Enam Prinsip Mendidik Anak

KEMAJUAN teknologi yang menjadi fasililitas dan gaya hidup masyarakat modern, ternyata tidak selamanya memudahkan.

Terbukti tidak sedikit para orang tua yang justru merasa tidak berhasil mendidik anak-anaknya di zaman teknologi yang kian pesat ini.

Parahnya, ada sebagian orang tua yang menyerah dan pasrah. Urusan pendidikan pokoknya serahkan saja ke pihak sekolah.

Berdalih kesibukan kerja dan mengejar karir, tugas orang tua akhirnya beralih menjadi ATM berjalan dan pelunas biaya yang dibutuhkan. Selebihnya ia tidak tahu apa-apa tentang perkembangan pendidikan anaknya.

Acapkali disoal masalah pendidikan, maka orang tua demikian itu langsung menyahuti dengan menyodorkan deretan nama-nama sekolah elit dan bergengsi.

Seolah mereka bertanya, mau sekolah yang paling mahal di mana?

Bagi mereka, pendidikan itu dihitung dari gedung dan fasilitas fisik yang ditawarkan sekolah atau kampus tersebut. Semuanya serba diukur dengan materi dan kebendaan.

Padahal budaya ilmu yang diwariskan para ulama dahulu adalah dengan melihat kepada siapa anak tersebut menimba ilmu dan adab.

Inilah prinsip utama dalam mendidik anak. Ia lebih daripada sekadar mengukur pendidikan dengan bangunan fisik semata.

Tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika mendapati seorang anak dari jenjang satu ke jenjang berikutnya mengalami perubahan kedewasaan.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, seperti dikutip oleh Muhammad Nur Abdul Hafidzh Suwaid dalam bukunya Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyah li ath-Thifl berpesan kepada orang tua dan para pendidik,  barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anak-anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar.

Disebutkan, kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orang tua yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dalam agama dan sunnah-sunnahnya.

Namun keadaan tersebut (meninggalkan anak) berbeda ketika meninggalkan atau menyerahkan kepada orang lain atau pihak lain untuk dididik dan dibina.

Seperti menitipkan anak kepada ulama atau kepada lembaga pendidikan yang teruji integritasnya dalam mendidik.

Karena kemampuan orang tua dalam mendidik sangat terbatas dalam keilmuan atau karena khawatir terkontaminasi oleh lingkungan.

Hal ini berbeda jika orang tua tersebut menyerahkan urusan pendidikan ke guru atau pihak sekolah karena ingin berlepas dari tanggung jawab mendidik anak.

Sebab idealnya orang tualah sebagai orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan dan perilaku anak-anak yang dilahirkan dari rahim ibu mereka.

Betapa banyak orang tua yang meninggalkan anak sejak Subuh buta hingga malam pekat untuk memenuhi kebutuhan anak tetapi sejatinya telah menelantarkannya.

Di antara persoalan pokok pendidikan adalah mengarahkan fitrah dan potensi anak menuju satu tujuan kepada kebaikan (a good man).

Inilah silang sengkarut tersebut. Bagaimana orang tua bisa mengarahkan fitrah seorang anak ketika sepanjang hari tidak punya waktu membersamai anak-anaknya?

Bagaimana orang tua dapat menunjukkan teladan kebaikan kepada sang anak jika ada batas dan sekat antara anak dan orang tua?

Indikasi ini belum terbaca ketika anak masih berumur balita bahkan sampai 8 tahun. Tetapi tanda kekeliruan itu mulai tampak ketika anak beranjak baligh.

Dalam ajaran Islam, obat penawar atas kegalauan dari pendidikan tersebut sudah dihadiahkan sejak awal oleh sang panutan terbaik, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw).

Dan seorang Muslim hendaknya tidak terjebak dengan metode-metode Barat yang terkesan menarik dan hebat namun asalnya justru bobrok dan menyesatkan.

Sebaliknya dia harus senantiasa mempelajari metode Nabi dalam mendidik anak, sebab segala petunjuk urusan kehidupan itu sudah ada dalam al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi.

Beberapa tawaran solutif yang pernah diajarkan Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallamdalam perbaikan pendidikan khususnya perilaku sosial kepada anak-anak sebagai berikut;

Pertama: Menjadi Teladan

Cara yang paling efektif menularkan adab kepada anak adalah melalui pendidikan keteladanan.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Aku menginap di rumah bibiku Maimunah. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam biasa bangun kemudian berwudhu dengan wudhu yang ringan dari kendi yang digantung. Setelah itu, ia shalat. Akupun berwudhu sama seperti wudhu Nabi.

Kedua: Mencari waktu tepat dalam memberi pengarahan

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sangat memperhatikan waktu dan tempat untuk membangun pola pikir anak dan menumbuhkan akhlak yang baik.

Pertama, dalam perjalanan. Diceritakan oleh Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi, aku di belakang Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada suatu hari lalu Nabi bersabda: Hai anak kecil. Aku menjawab: Labbaik Ya Rasulallah. Nabi bersabda: Jagalah agama Allah niscaya Dia menjagamu.

Aecara psikologis, seorang anak dalam perjalanan biasanya siap menerima nasihat dan pengarahan karena dalam kondisi gembira didukung oleh suasana alam terbuka yang nyaman. >>>  (BERSAMBUNG)

 

HIDAYATULAH

Ayah Bunda, Jangan Pilih Kasih Pada Anak-anakmu!

“Membagi sama adil, memotong sama panjang, “ demikian pepatah orang bijak terkait berbuat adil.  Meski hanya empat huruf, tetapi melakukan perbuatan adil bukanlah pekerjaan ringan. Hatta, berlaku adil kepada anak-anak kita.

Tak sedikit para orang tua lebih condong hatinya kepada salah satu anaknya sehingga terkesan ‘mengistimewakan perlakuan’ terhadap salah satu anaknya.

Tak ayal, hal ini akan menimbulkan kecemburuan dan kedengkian diantara anak-anak yang lainnya.

Adil berasal dari kata Al-‘Adl artinya Maha Adil. Al-‘Adl bearasal dari kata ‘adala yang berarti lurus dan sama. Tak bisa dipungkiri, hanya Allah Subhanahu Wata’ala saja yang bisa berlaku adil.

Sedang hati manusia cenderung berobah. Termasuk perlakukan orang tua kepada anak-anaknya. Hal ini sangat manusiawi.

Nabi Ya’qub Alaihis salam sendiri lebih sayang dan cinta kepada putranya, Yusuf daripada saudara-saudaranya yang lain. Namun perasaan sayang kepada Yusuf diantara anak-anak beliau yang lain itu hanya beliau simpan di dalam hati dan tidak ditunjukkan dalam perlakuan khusus diantara anak-anak beliau.

Al-Qur’an menceritakan perihal Yusuf ketika ia menceritakan sebuah mimpi kepada ayahnya, Ya’qub alaihissalam;

إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ

Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku“. (Qs. Yusuf : 4)

Nabi Ya’qub sadar bahwa ini adalah pertanda sebuah keistimewaan yang bakal Allah anugerahkan kepada Yusuf, putra kesayangannya tersebut. Alih-alih segera memberi tahu ta’wil mimpi tersebut, Nabi Ya’qub malah lebih dahulu berpesan kepada Yusuf agar tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak timbul rasa dengki di hati mereka.

قَالَ يَا بُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَىٰ إِخْوَتِكَ فَيَكِيدُوا لَكَ كَيْدًا ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Yusuf : 5)

Nabi Ya’qub lebih mendahulukan yang lebih penting dari yang penting yaitu berpesan kepada Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi tersebut kepada saudara-saudaranya yang lain agar tidak memunculkan kecemburuan dan kedengkian di hati mereka, baru kemudian beliau menafsirkan arti dari mimpi tersebut (Qs. Yusuf : 6)

Memang tidak mungkin seseorang memiliki rasa kasih sayang yang sama di dalam hati terhadap anak-anaknya. Tentunya ada salah satu anak yang lebih ia sayangi dari yang lainnya.

Namun hal itu tidak ada masalah dan tidak ada dosa baginya selama ia bisa berbuat adil dalam perlakuan dzahir terhadap anak-anaknya. Ia harus berlaku adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya termasuk juga dalam memberi ciuman untuk anak-anaknya, menampakkan senyum dan wajah yang berseri-seri kepada mereka semua tanpa membedakan satu dari yang lainnya.

Itulah sebabnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Sahabat beliau Basyir bin Sa’ad Al-Anshory untuk berlaku adil terhadap seluruh anak-anaknya saat ia lebih mengutamakan putranya yang bernama Nu’man dari saudara-saudaranya. Nu’man bin Basyir menceritakan ;

تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ

“Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku ‘Amrah binti Rawahah berkata, “Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya.”

Setelah itu saya bersama ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberitahukan pemberian ayahku kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anakmu. Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya itu.” (HR. Muslim: 3055)

Memang berbuat adil itu tidak mudah.  Apalagi menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit. Adapun dalam perkara pemberian, Islam menggariskan bahwa orang tua harus berbuat adil,  dan harus memberi bagian yang sama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ

“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut. [HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 12.003].*/Imron Mahmud

 

HIDAYATULLAH

Cerdas dan Bahagia Bersama Ulama

ULAMA kehidupan umat Islam seperti rembulan di tengah gelap gulita. Sosoknya yang merupakan pewaris Nabi memiliki kedudukan istimewa di tengah-tengah hati kaum Muslimin.

Natsir dalam Capita Selecta menulis, “Bagi mereka, fatwa seorang alim yang mereka percayai berarti satu “kata-keputusan” yang tak dapaat dan tak perlu dibanding lagi. Seringkali telah terbukti, bagaimana susahnya bagi pemerintah negeri menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh ali-ulama di daerah yang bersangkutan” (halaman: 187).

Demikianlah sikap ideal yang telah berabad-abad lamanya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslimin, termasuk di era kekinian alias zaman now, umat Islam tetap setia, membela dan mencintai ulama-ulama mereka.

Di dalam al-Qur’an kata ulama setidaknya disebut dua kali.

أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 197).

Al-Qurtubi berpendapat bahwa yang dimaksud ulama pada ayat tersebut adalah orang-orang berilmu dari kalangan mereka yang paling tahu dan paham isis kitab-kitab suci.

Kemudian pada Surah Al-Fathir ayat ke 38. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”

Makna dan maksudnya jelas, bahwa yang takut kepada Allah itu hanyalah para ulama, karena merekalah yang kenal Allah dan benar-benar mengesakan-Nya. Dalam kata yang lain, sebanyak apapun ilmu seseoerang jika tidak takut kepada Allah, maka jelas, bukan ulama.

Imam Ghazali berkata, “tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan kepada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah dan bersih dari bayangan palsu (igthirar alias ghurur) mengenai dirinya” (Islam dan Diabolisme Intelektual, halaman: 23).

Takut kepada Allah maksudnya apa? Menurut Sa’id ibn Jubayr sebagaimana dikutip dalam buku Islam dan Diabolisme intelektual, takut dalam ayat tersebut berarti sesuatu yang menghalangi kita dari perbuatan dosa, maksiat atau durhaka kepada Allah.

Maka, terang di sini tidak ada sumber kebahagiaan dan kedamaian hidup ini selain dekat dan patuh kepada ulama. Di samping hidup dan membersamai ulama akan menjadikan kapasitas intelektual kita (kecerdasan) terus meningkat.

Bagaimana tidak akan meningkat kecerdasan, sedangkan para ulama selalu mampu menghubungkan makna dengan tantangan hidup keumatan yang sedang dan akan terjadi. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan, karena kata Nabi, ulama adalah pewaris para Nabi.

Di sinilah kedudukan ulama tidak bisa dipandang laksana jabatan pada umumnya. M. Natsir menegaskan hal ini dalam bukunya Capita Selecta yang juga menjawab mengapa seorang ulama tiba-tiba begitu dicintai oleh umat Islam.

“Ulama bukanlah pemimpin yang dipilih dengn “suara terbanyak” bukan yang diangkat oleh “persidangan kongres.” Akan tetapi kedudukan mereka dalam hati rakyat yang mereka pimpin, jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi atau pegawai pemerintah yang manapun juga” (halaman: 188).

Selain itu, dalam konteks kesejaharahan, jauh sebelum Indonesia ini mewujud, peran strategis para ulama sangatlah tak terbantahkan kontribusinya.

Siapa yang dapat mengobarkan semangat jihad melawan penjajah Portugis, Belanda dan Jepang, jika bukan para ulama. Dari Aceh hingga Papua, berderet kesultanan-kesultanan Islam yang raja-raja itu tidak mengambil keputusan melainkan setelah mendapatkan saran dan nasehat dari para ulama.

Oleh karena itu penting dan sangat menarik generasi Muslim hari ini mengenal siapa ulama sesungguhnya.

Natsir memberikan rekomendasi dalam hal ini, “Berkenalanlah dengan kiai-kiai dan berhubunganlah dengan mereka. Mereka itu berikhtiar menujukan fikiran rakyat ke arah alam ruhani; suatu bangsa tak kan hidup, bila kehidupan ruhaninya tidak terpimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan menjauhi barang ang mungkar. Dan bukankah yang demikian itu pekerjaan tuan-tuan juga adanya?” (halaman: 193).

Dalam konteks zaman now, untuk bisa dekat dengan ulama tidak terlalu sulit, media internet memberikan kemudahan untuk kita semakin cerdas dan bahagia bersama ulama.

Jika telah memiliki smartphone lengkap dengan kuota internet, maka gunakanlah sebagian besar kuota yang ada itu untuk membaca, memperhatikan ceramah atau taushiyah-taushiyah para ulama kita.

Sekalipun tentu jangan puas dan merasa cukup dengan mendekat kepada ulama melalui internet. Tetapi juga harus hadir ke masjid, majelis-majelis mereka, sebab bersialturrahim di dalam masjid atau dimana ada ulama kita melakukan taushiyah atau tabligh sangat berbeda dengan sebatas menyaksikan di dunia maya.

Beruntunglah umat Islam Indonesia, karena zaman now masih ada ulama yang konsisten menjadikan dakwah-dakwah mereka mudah diakses di dunia maya, sehingga syiar kebenaran dapat dengan mudah kita dapatkan.

Dengan demikian, dekatlah dengan ulama dengan cara yang bisa kita lakukan dan teruslah untuk selalu bersama para ulama. Karena sedetik meninggalkan mereka, jutaan hikmah dan kebaikan kita lewatkan dalam kehidupan kita.

Terlebih seorang ulama, kata Dr. Syamsuddin Arif, bukan semata orang yang berkualitas spiritual, mental dan intelektualnya, tetapi juga sosok yang paling terdepan memikirkan nasib bangsa dan negara. “Para ulama sadar betul akan tugas mereka sebagai penuntun dan pembela umat.”

Jadi, mari terus bersama cintai dan bela ulama kita. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi memang demi keutuhan NKRI dan terawatnya nalar sehat kita semua sebagai umat Islam, penduduk mayoritas negeri ini. Wallahu a’lam.*

 

HIDAYATULLAH

Kunci Kemenangan Kaum Muslimin

SESAAT setelah kabar kekalahan tentara Romawi dari pasukan kaum Muslimin di bawah komando Khalid bin Walid, Raja Romawi Heraklius berdiri di singgasananya lalu berkata.

“Katakan kepadaku siapa mereka (yang telah mengalahkan Romawi)? Bukankah mereka orang-orang seperti kalian?”

Di antara para pembesar Romawi itu ada yang menjawab, “Ya, benar. Mereka manusia seperti kita.”

Heraklius kian tak sabar, ia segera mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Jumlah kalian yang lebih banyak atau mereka?”

“Jumlah kami lebih banyak dan berlipat ganda dari jumlah mereka,” ucap salah satu komandan pasukan Romawi.

Dengan sedih bercampur marah dan kesal, Heraklius berkata, “Mengapa kalian bisa kalah?”

Heraklius dan semua pembesar seperti ditimpa kegelapan dan beban tak tertanggungkan. Frustasi, marah dan kecewa menyeruak ke seluruh rongga dada mereka. Suasana hening, hanya deru nafas mereka masing-masing yang terdengar begitu kuat, naik dan turun.

Hingga akhirnya, salah seorang yang paling senior di antara mereka mengangkat tangan dan memberikan penjelasan perihal mengapa Romawi bisa kalah.

“Karena mereka (pasukan Khalid bin Walid) bangun malam hari untuk beribadah kepada Tuhannya dan pada siang hari mereka berpuasa. Mereka menepati janji yang mereka sepakati, memerintahkan untuk berbuat baik, mencegah dari perbuatan keji dan saling memberi nasihat di antara mereka sendiri. Karena itu wajar Allah menolong dan memenangkan mereka.

Sedangkan kita dan pasukan kita, wahai Raja kami, kita meminum minuman keras. Kita mengingkari janji yang telah kita buat. Kita berbuat zalim dan melakukan kejahatan. Semua ini telah menjauhkan datangnya pertolongan Allah. Bagaimana Dia akan menolong kita, jika kita tidak menolong-Nya?”

Demikian dialog penuh hikmah yang terjadi di dalam kubu Kerajaan Romawi pasca kekalahan mereka dari pasukan umat Islam di bawah komando Khalid bin Walid yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman ‘Umairah dalam bukunya “Fursan Min Madrasatin Nubuwwah.”

Fakta tersebut semestinya menjadi penggerak jiwa kita sebagai Muslim dalam keseharian. Bahwa kunci kemenangan umat Islam akan terjadi jika dan hanya jika umat Islam sendiri benar-benar mengamalkan ajaran Islam itu sendiri.

Perhatikan kaliman, mereka bangun di malam hari dan berpuasa di siang hari. Artinya kunci kemenangan itu adalah amal dan amal.

Betapa pentingnya ketaatan yang dimanivestasikan dalam bentuk amal, Aid Al-Qarni dalam bukunya “Beginilah Zaman Mengajari Kita” menulis, “Ada orang yang mengisi lembaran hidupnya dengan kajian, produktivitas, dan penghimpunan pengetahuan, tapi dia lupa terhadap amal shalih. Bagi yang mencermati Al-Qur’an, dia akan mendapati bahwa Al-Qur’an memuji ilmu yang bermanfaat dan disertai dengan amal. Di dalamnya juga disebutkan tentang ketaatan seperti sholat, puasa, zakat, jihad, dan takwa, lebih banyak dari pada penyebutan ilmu. Hendaknya hal yang sedemikian mendapat perhatian secara khusus.”

Tentu saja semua amal yang bisa dilakukan tidak harus diumumkan baik melalui lisan kepada teman dekat. Apalagi melalui status di media sosial.

Al-Qarni menekankan bahwa para sahabat Nabi dalam beramal sangatlah luar biasa antusiasnya. Meski mereka sholat, puasa, melakukan amalan yang bisa dilihat, akan tetapi amal-amal yang tersembunyi jauh lebih banyak mereka amalkan dan itu hanya sedikit yang bisa diselidiki.

Selain amal ibadah tentu saja, kunci kemenangan dan kebahagiaan hidup umat Islam ada pada komitmen untuk saling memberikan nasehat, menepati janji dan saling mendoakan, berjiwa besar dan tetap mau mendengar.

Hal demikian pernah dilakukan Pendiri PP Hidayatullah, KH Abdullah Said, “Kalau ada orang yang memberi teguran terhadap apa yang kamu ceramahkan, mungkin karena kesalahan membaca ayat dan hadits aau kekeliruan embawakan suatu kisah, dan lain-lain, janganlah merasa dipermalukan, kendatipun teguran itu disampaikan di depan umum. Ucapkanlah terimakasih dan jadikanlah sebagai gurumu, niscaya engakau akan dijadikan sahabat. Peganglah prinsip ‘satu musuh itu sudah banyak sekali tapi seribu kawan itu masih sangat kurang.” (Mencetak Kader: 130).

Sikap demikian lebih dahulu diteladankan oleh Khalid bin Walid kala dirinya ditetapkan untuk tidak lagi menjadi panglima pasukan kaum Muslimin.

Kala itu banyak yang mendesak Khalid agar memprotes keputusan Umar bin Khathab, namun dengan jiwa besar, Khalid menjawab tuntutan sahabat-sahabatnya.

“Tidak saudaraku yang seiman, saudara semedan pertempuran. Kita telah menghancurkan kota-kota di Persia. Kita juga telah enghancurkan benteng Romawi. Apakah ada kekuatan lain yang mengancam penduduk Muslim yang membutuhkan kepada pedangnya Khalid?”

Khalid lalu melanjutkan, “Jadi, pada saat ini negara lebih butuh kepada akal Umar bin Khathab daripada pedangnya Khalid. Fitnah tidak akan terjadi selama Umar bin Khathab masih hidup.”

Demikianlah sikap Khalid, wujud manivestasi keimanannya sebagai seorang jenderal besar yang tak pernah kalah dalam pertempuran menolong agama Allah.

Sikapnya penuh ketangguhan moral dan kecerdasan spiritual. Inilah kunci-kunci kemenangan umat yang kini harus kita hidupkan dan segar-segarkan kembali.

Dalam dirinya hanya ada satu kalimat, asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting. Sebab tugas utamaku adalah mengamalkan ajaran Islam dengan baik sepanjang hayat. Wallahu a’lam.*

Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu

RASA malu itu warisan para nabi. Artinya, telah diajarkan oleh para Nabi sebelum kita. Dari Abu Masud Uqbah bin Amr Al-Anshary Al-Badry radhiallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari, no. 3483)

Penilaian Hadits Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari riwayat Manshur bin Al-Mutamar dari Ribiy bin Hirasy dari Abu Masud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Masud. Yang mengatakan demikian adalah Al-Bukhari, Abu Zurah, Ar-Raziy, Ad-Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Masud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath-Thabraniy dari hadits Abu Ath-Thufail dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga. (Lihat Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255, Ibnu Rajab Al-Hambali, Darul Hadits Al-Qahirah)

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut: Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang-orang dari perkataan nabi-nabi terdahulu. “Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang-orang hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam.” (Jami Al-ulum wa Al-Hikam, hlm. 255)

Yang dimaksudkan dengan adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 112). Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al Quran, As Sunnah (hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang-orang terdahulu. (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh, hlm. 207)

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yag besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

 

INILAH MOZAIK

Terjaganya Cinta, Kunci Hubungan Suami Istri

SEYOGYANYA laki-laki yang cerdas itu memiliki wanita yang salehah. Dari rumah tangga yang saleh, yang biasa menghadapi kefakiran, agar ia dapat melihat apa-apa yang diperolehnya itu banyak. Dan hendaknya pula ia menikahi wanita yang berdekatan umurnya dengannya. Ada pun seorang yang telah berusia tua, jika ia menikah dengan gadis muda, maka ia telah menyakitinya. Barangkali wanita itu akan menyeleweng, atau meminta dicerai, sementara ia cinta kepadanya sehingga dengan hal itu ia pun akan tersakiti.

Oleh karena itu, hendaknya ia menambal kekurangannya tersebut dengan perilaku yang baik dan memberi nafkah yang banyak. Hendaknya wanita tersebut tidak terlalu sering mendekati suaminya sehingga ia akan menjadi bosan dengannya. Akan tetapi, tidak pula terlalu menjauh darinya sehingga suaminya akan melupakannya.

Dan hendaknya ia mendekati suaminya dalam keadaan sangat bersih dan cantik. Dan hendaknya ia menghindari suaminya dari melihat kemaluannya atau seluruh badannya, karena badan manusia itu tidak elok dipandang. Begitu pula sebaliknya, si suami tidak seharusnya memperlihatkan kepada istrinya seluruh badannya. Sesungguhnya persetubuhan itu (baiknya) dilakukan di tempat tidur.

Suatu hari Kisra melihat bagaimana hewan dikelupas kulitnya dan dimakan, sehingga ia pun kehilangan nafsu dengannya, dan tidak mau makan daging. Ia lalu menyebutkan itu kepada menterinya. Sang menteri pun lantas berkata, “Wahai Raja, binatang sembelihan itu untuk dihidangkan di meja makan, sedangkan wanita untuk di tempat tidur.” Maksudnya, jangan engkau memeriksa hal itu dengan mendetail.

Aisyah r.a. mengatakan, “Aku tidak pernah melihat (kemaluan) dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam. Ia juga tidak pernah melihatnya dariku. Dan pada suatu malam beliau bangun dalam keadaan telanjang. Maka aku tidak pernah melihat badannya sebelumnya.”

Inilah sikap yang tepat. Dengan demikian, seorang laki-laki tidak akan mencela istrinya karena melihat berbagai kekurangannya. Dan hendaknya istrinya memiliki tempat tidur sendiri dan ia pun memiliki tempat tidur terpisah. Keduanya tidak berkumpul kecuali keadaan sempurna.

Di antara manusia ada yang memandang enteng perkara-perkara ini, sehingga ia istrinya berkata merendahkan, dan ia pun membalas merendahkan. Maka masing-masing kemudian melihat dari pasangannya hal-hal yang tidak membangkitkan selera. Kemudian hal itu menjauhkan hati, dan pergaulan suami istri tersebut berlangsung tanpa kasih sayang. Ini merupakan pasal yang mesti direnungkan dan dijalankan, karena ia adalah prinsip yang penting.*/Sudirman STAIL (sumber buku: Petuah-Petuah Untuk Para Pemenang, penulis: Ibnu Jauzi)

 

HIDAYATULLAH

Serumah dengan Saudara Ipar, Mungkinkah?

Assalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

 

Saya Marzuki 30 tahun. Sudah dua tahun saya menikah. Komitmen awal kami, membangun rumah tangga secara mandiri. Saya dan istri sama-sama kerja. Sekarang, saya dan istri tinggal dirumah yang kami beli sendiri dan berpisah dari keluarga besar. Kami belum dikaruniai anak.Sejak sekolah dan kuliah, istri memang sudah mandiri. Saya memiliki seorang adik laki-laki yang tinggal di sebuah rumah kontrakan. Saat ini, masa kontrak rumah adik saya akan habis. Dia mau menumpang di tempat kami. Istri saya keberatan. Selain itu katanya dia merasa tidak leluasa/nyaman bila ada adik ipar laki-laki serumah. Saya sudah menyampaikan permohonan itu kepadanya. Tapi dia bertahan dengan pendapatnya. Sedangkan Ibu saya seperti tidak peduli dengan keberatan istri saya, walaupun sudah diterangkan. Menurutnya saya tidak mau menjaga adik sendiri. Saya menjadi serba salah. Adik juga belum mampu untuk kontrak sendiri karena kerjanya serabutan.Ibu menyuruh istri saya menganggap adik ipar seperti adik sendiri. Itulah yang menjadi sebab kebingungan saya. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mohon saran danjalan keluarnya.

Wassalamu’alaikum

Marzuki Jakarta

 

Jawaban

 

Waalaikumsalam Warahmatullahiwabarakatuh

Bapak Marzuki yang baik, saya memahami kesulitan Anda.  Sebagai orang yang lebih tua, tentunya Anda harus menyayanginya adik.  Pada saat yang sama, pendapat istri dengan hadirnya saudara ipar laki-laki juga benar. Posisi Anda tidak bisa mengabaikan keduanya,  apalagi mengabaikan pernyataan ibunda Anda.

Hal utama yang harus Anda ketahui saat ini, adalah tentang kedudukan saudara ipar dalam keluarga dan dalam Islam.

Bapak Marzuki, Ipar bukanlah mahram. Maka kedudukan ipar sama halnya dengan kaum muslimin dan muslimat lainnya, oleh karena itulah Nabi memperingatkan bahayanya :

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Berhati-hati kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat Anda dengan ipar?” Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)

Istri Anda tidak diperbolehkan untuk memperlakukan iparnya seperti mahram; iparnya bukanlah mahram bagi istri Anda, ipar istri anda tidak jauh beda dengan seorang asing/tamu sehingga aturan untuk mengenakan hijab/jilbab dan menjaga diri tetap berlaku.

Makna Ipar adalah maut dalam hadis di atas, kata Al-ImamAn-Nawawirahimahullahu, bahwa kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya. Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Dalam Kitab Al-Minhaj)

Untuk menjaga bahaya yang terjadi lebih besar, Nabi melarangnya secara umum untuk berkhalwat (berduaan) dengan Ipar, sebagaimana sabda beliau :

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما.

“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat (berdua-duaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan adalah orang yang ketiga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).

Pemahaman hadits diatas pun tentu saja berlaku bagi wanita pula.Maka ada beberapa hal yang sebaiknya kita perhatikan dalam bergaul dengan Ipar :

  1. Memisahkan ipar dari tempat tinggal suami dan istri.
  2. Jika memang terpaksa satu rumah, maka ini sebuah perkara yang berat, suami/istri harus benar benar menjaga diri dan memberikan pengertian pula pada iparnya, sehingga mereka benar benar bisa saling menjaga pandangan, menjaga aurat, menjaga diri dan hati masing-masing, dan ini sangat berat.
  3. Menjaga pergaulan, sehingga memperlakukan ipar sebagaimana muslim/muslimah lainnya yang bukan mahramnya, artinya tidak halal memboncengnya, tidak halal menyentuh kulitnya, tidak halal memperlihatkan auratnya dan lain-lainnya.

Saran saya. Pertama, berbicaralah dengan baik-baik dan santun kepada keluarga, terutama ibunda dan adik, tentang kedudukan adik bila serumah dengan Anda. Kedua, musyawarah keluarga. Utarakan bahwa masalah ini bukan tanggung jawab Anda sendiri.  Jika memungkinkan, carikan untuk adik Anda rumah kontrakan yang ditanggung pembiayaannya bersama-sama sehingga tidak perlu menumpang pada keluarga yang kemungkinan terjadi fitnah. Ketiga, carikan cara agar adik Anda dapat mandiri memenuhi kebutuhan ekonominya. Tentu saja hal ini tergantung pada keterampilan yang dapat diupayakan oleh adik Anda.

Saya menyarankan agar Anda dan istri memiliki satu pemahaman yang sama tentang masalah ini. Jangan sampai Anda mengorbankan keutuhan keluarga Anda. Semoga Anda sukses dan bijaksana dalam memutuskan masalah ini.Wallahua’lam.*

Wassalamu’alaikum Warahmatullahiwabarakatuh

Ustad Endang Abdurrahman

 

HIDAYATULLAH

Bersedekah pada Pengemis yang Pura-Pura Miskin

BOLEHKAH kita beri sedekah pada pengemis yang pura-pura miskin? Ingatlah kita hanya punya tugas menghukumi seseorang sesuai lahiriyah yang kita lihat, karena tak bisa menerawang isi hatinya. Pelajaran ini bisa kita ambil dari kisah Usamah bin Zaid berikut ini.

Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Anshar bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan laa ilaha illallah. Orang dari sahabat Anshar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh.

Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau bertanya padaku, “Hai Usamah, apakah kamu membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya orang itu hanya ingin mencari perlindungan diri saja, sedangkan hatinya tidak meyakini hal itu.” Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan laa ilaha illallah?” Ucapan itu terus menerus diulang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam hingga saya mengharapkan bahwa saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ia telah mengucapkan laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata karena takut dari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” Beliau mengulang-ngulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu saja.”

Ketika menyebutkan hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya karena takut saja atau tidak?” adalah kita hanya dibebani dengan menyikapi seseorang dari lahiriyahnya dan sesuatu yang keluar dari lisannya. Sedangkan hati, itu bukan urusan kita. Kita tidak punya kemampuan menilai isi hati. Cukup nilailah seseorang dari lisannya saja (lahiriyah saja). Jangan tuntut lainnya. Lihat Syarh Shahih Muslim, 2: 90-91.

 

INILAH MOZAIK

Saat Kekenyangan, Ada Zikir yang Harus Diucapkan?

BERDASARKAN penjelasan dari Ustaz Ammi Nur Baits, ada dua jenis zikir yang perlu kita bedakan,

1. Zikir mutlak, zikir yang tidak terikat waktu dan tempat.

Kita disyariatkan memperbanyak zikir mutlak semacam ini, kapanpun, di manapun, selama tidak di tempat yang terlarang. Anda bisa membaca Laa ilaaha illallaah sebanyak yang bisa anda lakukan, atau membaca alhamdulillah, atau istighfar sesering yang anda bisa.

2. Zikir muqayad, zikir yang terikat waktu atau tempat tertentu. Misalnya, zikir setelah salat wajib, zikir ketika hendak tidur, atau doa ketika masuk masjid, dst.

Untuk jenis zikir kedua ini, kita hanya bisa lakukan sesuai aturan yang berlaku. Baik cara membacanya atau teks yang diajarkan. Tidak boleh berbeda dari apa yang telah dituntunkan. Karena itu, kita hanya bisa mengamalkan zikir muqayad, jika ada dalilnya. Tanpa dalil, kita tidak mungkin bisa mengamalkannya. Karena dalil itulah aturan.

Termasuk aturan dalam zikir muqayad, tidak boleh membuat zikir tertentu untuk aktivitas tertentu tanpa dalil. Misalnya, seseorang menganjurkan untuk membaca hamdalah setiap kali serdawa. Sikap semacam ini butuh dalil. Adakah dalil yang menjelaskan, dianjurkan membaca hamdalah ketika serdawa? Mari kita simak keterangan para ulama berikut,

Hukum Membaca Hamdalah ketika Serdawa

Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang hukum membaca hamdalah ketika serdawa, jawaban beliau, “Membaca hamdalah ketika serdawa, bukanlah sesuatu yang disyariatkan. Karena semua orang tahu bahwa serdawa termasuk bagian rutinitas manusia. Akan tetapi, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah mensabdakan, Apabila kalian beserdawa, maka bacalah alhamdulillah. Berbeda dengan bersin. Beliau bersabda tentang bersin, “Apabila kalian bersin, bacalah alhamdulillah.” Sementara untuk serdawa, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyarankan demikian.”

Kemudian beliau melanjutkan,

“Hanya saja, jika diandaikan ada orang yang sakit disebabkan tidak bisa beserdawa, kemudian suatu saat dia merasakan bisa beserdawa, maka ketika itu dia boleh bisa hamdalah. Karena itu nikmat baru yang dia dapatkan.” (Liqaat Bab Al-Maftuh, volume 89, no. 10)

Hal yang sama juga difatwakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad pengajar hadis di masjid nabawi . Beliau ditanya tentang hukum membaca hamdalah setiap kali beserdawa. Jawaban beliau, “Tidak ada satupun dalil yang menunjukkan anjuran hal itu. Namun jika seseorang memuji Allah dalam setiap keadaannya, dan dia merasa bahwa keadaan kenyang yang dia alami termasuk nikmat Allah, maka tidak masalah dia membaca hamdalah. Namun jika dia meyakini bahwa membaca hamdalah ketika serdawa adalah hal yang disyariatkan, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, menurut apa yang saya ketahui.” (Syarh Sunan Abu Daud, volume 492, pertanyaan no. 10)

Demikianlah yang dijelaskan ulama, mereka merinci bacaan hamdalah ketika serdawa. Karena latar belakang syukur, syukur bisa beserdawa, syukur karena merasa lega, atau syukur atas nikmat kenyang, hukumnya dibolehkan. Hanya saja, untuk pertama ini, anda harus menghadirkan perasaan syukur dulu, baru membaca hamdalah.

Membaca hamdalah karena semata serdawanya. Semacam ini tidak ada dalil dan tidak pernah diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan semua zikir muqayad yang tidak ditopang dalil, tidak selayaknya dilakukan. Allahu alam.

 

INILAH MOZAIK

Tips Mudah Agar Anak Hafal Alquran

SALAH satu yang menjadi kebahagiaan bagi orang tua adalah memiliki anak yang menghafal Alquran. Dikarenakan betapa banyak keutamaan para penghafal Alquran itu. Di antara hadis yang menyatakan tentang ini adalah hadis dari Nabi Muhammad SAW berikut ini:

Disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Salam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, bacalah dengan hatimu “Siapa yang membaca Alquran, mempelajarinya, dan mengamalkannya, akan dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat. Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orangtuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yang tidak didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, Mengapa kami dipakaikan jubah ini? Dijawab, Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Alquran.”

Subhanallah, orangtua yang memiliki anak Hafizh Alquran akan mendapatkan jubah (kemuliaan) yang tidak didapatkan di dunia.

Namun terkadang kita bingung bagaimana cara mendidik anak agar menghafal Alquran. Insya Allah di dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa tips yang dapat kita pergunakan untuk mendidik anak menghafal Alquran.

Jangan targetkan banyak hafalan , yang penting tajwidnya benar. Lebih baik hafalan yang sedikit namun sesuai kaidah tajwid daripada hafalan yang banyak namun jauh dari kaidah tajwid. Terlebih lagi yang perlu dipahami adalah Apa yang mereka baca dan hafal pada usia dini sangat melekat di dalam benak mereka. Nah bila saja hafalan yang melekat itu salah maka sangat sulit untuk di ubahi ketika besar.

Selagi anak itu tahsin dan tajwidnya belum bagus, jangan disuruh menghafal sendiri. Tapi harus ditalqin. Nanti dengan sering mendengar yang benar, lidah anak akan mengcopy secara otomatis. Agar kualitas tilawah dan dan hafalannya semakin mantap, bimbinglah tahsinnya secara intensif.

Mulai hafalan Alquran anak dari ayat yang mudah dihafal, bisa di mulai dari juz amma. Pergunakan waktu khusus untuk anak-anak menghafal dan juga waktu murajaah. Agar mereka selalu konsisten di dalam menghafal, alangkah baiknya kita mencari waktu yang ketika itu anak sedang mod untuk menghafal Alquran.

Alangkah baiknya kita memperdengarkan Murattal Alquran sesering mungkin. Ketika bangun tidur, mau tidur dan waktu-waktu senggang lainnya. Ini sangat membantu mereka di dalam menghafal dan meniru suara qori. Alhamdulillah semua jenis Murattal sudah tersebar di mana-mana, ada yang bisa di download secara gratis seperti download.pusatalquran.com dan banyak situs lainnya, atau beli di toko buku dan kaset terdekat.

Catatan pengingat, menjadi penghafal Alquran dan mendidik buah hati menjadi penghafal Alquran butuh kesabaran besar. Maka selain berusaha, jangan lupa berdoa, agar kita dipermudah dalam setiap ibadah yang kita lakukan. Aamiin. [dakwatuna]

 

INILAHMOZAIK