Tiga Masjid Bersejarah di Tanah Papua

Beberapa pandangan berbeda menjelaskan bagaimana pertama kali Islam masuk dan menyebar di tanah Papua. Syiar Islam di negeri Mutiara Hitam mulanya tersebar di wilayah Papua Barat. Masyarakat di sana meyakini, Islam lebih dahulu tersebar dibandingkan agama lain.

Namun, silang pendapat masih terjadi terkait masalah ini antara raja-raja di Raja Ampat-Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari. Bukti penyebaran Islam di tanah Papua adalah berdirinya masjid bersejarah. Terdapat tiga masjid bersejarah di sana, di antaranya, disebutkan berikut ini.

Masjid Tua Patimburak
Saksi bisu penyebaran Islam di Kokas, Fakfak, Papua Barat, adalah masjid tua di Kampung Patimburak. Tepatnya, masjid yang masih berfungsi hingga saat ini dibangun oleh seorang alim bernama Abuhari Kilian pada 1870.

Menurut catatan sejarah, masjid dengan konsep sebuah gereja ini merupakan masjid tertua di Fakfak. Selama keberadaannya, masjid ini pernah beberapa kali direnovasi. Namun, bentuk aslinya tetap dipertahankan, seperti empat pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid dan lubang bekas peluru tentara Jepang.

Masjid Hidayatullah Saonek
Masjid ini terletak di Jl Hi Rafana, memiliki luas tanah 12.588 meter persegi. Luas bangunan mencapai 1.512 meter persegi. Masjid ini dapat menampung 200 jamaah.

Ciri khas masjid ini adalah terdapat empat tiang kuning penyangga di dalam masjid. Masjid ini memiliki satu kubah besar yang didominasi warna putih dan kubah kecil yang berada di sekitarnya berwarna hijau.

Masjid ini dibangun pada 1505. Ketika itu, Islam disebarkan oleh imam besar Habib Rafana yang kini diabadikan sebagai nama jalan menuju masjid tersebut. Makamnya terletak di atas bukit Pulau Saonek, Raja Ampat. Dia dikuburkan bersama istri-istrinya dan kucing peliharaan kesayangannya.

Masjid Abubakar Sidik
Masjid ini berdiri pada 1524. Memiliki luas tanah 900 meter persegi dan luas bangunan 400 meter persegi. Lebih dari 200 jamaah mampu ditampung di masjid ini.

Masjid yang terletak di Kampung Rumbati, Distrik Furwagi, Fakfak, ini masih memiliki model yang sederhana. Warna biru muda dan putih menghiasi bangunan tersebut.

Terdapat dua tingkat dengan beratap seng. Bangunan di tingkat kedua hanya menutupi setengah bangunan. Luasnya lebih kecil dari bangunan di bawahnya. Masjid ini terletak di pinggir pantai dengan fondasi batu yang cukup tinggi. (Pengolah: Erdy Nasrul).

Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti

 

REPUBLIKA

Kafir Meninggal Kok Ucapkan “Innalillah”?

Meninggalnya pakar kuliner Indonesia Bondan Winarno menyisakan pertanyaan tentang ucapan istirja.

“Dia kan non-muslim, kok ngucapin ‘innalillahi wa innailahi rajiun’?” begitu kata sebagian warganet di laman BersamaDakwah. Di direct message Instagram pun mengatakan hal yang sama.

Sebelum menjawab boleh atau tidak, pahami terdahulu arti dari istirja’. Innalillahi wa innailahi rajiun, sesungguhnya segala milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Inti dari kalimat istirja’ adalah kita semua milik Allah.

Apakah milik Allah hanya sebatas muslim saja? Lalu siapa yang menciptakan mahluk non-muslim? Muslim adalah manusia. Kafir atau non-muslim juga manusia. Manusia itu ciptaan Allah SWT.

Ungkapan innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un bukan doa dan sama sekali tidak bermaksud mendoakan orang yang wafat, melainkan ungkapan zikir biasa yang dikaitkan dalam konteks bila ada yang wafat. Sedangkan yang wafat itu beragama apapun, tidaklah menjadi masalah. Sebab makna lafaz dari hanyalah ungkapa bahwa kita ini semua milik Allah dan kita pasti akan kembali kepadan-Nya. Bahwa seorang mati dalam keadaan beriman atau tidak beriman, itu urusan nafsi nafsi.

Syaikh bin Baz rahimahullah pernah mengatakan

“Jika seorang laki-laki atau wanita kafir meninggal, apakah boleh kita mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” atau tidak boleh? Apakah boleh kita berkata “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai.”?

Beliau menjawab:

Seorang kafir jika meninggal, tak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, alhamdulillah, semisal keluargamu, ini tidak mengapa. Manusia kembali kepada Allah dan semuanya milik Allah, tidak mengapa hal seperti ini.

Namun jangan mendoakan, selama ia kafir maka tidak didoakan tidak juga dikatakan: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai”. Pasalnya jiwa orang kafir tidak tenang, jiwa yang fajirah, perkataan ini dikatakan kepada orang mukmin saja.

Jadi? Orang kafir apabila meninggal tak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan tak mengapa dikatakan kepadamu: “addzamallahu ajraka fihi”, “Ahsana ‘aza-aka fihi” ,“maa fi ba’sin” (“semoga Allah memberikan pahala yang besar untukmu dengan kematiannya dan memberikan hiburan pelipur lara untukmu sebagai pengganti kematiannya”)

Karena bisa jadi memberikan mashalahat dalam hidupmu, bisa jadi dalam hidupnya ia berbuat baik padamu, memberikan engkau manfaat, akan tetapi tidak didoakan, tidak dimintakan ampun, tidak disedekahkan atas namanya, jika mati dalam keadaan kafir”.

Sekali lagi, batas yang dilarang adalah memohonkan ampunan bagi orang yang kafir dan mati dalam kekafirannya. Meski pun yang kafir itu masih saudara kita sendiri. Dan dalam konteks itulah Allah SWT melarang Nabi Ibrahim as. mendoakan dan memintakan ampunan bagi ayahnya yang kafir.

Berkata Ibrahim, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam:47)

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (QS. At-Taubah: 113)

Dan permintaan ampun dari Ibrahim untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (QS. At-Taubah: 114)

Mengucapkan istirja’ kepada kafir itu boleh. Selama lafaz itu tidak bermakna doa atau memohonkan ampunan, tentu tak terkena larangan. Wallahua’lam.

 

BERSAMA DAKWAH

Teladan Rasulullah Mempersatukan Umat

Peringatan Maulid Nabi tahun ini jatuh pada Jumat (1/12) besok. Maulid Nabi merupakan momentum untuk mempererat ikatan persaudaraan umat Islam, sehingga tercipta persatuan yang kokoh dan harmonis di tengah masyarakat.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Muhammadiyah Amin mengatakan bahwa dalam rangka memperingati Maulid Nabi, umat Islam harus meneladani cara Nabi Muhammad mempersatuan umat yang berbeda keyakinan saat berhijrah ke Madinah.
“Jadi pertama bahwa Nabi Muhammad menyatukan umat yang berbeda. Jadi jangankan sesama umat Islam tapi umat yang berbeda keyakinan saja bisa disatukan,” ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (30/11).
Ia mengatakan, Nabi Muhammad pernah menyatukan antara suku Suku Aus dan Khazraj yang telah bermusuhan sejak zaman jahiliyah. Ketika Nabi berhijrah dari Makkah ke Madinah, permusuhan di antara mereka pun berhenti karena Rasulullah telah mendamaikannya.
“Waktu hijrah dari Makkah ke Madinah bisa menyatukan antara kaum yang berbeda-beda itu. Di kalangan umat sendiri juga harus bisa mempersatukan umat. Karena itu, kami berharap bahwa yang perlu diteladani dari nabi itu meningkatkan kesatuan dan persatuan umat,” kata Muhammadiyah.
Islam sendiri menyatakan bahwa seluruh kaum Muslimin adalah bersaudara sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 10, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara”.
Saat hijrah ke Madinah, Rasulullah berhasil mempersatukan umat muslim menjadi bersaudara dan Rasulullah membuat perjanjian dengan kaum Yahudi untuk bersahabat. Saling tolong menolong terutama bila ada serangan musuh di Madinah dan mereka harus sama-sama memperhatikan negeri.
Selain itu kaum Nasrani juga merdeka memeluk agamanya dan bebas beribadah menurut kepercayaan mereka. Itulah salah satu perjanjian yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Teruslah Mengajak Kebaikan

MENGAJAK kebaikan tak selalu mudah. Mengajak kebaikan tak selalu berhasil. Mengajak kebaikan tak selalu langsung mendapatkan respons. Mengajak kebaikan kadang butuh waktu.

Manusia itu mirip-mirip seperti tanaman. Ada yang cepat tumbuh walau hanya dengan sedikit siraman air dan ada pula yang sulit tumbuh walau telah disirami cukup air. Petani yang baik adalah petani yang tetap sabar dan telaten menyirami dan memeliharanya.

Jangan pernah lelah mengajak kebaikan walau hasilnya masih juga belum tampak. Bacalah kisah Nabi Nuh yang selama 950 tahun berdakwah terus menerus walau respon dari ummatnya tak menggembirakan dan hasilnya pun tak seperti diharapkan.

Nabi diutus hanyalah untuk menyampaikan. Sementara petunjuk atau hidayah adalah urusan Allah. Tugas kitapun adalah mengajak dan menyampaikan. Diikuti atau tidak bukan masalah utama dan pertama, melainkan masalah nomer petto lekor (27).

Mari kita ajak keluarga, saudara dan teman kita mengaji. Kalau mereka masih enggan, sirami terus dengan ajakan tanpa bosan. Bisa jadi yang tak mau diajak itu sama dengan jenis tumbuhan yang butuh siraman banyak air. Masih tetap tak mau? Siramlah dengan air.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Cinta Pertama Rasulullah SAW dan Istri-Istri yang Dicintainya

Nabi Muhammad SAW dikenal akan rasa cintanya yang besar kepada istri pertamanya, Siti Khadijah. Namun, Siti Khadijah bukanlah cinta pertama Rasulullah SAW.

Pada usia 20 tahun, lima tahun sebelum menikah dengan Siti Khadijah, Rasulullah SAW berkeinginan menikahi seorang gadis yang dikenalnya. Namanya Fakhitah, yang kemudian dipanggil dengan nama Umm Hani, yang merupakan sepupunya sendiri, telah membuat Muhammad muda berdesir hatinya.

Dikutip dari Martin Lings buku Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik disebutkan bahwa Umm Hani’ merupakan putri dari paman Rasulullah, Abu Thalib. Rasa cinta tumbuh di antara Muhammad muda dan Umm Hani’. Kemudian Muhammad saat itu memohon kepada pamannya agar diizinkan menikahi putrinya. Namun, Abu Thalib memiliki rencana lain. Hubayrah, putra saudara ibu Abu Thalib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Umm Hani’.

Hubayrah bukan saja seorang pria yang kaya raya, tetapi juga seorang penyair berbakat, seperti halnya Abu Thalib sendiri. Terlebih lagi kekuasaan Bani Makhzum di Mekkah demikian meningkat seiring dengan merosotnya kekuasaan Bani Hasyim. Kepada Hubayrah lah Abu Thalib menikahkan putrinya, Umm Hani’.

“Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi (ia merujuk kepada ibunya sendiri), maka seorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan mereka,” kata Abu Thalib dengan lembut kepada Muhammad muda. Dengan berlapang dada, Muhammad muda menerima penolakan pamannya.

Kemudian salah seorang saudagar terkaya di Makkah yang adalah seorang wanita, Khadijah dari Suku Asad. Ia mengangkat Muhammad sebagai orang yang mendagangkan hartanya. Karena Muhammad telah dikenal di penjuru Makkah sebagai Al-amin, orang yang terpercaya, yang dapat diandalkan, jujur.

Khadijah yang tertarik kepada Muhammad, melamarnya, meskipun ia lebih tua 15 tahun dari Muhammad. Pernikahan mereka sangat diberkahi dan penuh kebahagiaan, meskipun bukan berarti tidak pernah sedih atau merasa kehilangan. Selain berperan sebagai istri yang baik, Khadijah juga menjadi sahabat bagi suaminya, tempat berbagi suka cita hingga pada tingkat yang luar biasa.

Bersama Khadijah, Rasulullah SAW memiliki enam anak, dua putra dan empat putri. Putra sulungnya diberi nama Qasim, yang meninggal sebelum berusia dua tahun. Berikutnya seorang putri bernama Zaynab, disusul dengan tiga putri lainnya yaitu Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah. Dan yang terakhir seorang putra lagi yaitu Abdullah, yang juga tidak berusia panjang.

Pada tahun 619 Masehi, Rasulullah SAW merasa kehilangan besar atas kematian istrinya, Khadijah. Khadijah kira- kira berusia 65 tahun, sedangkan Rasullullah SAW berusia 50 tahun. Mereka telah hidup bersama secara harmonis selama 25 tahun. Khadijah bukan hanya istri Rasulullah, tetapi juga sahabat dekatnya, penasihatnya, dan ibu seluruh keluarganya.

Keempat putrinya dirundung perasaan duka cita, namun beliau menenangkan mereka dengan mengatakan bahwa Jibril baru saja datang kepadanya, mengucapkan selamat dan mengatakan, “Allah telah menyiapkan tempat tinggal baginya di surga.”

Istri- istri Rasulullah SAW

Pada Ramadhan tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW menikah dengan janda dari seorang sahabatnya. Nama perempuan itu adalah Saudah bintu Zamah bin Qoisradhiyallahu anha merupakan wanita yang dinikahi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam setelah Khadijah wafat. Beliau merupakan satu-satunya istri Rasulullah hingga Beliau menikah dengan Aisyah, putri sahabat Nabi, Abu Bakar As-shiddiq.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah setahun setelah pernikahan dengan Saudah, tepatnya dua tahun lima bulan sebelum peristiwa hijrah. Aisyah merupakan perempuan yang paling dicintai Rasulullah saat itu. Dia adalah istri Rasulullah yang paling paham tentang agama serta yang paling pandai, bahkan secara mutlak dia adalah wanita terpandai di antara para wanita lainnya.

Selain itu, Aisyah merupakan satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi saat masih gadis dari 13 wanita yang pernah dinikahi Rasulullah. Sedangkan seluruh istri- istri Rasulullah yang selanjutnya merupakan janda dari sahabat-sahabat Rasulullah yang meninggal karena perang.

Kecemburuan di antara istri- istri Rasulullah

Aisyah pencemburu terhadap istri-istri Rasulullah SAW. Namun, ia mengakui bahwa kecemburuannya lebih besar kepada istri pertama Rasulullah, Khadijah.

“Aku tidak pernah cemburu kepada istri- istri Nabi yang lain sebagaimana aku cemburu kepada Khadijah. Sebab, beliau tidak henti- hentinya membicarakannya dan Allah telah menawarkan bagi Khadijah berita baik tentang sebuah istana di surga. Setiap kali mengurbankan seekor domba, beliau mengirimkan bagian yang terbaik kepada sahabat- sahabat dekat Khadijah. Beberapa kali kukatakan kepadanya: ‘Sepertinya tidak pernah ada seorang wanita pun di dunia ini, kecuali Khadijah’,” demikian kecemburuan Aisyah kepada Khadijah. Sementara istri-istri Nabi yang lain, cemburu kepada Aisyah.

Kecemburuan memang tak dapat dihindari di rumah tangga Rasulullah, dan untuk mengatasinya, beliau melakukan yang terbaik. Suatu ketika beliau memasuki sebuah ruangan dimana pada istri dan keluarganya tengah berkumpul, menggenggam sebuah kalung onik yang baru saja diberikan kepadanya. Sembari menunjuk kalung itu beliau berkata: “Kalung ini akan kuberikan kepada orang yang paling kukasihi di antara kalian,”

Beberapa istrinya mulai berbisik satu sama lain. “Ia pasti memberikannya pada putri Abu Bakar. Namun, Rasulullah SAW memanggil cucu kecilnya, Umamah dan memasang kalung itu ke lehernya.

 

REPUBLIKA

Menikahi Khadijah, Muhammad: Aku tidak Memiliki Apa-Apa…

Usia Muhammad sudah melewati 20 tahun. Ia mulai membawa dagangan orang lain ke luar kota. Dengan kesuksesan berniaga, menikah jadi hal yang memungkinkan.

Sebelum bertemu Khadijah, Muhammad menyukai Fakhitah binti Abi Thalib yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan Ummu Hani. Muhammad meminta izin pamannya untuk menikahi Fakhitah. Namun Abi Thalib punya rencana lain. Fakhitah sudah lebih dulu dilamar Hubayrah, putra dari saudara ibu Abi Thalib. Muhammad mencoba meminta izin untuk kedua kali, namun hasilnya tetap nihil. Muhammad menerima keputusan Abi Thalib dengan lapang hati.

Di sisi lain, seorang pebisnis kaya di Mekkah mendengar kredibilitas Muhammad sebagai Al-Amin, ialah Khadijah putri Khuwailid. Satu ketika, Khadijah meminta Muhammad mendagangkan barang milik Khadijah ke Suriah. Muhammad menerima tawaran Khadijah itu disertai tawaran ditemani seorang budak bernama Maysarah.

Di Suriah, Muhammad berhasil menjual barang titipan Khadijah dengan hasil dua kali lipat. Sampai di Mekkah, Muhammad melaporkan perniagaan itu. Khadijah sendiri lebih tertarik dengan penyampai laporan ketimbang isi laporannya.

Meski berusia 15 tahun di atas Muhammad, Khadijah sadar ia masih cantik. Khadijah lalu meminta bantuan temannya, Nufaysah (Nufaisah) binti Muniyah.

Nufaysah lalu datang kepada Muhammad dan menanyakan mengapa pemuda itu belum menikah. ”Aku tidak memiliki apa-apa untuk berumah tangga,” jawab Muhammad.

Nufaysah lalu mengatakan ada seorang wanita yang tertarik kepada Muhammad, Khadijah. Setelah ditanya apakah Muhammad bersedia menikahi Khadijah, Muhammad mengiyakan.

Setelah itu, Khadijah meminta Nufaysah untuk bertemu. Kepada Muhammad, Khadijah menyampaikan perasaannya. ”Putra pamanku, aku mencitaimu karena kebaikanmu padaku. Engkau selalu terlibat dalam urusan masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku menyukaimu karena engkau bisa diandalkan, luhur budi, dan jujur bertutur kata.”

Kemudian kedua keluarga bertemu. Ayah Khadijah, Khuwailid, telah meninggal sehingga keluarga Khadijah diwakili pamannya, Amr putra Asad. Keluarga Muhammad diwakili Hamzah. Kesepakatan dicapai, Muhammad memberi mahar 20 ekor unta betina.

Dari pernikahan selama sekitar 25 tahun bersama Khadijah, Muhammad dikaruniai enam anak. Anak pertama, seorang laki-laki bernama Qasim. Lalu lahir empat putri yakni Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Anak ke enam mereka adalah anak laki-laki, Abdallah. Kedua anak laki-laki Muhammad wafat saat masih anak-anak.

Di hari pernikahannya, Muhammad membebaskan budak yang ia miliki sebagai warisan dari ayahnya, Barakah atau yang dikenal dengan sebutan Ummu Aiman. Khadijah sendiri menghadiahi Muhammad seorang budak berumur 15 tahun, Zaid putra Haritsah. Muhammad sangat menyayangi Zaid, begitu pula Zaid.

Haritsah berasal dari suku Kalb yang daearah kekuasaanya terbentang dari Suriah dan Irak. Ia telah lama mencari Zaid. Mengetahui itu, Zaid menitipkan pesan berupa sebuah syair untuk ayahnya melalui jamaah haji asal Kalb. Syair yang menyatakan Zaid berada di tangan terbaik dari kalangan terhormat.

Haritsah bersama seorang saudaranya, Ka’b, menyusul Zaid ke Mekkah dan menemui Muhammad. Dalam pertemuan itu, Muhammad mempersilakan Zaid memilih dan Zaid memilih Muhammad. ”Keterlaluan kau, Zaid! Engkau lebih memilih perbudakan dibanding kebebasan, memilih Muhammad dibanding ayah dan pamanmu?,” kedua orang Kalb itu menghardik.

Muhammad memotong pembicaraan. Ia lalu mengajak Zaid, Haritsah, dan Ka’b ke Kabah. Berdiri di Hijr, Muhammad berseru. ”Wahai semua yang hadir! Saksikan bahwa Zaid adalah anakku dan ahli warisku.”

Sejak hari itu, Zaid dikenal dengan Zaib bin Muhammad sampai Allah SWT menurunkan wahyu yang menegaskan hubungan anak angkat dan tidak berhaknya mereka atas waris orang tua angkat.

Shafiyyah, bibi termuda Muhammad, sering datang ke rumah Muhammad dan Khadijah. Shafiyyah sering mengajak pelayannya yang setia, Salma, yang membantu semua persalinan Khadijah.

Ibu angkat Muhammad, Halimah, juga beberapa kali berkunjung dan Khadijah selalu bersikap baik kepadanya. Satu ketika saat musim paceklik, Khadijah memberi Halimah 40 ekor domba dan seekor unta.

Abi Thalib yang miskin sering kesulitan memberi makan keluarganya. Muhammad dan pamannya, Abbas, sepakat merawat ke dua anak Abu Thalib. Abbas merawat Ja’far dan Muhammad merawat si bungsu Ali. Ali tumbuh seperti saudara bagi keempat sepupu perempuannya. Ali kira-kira sebaya dengan Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Seorang kerabat yang dekat dengan Khadijah, Halah, sempat berkonsultasi dan meminta Khadijah mencarikan calon istri untuk putranya, Abu Al-Ash. Setelah bicara dengan suaminya, Khadijah mengajukan Zaynab untuk dinikahi Abu Al-Ash. Terlebih Zaynab sudah mendekati usia nikah. Mereka lalu dinikahkan.

Ke dua putri Muhammad lainnya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum juga dilamar dua putera Abu Lahab yakni Uthbah dan Utaybah. Muhammad setuju menjodohkan mereka karena menganggap kedua sepupunya ia laki-laki baik.

Wanita istimewa

Meski telah wafat, Khadijah selalu istimewa buat Rasulullah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Khadijah adalah wanita terbaik di zamannya. Bahkan Aisyah mengaku cemburu bila Muhammad menyebut nama Khadijah.

Muhammad mencintai Khadijah lebih dari sekadar alasan fisik. Setelah Khadijah wafat pun, Muhammad menyatakan tak ada yang bisa menggantikannya. ”Khadijah beriman ketika orang lain inkar, ia membenarkanku ketika orang lain mendustakanku, ia membelaku dengan hartanya saat orang lain menghalangi, dan aku dikarunia anak yang tidak aku peroleh dari istri yang lain.”

Khadijah adalah satu-satunya orang yang diberi salam oleh Allah SWT melalui Jibril ketika Jibril menemui Muhammad. Muhammad mendapat peneguhan hati, pelipur lara, dan peringan beban dari Khadijah.

Pada 619 M, tak lama setelah pencabutan pemboikotan atas kaum Muslim di Mekkah, Khadijah wafat pada usia sekitar 65 tahun. Khadijah bukan hanya ibu bagi empat putrinya, tapi juga ibu bagi Zaid dan Ali. Untuk meringankan duka keluarga itu, Jibril datang kepada Muhammad dan menyampaikan Allah SWT telah menyiapkan tempat tinggal bagi Khadijah di surga.

 

REPUBLIKA

Berguru kepada Rasulullah

Siapa yang tak kenal Abu Hurairah? Sosok yang bernama asli Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausi itu sampai saat ini dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak. Tidak kurang dari 5.374 hadis terekam baik dalam ingatannya sehingga sampai kepada zaman kita.

Secara harfiah, namanya berarti ‘bapak kucing’. Namun, sebutan itu begitu disukai Abu Hurairah sendiri, terutama sejak Rasulullah SAW memanggilnya dengan nama demikian. Dalam buku Para Sahabat Nabi SAW karya Dr Abdul Hamid as-Suhaibani, disebutkan penuturan Abu Hurairah sendiri mengenai asal muasal julukan itu.

Dulu aku menggembala domba-domba keluargaku dan aku memiliki seekor kucing kecil. Pada malam hari, aku biasa meletakkan kucing tersebut di sebuah pohon, sedangkan pada siang hari aku membawanya pergi dan bermain-main dengannya. Maka, mereka memanggilku Abu Hurairah.

Di antara kunci keberhasilan Abu Hurairah menuntut ilmu, adalah kedekatannya dengan Sang Mahaguru, Muhammad SAW. Rasulullah adalah sumber ilmu yang tak habis-habis tempat Abu Hurairah menimba pengetahuan dan rasa iman.

Sempat ada satu perkara yang memberatkan hati Abu Hurairah. Ibundanya tercinta masih menyembah berhala dan menolak beriman kepada Allah. Bahkan, pada suatu hari sang ibu mencerca Nabi SAW dengan kata-kata yang tidak pantas. Abu Hurairah segera menemui Rasulullah SAW dengan air mata kesedihan.

Ada apa denganmu wahai Abu Hurairah? kata Nabi SAW. Wahai Rasulullah, aku mengajak ibuku masuk Islam, namun beliau menolak. Ia mengucapkan kata-kata tentang dirimu yang tidak aku inginkan, jawab Abu Hurairah.

Kemudian, Nabi SAW mengangkat kedua tangannya dan menggumamkan doa, Ya Allah, berikanlah hidayah kepada ibu Abu Hurairah. Betapa sukacitanya Abu Hurairah dengan doa Nabi SAW. Bergegas ia kembali ke rumahnya. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Abu Hurairah menuturkan, Aku pulang berlari. Dan, ternyata pintu rumah tertutup dan aku mendengar gemericik air. Kemudian, aku membuka pintu dan mendengar ibuku mengucapkan syahadat.

Ucapan Nabi Muhammad SAW sering kali berbuah keberkahan. Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa pada suatu hari Rasulullah bersabda, Sesungguhnya tidak ada seseorang yang membentangkan kainnya di depanku hingga aku menyudahi kata-kataku, kemudian dia melipat kainnya itu kecuali dia mengingat apa yang aku katakan.

Mendengar Nabi SAW berujar demikian, Abu Hurairah membentangkan kain bergaris-garis miliknya hingga tepat ketika Nabi SAW menyelesaikan kata-katanya. Abu Hurairah melipat kainnya dan mendekapnya ke dada.

Maka, aku tidak lupa sedikit pun dari kata-kata Rasulullah SAW tersebut, kata Abu Hurairah mengenang.

Kedekatan yang begitu rutin dari Abu Hurairah terhadap Nabi SAW juga menjadi faktor utama di balik daya hafalnya dalam meriwayatkan ribuan hadis. Bahkan, diriwayatkan, ketika kaum Muhajirin sibuk dengan perniagaan di pasar, sementara di saat yang sama kaum Anshar sibuk bekerja di kebun-kebun, maka Abu Hurairah selalu menyertai Rasulullah SAW.

Karena itu, wajar bila Abu Hurairah mendengar apa yang belum didengar kaum Muslim dari Nabi SAW. Untuk kemudian, ia menghafal kata-kata dan tindakan Nabi SAW.

Aku melayani beliau (Nabi SAW), berperang bersama beliau, dan menunaikan ibadah haji, maka aku adalah orang yang paling mengetahui hadis Nabi SAW. Demi Allah, sebelumku telah ada orang-orang yang menyertai Nabi SAW. Mereka mengetahui kedekatanku dengan beliau, maka mereka bertanya kepadaku tentang hadis beliau, kata Abu Hurairah.

Demi Allah, tidak ada satu pun hadis di Madinah yang samar bagiku. Di samping itu, Abu Hurairah juga terpantik oleh surah al-Baqarah ayat 159-160, yang secara garis besar menegaskan laknat Allah bagi mereka yang menyembunyikan kebenaran.

 

REPUBLIKA

Hidup Bersahaja Seperti Rasulullah

Meski sebagai sahabat Nabi SAW yang berilmu luas, Abu Hurairah hidup sangat bersahaja. Bahkan, ia tidak jarang menghadapi saat-saat sulit dan kelaparan selama menimba ilmu. Abu Hurairah merupakan salah satu golongan Shuffah.

Dr Sauqi Abu Khalil dalam Athlas al-Hadith Al-Nabawi menjelaskan, Shuffah adalah tempat berteduh di Masjid Nabawi yang dikhususkan bagi kaum miskin semasa Nabi SAW usai berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Mayoritas penghuninya berasal dari kaum Muhajirin. Sebagai informasi, orang-orang yang menyertai Nabi SAW berhijrah itu kebanyakan hanya pandai berdagang dan meninggalkan semua hartanya di Makkah.

Sementara, penduduk Madinah, yakni kaum Anshar, pada umumnya pandai bertani. Shuffah dimaksudkan agar kaum Muhajirin yang belum mendapatkan pekerjaan bisa mendapatkan uluran bantuan.

Abu Hurairah menceritakan kelaparan berat yang dirasakannya pada suatu kali. Namun, ia tetap bersabar. Apalagi, Baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya juga hidup dalam kondisi yang tidak berbeda dengan golongan Shuffah.

Demi Allah yang tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, aku pernah menempelkan perutku ke tanah karena lapar dan mengikat batu di perutku, kata Abu Hurairah seperti dikutip dari Al-Bidayah wa an-Nihayah.

Pada tahun 59 Hijriyah, Abu Hurairah wafat lantaran sakit. Seluruh umat Islam, khususnya penduduk Madinah, berdukacita atas kehilangan seorang ulama dan pengamal zuhud yang begitu dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Hurairah hidup sekitar 50 tahun sesudah Rasulullah SAW.

Sebagai perawi hadis, Abu Hurairah tidak mengharapkan apa-apa selain ridha Allah Ta’ala. Dia bersikap zuhud terhadap dunia. Ia merupakan salah seorang sahabat pendidik yang berhasil menumbuhkan semangat keilmuan generasi tabiin dan tabi’-tabiin.

 

REPUBLIKA