebagai pegawai pemerintah. Keduanya memulai rumah tangga dengan keuangan yang pas-pasan.

Meski demikian, kehidupan mereka terus berjalan dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan mereka hanya ditopang oleh pengaturan belanja dari penghasilan tetap dari pekerjaan mereka berdua. Namun kemudian ada hasrat mendesak untuk memiliki berbagai perkakas rumah tangga modern dan kasur yang lebih baik.

Akhirnya, keduanya tergelinir pada hutan untuk keperluan berbagai barang yang harus mereka beli, hingga mereka berdua mengalami kehidupan yang sangat sempit.

Karena keduanya masih menjaga imannya, korupsi bukan jadi pilihannya. Mereka memilih bekerja paruh waktu. Alhasil terpenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, termasuk untuk mencicil hutang.

Akan tetapi, betapa banyak kebahagiaan yang terenggut dari kehidupan rumah tangganya. Mereka berdua terjebak rutinitas yang luar biasa sibuk untuk mendapatkan gaji pokok dan gaji tambahan.

Hidupnya menjadi sibuk hanya untuk mewujudkan kesuksesan dan keuntungan bagi pemilik perusahaan, serta untuk membenahi berbagai problematika sosialnya yang tidak ada habisnya. Semua itu banyak menita waktu istirahat pekanannya. Ia juga merasa asing terhadap kedua anaknya, karena ia selalu pulang malam. Ketika itu mereka berdua langsung tertidur lelap.

Bahkan, ia dan isterinya merasa seolah-olah terpisah dari masyarakatnya. Mereka tidak pernah mengunjungi seorang pun, yang akibatnya tak seorang pun mengunjungi mereka. Karena mereka berangkat Shubuh, pulang larut malam.

Mereka menghabiskan siang untuk bekerja keras, lalau malam menyantap makanan-makanan hambar di berbagai restoran, belum lagi dengan kesusahan dan kesedihan yang menipa mereka akibat tingkah laku pemilik perusahaan dan tipu dayanya.

Sampai muncul pertanyaan di dalam hatinya.

“Jika aku berhenti dari kerja sambilan ini, apakah aku akan mati kelaparan? Tidak akan!”

Karena belum pernah terjadi kami mengalami bahaya kelaparan, meski dalam kondisi kesulitan materi.

“Lalu apakah rumah kami akan kehilangan sesuatu yang dapat membuat kami tidak dapat melangsungkan kehidupan normal? Tidak akan!”

“Karena semua faktor kehidupan normal telah terpenuhi oleh penghasilan yang kami dapatkan. Meskipun sebagian perabot sudah kuno, tapi kami sudah terbiasa. Bahkan kami siap untuk memulai hidup lebih prihatin dari kehidupan normal yang telah kami jalani.”

Bukan Soal Gengsi

Jika demikian apa yang harus ditakutkan, dan untuk apa harus takut, tidak ada sama sekali yang perlu ditakutkan. Ya harus dilakukan adalah berhenti dari berlomba menumpuk kekayaan, mengutamakan penampilan dan gengsi-gengsi dalam kehidupan sosial.

Padahal sejatinya hidup bukanlah soal gengsi, tetapi kemanfaatan diri bagi agama, manusia dan kehidupan.

Anas bin Malik radhiyallahu anhu bercerita, pada suatu hari Rasulullah keluar dan memegang tangan Abu Dzar.

Beliau bersabda, “Wahai Abu Dzar, di hadapanmu ada jalan mendaki yang sukar. Tidak ada yang mampu mendakinya, selain orang-orang yang ringan.”

Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku termasuk orang yang ringan atau orang yang berat?”

Beliau menjawab dengan bertanya, “Apakah kamu punya makanan untuk hari ini?

Ia menjawab, “Ya.”

Beliau bertanya lagi, “Dan makanan untuk esok hari?”

Ia menjawab, “Ya.”

Beliau bertanya lagi, “Dan makanan untuk esok lusa?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Beliau bersabda, “Jika kamu punya makanan untuk tiga hari, maka kamu termasuk orang-orang yang berat.” (HR. Thabrani).

Kemudian lebih lanjut Dr Muslih Muhammad menulis, “Penulis yakin akan adanya berbagai masalah yang akan kita temukan. Semua orang berambisi mendapatkan limpahan materi. yang semua itu mengharuskannya untuk sibuk, yang mengakibatkan matinya hubungan sosial, shalat yang terputus, nilai-nilai yang menurun, hilangnya keamanan, serta kasih sayang dan cinta yang menguap dari kehidupan kita. Ditambah dengan berbagai racun yang melekat pada jiwa, yaitu; dengki, cemburu, tamak, pembangkangan, dan ambisi terhadap dunia dan tak menganggap akhirat.”

 

Pepatah Arab mengatakan, “Siapa yang berakal, niscaya ia akan ridha terhadap dunia yang hanya secukupnya. Ia tidak sibuk mengumpulkannya. Namun ia sibuk mengerjakan pekerjaan akhirat, karena akhirat adalah negeri yang pasti dan negeri kenikmatan. Sedangkan dunia adalah negeri yang fana (akan hancur). Dunia adalah penipu dan pembuat bencana.”

Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shalllallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Akan menimpa umatku racun umat-umat lain. Para sahabat bertanya, “Apa itu racun umat-umat lain?”

Rasulullah Shalllallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Bersenang-senang tanpa batas, sombong, memperbanyak harta, perlombaan di dunia, saling menjauh, saling mendengki, hingga terjadi pembangkangan, kemudian kekacauan.” (HR. Thabrani).

Lantas apa yang mesti kita jalani agar hidup tak terhimpit dunia, dan itu adalah kunci kebahagiaan hidup dunia-akhirat?

فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيْكُمْ وَلَوْ شَاء اللَّهُ لَأَنزَلَ مَلَائِكَةً مَّا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Sungguh berbahagialah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mukminun (23):24). Inilah jalan kebahagian hakiki yang semestinya kita jalani, agar hidup tak “disiksa” dunia. Wallahu a’lam.*

 

HIDAYATULLAH

Heran! Kenapa Pria Memilih Salat di Rumah Padahal

KENAPA sebagian orang khususnya kaum pria- lebih memilih shalat di rumah? Kami begitu heran! Kita semua sudah tahu bahwa shalat di masjid lebih utama 27 derajat daripada di rumah. Namun, kenapa masih ada sebagian orang yang tidak mau mengambil keutamaan yang besar ini? Jalan pergi dan pulangnya saja akan mendapatkan ganjaran pahala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah.” (HR. Muslim, no. 1009)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Arbain An-Nawawiyah mengatakan, “Setiap langkah kaki menuju shalat adalah sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat”.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Setiap langkah menuju tempat shalat akan dicatat sebagai kebaikan dan akan menghapus kejelekan.” (HR. Ahmad, 2:283. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

 

INILAH MOZAIK

Jadilah Penulis Seperti Imam Bukhari

Imam Bukhari menulis Kitab Shahih dan mampu mengumpulkan hadits berjumlah 600 ribu dan dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data

 

 

DALAM sebuah kontemplasi ringan, penulis pernah berpikir: mengapa karya tulis  ulama zaman dahulu bisa sedemikian awet eksistensi dan manfaatnya hingga di era digital seperti ini?

Meminjam istilah dunia perbukuan zaman sekarang, karya para ulama boleh dibilang bestseller berabad-abad dan lintas generasi.

Padahal, mereka rata-rata menulis secara manual (tidak secanggih sekarang yang banyak mesin percetakan). Menariknya, dengan alat ala kadarnya, tidak menghalangi mereka untuk produktif dalam mengeluarkan karya tulis.

Sebagai contoh, siapa yang tidak kenal ulama besar sekelas Ibnu Jarir At-Thabari?
Dalam catatan sejarah, karangannya berjumlah 358 ribu lembar. Bila dikalkulasikan,  dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar (Abdu al-Fattah, Qīmatu al-Zaman `Inda al-`Ulamā, 43).

Belum lagi, ulama sekaliber Imam Ibnu Jauzi yang meninggalkan karya sebanyak lima ratus buku; dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.

Setelah membaca biografi Imam Bukhari dan beberapa ulama lain, lama-lama rasa penasaran penulis mulai terpecahkan. Kebanyakan umat Islam tentu tidak asing dengan figur seperti Imam Bukhari yang dikenal melalui Kitab Shahih-nya. Sebuah kitab hadits monumental yang disepakati oleh para ulama sebagai kitab hadits
paling sahih sedunia.

Banyak yang mengenal magnum opusnya ini, namun, tahukah mereka bagaimana proses  penulisan ulama hadits yang levelnya disebut Amîr al-Mu`minîn fî al-Hadîts ini?

Imam Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhir wa al-A’lâm (1413:
I/74) mencatat dengan baik proses penulisan hadits Imam Bukhari. Kitab yang berjudul lengkap al-Jâmi’ al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar min Umûri Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wasallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi ini ditulis berawal dari mimpi bertemu nabi.

Pada waktu itu, Bukhari seakan sedang membawa kipas untuk melindungi nabi dari segenap gangguan agar nabi bisa tidur nyenyak.

 

Ketika ditanyakan kepada ulama mengenai takwil mimpinya, maknanya: Bukhari menjadi pembela Rasulullah. Karenanya, dirinya perlu menorehkan karya tulis untuk menjaga hadits-hadits nabi dari riwayat-riwayat dusta.

Dari sini, yang bisa dipelajari dari Bukhari adalah motif luhur sebelum menulis dan tau benar kualitas konten yang akan ditulis. Beliau menulis bukan sekadar menulis, tetapi memiliki niat agung berupa membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah catatan berharga bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis.

Selanjutnya, masih menurut Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâm al-Nubalâ (1405: XII/402), dikisahkan bahwa Imam Bukhari menulis kitab Shahih-nya, diseleksi secara ketat dari hadits sahih yang berjumlah sekitar enam ratus ribu. Sungguh fantastis.

Dari jumlah 600 ribu itu dikerucutkan menjadi sekitar 7563 hadits. Bisa dibayangkan betapa beliau memiliki memori yang kuat dan kaya data. Kalau dibahasakan dalam istilah sekarang barangkali: menulis dengan proses edit yang ketat dan diperkaya dengan data.

Lebih dari itu, ada yang cukup mencengangkan dari Imam Bukhari sebelum memulai menulis kitab. Suatu saat Al-Firabry pernah diberitahu Imam Bukhari tentang proses menulis kitab monumentalnya, bahwa setiap kali akan menulis satu hadits, beliau
mandi dan melakukan shalat sunnah (istikharah) dua rakaat (Imam Adz-Dzahabi, 1405: XII/402).

Anda bisa membayangkan berapa banyak dan berapa lama beliau merampungkan kitab ini kalau hadits yang di dalamnya sekitar 7563.

Dari sini para pembaca bisa belajar bahwa yang namanya menulis itu bukan sekadar tulisan, tapi dilatari oleh spirit ibadah dam ada ruhnya. Dalam menulis, Imam Bukhari selalu melibatkan Allah Subhanahu Wata’ala, tidak melulu mengandalkan kecerdasan semata.

Dalam sejarah, bukan hanya Bukhari yang mengamalkan ini. Misalkan: Imam An-Nawawi, sebelum menulis karya monumental Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau melakukan shalat istikharah terlebih dahulu.

Demikian juga Ibnu Hazm Al-Andalusiy, shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis kitabnya yang berjudul al-Muhalla bi al-Âtsâr. Bahkan Imam Adz-Dzahabi, tak lupa shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menulis syarah dari kitab Ihyâ ‘Ulum al-Dîn karya Bukhari (Muhammad Abu Ayyas, 2008: 73-77)

Kemudian, yang menjadi pertanyaan: apa Imam Bukhari mengerjakan karya besar ini tanpa jasa guru? Imam Ibnu Al-Jauzi dalam kitab al-Muntadham fî Târikh al-Mulûk wa al-Umam (1412: XII/115) menjelaskan bahwa ulama ahli hadits asal Bukhara ini
menulis hadits berasal dari seribu syekh atau guru.

Bayangkan untuk menulis hadits gurunya berjumlah seribu. Pelajaran yang bisa dipetik di sini, menulis itu butuh bimbingan guru.

Selanjutnya, yang tidak kalah menarik, Kitab Shahih ini ditulis dalam jangka waktu enam belas tahun. Imam Bukhari pun menjadikan kitab ini sebagai hujjah (bukti) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wata’ala (Abu Muhammad Al-Yâfi’i, Mirâh al-Jinân wa ‘Ibrah al-Yaqdhân, II/125). Artinya, untuk mendapatkan karya tulis
terbaik, bukan yang penting asal jadi, tapi benar-benar melalui keseriusan, kesabaran, dan kualitas. Dalam kehidupan sehari-hari saja, kalau kita mau panen jagung, mungkin butuh waktu dua hingga tiga bulan. Tapi, kalau mau panen pohon jati, bisa berpuluh tahun. Harganya pun jelas lebih mahal jati.

Akhirnya, dari Imam Bukhari para pembaca bisa belajar bahwa jika ingin menorehkan karya tulis agung, paling tidak ada lima poin yang perlu diperhatikan:

Pertama, memiliki niat dan motif luhur dalam menulis serta mengerti dengan baik kualitas konten yang akan ditulis.

Kedua, selektif dan kaya data. Ketiga, menanamkan kesadaran internal bahwa menulis adalah ibadah, karena itu akan dipertanggung jawabkan, dan diawasi Allah Subhanahu
Wata’ala. Bukan sekedar karya untuk gagah-gagahan.

Keempat, bimbingan seorang guru (khususnya yang ibadah dan akhlaqnya mulia).

Kelima, karya berkualitas bukan asal jadi, tapi butuh kesabaran, ketelatenan dan waktu yang tidak sebentar.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita menjadi penulis atau wartawan dengan bimbingan wahyu dan niat karena Allah ta’ala atau hanya sekedar gagah-gagahan agar dipuji publik?

Mungkin inilah bedanya karya kita dengan karya para ulama. Rata-rata karya masyarakat umum hanya bertahan dan dikenang satu-dua tahun. Sementara karya para ulama itu tak lekang oleh waktu, bahkan dikaji jutaan orang selama berabad-abad.
Sementara dari kitabnya, mampu melahirkan ulama-ulama dan cendekiawan yang berakhlaq. Wallahua’lam. */Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULLAH

Urgensi Takwa

Dalam kitabnya, Kifayat al-Atqiya’ Wa Minhaj al-Ashfiya karya Sayid Bakari al-Makki bin Sayid Muhammad Syatho ad-Dimyathi menyatakan hal terpenting yang mesti dipahami sebelum memasuki ranah pengertian ‘trilogi piramida’ tasawuf adalah memperjelas arti takwa. Tampaknya, baik sang penulis syair sendiri, Sayid Zainuddin, ataupun pensyarah Sayid Bakari sepakat akan hal itu.

Alhasil, bahasan pertama kali yang diuraikan penulis dalam kitab ini ialah bab tentang takwa. Sebelumnya, Sayid Bakari membahas makna basmalah, hamdalah, dan shalawat di mukadimah syair.

Sayid Bakari menjelaskan, bagi  para salik yang hendak meniti tangga menuju akhirat maka takwa adalah titian pertama dan paling mendasar. Uraian ini dipergunakan untuk memperjelas syair yang berbunyi:

“Taqwa al ilahi madaru kulli saadatin tiba’u ahwa ra’su syarrin habaila.” (Takwa kepada Allah pusat segala kebahagiaan dan mengikuti hawa nafsu pangkal keburukan).

Takwa merupakan dasar terpenting yang mengumpulkan semua kebaikan baik dunia ataupun akhirat. Tak pelak, sejumlah kalangan pun lantas mencoba memberikan definisi yang komprehensif tentang pengertian takwa.

Namun, kata takwa sendiri secara umum sering diartikan sebagai bentuk ketaatan atas perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya secara lahir dan batin. Sikap tersebut mesti disertai pula rasa pengagungan, tunduk, dan takut terhadap Allah.

Terdapat pula pengertian takwa yang menurut sejumlah kalangan cukup disederhanakan dengan definisi menghindari apa pun selain ridha Allah. Ada juga yang memahami takwa dengan menjauhi tiap tindakan dosa yang dilarang agama.

Mengutip perkataan an-Nashr Abadzi, Sayid Bakari menjelaskan, siapa pun yang membumikan sikap takwa maka kecenderungan yang ada di hadapannya tak lain hanyalah keinginan menjauhi dunia yang fana. Hal ini disebabkan oleh keyakinan yang amat mendalam akan janji Allah.

Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memahaminya? (QS al-An’am [6]: 32). Wasiat senantasia bertakwa tak terbatas pada umat Islam saja, tetapi juga pernah ditujukan kepada para umat terdahulu.

Sayid Bakari mengemukakan, takwa menuntut seseorang untuk menjauhi hawa nafsu yang kerap dipenuhi oleh tipu daya setan. Akibatnya, kepatuhan terhadap nafsu berakibat pada kebinasaan. Bahkan, Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sya’b al-Iman, pernah mengingatkan umatnya agar tidak teperdaya oleh nafsu setan.

 

REPUBLIKA