Uwais Al-Qarni, Pemuda Sederhana Yang Dicari-Cari Oleh Khalifah Umar Bin Khattab

“Mohon kalian semua duduk,” kata Umar kepada rombongan yang datang di sekitaran Ka’bah. Saat itu Umar sudah menjabat sebagai seorang khalifah. Artinya, itu adalah era di mana Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalaam dan Abu Bakar As-Shidiq sudah meninggal dunia.

Keadaan cukup ramai karena sudah memasuki bulan Dzulhijjah. Musim haji telah tiba. Orang-orang dari segala penjuru mendatangi kota Mekah untuk beribadah. Dan wajarnya ibadah haji pada era itu, yang dibawa pun sekalian barang dagangan. Ibadah sekalian berjualan. Itulah yang membuat keadaan di pusat kota Mekah saat Umar mengumpulkan para calon jamaah haji jadi terlihat semakin riuh.

“Silakan duduk, kecuali orang-orang yang berasal dari daerah Qaran,” lanjut Umar bin Khattab. Semua orang-orang yang di hadapan Umar duduk bersila. Sedangkan orang-orang dari Qaran tetap berdiri.

“Siapa di antara kalian yang bernama Uwais?” tanya Umar kepada orang-orang yang masih berdiri.

Semua orang yang berdiri bergeming. Saling pandang satu sama lain, seperti saling menyelidik dan bertanya-tanya. Umar pun paham, di antara orang-orang ini, tidak ada orang yang dimaksud.

“Adakah di antara kalian yang mengenal orang yang bernama Uwais al-Qarni?” tanya Umar lagi dengan suara keras mengingat di hadapannya ada cukup banyak orang.

Kasak-kusuk mulai terdengar, orang-orang ini mulai bingung. Ada apa sosok seterhormat khalifah Umar menanyakan Uwais? Orang-orang Qaran ini heran. Uwais hanya orang biasa, rakyat jelata, dan tidak punya kedudukan apapun. Bahkan bagi penduduk Qaran, Uwais hanyalah orang gila yang dikucilkan dari masyarakat. Itulah yang kemudian membuat salah satu pria yang berdiri sedikit maju ke depan untuk berbicara kepada Umar.

“Wahai, Umar. Apa yang Anda inginkan darinya? Uwais adalah orang yang tidak dikenal kecuali oleh orang-orang sekitarnya. Ia tinggal di gubuk reyot. Hidup sendiri dan tidak bergaul dengan manusia,” kata perwakilan orang Qaran ini.

Tanpa diduga oleh orang-orang Qaran dan calon jamaah haji yang duduk, Umar justru sumringah. Seperti menemukan seseorang yang selama ini ditunggu-tunggu. Dengan sedikit terburu-buru Umar mendatangi orang tersebut.

“Sampaikan salamku padanya. Pada Uwais. Mohon, mintakan kepadanya untuk segera menemuiku di Mekah,” kata Umar.

Tentu saja semua yang melihat ini bertanya-tanya. Siapa orang yang dimaksud Umar itu? Dan apa yang membuatnya jadi terlihat begitu istimewa sampai seorang Umar—salah satu sahabat terdekat Nabi Muhammad, khalifah penerus Abu Bakar As-Shidiq—seperti berupaya keras untuk menyelidiki dan mencari sosoknya. Rasa penasaran yang tidak hanya muncul dari orang-orang Qaran, tapi juga jamaah haji yang sedang duduk.

Rasa penasaran itu mengerucut pada satu pertanyaan: Siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni?

Uwais adalah pria tambun, berkulit coklat gelap, kepalanya botak, berjenggot tebal dan lebat. Sering mengenakan sorban dari kain wol, wajahnya cukup menjengkelkan sekaligus punya tatapan mata yang menakutkan.

Paling tidak, itulah kesan yang dilihat oleh Harim bin Hayyan al-‘Abdi, seorang muslim yang bertemu dengan Uwais setelah kabar seorang Khalifah Umar mencari sosok tidak dikenal itu sampai ke Kota Kufah di tepi Sungai Efrat.

Seperti yang diceritakan ulang oleh Abu Al-Qasim An-Naisaburi dalam kitab Uqola al-Majaaniin, kitab kebijaksanaan orang-orang yang dianggap gila atau memang gila betulan, setelah mendapat pesan dari Umar, orang Qaran ini pun pulang ke kampung halamannya setelah ibadah haji. Ia menyampaikan pesan istimewa ke Uwais dengan penuh tanda tanya. Barangkali dalam hatinya, ada urusan apa seorang Uwais, sosok yang dicampakkan di perkampungannya, malah mendapat “undangan kenegaraan” langsung dari khalifah umat Islam sedunia.

Mendapat undangan istimewa tersebut, tentu saja Uwais segera ke Mekah mendatangi Umar. Begitu keduanya bertemu, Umar langsung menyapa, “Apakah benar Anda adalah Uwais? Uwais Al-Qarni?” tanya Umar.

“Ya, benar, wahai Amirulmukminin,” jawab Uwais.

“Apakah Anda pernah memiliki penyakit kusta, lalu Anda berdoa dan penyakit Anda sembuh? Lalu Anda berdoa kembali agar dikembalikan lagi penyakit kusta tersebut, lalu dikabulkan lagi, tapi hanya setengah dari penyakit yang pertama?” tanya Umar.

Uwais terkejut luar biasa melihat Umar tahu hal tersebut. Mengingat Uwais hanyalah sebatang kara dan dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.

“Benar apa yang Anda sampaikan, Amirulmukminin,” kata Uwais masih terkejut, “Siapa yang mengabari Anda tentang semua itu? Demi Tuhan, tidak ada yang mengetahui peristiwa tersebut kecuali Tuhan.”

Umar lalu menjawab, “Yang memberitahuku adalah Rasulullah. Beliau memerintahkanku untuk memohon kepada Anda agar berkenan mendoakan saya.”

Karuan saja Uwais semakin heran dengan penjelasan Umar. Namun sebelum keluar kata-kata dari Uwais, Umar kembali melanjutkan kata-katanya.

“Karena beliau bersabda tentang seorang pria yang memberi syafaat kepada orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar. Lalu beliau menyebut namamu,” jelas Umar.

Apa yang disampaikan Umar adalah hadis dari riwayat Hasan. Suatu kali Nabi Muhammad bersabda, “Ada orang-orang dalam jumlah lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudlar kelak yang akan masuk surga karena syafaat seorang pria dari umatku. Maukah kalian aku beritahu siapa nama pria itu?”

Para sahabat menjawab, “Tentu saja, Wahai Rasulullah.”

“Pria itu adalah Uwais Al-Qarni.”

Setelahnya lalu keluar perintah Nabi untuk Umar, “Wahai Umar, apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya sehingga dia mendoakanmu.” Sebuah riwayat yang juga terdapat dalam kitab Shahih al-Jami ash-Shaghir karya Jalaluddin as-Suyuthi.

Mendengar segala keistimewaan itu Uwais bukannya jadi besar kepala, pesannya pun sederhana kepada Umar, “Wahai Amurilmukminin, saya punya permohonan untuk Anda,” kata Uwais.

“Apa itu, Uwais?” tanya Umar.

“Tolong sembunyikan soal jati diri saya yang Anda dengar dari Rasulullah dan izinkanlah saya untuk segera beranjak dari tempat ini,” kata Uwais.

Umar pun mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesaksian Harim bin Hayyan, Uwais berkata kepadanya, “Aku tidak suka perkara ini,” setelah Harim meminta hadis dari riwayat Uwais.

“Aku tidak ingin menjadi mukhaddits (ahli hadis), kadi (hakim), dan mufti (pencetus fatwa). Aku tak suka diriku sibuk dengan manusia,” jawab Uwais yang ingin menjauh dari gelar-gelar duniawi sekalipun itu terlihat seperti gelar dari agama.

Di tempat persembunyiannya itulah Uwais menghabiskan sisa hidupnya. Sampai kemudian keberadaan Uwais yang tidak terdeteksi oleh orang banyak itu muncul kembali saat ditemukan dalam keadaan syahid saat Perang Shiffin bergejolak. (fath/tirto/arrahmah.com)

 

ARRAHMAH

Abdurrahman Bin Auf, Manusia Bertangan Emas

Abdurrahman bin Auf رضي الله عنه lahir 10 tahun setelah Tahun Gajah – meninggal 652 pada umur 72 tahun. Beliau adalah salah seorang dari sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang terkenal. Ia adalah salah seorang dari delapan orang pertama (As-Sabiqunal Awwalun) yang menerima agama Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar رضي الله عنه.

Abdurrahman bin Auf berasal dari Bani Zuhrah. Salah seorang sahabat Nabi ﷺ lainnya, yaitu Sa’ad bi Abi Waqqas, adalah saudara sepupunya. Abdurrahman juga adalah suami dari saudara seibu Utsman bin Affan, yaitu anak perempuan dari Urwa bint Kariz (ibu Utsman) dengan suami keduanya.

Kaum muslimin pada umumnya menganggap bahwa Abdurrahman adalah salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Masuk Surga. Beliau juga termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Al-Khathab. Di samping itu, ia adalah seorang mufti yang dipercayai Rasulullah ﷺ berfatwa di Madinah selama beliau masih hidup.

Seperti kaum Muslim yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun ia tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys.

Tatkala Rasulullah ﷺ dan para sahabat diizinkan Allah Swt hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasulullah ﷺmempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi Al-Anshari.

Sa’ad termasuk orang kaya diantara penduduk Madinah, ia berniat membantu saudaranya dengan sepenuh hati, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya berkata, “Tunjukkanlah padaku di mana letak pasar di kota ini!”

Sa’ad kemudian menunjukkan padanya di mana letak pasar. Maka mulailah Abdurrahman berniaga di sana. Belum lama menjalankan bisnisnya, ia berhasil mengumpulkan uang yang cukup untuk mahar nikah. Ia pun mendatangi Rasulullah ﷺ seraya berkata, “Saya ingin menikah, ya Rasulullah,” katanya.

“Apa mahar yang akan kau berikan pada istrimu?” tanya Rasul ﷺ .

“Emas seberat biji kurma,” jawabnya.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Laksanakanlah walimah (kenduri), walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu.”

Sejak itulah kehidupan Abdurrahman menjadi makmur. Seandainya ia mendapatkan sebongkah batu, maka di bawahnya terdapat emas dan perak. Begitu besar berkah yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepadanya sampai ia dijuluki ‘Sahabat Bertangan Emas’.

Pada saat Perang Badar meletus, Abdurrahman bin Auf turut berjihad fi sabilillah. Dalam perang itu ia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, di antaranya Umar bin Utsman bin Ka’ab At-Taimy. Begitu juga dalam Perang Uhud, dia tetap bertahan di samping Rasulullah ketika tentara Muslimin banyak yang meninggalkan medan perang.

Abdurrahman bin Auf adalah sahabat yang dikenal paling kaya dan dermawan. Ia tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk jihad di jalan Allah. Pada waktu Perang Tabuk, Rasulullah ﷺ memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta benda mereka. Dengan patuh Abdurrahman bin Auf memenuhi seruan Nabi ﷺ. Ia memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas.

Mengetahui hal tersebut, Umar bin Al-Khathab berbisik kepada Rasulullah ﷺ , “Sepertinya Abdurrahman berdosa karena tidak meninggalkan uang belanja sedikit pun untuk keluarganya.”

Rasulullah bertanya kepada Abdurrahman, “Apakah kau meninggalkan uang belanja untuk istrimu?”

“Ya,” jawabnya. “Mereka kutinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang kusumbangkan.”

“Berapa?” tanya Rasulullah ﷺ .

“Sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah.”

Pasukan Muslimin berangkat ke Tabuk. Dalam kesempatan inilah Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperoleh siapa pun. Ketika waktu shalat tiba, Rasulullah ﷺ terlambat datang. Maka Abdurrahman bin Auf yang menjadi imam shalat berjamaah. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah ﷺ tiba, lalu shalat di belakangnya dan mengikuti sebagai makmum. Sungguh tidak ada yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad ﷺ .

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah ﷺ ). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu mulia itu bila mereka bepergian.

Suatu ketika Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dan membagi-bagikannya kepada Bani Zuhrah, dan kepada Ummahatul Mukminin. Ketika jatah Aisyah radhiallahu ‘anha disampaikan kepadanya, ia bertanya, “Siapa yang menghadiahkan tanah itu buatku?”

“Abdurrahman bin Auf,” jawab si petugas.

Aisyah berkata, “Rasulullah pernah bersabda, ‘Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku kecuali orang-orang yang sabar.”

Begitulah, doa Rasulullah ﷺ bagi Abdurrahman bin Auf terkabulkan. Allah subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan berkah-Nya, sehingga ia menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Bisnisnya terus berkembang dan maju. Semakin banyak keuntungan yang ia peroleh semakin besar pula kedermawanannya. Hartanya dinafkahkan di jalan Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Walau termasuk konglomerat terbesar pada masanya, namun itu tidak memengaruhi jiwanya yang dipenuhi iman dan takwa.

Berbahagialah Abdurrahman bin Auf dengan limpahan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah subhanahu wata’ala kepadanya. Ketika meninggal dunia, jenazahnya diiringi oleh para sahabat mulia seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan yang lain. Dalam kata sambutannya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata, “Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah selalu merahmatimu.” Aamiin.

 

Sumber : 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni

(fath/arrahmah.com)

Cerita Pengusaha Mualaf Sedekah Jual Nasi Kuning

Berbuat baik tak pandang suku, agama, dan ras. Bahkan yang tak bergama pun bisa makan di sini.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang mualaf Tionghoa yang memberikan dana pribadinya untuk membangun warung makan dengan harga luar biasa murah bagi satu porsi makanan.

Muhammad Jusuf Hamka (60) dimualafkan oleh Buya Hamka pada 1981 silam, berbagi dengan cara lain yang tak hanya memberikan uang atau barang, ia mencetuskan ide menjual makanan murah untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Hasil penjualan nantinya akan diputar kembali untuk berbagi.

Warung Nasi Kuning Podjok Halal di Jalan Yos Sudarso Kav 28 Jakarta Utara ia buka tepat di samping kantor ia bekerja di PT Citra Marga Nusa Pala (CMNP) sebagai Penasihat Utama.

Warung seukuran 5 meter dengan beratapkan tenda setiap Senin sampai Jumat menjual nasi, sayur dan lauk pauk seharga Rp 3 RIbu untuk satu porsi berisi nasi kuning, lauk dan sayur. Disediakan pula gelas dan dispenser untuk mengambil air minum sendiri yang disediakan Jusuf.

Warung untuk dhuafa dan masyarakat tidak mampu ini dibuka sejak pukul 11 siang sampai jam satu siang. “Persiapan jam 11, dibuka sampai jam satu. Sebab kan, ini yang layani juga dari karywan PT CMNP, kita kembali kerja lagi. Jadi setiap harinya bergantian juga,” kata salah seorang Karywan PT CMNP sambil melayani pembeli.

Satu persatu berbagai macam orang datang bergantian, mulai dari pekerja pabrik, pemulung, masyarakat yang melewati kantor CMNP, sampai ojek online ingin mencicipi makanan porsi seharga Rp 3 ribu itu. Dari pantauan Republika.co.id, menu hari ini terdiri dari nasi kuning, sayur kacang, telur bulat dan telur ceplok cabe dan ikan tongkol pedas serta sambal.

Republika.co.id juga mencicipi makanan murah tersebut, dan hasilnya makanan itu terasa lezat dan pas di lidah. Setiap harinya menu bergantian, antara lain, ayam, ikan, daging syur berkuah, tumis dan lain sebagainya.

Begitupun kata Yana (52) yang bekerja sebagai kuli pengangkat alat-alat berat. Ia mengatakan, beruntung bisa makan makanan murah, higienis, dan lezat dengan harga yang benar tak menguras kantong.

“Saya tau dari temen, nih ada makanan murah di samping. Saya langsung ke sini. Alhamdulilah enak. Besok saya ke sini lagi makan siang. menghematkan dan menyehatkan,” kata Yana, Selasa (13/2).

Meskipun begitu, Jusuf tak memaksa jika ada yang benar tidak ada uang untuk makan, siapapun bisa makan di warungnya. “Andai kata orang itu dateng naik mobil, keliatan mampu. gapapa, tetep di tolong. kita kan gatau di kantongnya ada duit apa ngga,” kata Jusuf.

Sikap mulia Jusuf ia persembahkan atas rasa kebersyukurannya dan juga demi tabungan di akhirat nanti. Sebab, anugerah syukur dari Tuhan telah melimpah ruah diberikan Tuhan kepadanya, untuk itu, kata dia, mengapa tak dibagikan bagi orang yang kekurangan.

Berbuat kebaikan, kata dia, juga tidak perlu pilih-pilih orang. Siapapun, jika membutuhkan dan kekurangan harus ditolong. “Warung ini merupakan pola pertama untuk membentuk suatu sistem. Siapa tahu dari pengusaha bisa membantu sesama dengan cara ini,” ujar Jusuf.

Dari perilakunya tersebut, mengundang berbagai orang menyumbangkan uang untuk warung yang didirkannya. Ia takmemaksa, tapi seperti ia bercerita, ada seorang yang memakan membayar sebesar Rp. 50 ribu dan tidak meminta kembalian, kata orang tersebut, “saya juga mau ikut sedekah,” cerita Jusuf.

Selain itu, ada pula pengusaha yang menyumbangkan Rp 5 juta untuk sedekah di warung podjok nasi kuning halal.

Dalam seminggu, Warung Nasi Kuningg Podjok Halal memeroleh makanan dengan memberdayakan warung makan sekitar. Seperti hari ini warung makan asal Padmangan Jakarta Utara ditugaskan untuk memasak.

“Saya ngga mau ada kompetisi, saya juga ngga mau mematikan warung makan setempat, jadi saya berdayakan dengan kerja sama memberikan subsidi ke mereka untuk menyediakan makanan. Tetep harga dari mereka semisal satu porsi 10 ribu. Yang dijual 3 ribu, jadi subsidi yang saya kasih dari dana saya ya 7 ribu,” kata dia.

Gagasan awal mendirikan warung ini, dimulai dari puasa Ramadhan setiap tahunnya. Ia kerap memberikan buka puasa geratis selama satu bulan di kantornya untuk para kaum dhuafa dan kekurangan. Kemudian, ia berpikir, untuk menolong orang yang tak hanya satu kali dala setiap tahunnya, ia berpikir mengapa tak setiap hari saja. Untuk itu, ia mencetuskan pola ini untuk berbagi

“Kalau ditanya cari untung, mana ada untungnya ini. Tapi saya mendapatkan untung buat bekal di akhirat. Uang yang kita simpan bukan uang kita, tapi uang yang kita sedehkahkan itu uang kita,” ujarnya.

Rencana ke depan, pada beberapa bulan lagi, ia akan mencoba membuka di lima titik wilayah Jakarta. Pertama Jakarta Uatara yang telah dimulai sejak (6/2). Selanjutnya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Ia juga berharap, pemerintah dan pengusaha dapat melihat ini sebagai jalan kebaikan menolong sesama. Sebab, di Jakarta sendiri masih banyak orang yang kekurangan menyoal perut.

Secara agama, dia tak merasa dirinya sebagai ustaz atau yang oaling baik beragama. Namun, menurutnya perlakunya itu dapat menyontohkan orang lain agar bisa bermanfaat bagi sesama manusia apalagi orang-orang yang berkebutuhan dan kekurangan.

 

REPUBLIKA

 


Kisah Mualaf lainny bisa ditemukan denganmemasukan kata Mualaf di kolom pencarian.

 

Elly Risman Ingatkan Para Ayah akan Tanggung Jawabnya

“Tugas utama ayah adalah loving(mencintai) pada usia dini mulai umur 0-5 tahun, lalu coaching (melatih/membina) dan modelling.”

Psikolog anak, Elly Risman Musa, menyeru para ayah agar selalu membangun jiwa dan kesadaran untuk membentuk diri menjadi sosok ayah yang amanah dan mampu mempertanggungjawabkan amanah tersebut.

“Untuk para ayah, bangunlah jiwanya dan kesadarannya, selalu memakai hati dan akal pikiran, mintalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala untuk melakukan fungsi kita kepada Allah dengan sebaik-baiknya, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada Allah dengan amanah tersebut,” tutur Elly kepada hidayatullah.com selepas acara Monolog Keayahan yang diselenggarakan di Auditorium Gelanggang Remaja, Bulungan, Jakarta Selatan, pekan kemarin, Sabtu (24/12/2017).

Direktur Pelaksana Yayasan Kita dan Buah Hati ini menambahkan bahwa ayah adalah lelaki pilihan.

Ia mengatakan, ayah adalah sosok yang dipilih oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk dititipkan amanahnya dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

“Setiap hari harus selalu mengingat bahwa peran ayah adalah pilihan yang dikasih amanah dan akan dipertanggungjawabkan nantinya,” jelas Elly menegaskan.

Di sela-sela acara Monolog Keayahan itu, Irwan Rinaldi, yang juga pemerhati ayah, menjelaskan tugas-tugas utama seorang ayah dalam mendidikan anak.

“Tugas utama ayah adalah loving(mencintai) pada usia dini mulai umur 0-5 tahun, lalu coaching (melatih/membina) dan modelling (memberi teladan, Red),” pesan Ayah Irwan, demikian ia dikenal.* Zulkarnain

 

HIDAYATULLAH

Berdakwah Wujud Kasih Sayang terhadap Orang Lain

SEORANG ayah berjalan-jalan bersama anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Sebagaimana anak-anak kalau berjalan ingin seenaknya sendiri. Ingin bebas tanpa menghiraukan bahaya yang senantiasa siap menyambarnya.

Si ayah berulang kali mengingatkannya untuk berjalan di pinggir. Si anak pada awalnya menurut, namun berikutnya berjalan menuruti kehendaknnya sendiri. Tiba-tiba satu mobil melaju dengan sangat kencang dari arah belakang. Sang ayah dengan sigap menarik tangan anaknya. Sang anak menangis, tangannya kesakitan.

Dengan penuh sayang ayahnya itu berkata, “Nak, barusan kamu akan tertabrak mobil itu. Bila saja hal itu terjadi, boleh jadi kamu sekarang sudah tidak dapat lagi menatap ayahmu ini. Ayah melarang kamu berbuat seperti itu bukan karena benci. Sebaliknya, itu sebagian cinta tulus dan kasih sayang murni ayah kepadamu.”

Begitulah sikap seseorang yang mencintai dan mengasihi orang lain. Ia akan melarang siapa pun yang dicintainya melakukan perkara yang mencelakakannya atau mendatangkan melapetaka baginya. Ia akan menyuruh orang yang disayanginya untuk selalu melakukan perbuatan yang menjadikannya bahagia, selamat, dan jauh dari kecelakaan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Zat Maha kasih dan Maha sayang memerintahkan umatnya untuk mencintai saudaranya. Bukan sekadar cinta materil di dunia semata, melainkan kasih sayang sejati sampai akhirat. Salah satu caranya dengan menjaga mereka dari api neraka.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. at-Tahrim: 6).

Jadi, wujud kasih sayang seseorang terhadap orang lain bukan sekadar menolong orang supaya tidak tertabrak mobil, tidak jatuh sakit, tidak bergelimang dalam keserbasulitan, tidak disiksa oleh orang lain, atau tidak dilahap kebakaran. Lebih dari itu, orang yang sayang kepada saudaranya tidak akan rela saudaranya itu disiksa oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di neraka akibat perbuatannya menyimpang dari aturan Allah.

Ia akan senantiasa menyuruhnya berbuat taat dan melarangnya berbuat maksiat. Ia akan selalu melakukan amar makruf, nahi munkar. Ia akan terus berdakwah.

Berdasarkan hal ini, seseorang yang menyampaikan dakwah Islam kepada orang lain bukan karena benci pada orang tersebut. Sebaliknya, hal itu dilakukannya atas dorongan kasih sayang kepadanya.

Di dadanya tertanam ketidakrelaan bila saudaranya, temannya, tetangganya, atau siapa saja mendapatkan kenestapan hakiki di akhirat kelak. Padahal, di sana setiap jiwa tidak akan dapat menolong siapapun. Saat itu setiap orang akan lari dari saudaranya, ibunya, ayahnya, isteri, bahkan anak-anaknya. Satu-satunya cara menolong saat di dunia ini. Jalannya melalui dakwah.

Realitasnya, berdakwah tidak selalu mulus. Sering kali orang yang didakwahi menolaknya, menentang, bahkan menganggapnya sebagai bahaya bagi dirinya. Walaupun demikian, seorang pengemban dakwah menyadari betul bahwa mereka bersikap demikian itu hanyalah disebabkan ketidaktahuannya saja.

Semua ini dilakukannya semata-mata kasih sayangnya agar ia mendapatkan balasan dari sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala melalui jalan dakwah itu, di samping orang lain pun selamat, baik di dunia maupun di akhirat melalui perantaraan dakwah yang dilakukannya tersebut. Jelaslah, dakwah merupakan wujud kasih sayang seseorang kepada sesamanya.*/Sudirman STAIL

Sumber buku: Menjadi Pembela Islam. Penulis: M. R. Kurnia.

HIDYATULLAH

Ketika Iblis Membentangkan Sajadah

Jumat, siang menjelang dzuhur. Salah satu Iblis ada di Masjid. Kebetulan hari itu Jum’at, saat berkumpulnya orang. Iblis sudah ada dalam Masjid. Ia tampak begitu khusyuk. Orang mulai berdatangan.

Iblis menjelma menjadi ratusan bentuk dan masuk dari segala penjuru, lewat jendela, pintu, ventilasi, atau masuk lewat lubang pembuangan air. Pada setiap orang, Iblis juga masuk lewat telinga, ke dalam syaraf mata, ke dalam urat nadi, lalu menggerakkan denyut jantung setiap para jamaah yang hadir. Iblis juga menempel di setiap sajadah.

“Hai, Blis!”, panggil Kiai, ketika baru masuk ke Masjid itu.

Iblis merasa terusik, “Kau kerjakan saja tugasmu, Kiai. Tidak perlu kau larang-larang saya. Ini hak saya untuk menganggu setiap orang dalam Masjid ini!” jawab Iblis ketus.

“Ini rumah Tuhan, Blis! Tempat yang suci. Kalau kau mau ganggu, kau bisa diluar nanti!” Kiai mencoba mengusir.

“Kiai, hari ini, adalah hari uji coba sistem baru.”

Kiai tercenung.

“Saya sedang menerapkan cara baru, untuk menjerat kaummu.”

“Dengan apa?”

“Dengan sajadah!”

“Apa yang bisa kau lakukan dengan sajadah, Blis?”

“Pertama, saya akan masuk ke setiap pemilik saham industri sajadah. Mereka akan saya jebak dengan mimpi untung besar. Sehingga, mereka akan tega memeras buruh untuk bekerja dengan upah di bawah UMR, demi keuntungan besar!”

“Ah, itu kan memang cara lama yang sering kau pakai. Tidak ada yang baru,Blis?”

“Bukan itu saja Kiai…”

“Lalu?”

“Saya juga akan masuk pada setiap desainer sajadah. Saya akan menumbuhkan gagasan, agar para desainer itu membuat sajadah yang lebar-lebar”

“Untuk apa?”

“Supaya, saya lebih berpeluang untuk menanamkan rasa egois di setiap kaum yang kau pimpin, Kiai! Selain itu, saya akan lebih leluasa, masuk dalam barisan sholat. Dengan sajadah yang lebar maka barisan shaf akan renggang. Dan saya ada dalam kerenganggan itu. Di situ saya bisa ikut membentangkan sajadah.”

Dialog Iblis dan Kiai sesaat terputus. Dua orang datang, dan keduanya membentangkan sajadah. Keduanya berdampingan. Salah satunya, memiliki sajadah yang lebar. Sementara satu lagi sajadahnya lebih kecil. Orang yang punya sajadah lebar seenaknya saja membentangkan sajadahnya, tanpa melihat kanan-kirinya. Sementara, orang yang punya sajadah lebih kecil, tidak enak hati jika harus mendesak jamaah lain yang sudah lebih dulu datang. Tanpa berpikir panjang, pemilik sajadah kecil membentangkan saja sajadahnya, sehingga sebagian sajadah yang lebar tertutupi sepertiganya.

Keduanya masih melakukan sholat sunnah.

“Nah, lihat itu Kiai!” Iblis memulai dialog lagi. “Ada dua orang yang sedang sholat sunnah itu. Mereka punya sajadah yang berbeda ukuran. Lihat sekarang, aku akan masuk diantara mereka.”

Iblis lenyap. Ia sudah masuk ke dalam barisan shaf. Sang Kiai hanya memperhatikan kedua orang yang sedang melakukan sholat sunah. Kiai akan melihat kebenaran rencana yang dikatakan Iblis sebelumnya.

Pemilik sajadah lebar, ruku’. Kemudian sujud. Tetapi, sembari bangun dari sujud, ia membuka sajadahya yang tertumpuk, lalu meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Hingga sajadah yang kecil kembali berada di bawahnya. Ia kemudian berdiri. Sementara, pemilik sajadah yang lebih kecil, melakukan hal serupa.

Ia juga membuka sajadahnya, karena sajadahnya ditumpuk oleh sajadah yang lebar. Itu berjalan sampai akhir sholat.

Pada saat sholat wajib, kejadian-kejadian itu beberapa kali terihat di beberapa masjid. Orang lebih memilih menjadi di atas, ketimbang menerima di bawah. Di atas sajadah, orang sudah berebut kekuasaan atas lainnya. Siapa yang memiliki sajadah lebar, maka ia akan meletakkan sajadahnya di atas sajadah yang kecil. Sajadah sudah dijadikan Iblis sebagai pembedaan kelas.

Pemilik sajadah lebar, diindentikkan sebagai para pemilik kekayaan, yang setiap saat harus lebih di atas dari pada yang lain. Dan pemilik sajadah kecil, adalah kelas bawah yang setiap saat akan selalu menjadi subordinat dari orang yang berkuasa.

Di atas sajadah, Iblis telah mengajari orang supaya selalu menguasai orang lain.

“Astaghfirullahal adziiiim,” ujar sang Kiai pelan.

Disalin dan diedit dari sumbernya aslinya:
Bengkel Rohani. (ts)

 

ERA MUSLIM

Tauhid dan Rezeki

Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.

Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’

Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.

Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.

Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.

Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.

* * * * *

“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.

“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.

“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.

“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.

“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.

“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.

“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.

“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.

“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.

Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.

“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.

“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.

“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.

Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.

“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”

“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.

“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.

“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.

“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.

“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.

 

ERA MUSLIM

Ini Ciri-Ciri Gay Menurut Media Malaysia

Tulisan di surat kabar Malaysia tentang cara mengenali lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) memicu kontroversi. 

Tulisan bernada menyindir yang diterbitkan minggu lalu oleh harian terlaris berbahasa Melayu, Sinar Harian itu menyertakan daftar panduan tentang cara mengenali gay atau lesbian.

Daftar tersebut menggambarkan pria gay maskulin memiliki kecenderungan mengenakan kemeja ketat untuk memamerkan perut berotot mereka.  Selain itu gay jenis ini, tulis media,  merawat bulu wajah mereka. Pria kemayu juga sering melihat dengan mata terbelalak setiap kali melihat pria tampan.

Adapun lesbian digambarkan sebagai pembenci laki-laki, yang sangat cemburuan dan menikmati memeluk serta berpegangan tangan.

“Saya tahu banyak pendeta, saya tahu banyak ustaz, saya mengenal banyak orang, yang benar-benar religius, yang suka berjanggut panjang. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa mereka gay?” tanya Arwind Kumar, yang memasang video empat menit di Facebook mengkritik kabar itu.

Malaysia kerap memposisikan homofobia dalam posisi berbeda. Pada Juni, kementerian kesehatan meluncurkan sebuah kontes tentang bagaimana mencegah homoseksualitas dan transgender. Meskipun kemudian dibatalkan setelah mendapat tekanan dari kelompok LGBT.

Pada 2015, pengadilan tertinggi Malaysia menegakkan sebuah keputusan yang melarang cross-dressing (berpakaian seperti lawan jenis).

LGBT, Bahaya Laten Perjuangan Kaum Liberal

SEMUA orang sepakat, lesbi, gay, biseksual maupun transgender hukumnya haram. Karena perbuatan ini dilaknat oleh Allah.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth Allah melaknat manusia yang melakukan perbuatan homo seperti kaum Luth 3 kali.” (HR. Ahmad 2915 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Dalam hukum Islam, homo termasuk tindakan kriminal. Sehingga pelakunya mendapat hukuman di dunia dalam bentuk hukuman bunuh. Dalam hadis dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya!” (HR. Ahmad 2784, Abu Daud 4462)

Mengingat aturan ini disepakati oleh seluruh kaum muslimin, para ulama menggolongkannya sebagai masalah bagian dari agama dengan sepakat umat Islam. Yang diisitilahkan dengan Sesuatu yang disepakati bagian dari agama..

Karena itulah, orang yang menganggap LGBT halal, atau memperjuangkan LGBT agar dilegalkan, termasuk perbuatan kekufuran. Berikut kita cantumkan keterangan beberapa ulama dari berbagai mazhab,

[1] Mazhab Hanafi

Muhammad bin Ismail ar-Rasyid ulama hanafiyah menyebutkan beberapa perbuatan penyebab kekufuran. Di antara yang beliau sebutkan,

“Siapa yang mengingkari haramnya perbuatan yang disepakati haram, atau ragu dalam mengharamkan yang disepakati haram, seperti khamr, zina, homo, atau riba, atau dia meyakini bahwa dosa besar datau kecil itu halal, maka dia kafir.” (Tahdzib Risalah al-Badr ar-Rasyid, hlm 45).

[2] Mazhab Syafii

Imam an-Nawawi dalam kitabnya Raudhatut Thalibin menyebutkan tentang sebab orang menjadi murtad. Beliau menyebutkan daftar perbuatan yang bisa menyebabkan orang jadi murtad. Di antara yang beliau sampaikan,

Siapa yang menentang adaya rasul, atau mengingkari salah satu nabi, atau mendustakannya, atau menentang salah satu ayat Alquran yang disepakati, atau menambahkan satu kalimat dalam Alquran dan dia yakini itu bagian dari Alquran, atau menghalalkan sesuatu yang disepakati haram, seperti khamr atau homo semua itu perbuatan kekufuran. (Raudhatut Thalibin, 10/65)

[3] Mazhab Hambali

Al-Buhuti ulama hambali dalam kitabnya Kasyaf al-Qana menyebutkan beberapa perbuatan yang menyebabkan orang jadi kafir. Di antara yang beliau sebutkan,
” atau menghalal zina dan semacamnya, seperti menghalalkan sumpah palsu, homo, atau membolehkan tidak shalat, atau tidak mengakui adanya sesuatu yang haram yang disepakati haramnya, seperti daging babi, khamr, atau sebangsanya, atau dia ragu tentang dan yang semisal dengannya, yang dia ketahui maka itu kafir. Karena dia mendustakan Allah, rasul-Nya dan seluruh umat. (Kasyaf al-Qana, 6/172).

Jika kaum liberal memperjuangkan LGBT, karena mereka kaum munafiqin, yang memiliki prinsip amar munkar nahi makruf. Semoga Allah menyelamatkan kita dari bahaya laten liberal. Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

INILAH MOZAIK