Kisah Kematian Tsalabah yang Dilaknat Allah

Tsalabah adalah salah satu sahabat di zaman Rasulullah SAW. Sahabat itu adalah seorang yang terkenal rajin berjamaah bersama Rasul dan para sahabat lainnya.

Namun entah kenapa setelah salat jamaah dengan cepat Tsalabah akan segera pamit untuk kembali ke rumah. Kebiasaannya itu pun menjadi tanda tanya bagi para sabahat juga Rasul sendiri.

Lalu pada suatu hari setelah jamaah Rasulullah yang melihat Tslabah buru-buru untuk pulang segera memanggilnya. Tsalaba pun menghadap Rasulullah. Di sana Rasulullah bertanya pada Tsalabah. “Wahai, Tsalabah kenapa kamu selalu terburu-buru ketika selesai jamaah?”

Dengan takzim Tsalabah pun menjawab pertanyaan Rasulullah,”Sesungguhnya saat ini di rumah ada seorang yang menungguku ya, Rasul. Dia menunggu untuk bergantian memakai baju untuk melaksanakan salat.”

“Saya hanya memiliki sehelai kain untu dipakai secara bergantian. Ketika saya salat, maka istri saya akan bersembunyi hingga saya datang untuk kembali.” Tsalabah menjelaskan dengan sebenar-benarnya.

Rasulullah sangat terkesan dengan Tsalabah lalu mengizinkannya untuk segera pulang.

Selang beberapa hari kemudian Tsalaba meminta tolong kepada Rasulullah untuk mendoakan dia agar bisa merubah nasib sedikit saja, agar memiliki harta benda. Tsalabah merasa sangat lelah selama ini menjadi orang yang miskin dan hidup menderita.

“Wahai Tsalaba bersyukurlah dengan apa yang kau miliki saat ini,” nasihat Rasulullah. Beliau takut ketika Tsalabah memiliki harta benda akan menjadi lupa pada agamanya.

Tsalabah pun pamit undur diri, meski sesungguhnya dia belum puas. Dia ingin memperbaiki hidupnya. Keesokan harinya dia kembali datang dan meminta tolong Rasulullah untuk tetap mendoakannya.

Dia berjanji setelah akan menjaga apa yang nanti dia dapatkan dan menggunakannya untuk jalan kebaikan. Rasulullah pun akhirnya mendoakan Tsalabah agar memiliki harta dan bisa hidup dalam kemewahan. Dia nampak begitu senang lalu kembali pulang untuk memberi tahu istrinya dengan membawa dua ekor kambing pemberian Rasulullah.

Sejak saat itu Tsalabah rajin merawat dua ekor kambingnya. Menernaknya sehingga memiliki banyak anak hingga bertambahlah kambingnya.

Kini, dia pun sudah hidup berkecukupan. Namun, sejak dia sibuk mengurusi ternak kambingnya dia jadi jarang berjamaah. Bahkan dia sering mengakhirkan salat. Dia terlalu sibuk dengan kambing daripada harus bertemu dengan pencipta Alam Semesta.

Jarangnya Tsalabah yang tak lagi pernah muncul pun membuat Rasul bertanya-tanya. Ada apa gerangan dengan Tsalabah? Lalu Rasulullah pun mengutus sahabat untuk ketempat Tsalaba bertepatan dengan perintah zakat untuk kaum yang mampu.

Tsalabah yang saat ini sudah menjadai saudagar kaya diharapkan mau menzakatkan harta dari ternak kambingnya. Namun siapa sangka dengan gaya seperti orang bodoh dia berpura-pura tak mengerti tentang zakat atau pajak yang diajukan sahabat. Dia menolak berzakat.

Sahabat yang ditugaskan pun kembali dan langsung meghadap Rasulullah. Sahabat itu menceritakan semua perilaku Tsalabah.

“Celakalah, engkau wahai Tsalabah.” Itulah kalimat yang Rasulullah katakan. Beliau marah dan kecewa pada Tsalabah yang katanya akan tetap berjuang dalam agama Islam sesuai janjinya. Tapi nyatanya dia terlena dan berani menolak perintahnya.

Setelah kejadian menolak perintah zakat dari Rasulullah, Tsalabah merasa resah. Dia merasa bersalah karena telah mengingkari janjinya. Lalu dia memutuskan untuk ke kediaman Rasulullah. Dia ingin meminta maaf sekaligus memberikan zakat dari ternak kambingnya.

Namun, Rasulullah langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.”

Betapa sedihnya Tsalabah. Sifat kikir dan lalai telah membuatnya sengsara. Dia tidak menyerah ketika Nabi Muhammad sawa wafat dia bermaksud memberikan zakat pada Abu Bakar yang saat itu menjadi Khalifah. Tapi Abu Bakar juga tidak berani menerima sampai pada kepemimpinan Usman bin Affan juga tidak berani menerima.

Akhirnya sampai mati Tsalabah tidak bisa menzakatkan hartanya. Dia telah dilaknat Allah dan Rasululllah sejak berani menolak perintah zakat. Itu adalah balasan bagi seorang yang telah lalai pada agama dan janji yang dibuatnya sendiri juga akibat dari kikir serta tamak yang dimiliki.

Marilah kita belajar dari kisah ini agar bisa menjaga harta menempatkannya dengan tepat. Ingatlah firman Allah :

“Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. At-Taubah 75-76). [bersamadakwah]

 

INILAH MOZAIK

Setan Makhluk Lemah, Kenapa Takut?

SAYA yakin semua dari kita pernah mengucapkan taawaudz, yaitu ungkapan, “A’dzubillhiminasysyaithnirrojm.” Dan saya yakin semuanya sudah hafal dan kalau ditanya tentang artinya sekilas mungkin banyak yang sudah tahu.

A’dzubillhiminasysyaithnirrojm, Aku memohon perlindungan kepada Allh dari godaan atau setan yang terkutuk.

Tapi:

  • Sudahkah kita mendalami makna dari kalimat yang mulia ini?
  • Sudahkan kita mengetahui kenapa kita diperintahkan oleh Allh Subhnahu wa Ta’la untuk memohon perlindungan kepadanya?
  • Apakah setan adalah makhluk yang kuat sehingga kita perlu bantuan Allh Subhnahu wa Ta’la?
  • Kalau memang setan makhluk yang lemah, kenapa kita perlu meminta bantuan Allh Subhnahu wa Ta’la?

Pertanyaan pertama tentunya adalah kenapa kita minta perlindungan kepada Allh, apakah setan adalah sosok makhluk yang begitu kuat sehingga kita perlu untuk meminta perlindungan kepada Allh, kalau memang setan itu makhluk yang lemah terus kenapa kita tidak mengandalkan kekuatan diri kita saja.

Anda misalnya dirampok oleh sepuluh perampok, yang mana sepuluh perampok itu adalah orang yang kuat-kuat, saya yakin saat itu anda perlu bantuan, anda perlu meminta pertolongan kepada orang lain untuk menghadapi sepuluh perampok yang kuat-kuat tersebut.

Namun sekarang kalau misalnya ada perampok datang kepada anda dia orangnya kurus, lemah bahkan mungkin anak kecil katakanlah, dia anak kecil akan merampok anda dan anda tidak perlu bantuan kepada orang lain karena anda merasa bisa menangani perampok itu sendiri.

Setan adalah makhluk yang lemah, silahkan anda dalam AlQuran surat An Nisa ayat 76 disitu Allah subhanahu watala berfirman, “Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah”

Sesungguhnya tipu daya setan itu lemah, jadi sejatinya setan adalah makhluk yang lemah, setan adalah makhluk yang lemah, terus kenapa kita perlu bantuan dari Allah subhanahu wataala untuk menghadapi makhluk yang lemah tersebut?

Apakah kita tidak cukup dengan kekuatan yang kita miliki sendiri, mengapa kita perlu butuh bantuan Allah subhanahu wataala?

Jawabannya adalah karena kita sebagai manusia juga makhluk yang lemah, makannya dalam AlQuran surat An Nisa juga, dan ini menarik, surat An Nisa juga di ayat berbeda yaitu ayat ke 28 Allah subhanahu wataala menegaskan, “Manusia itu diciptakan sebagai makhluk yang lemah”

Berarti setan lemah dan manusia juga lemah, berarti sekarang lemah versus lemah, ah kalau lemah ketemu sama lemah siapa yang menang, yang jadi pertanyaan siapa yang menang?

Yang menang adalah yang minta pertolongan kepada yang maha kuat yaitu Allh Subhnahu wa Ta’la, dari sinilah kemudian Allh Subhnahu wa Ta’la berfirman di dalam surat yang lainnya yaitu dalam Alquran surat Al Araf ayat 200, Allh Subhnahu wa Ta’la berfirman:

“Seandainya kalian sedang diganggu oleh setan maka mintalah perlindungan kepada Allh Subhnahu wa Ta’la. Sesungguhnya Allh Subhnahu wa Ta’la Maha Mendengar dan Maha Melihat”

Jadi dalam ayat ini Allh Subhnahu wa Ta’la memerintahkan kita untuk meminta perlindungan kepada Allh jala wa ala karena Allh Subhnahu wa Ta’la punya kemampuan supaya kita menang melawan setan kita harus minta perlindungan dan pertolongan serta bantuan dari Dzat yang Maha Kuat yaitu Allh Subhnahu wa Ta’la.

Dari sinilah kita diperintahkan untuk beristiadzah, maka jangan sampai diantara kita terlalu mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, mentang-mentang saya udah salat lima waktu dengan rajin, saya sudah berdzikir, saya sudah berpuasa, saya sudah berhaji tidak mungkin setan akan menang melawan saya, ini semuanya adalah penyakit yang sangat berbahaya. Baca juga: Haram Menggantungkan Diri pada 3 Hal ini.

[catatan kajian/Ustadz Abdullah Zaen, MA]

INILAH MOZAIK

Sanggupkah Kita Memalingkan Dunia dari Hati?

SESEORANG bertanya kepada Syaqiq ibn Ibrahim, “Manusia menyebutku orang saleh. Tetapi, bagaimana caranya saya tahu bahwa saya ini orang yang saleh atau bukan?”

Syaqiq menjawab, “Pertama, tampakkanlah amalan yang kamu rahasiakan di hadapan orang-orang saleh. Jika mereka meridainya, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika mereka tidak meridainya, kamu belum tergolong orang saleh. Kedua, palingkan dunia dari hatimu. Jika kamu sanggup berpaling dari kehidupan dunia, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu tidak sanggup, kamu belum termasuk orang saleh. Ketika, palingkanlah kematian dari jiwamu. Jika kamu berani mengharapkan kematian, berarti kamu termasuk orang saleh. Jika kamu belum berani menghadapi kematian, kamu belum termasuk orang saleh. Jika tiga hal ini telah berkumpul dalam dirimu, rendahkanlah dirimu kepada Allah agar amalanmu tidak ternodai oleh sifat ria dan tetaplah istiqamah dengan amalanmu.”

Hamid al-Laffaf berkata, “Jika Allah menghendaki seseorang celaka, maka Allah akan menyiksanya dengan tiga tanda. Pertama, Allah memberikan ilmu kepadanya, tetapi Allah tidak
menganugerahkan kemampuan untuk mengamalkan ilmu itu. Kedua, orang itu senang berkumpul dengan orang-orang saleh, tetapi ia sendiri enggan mengetahui kewajiban-kewajiban orang saleh. Ketiga, Allah membukakan pintu ketaatan baginya, tetapi ia tidak dapat ikhlas beramal.”

Berkaitan dengan perkataan itu, seorang fakih berkata, “Itu terjadi karena orang itu menyimpan niat dan tujuan yang buruk. Seandainya niatnya baik, maka Allah akan menganugerahinya manfaat ilmu dan keikhlasan beramal.”

Ingatlah kalimat dalam satu syair yang menyebutkan..
Riya dapat mengikis pahala amal yang seseorang lakukan..
Jika kamu beramal dengan ria, tak aka nada pahala yang kamu dapatkan.

Jadi kembali lagi ke pribadi kita masing-masing, apakah kita ingin dirahmati Allah semua amalan yang telah kita perbuat, atau malah Allah menghendaki kita celaka karena sifat ria yang terselip dalam hati kita? [Chairunnisa Dhiee]

 

Sumber buku “Ikhlas Tanpa Batas”

INILAH MOZAIK

Setan Paling Benci Azan, Ini Alasannya

Siapa yang paling benci dengan suara azan? Ternyata setan. Baginya, azan itu tidak lebih indah dari suara apa pun. Karenanya begitu azan dikumandangkan, setan lari sejauh-jauhnya. Tak hanya itu, Rasulullah menggambarkan setan sampai ke level yang sangat parah.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ

“Apabila panggilan shalat dikumandangkan maka setan akan lari sambil kentut hingga dia tidak mendengarkan azan lagi” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Mengapa setan lari saat mendengar adzan? Karena ia takut dengan panggilan shalat itu. Begitu besar ketakutannya hingga setan lari sambil terkentut-kentut.

“Kalimat adbarasy syaithan menggambarkan kondisi setan ketika ia lari begitu mendengar azan,” terang Syaikh Majdi Abdul Wahab Al Ahmad dalam Syarah Hisnul Muslim, “sebab ia menganggap azan sebagai sesuatu yang sangat besar dan menakutkan. Hingga ia terkentut-kentut. Itulah yang terjadi. Ketakutan dan ketegangan membuat persendian jadi kendor sehingga seseorang yang takut ia tidak bisa menguasai dirinya. Saluran seni dan kotoran menjadi terbuka, hingga bisa mengompol atau terkentut. Setan mengalami terkentut ini.”

Mengapa setan sangat takut dan benci mendengar suara adzan? Syaikh Majdi Abdul Wahab Al Ahmad menambahkan, setan lari mendengar suara adzan karena berisi kalimat tauhid dan syiar-syiar Islam. Setan juga putus asa dalam menggoda seseorang ketika terdengar pernyataan tauhid.

 

Selain adzan, ada pula ayat-ayat Al Qur’an yang jika dibacakan pada orang yang diganggu setan dari golongan jin, setan itu akan kepanasan sehingga ia keluar. Hal ini bisa diamati ketika seseorang yang diganggu jin jahat diruqyah. Dengan dibacakan surat Al Fatihah, surat Al Baqarah ayat 1-5, ayat kursi (surat Al Baqarah ayat 255), surat Al Baqarah ayat 285-286, Al Jin dan lain-lain, setan akan kepanasan dan akhirnya keluar dari tubuh orang yang diganggunya. Kalaupun ada setan dari golongan jin yang berusaha bertahan, kadang ia malah terbakar karenanya.

Karenanya, jika ada manusia yang membeci adzan, bisa jadi ia terjangkiti sifat-sifat setan. Karena bagi orang beriman, tak ada panggilan yang lebih indah darinya.

“Tidak ada yang lebih indah dari suara azan, demi Allah,” kata Ustadz Yusuf Mansur. “Gak mungkin kita gak bergerak dan bergetar kalau kita mengetahui makna azan.”

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Muchlisin BK/BersamaDakwah

Hidup Peter Gould Hanya untuk Allah

Seusai Republika Penerbit meluncurkan 5 pilar, permainan edukasi Islam yang menyenangkan bersama desainernya Peter Gould, mualaf Peter Gould bercerita mengenai kisahnya bersyahadat. Ini bukan perjalanan mudah. Di dalamnya ada pergulatan batin yang mengantarkan pebisnis itu kepada tauhid.

Dia memiliki perusahaan branding dan desain internasional yang sukses. Karyanya berupa fotografi Islam kontemporer dipamerkan di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Turki, Amerika Serikat, Inggris, Malaysia, dan Uni Emirat Arab. Ketekunannya dalam menghasilkan karya seni membuahkan penghargaan Islamic Economy Award pada Global Islamic Economy Summit di Dubai pada 2015.

Namun, di tengah segala kesuksesan yang dia miliki, Gould tak pernah lupa akan Sang Pencipta. Setidaknya lima kali dalam sehari dia selalu mengumandangkan takbir, bersujud kepada Allah, menunjukkan kepasrahannya kepada Ilahi Rabbi. Kehidupannya kini sangat bergantung dengan Allah.

Islam telah membawa kedamaian dan kesejahteraan tak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga keluarga yang menjadi tempatnya bersandar, mencurahkan kasih sayang, dalam kebersamaan. Hati menjadi tenang. Sikap dan etika yang dijalani dengan penuh keyakinan.

Mengenal Islam

Sebelum menjadi Muslim, Gould ingat, bahwa agama sama sekali tidak menarik perhatiannya. Australia yang menjadi tempatnya tumbuh menjadi dewasa jauh dari nuansa kehidupan islami. Agama bukan hal mendasar. Hidup baginya hanya menjalani rutinitas sehari-hari, bersosialisasi, bekerja, dan berkeluarga.

Namun, pandangan itu perlahan mulai berubah. Kepribadiannya yang angkuh, penuh percaya diri, tak peduli agama, berujung pada kehampaan batin, kesepian, kesunyian, kesendirian yang sangat menjenuhkan.

Tiba-tiba dia mulai tertarik dengan Risalah Ilahiyah yang dibawa Rasulullah SAW. Perasaan itu muncul ketika Gould menginjak tahun terakhir sekolah menengah atas. Di sebuah halte bus, dia bertemu dengan seorang Muslim. “Ketika itu saya berpikir, ini seseorang yang sangat cerdas, kenapa sihmereka percaya kepada Tuhan? Dan itu benar-benar membawa saya ke jalan penemuan personal,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (17/3).

Banyak pertanyaan mengenai Islam yang diajukannya. Temannya yang seorang Muslim enggan asal menjawab. Dia melakukan penelitian untuk menjawab semua pertanyaan. Gould menginginkan jawaban yang faktual dan analitis.

“Saya mulai membaca, saya mulai mempelajarinya, dan saya langsung mempraktikannya. Saya merasa semakin yakin bahwa ada kebenaran yang mendalam tentang Islam,” kata dia.

Beberapa tahun setelah lulus sekolah, Gould memutuskan masuk Islam pada suatu malam, tepatnya pada Ramadhan 2002. Kemantapan itu didasarkan pada kenyataan bahwa Islam benar-benar menarik perhatiannya. Di dalamnya ada ketenangan yang membuat batin nyaman. Hidup berjalan tanpa keraguan. Percaya diri dan ibadah berjalan beriringan.

Kedamaian adalah dambaan setiap insan, tak terkecuali Gould. Dia telah mencoba berpuasa selama Ramadhan. Awalnya terasa berat. Namun, lambat laun, tubuhnya mulai terbiasa. Batinnya semakin bersemangat untuk menahan diri. Hatinya semakin teguh untuk memasrahkan diri kepada Allah.

Pada suatu malam dia menyadari, batinnya sungguh berada dalam kedamaian. Itu adalah malam ke-27 Ramadan. Ketika itu, dia tidak menyadari pentingnya malam tersebut. Saya berdoa dan saya merasakan sesuatu yang sangat kuat sehingga membuatnya yakin untuk bersyahadat.

Ini adalah malam seribu bulan, malam Qadar. Ketika itu, malaikat turun membawa kebaikan seizin Allah. Mereka selalu mendoakan keselamatan kepada hamba yang ketika itu beribadah hingga fajar terbit.

Sejak itu, dia memhami arti kehidupan sebenarnya. Mulanya dia hanya tahu bahwa seseorang hidup dari sekumpulan sel dan atom yang membentuk tubuh sebagai fisik manusia. Padahal, jauh lebih dalam di diri ini, setiap orang memiliki hubungan dengan Sang Pencipta. Hubungan primordial ini sungguh kuat.

Allah sangat mencintai manusia, selalu membuka pintu tobat kepada siapa pun yang memohon ampunan dan menyesali dosa yang diperbuat. Manusia berusaha sekuat tenaga mewujudkan impian, kemudian berdoa kepada Sang Pencipta. Setelah itu, dia memasrahkan segalanya, bertawakkal menunggu kepastian Allah.

Setelah memeluk Islam, Gould sangat takjub dengan Alquran. Wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini bertahan lebih dari 1400 tahun dan dijamin keasliannya oleh Allah hingga akhir zaman. Bagi Gould, isi dan kandungan Alquran sangat cocok bagi semua kalangan: tua, muda, dan setiap orang yang berasal dari berbagai negara. Bahkan, Alquran mampu mengupas berbagai topik yang terjadi di masa lalu, saat ini, dan yang akan datang.

Setelah memeluk Islam, Gould pun baru memahami arti penting ibadah. Shalat, merupakan wujud syukur kepada Allah. Dia selalu mengajarkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat lima waktu dalam sehari.

Ibadah yang unik, menurutnya, adalah puasa. Di saat orang terbiasa untuk selalu makan dan minum, Islam justru mewajibkan umatnya untuk menahan lapar dan haus selama bulan Ramadhan. Ternyata ada hikmah di dalamnya, yaitu menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mengistirahatkan dan menenangkan batin, menekan nafsu, sehingga diri hanya berpasrah kepada Sang Pencipta.

Gould mulai mempelajari Islam yang sederhana. Pertama adalah bersyukur dengan tidak meninggalkan shalat lima waktu. Bersyukur juga bisa dilakukan sederhana hanya dengan mengucapkan alhamdulillah setiap saat. Kedua, berpuasa selama tiga puluh hari lalu berzakat dan bersedekah kepada mereka yang membutuhkan.

Menghadapi keluarga

Gould mengakui, awal memeluk Islam adalah waktu-waktu yang sulit, terutama saat berhadapan dengan keluarga. Meskipun, dia sangat tahu bahwa kedua orang tuanya sangat bijak. Mereka berpikir, Gould memiliki kesalahan berpikir karena menganggap ikut-ikutan dengan orang Arab.

Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa Islam adalah budaya Arab. Padahal, jelas Nabi Muhammad menyebarkan Islam untuk semua orang bahkan seluruh alam.

Allah sebaik-baikya perencana, orang tua menentangnya hanya karena mereka tidak tahu. Tetapi, saat ini mereka paham dan mengerti agama yang dijalaninya dan mendukungnya meski mereka belum mau menerima Islam sebagai agama. Mereka mengerti bahwa Islam adalah agama cinta kasih. Hubungan Gould dengan kedua orang tuanya pun semakin baik.

Istri adalah orang pertama yang mengenalkannya kepada Islam. Dia adalah pelajar Muslim yang ditemuinya di halte bus. Dia juga yang harus menghabiskan banyak waktu meneliti Islam setelah Gould mengajukan banyak pertanyaan.

Setelah enam bulan menjadi Muslim, Gould menikahinya. Kini usia pernikahannya telah menginjak 15 tahun dan telah memiliki tiga orang anak. Dia beruntung karena anak dan istrinya mendukung karier. Dari anaknyalah ide lima pilar tercipta.

Gould mengatakan, anak-anak Muslim membutuhkan permainan edukasi Islam yang menyenangkan dan tidak melulu bermain dengan televisi, video gim, media sosial. Anak-anak Muslim membutuhkan permainan yang dapat mengakrabkan keluarga dan menambah ilmu pengetahuan terutama tentang keislaman.

Setelah kreasi lima pilar ini, Goul berharap, dapat menciptakan berbagai teknologi dan kreativitas lain untuk mendukung perkembangan Islam. Bagi Gould, mempelajari Islam tidak melulu hanya dari buku, ceramah, ataupun khutbah. Melalui permainan dan hal-hal menyenangkan, Islam dapat dipelajari dan lebih mudah dipahami.

 

REPUBLIKA

Selamatkan Imanmu, Jauhi Sifat Tamak

SEBUAH riwayat mengenaskan tentang anak manusia yang sangat tamak terhadap dunia disampaikan oleh Jarir bin Laits dalam buku Al-Ilajul Qur’ani karya Dr. Muslih Muhammad.

Suatu waktu seorang pria menemani Nabi Isa Alayhissalam. Mereka pun berdua pergi dan berhenti di tepi sungai. Keduanya duduk dan makan. Kala itu ada tiga roti. Mereka pun makan dua roti, sehingga tersisa satu roti.

Karena suatu keperluan, Nabi Isa menuju sungai lalu minum. Dan, ketika kembali beliau melihat roti yang tersisa tidak ada. Beliau pun bertanya, “Siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu dengan wajah tanpa dosa menjawab, “Tidak tahu.”

Keduanya pun pergi. Kala melihat seekor betina rusa dengan dua ekor anaknya. Nabi Isa memanggil salah satunya lalu disembelih dan memanggangnya. Kemudian makanlah mereka berdua. Selanjutnya Nabi Isa berkata kepada rusa yang telah dipanggannya tadi. “Bangkitlah dengan izin Allah.”

Kemudian rusa itu bangkit dan berkata kkepada lelaki itu. “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Lelaki itu kembali menjawab, “Tidak tahu.”

Keduanya pun beranjak pergi dan berhenti di sebuah danau. Nabi Isa menggandeng tangan lelaki itu dan mereka berdua berjalan di atas air. Setiba di seberang danau, Nabi Isa bertanya, “Aku bertanya kepadamu demi Dzat yang memperlihatkan ayat ini kepadamu, siapa yang mengambil roti itu?” Ia tetap menjawab, “Tidak tahu.”

Keduanya kembali pergi dan berhenti di suatu dataran. Nabi Isa lalu mengumpulkan tanah debu kemudian berata, “Jadilah emas dengan izin Allah.”

 

Maka tanah dan debu itu berubah menjadi emas. Nabi Isa pun membaginya tiga bagian. “Sepertiga untukku, sepertiga untukmu, dan sepertiga lagi untuk yang mengambil roti.” Lelalki itu sontak berkata, “Akulah orang yang mengambil roti itu.” Mengetahui itu, Nabi Isa berkata, “Semuanya untukmu.”

Nabi Isa dan lelaki itu pun berpisah. Lelaki itu pergi sendirian dan berhenti pada dua orang pria di sebuah padang passir. Melihat emas yang cukup banyak dua lelaki itu bermaksud merampasnya. Namun cerdik lelaki yang membawa emas. “Kita bagi tiga saja. Sekarang satu orang ke pasar membeli makanan.”

Satu orang pun bergegas ke pasar. Tidak lama lelaki yang membawa emas itu berkata kepada lelaki yang menungguinya, untuk apa membagi emasnya dengan dia, lebih baik untuk kita berdua saja, nanti datang kita bunuh saja orang yang beli makanan ke pasar itu. Sementara yang ke pasar berpikir, buat apa dibagi. Lebih baik kuracuni saja makanan ini lalu kubunuh mereka berdua.

Setelah bertemu, kedua lelaki itu langsung membunuh lelaki yang membawa makanan dari pasar. Kemudian keduanya memakan makanan yang telah diracun, sehingga semua mati. Tinggallah emas itu tergeletak di padang pasir.

Kemudian Nabi Isa melintas di tempat itu dan berkata kepada para sahabatnya, “Inilah dunia, maka waspadalah kalian terhadapnya.”

Tamak adalah lawan dari qanaah (menerima, puas diri). Orang yang tamak memang tidak pernah kenal puas dengan yang namanya harta. Bak seekor kera yang mendapati pisang berhamburan, kala kedua tangannya telah penuh, maka digunakannya pula kedua kaki dan mulutnya untuk menggenggam kuat makanan favoritnya itu.

 

Dalam logika manusia secara umum, semakin banyak yang didapat tentu semakin baik. Tetapi tidak dalam Islam. Sifat tamak justru menjatuhkan seorang manusia pada kehinaan hakiki.

Umar bin Khathab berkata, “Tamak adalah kemiskinan dan putus asa darinya adalah kekayaan. Karena siapa yang berputus asa terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya dia tidak akan membutuhkannya.”

Dengan kata lain, orang yang tamak akan melemah, membeo dan menghujamkan dirinya pada kehinaan jika bertemu dengan apa yang diharap-harapkannya selama hidupnya, entah itu berupa harta kekayaan, jabatan dan lain sebagainya.

Disaat yang sama, dirinya merasa tidak keberatan mesti harus diinjak-injak harga dirinya, meski harus menjilat ludah sendiri, asalkan harta, tahta dan fasilitas yang diharapkannya dapat dimiliki.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika seseorang tamak pada sesuatu, niscaya dia akan memintanya (pada orang lain), maka lenyaplah agamanya. Sedangkan rakus akan membuat jiwa buas, sehingga kamu tidak suka kehilangan sesuatu. Ia akan memenuhi berbagai kebutuhan untukmu. Jika ia telah memuhi berbagai kebutuhan untukmu, maka dia akan menggiringmu kemanapun yang dia inginkan. Dia akan menguasaimu, maka kamu akan tunduk padanya.”

Masih menurut Fudhail bin Iyadh, “Di antara cintamu kepada dunia adalah kamu memberi salam kepadanya (kepada orang yang memberi) jika kamu lewat padanya, dan kamu akan menjenguknya jika dia sakit. Tapi kamu tidak pernah memberi salam kepadanya ikhlas karena Allah dan tidak pernah menjenguknya ikhlas karena Allah. Seandainya kamu tidak punya kebutuhan, maka itu lebih baik bagimu.”

Hal ini terjadi karena memang dalam tamak tidak ada ruang bagi hati untuk qanaah, ridha. Sebaliknya tumbuh subur angan-angan, hawa nafsu dan beragam hasrat yang tak terkendali terhadap dunia.

 

Lantas apa yang mesti dilakukan agar terhindar dari sifat tamak?

Pertama, fokus dan komitmen meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Orang yang akan selamat dari sifat tamak adalah yang fokus mengejar keridhoan Allah Ta’ala. Dirinya sadar dunia hanyalah tempat ujian dan setiap manusia akan bertemu ajal. Dalam situasi seperti itu jiwa tidak akan memedulikan apa yang ada dalam genggaman, selain menggunakan waktu dan tenaga yang ada untuk terus taqarrub kepada-Nya.

Kedua, memahami hakikat dunia dengan sebaik-baiknya.

“Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’, padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan orang lain.” (HR. Muslim).

Ketiga, tundukkanlah dunia dengan mencari akhirat.

Dari Zaid bin Tsabit, Rasulullah bersabda, “Siapa yang niatnya akhirat, maka Allah akan menggabungkan keduanya, dan menjadikan kekayaan di dalam hatinya. Dunia akan datang kepadanya dengan merendah. Namun siapa yang niatnya dunia, maka Allah akan memecah urusannya dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dunia tidak akan datang kepadanya selain apa yang telah ditentutkan oleh Allah untuknya.” (HR. Ahmad).

Keempat, yakin dengan kekuatan Allah.

Dari Ibn Abbas, Nabi bersabda, “Siapa yang suka menjadi manusia yang paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling mulia, maka bertaqwalah kepada Allah. Siapa yang suka menjadi manusia paling kaya, maka jadikanlah apa yang ada pada Allah lebih ia percayai dari yang ada di tangannya.” (HR. Ahmad).

Kelima, yakin dengan pengaturan Allah tentang rezeki.

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…” (QS. Hud [11]: 6).

Dengan demikian untuk apa tamak harus ada di dalam hidup kita? Bukankah semua telah Allah atur dengan sebaik-baik pengaturan. Dan, kehidupan dunia ini tiadalah melainkan senda gurau yang sementara, maka mengapa tidak kita bersusah payah menuju akhirat daripada menggenggam dunia yang akan sirna. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi

 

HIDAYATULLAH

Hiduplah Bebas untuk Kebahagiaanmu

Tidak seperti matahari, rembulan, dan samudera, manusia adalah makhluk Allah yang diberikan kebebasan penuh atas pilihan-pilihan hidupnya.

وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Demikianlah Allah, memberikan jalan kepada manusia, untuk memilih sendiri apa yang diinginkan. Tetapi, patut diingat, kebebasan itu Allah berikan setelah Allah memberikan kelebihan bagi manusia atas makhluk yang lain, berupa pendengaran, penglihatan dan hati. Dimana, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Orang yang menggunakan pendengaran, penglihatan dan hatinya dengan baik dan benar, tentu tidak akan memilih jalan yang akhirnya menjerumuskannya pada kesengsaraan (Neraka). Tetapi, akan berusaha sekuat tenaga memilih jalan kebenaran, yang mengantarkannya pada kebahagiaan.

Itulah kebebasan yang dipilih oleh para Nabi dan Rasul, beserta orang-orang beriman yang teguh di jalan kebenaran. Mereka membebaskan diri mereka untuk keabadian yang menjanjikan.

Kesempatan hidup mereka gunakan sebebas-bebasnya untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, mendirikan sholat, menegakkan keadilan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran. Mereka mensedekahkan sebagian dari rezeki mereka dengan penuh kebebasan. Kebebasan dari rasa takut akan kemiskinan dan kebangkrutan. Bebas, karena hatinya yakin Allah akan memberikan balasan dan pertolongan.

Kebebasan itu hadir seperti yang dialami dan dirasakan oleh Bilal bin Rabah. Begitu dirinya mendengar lima ayat dari Surah Al-Alaq yang merupakan wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu alayhi wasallam, seketika ia sadar bahwa dirinya sebagai manusia punya hak asasi, hidup merdeka.

 

Maka sekuat tenaga ia pegang teguh kesadaran relijius yang datang ke dalam sanubarinya, sekalipun untuk hal itu, ia mesti menerima siksaan yang amat sangat memberatkan. Namun, kebebasan dalam dirinya terus menuntun lisannya untuk berkata, “Ahad, Ahad, Ahad.”

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا

وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syam [91]: 7-10).

Sekarang, kita bebas menentukan hidup kita. Dalam 24 jam, kita bebas untuk memakmurkan masjid, membantu sesama bahkan ikut serta membangun bangsa dan negara. Pertanyaannya, sudah kah kebebasan yang seperti ini yang kita pilih.

Atau kebebasan yang semu, kebebasan yang akhirnya menjadikan hidup benar-benar tidak berarti. Kata Buya Hamka, jangan sampai salah pilih, lalu menyalahkan taqdir.

“Banyak sekali di antara manusia yang berperisai pada taqdir Allah, bila dihadapkan pertanyaan pada dirinya: “Mengapa kamu berbuat demikian?” jawabannya: “Karena memang sudah menjadi taqdir Allah.”

Jawaban seperti ini merupakan sikap apologis, upaya pembelaan diri seolah-olah merasa tidak bersalah, walaupun perbuatannya telah jelas kesalahannya dan melanggar ajaran agama” (Taqdir Manusia Dalam Pandangan Hamka Kajian Pemikiran Tafsir Al-Azhar, karya Triyana Harsa halaman 5-6).

Banyak orang yang tidak sempat membaca al-Qur’an berdalih kesibukan. Yang ternyata kadang bukan kesibukan dalam artian produktif yang menghalanginya, tapi kegemaran menonton televisi, jalan-jalan yang tak pernah terpuaskan, serta aktivitas-aktivitas hura-hura lainnya.

Suatu waktu, saat dirinya mulai tak muda, kemudian melihat kanan-kiri, teman dan tetangganya meraih bahagia karena usahanya meniti jalan kebenaran, berucaplah lisannya, “Nyesel banget, kenapa dari dulu saya nggak seperti dia. Sekarang semua terlambat. Salah sendiri sih banyak waktu terbuang sia-sia.”

Pertanyaannya adalah, mengapa waktu itu ia tidak gunakan untuk memilih yang akan membahagiakan hidupnya. Mengapa lebih memilih yang membuatnya menyesal. Bukankah waktu itu adalah sepenuhnya adalah hak dirinya untuk menggunakan kebebasan yang dimilikinya. Pepatah mengatakan, “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.”

Sekarang dunia memang maju teknololginya, disebut-sebut manusianya adalah generasi millenial, tapi ingat, jika tak sholat, apa guna senyum dan eksismu di media sosial.

Jika tak sedekah, tidak akan berguna harta dan kolega yang selalu menemanimu kian tidak peduli dengan perintah yang orang-orang kikir pun meminta tangguh barang sedetik sebelum meninggal untuk bisa bersedekah.

Jika tidak membela agama Allah, maka masa lemah yang tak lama akan datang kian menyiksa dan menambah beban penderitaan. Itu baru di dunia, belum di akhirat.

 

Oleh karena itu, sebelum terlambat, gunakanlah kebebasan yang Allah berikan kepada kita untuk meniti jalan takwa. Yakni dengan menjalani hidup sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, mulai dari menebar salam kepada sesama, sholat tepat waktu, membaca al-Qur’an, peduli terhadap sesama, dan jika ada yang menghina agama-Nya, bangkit dan menjadi yang terdepan dalam membela.

Lihatlah bagaimana Zaid bin Sahal Abu Thalhah Al-Anshari menggunakan kebebasannya.

Abu Thalhah bercerita tentang dirinya sendiri, “Aku Abu Thalhah, namaku Zaid. Setiap hari, senjataku selalu mendapatkan buruan. Wahai Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam. Aku kuat dan perkasa. Pergunakanlah aku untuk keperluanmu, dan perintahkanlah aku sesuai kehendakmu.”

Subhanalloh, demikianlah orang-orang yang merdeka dan mengerti akan kebebasan yang Allah anugerahkan, semua itu tidak akan disia-siakan untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala.

Sekarang bagaimana dengan kebebasan yang telah Allah berikan kepada kita? Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi

 

HIDAYATULLAH

Menuntut Ilmu Ciri Muslim Sejati

SANGAT menakjubkan kala Allah menyebut umat Islam sebagai sebaik-baik umat, sebab umat Islam memang seharusnya melekat dalam dirinya perkara-perkara mulia, seperti berdab, santun, berakhlak mulia, berperilaku baik serta bersikap sholeh dan sangat gemar menuntut ilmu.

Bagaimana tidak gemar menuntut ilmu, sedangkan aktivitas meningkatkan ilmu dan amal itu termasuk dari bagian manivestasi ibadah. Sebagian ulama sampai berkata, “Ilmu adalah sholat secara rahasia dan ibadah hati.”

Demikian agungnya menuntut ilmu, Allah pun menempatkan orang yang gemar menuntut ilmu dengan para mujahid yang berangkat perang di jalan Allah.

{وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122) }

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Menapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang yang memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [8]: 122).

 

Imam Ahmad berkata, “Ilmu itu sesuatu yang tiada bandingnya bagi orang yang niatnya benar.”

Seseorang lantas bertanya, “Bagaimanakah benarnya niati itu wahai Abu Abdillah?”

Beliau menjawab, “Yaitu berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.”

Dengan demikian, Muslim yang benar berpikirnya, jauh visinya, dan peduli terhadap agamanya akan menjadikan aktivitas menuntut ilmu sebagai tuntutan dalam dirinya. Sesibuk apapun, ia akan tetap menambah, memperbaiki dan mempertajam ilmu, terutama yang mengantarkannya untuk semakin paham dengan agama (tafaqquh fiddin).

Di zaman Rasulullah, semangat itu sangat nyata. Umar bin Khathab sampai membuat kesepakatan dengan tetangga-tetangganya, bahwa kalau dirinya sibuk dalam satu kesempatan ia berpesan kepada tetangganya yang bisa hadir dalam majelis Rasulullah untuk menyampaikan kepadanya. Pun demikian, jika tetangganya yang sibuk, maka Umar akan menyampaikan apa yang diperoleh dari majelis Rasulullah.

Semua itu sangat didorong oleh hadits Nabi;

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan memberinya pemahaman yang mendalam di dalam agama.” (HR. Bukhari).

Abdul Aziz bin Fathi As-Sayyid Nada dalam kitabnya Al-Adab Al-Islamiyah menegaskan bahwa “ilmu adalah petunjuk amal, maka tidak akan baik suatu amal kecuali dengan ilmu.”

Maka sangat wajar jika menuntut ilmu di dalam Islam, wajib bagi seluruh umatnya, mulai dari kandungan hingga masuk ke dalam liang lahat. Demikianlah Islam memandang ilmu.

Adalah sungguh aneh jika diri mengaku Muslim, namun terhadap ilmu ogah-ogahan. Padahal dalam Al-Qur’an kita diajarkan untuk berdoa;

رَّبِّ زِدْنِي عِلْماً

“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha [20]: 114).

Oleh karena itu, sudah saatnya setiap Muslim menjadwalkan dalam dirinya untuk menuntut ilmu, bersungguh-sungguh mendapatkannya.

Ilmu itu diperoleh melalui belajar.” (HR. Bukhari).

 

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah dalam Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi  I/348  berkata;  “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh).”

Lihatlah sejarah, bagaimana Muslim terdahulu memberikan keteladanan dalam hal menuntut ilmu.

Sa’id Ibnul Musayyib berkata, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sungguh aku dulu pergi berhari-hari demi mendapatkan satu buah hadits.”

Seorang sahabat bernama Jabir bin Abdullah ra pergi selama sebulan ke Kota ‘Arisy di Mesir untuk mendapatka sebuah hadits dari Abdullah bin Unais.

Imam Ahmad pergi selama dua bulan penuh dari Baghdad menuju Shan’a di Yaman untuk menimba sepuluh hadits.

Lebih jauh Imam Ahmad tidak kurang dari 40 tahun menggeluti pengmpulan hadits, pikirannya tidak akan tenang sebelum pekerjaannya itu diselesaikan. Dia pergi ke Mesir, Iraq, Syam, Khurasan, Hijaz, dan Shan’a di Yaman.

Bahkan di dalam Al-Qur’an Allah mengisahkan bagaimana seorang Nabi Musa alayhissalam mesri rela meninggalkan negeri dan bangsanya menuju perjalanan panjang menuntut ilmu kepada Nabi Khidhir alayhissalam.

Dahulu para ulama membaca di bawah terik mentari, di tengah dinginnya udara dan dengan sedikit makanan dan minuman. Imam Ibnul Jauzi pergi ke pinggir Sungai Dajlah membawa sepotong roti kering. Dia tidak mungkin memakannya begitu saja tanpa air, sebab roti kering itu bisa melukai kerongkongannya.

 

Shahih Bin Kaisan al Ayamani memulai menuntut ilmu pada usia tua, ada yang menyatakan di usia 70 tahun. Namun Allah memberikan keberkahan umur dan memberikan usia panjang hingga beliau wafat pada usia di atas 140 tahun.

Dengan kesungguhan dalam menuntut ilmu, beliau akhirnya menjadi hafidz hadits yang termasuk periwayat dari hadits-hadits di Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Termasuk murid-murid beliau adalah ulama besar semisal Imam Malik dan Ibnu Iyainah. (Tahdzib At Tahdzib, 4/350).

Nah, bagaimanakah dengan 24 jam yang kita lalui setiap hari selama sepekan, sebulan dan sepanjang satu tahun di tengah fasilitas yang Allah sediakan di zaman ini begitu sangat mudah?

Adakah dari sekian jam yang telah tersedot untuk tanggungjawab bekerja, sebagian disisihkan untuk menuntut ilmu?

Adakah kerinduan dalam hati untuk bertemu dengan ulama guna bersilaturrahim dan mendapatkan ilmu dari mereka?

Atau justru tidak lagi kita pedulikan, sehingga seluruh waktu habis untuk perkara-perkara yang tidak menambah ilmu, tidak menguatkan iman dan karena itu terus menggerus semangat amal diri, sehingga jiwa menjadi beku dan mata hati menjadi buta, sedangkan diri masih berharap keindahan Surga! Na’udzubillah.*

Investasi Orang-orang Cerdas

TADI pagi saya share dawuh ulama dalam bahasa Arab kepada para santri PPK Alif Laam Miim untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Dawuh ini saya pilih karena menarik sekali, sederhana, mudah dimengerti dan berhubungan dengan keinginan banyak orang modern yang sangat patuh pada kaidah ekonomi lama: “mengeluarkan biaya sesedikit mungkin untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin.”

Apa hal mudah dan sederhana yang bisa kita lakukan untuk masa depan kita pasca kematian kita? Berikut dawuh yang diterjemahkan ananda A’la Firdaus:

Enam kiat termudah untuk mendulang pahala setelah meninggal dunia:

1. Menyumbangkan mushaf Al Quran pada setiap masjid

2. Mendonasikan kursi roda di setiap rumah sakit

3. Ikut serta dalam pembangunan masjid meski hanya menyumbangkan se-kantong semen

4. Menaruh minuman dingin di setiap tempat umum

5. Tanamlah pohon, maka anda akan mendapatkan pahala dari keteduhan yang diberikan oleh pohon yang anda tanam.

6. Dan yang termudah dari kiat di atas adalah dengan menyebarkan pesan ini agar juga dapat diaplikasikan oleh orang lain di sekitar anda, sedangkan anda juga akan mendapatkan pahala dari hal tersebut.

Simpel bukan? Nah, sekarang tinggal kita laksanakan segera. Saya yakin, nasehat nomer 6 lah yang akan paling segera kita lakukan. Sementara untuk nomer 1 sampai 5, sepertinya masih membutuhkan seminar, minimum membutuhkan diskusi keluarga entah sampai kapan, entah disetujui atau tidak.

 

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

INILAH MOZAIK

Bau Tak Sedap, Tak Disukai Rasulullah

BAU tak sedap paling tidak disukai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam di rumah. Beliau sangat menyukai wewangian, mengagumi dan memandangnya sebagai sesuatu yang menyenangkan.

Sampai-sampai beliau menyebut wewangian sebagai salah satu yang beliau cintai dalam hidup. Beliau bersabda, “Ada tiga hal yang kucintai dari dunia kalian; wewangian, perempuan, dan hatiku dibuat sejuk dalam shalat.”

Salah satu bukti kecintaan Rasulullah kepada wewangian adalah seringnya beliau bersiwak. Dengan bersiwak mulut jadi bersih dan suci, Tuhan pun meridai. Bila bangun malam, beliau langsung menuju tempat siwak, lalu bersiwak dan memakai wewangian sewangi-wanginya sampai memalingkan pandangan pembantu ciliknya, Anas bin Malik. Ia berkata, “Belum pernah kucium ambar, kesturi, atau wewangian lain yang lebih wangi dari aroma Rasulullah.”

Ummu Habibah tahu kesukaan Rasulullah itu. Maka, setiap Rasul masuk ke biliknya, ia sambut beliau dengan wewangian khas miliknya yang ia datangkan dari negeri Habasyah. Itu dilakukannya secara rutin sehingga ia dapat membuat Rasulullah merasa betah dan senang.

Aisyah sering memakaikan wewangian pada Rasulullah. Katanya saat Rasul hendak menunaikan haji, “Aku memakaikan wewangian kepada Rasul, kemudian beliau berkelilling ke bilik semua istrinya. Paginya beliau mengenakan pakaian ihram dan memercikkan wewangian.”

Hal yang sama juga dilakukan Aisyah kepada Rasul sebelum beliau melakukan tawaf, tetapi sudah bertahallul. Begitu banyaknya wewangian yang dipakaikan Aisyah hingga kepala dan jenggot Rasul berkilau-kilau.

Begitu perhatian Aisyah pada rambut Rasul. Saat berada di masjid, sering beliau melongokkan kepalanya ke kamar Aisyah, lalu ia pun menyisirkan rambut beliau.

Rasul mengumpamakan teman duduk yang baik dengan pemakai atau penjual parfum yang menebarkan aroma wangi kepada semua orang. Sedangkan teman duduk yang buruk diumpamakan seperti tukang besi yang dengan ubupannya menebarkan bau tak sedap.

Masalah kebersihan tak perlu disangsikan lagi. Sebab, kebersihan termasuk salah satu prinsip dasar agama. Yang pasti, kebersihan menjadi satu dari sekian banyak ciri kehidupan rumah tangga Rasul. [Nizar Abazhah]

 

INILAH MOZAIK