Menjadi Muslim Negarawan

Islam hadir ke muka bumi sebagai rahmat bagi sekalian alam. Hadirnya Islam tersebut dengan berbagai karakteristik atau khasaaish dalam Istilah Yusuf Qaradhawi dalam Al Madkhal li Ma’rifat al Islam. Di antaranya adalah universalisme Islam atau Syumuliyat Al Islam. (Yusuf Qaradhawi, 2011).

Islam hadir dengan membawa ajaran yang sarat dengan nilai-nilai yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan, termasuk konsep peradaban. Menurut Al Attas bahkan hadir sebagai  din, bukan hanya mengandung pengertian agama semata, melainkan agama dan peradaban sekaligus. Dalam mewujudkan suatu peradaban ini tentu tidak mudah diperlukan usaha keras dari berbagai elemen dalam membangun dan menghadapi tantangannya (S.M.N Al Attas, 2010).

Islam secara historis pernah memimpin dunia. Tercatat dalam ilmu pengetahuan daerah Muslim menjadi kiblat dunia, diantaranya Baghdad-Kufah sebagai pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyyah di Iraq dan Cordova-Granada-Sevilla sebagai kota-kota besar kekuasaan Dinasti Umayyah II di Spanyol.

Pada masa Dinasti Turki Utsmani muslim juga sempat menguasai dunia sekaligus menjadi kiblat teknologi persenjataan dengan teknologi meriam pada Al Fatih 1453 M hingga beberapa masa setelahnya. Fakta historis ini bukan rahasia lagi, namun data-data yang ditulis oleh sejarawan muslim, seperti Tariq Suwaidan, Ali Muhammad Al Shalabi sekaligus sejarawan non-muslim Arnold J.Toynbee.

Sejalan peralihan zaman, pusat-pusat kekuasaan berputar. Pasca-terjadinya Kolonialisme, dunia terpecah menjadi modern-State. Namun, identitas agama tetap tidak dapat dipisahkan dari modern-state ini. Justru, kemudian yang terjadi adalah terintegrasi dan terkoneksinya 3 kunci dalam kehidupan masyarakat, yaitu agama, negara, dan bangsa.

Mencintai Agama dan Tanah air merupakan kewajaran bahkan sesuatu yang sebenarnya harus dimiliki oleh setiap warga Negara. Islam sebagai salah satu elemen terpenting dan tak terpisahkan dari Indonesia, merupakan domain yang secara konsisten menunjukkan nilai-nilai integrasi pada kehidupan berbangsa. Hal ini terlihat bagaimana perjuangan muslim nusantara yang bergerak di berbagai bidang dari masa pra-kolonial, masa kolonial, pra-kemerdekaan, dan pasca-kemerdekaan.

Sikap Patriotis ditunjukkan dengan berbagai manifestasi, yang secara umum terbagi menjadi materi dan non-materi. Secara materi, diantaranya lewat institusi pendidikan yang dibangun oleh perorangan, yayasan, komunitas, dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya dalam rentang dari masa masuknya Islam ke Indonesia hingga kini.

Dedikasi sebagai wujud patriotisme masih dapat disaksikan dan dinikmati hingga saat ini. Dari segi non-materi, diantaranya berupa penggeloraan semangat kebangsaan, saran-saran yang solutif terhadap pemerintah, bahkan hingga hal yang paling mendasar di wala pendirian Negara yaitu persoalan perubahan sila pertama Pancasila.

Pengorbanan ini tentu dilandasi ketulusan murni. Mungkin terkesan apologetik, namun konsepsi dalam ajaran Islam sendiri selalu mengajarkan akan pentingnyaa perlombaan dalam kebaikan (QS 2: 114; 5: 48) dan perlombaan ini dalam rangka pembangunan Negara-bangsa yang jaya (Q.S 34: 15).

Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif menjadi negarawan tentu hal yang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Selaras dengan hal tersebut, penulis berasumsi ksatria-ksatria diberbagai bidang yang tidak menjual dan sekadar mencari peruntungan hari ini cukup sulit ditemukan, namun lagi-lagi bukanlah tidak mungkin. Islam adalah salah satu rahim dengan probabilitas terbesar bagi lahirnya para ksatri-ksatria patriotis tersebut. Merekalah para Pemuda Muslim yang akan menjadi muslim negarawan.

Islam, Indonesia, dan Patriotisme

Jika membicarakan Indonesia maka pembicaraan seputar Islam tidak akan dapat ditinggalkan. Alih-alih hendak ditinggalkan, Islam telah menjadi identitas yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa, karena Islam adalah salah satu modal sejarah terbesar bangsa ini. Sebagai kaum mayoritas, peran vital kaum muslimin begitu besar.

Peran penting ini terlihat dalam seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan jauh sebelum lahirnya negara yang Indonesia secara de jure dan de facto, peran strategis itu sudah nampak terlihat. Salah satunya peran ialah pembangunan dan pengembangan budaya ilmu serta pengetahuan. Bahkan peran ini masih sangat dirasakan hingga kini (Haedar Nasir, 2017).

Islam sebagai agama mulai menyebar ke berbagai belahan dunia sejak awal kemunculannya, termasuk Nusantara. Seorang orientalis asal belanda, Snouck Hurgronje, menyatakan bahwa Islam tiba di nusantara pada abad ke 13. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Bersebrangan dengan teori tersebut para cendikiawan muslim pribumi meyakini Islam sudah ada di nusantara sejak abad ke 7.

Di antaranya Prof Dr Hamka dengan teori Makkah-nya. Sejalan dengan hal tersebut sejarawan Paskistan, N.A Baloch mengamini dengan teori maritim-nya.  Argumentasi Kerajaan Samudera Pasai sebagai acuan awal di mulainya islamisasi di nusantara dianggap salah paham. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah bahwa manifestasi Islam di nusantara dengan adanya samudera pasai ialah merupakan awal perkembangan strategis Islam, khususnya pengukuhan posisi secara politis (Ahmad Mansur Suryanegara, 2015).

Islam sendiri begitu mewarnai sejarah Indonesia hingga masa kini. Perjalanan Islam dari masa ke masa di Nusantara (Indonesia) memberikan sumbangsih yang luarbiasa pada berbagai aspek, terutama pendidikan. Ini terlihat dari sepak terjang para muslim nusantara ketika hendak melakukan ijtihad intelektual dengan mendirikan pelbagai institusi pendidikan, termasuk pesantren.

Dalam bidang politik, Islam merupakan penentang keras kolonialisme. Sejak kedatangan kolonial, kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara (Indonesia), sudah melakukan upaya perlawanan. Geliat ini mencapai puncaknya pada masa pergerakan nasional. Tidak terhitung banyak tokoh muslim negarawan yang hadir sebagai problem solver bagi bangsa ini. Sebut saja K.H.Ahmad Dahlan, K.H Hasyim ‘Asy’ari, Soedirman, Soekarno, Moh. Hatta, M. Syahrir, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahab Hasbullah, KH Idham Chalid, AR Fachruddin, Mohammad Natsir,  dan sederet nama  muslim negarawan lainnya.

Bagi mereka, cinta agama dan tanah air merupakan sisi mata uang yang tak terpisahkan. maka tidak asing bergema ungkapan, al hubb al wathan min al Iman (cinta tanah air adalah sebagian dari Iman). Keduanya merupakan identitas yang melekat sejak seorang anak adam keluar dari ibunya. Kedua identitas ini tak perlu saling dihadapkan, apalagi sampai dibenturkan. Maka, pada hakikatnya membangun agama sejalan dengan membangun tanah air itu sendiri.

Pemuda Islam dan Tantangan Zaman

Umumnya, pemuda disebutkan sebagai masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Kamus Merriam Webster misalnya, memberikan salah definisi pemuda sebagai periode dimana berada pada masa kanak-kanak dan dewasa.

Pada realitasnya,  tidak dapat dipungkiri masa muda adalah masa paling krusial. Masa ini merupakan masa paling menentukan dalam pergulatan seseorang sebagai individu dan pembentukan masyarakat kedepannya. Pemuda merupakan pilar negara, bangsa dan agama. Keberlangsungan ketiga unsur ini boleh dikatakan sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas pemuda.

Dalam kasus pemuda Islam, ketiga macam ukhuwah baik, islamiyyah, wathaniyyah, dan basyariyyah, sangat dipengaruhi pola-pola yang tedapat pada generasi muda muslim ini. Maka tidak mengherankan pemuda merupakan domain besar penentu dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana peran pemuda baik dari pemikiran dan kontribusi secara aktif dapat mempengaruhi suatu bangsa dan Negara.

Terkait permasalahan pemuda, bahkan Paul Walker mengatakan bahwa permasalahan pemuda sama halnya dengan permasalahan agama, yaitu merupakan sebuah fenomena sosial yang kompleks (a complex social phenomenon). Post-Kolonial dalam bahasa Edward Said, menginsyaratkan hangatnya perang wacana keilmuan dan kehidupan, termasuk wacana tentang kepemudaan. Islam sebagai sebuah peradaban tentu memiliki identitas kepemudaan, baik secara konseptual dan praktis.

Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyinggung peranan pemuda dalam teori sirkularnya yang masyhur. Siklus sosiologis runtuhnya kekuasaan sangat dipengaruhi oleh para pemimpin, terutama generasi mudanya.

Hingga kini, tesis Ibn Khaldun sendiri tentang runtuhnya kekuasaan manusia tampaknya tidak tergantikan, bahkan di Barat sekalipun. Generasi muda yang lemah secara perkembangan fisik dan non-fisik (intelektual, keteguhan iman) akan membuat kelemahan epidemik pada masa ia duduk di singgasana kepemimpinan.

Kelemahan epidemik ini tentu tidak sederhana, individu pemuda yang lemah dalam kondisi yang massif dapat menegaskan suasana atau kondisi, artinya bilamana pemuda lemah, maka hampir dapat dipastikan lemah pula daerah itu. Ini argumentum e pars pro toto (menyebutkan sebagian untuk melihat keseluruhan) ini efektif dalam melihat keadaan dalam sebuah proses dan keadaan (Ibn Khaldun, 2011).

Pemuda Islam dan Problematika Kebangsaan

Problematika kebangsaan merupakan keniscayaan bagi dinamika perjalanan sebuah bangsa. Indonesia sebagai bangsa besar tidak luput dari permasalahan. Konflik SARA, keadilan hukum, keadilan sosial, konflik politik, degradasi ekonomi, kualitas pendidikan, narkoba, korupsi, dan tindak amoral merupakan diantara pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga hari ini. Dalam Islam usaha penyelesaian masalah-masalah tersebut adalah suatu kewajiban, terutama bagi angkatan produktif.

Misal, salah problematika mendasar hingga saat ini adalah banyaknya penggangguran. Sebagaimana dilansir www.Indonesia-Invesments.combahwa pengangguran di Indonesia pada tahun 2016 mencapai -+7 juta jiwa. Angka ini masih menunjukkan masalah penggangguran belumlah usai. Idealnya dengan sumber daya alam dan pasar yang besar, ekonomi kreatif ataupun ekonomi berdasar sumber daya alam harusnya dapat mencukupi kebutuhan pekerjaan. Permasalahan lainnya seperti narkoba sangat memprihatinkan dengan pengguna sebanyak -+5,9 juta sebagaiman dilansir BNN tahun 2015.

Itulah sekelumit masalah yang menghampiri bangsa. Ironisnya, masalah ini hinggap di generasi muda, seperti penggangguran, narkoba, dan amoral. Tentu ini menjadi catatan penting tersendiri. Bagi pemuda Islam khususnya, jamak masalah tersebut bukan pula sesuatu yang jelas dari kalangan mereka.

Maka di antara nilai solutif yang mereka harus kerjakan adalah sikap religius sebagai bentuk pengamalan agama mereka. Singkatnya, pemuda Islam ini kembali kepada nilai-nilai. Jika dikatakan sangat terkesan apologetik, penulis tentu memahami. Namun setidaknya itulah saran terbaik yang terbetik di pikir penulis. Proses mereka kembali kepada nilai Islam itu sendiri, pada hakikatnya akan mengantarkan mereka kepada perkembangan mereka tahap selanjutnya, yaitu muslim negarawan.

Pemuda Muslim adalah Muslim Negarawan

Muslim negarawan sumbangsih terbesar bagi bangsa ini, sebab Islam sebagai domain terbesar (kaum beragama terbesar) di Indonesia memiliki potensi daya people power yang besar untuk kemajuan bangsa. Menjadi seorang muslim negarawan bagi pemuda Islam setidaknya perlu beberapa penekanan, baik dalam hakikatnya, tugasnya, dan kapasitasya.

Secara hakikat, Muslim negarawan adalah Muslim yang Indonesianis. Artinya, muslim negarawan harus paham benar apa arti Islam dan Indonesia sebagai identitas dirinya. Ia harus menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Islaman dan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Tidak sekedar ber-KTP Islam dan “menumpang lahir” tanpa peduli dengan nilai-nilai ke-Islaman dank e-Indonesian. Menghormati dan menghargai para ulama dan pahlawan terkait perjuangannya. Menghayati nilai-nilai perjuangan dan berkomitmen untuk melanjutkan perjuangan mereka.

Di antara tugas istimewa dan terpenting muslim negarawan yang tidak dimiliki negarawan lainnya adalah haruslah mampu mengintegrasi nilai Islam dan Keindonesiaan. Sebagaimana dikatakan diawal bahwa Islam dan Indonesia adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling terhubung serta melengkapi satu sama lain.

Dewasa ini dapat kita temui golongan muda yang terjebak dalam diskursus Islam vis-a-vis Indonesia. Seakan terlihat hanya fokus pada nilai-nilai keislaman, namun melupakan nilai keIndonesiaan atau sebaliknya.

Sikap ini tentu sikap yang dikotomis yang keliru. Anwar Harjono menjelaskan dalam bukunya, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam (1995) , bahwa membangun Negara ini yang perlu memadukan pemikiran Islam dan ke-Indonesiaan. Satu sama lain saling melengkapi karena konsep Negara ini adalah Negara agamis (Anwar Harjono, 1995).

Bahkan Muhammad Natsir dalam karya Islam Sebagai Dasar Negara, menyatakan dengan tegas bahwa Pancasila tanpa agama, adalah sekuler. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa Negara oleh Founding Fathers bukanlah teokrasi ataupun sekuler melainkan teistik-demokrasi (Muhammad Natsir, 1957-1959).

Seorang Muslim negarawan harus memiliki kemampuan leading sectoryang baik. Tentu, untuk mencapai hal tersebut diperlukan profesionalitas, integritas diri, komitmen, semangat juang, tekad baja, serta daya dan sikap kritis serta Solutif sekaligus.

Pemuda muslim yang diharapkan pada saatnya menjadi muslim negarawan haruslah memiliki syarat-syarat tersebut. Hal ini tentu dicapai dengan berorganisasi secara baik, disamping menjalankan studi secara serius dan bertanggungjawab.

Nilai suatu ketahanan mutlak dimiliki oleh sebuah bangsa dan negara. Nilai ketahanan ini merupakan akumulasi yang didapat dari elemen-elemen bangsa yang peduli terhadap eksistensi kebangsaaan dan kenegaraan. Kepedulian ini dimanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan setiap elemen bangsa tersebut.

Namun kepedulian ini tentu tidak dapat dicapai dengan jalan mudah, melainkan butuh komitmen, tekad, dan kemauan yang tinggi. Dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia, bentuk bentuk kepedulian ini telah dilakukan sejak dahulu. Usaha-usaha yang pendahulu lakukan telah memberikan nilai ketahanan tinggi terhadap bangsa ini, sehingga dapat melewati masa-masa krisis baik pra-kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.

Epilog

Pemuda Islam adalah salah satu terbesar harapan bangsa. Proses evolusi pemuda Islam sebagai bentuk abdinya kepada Negara dan agamanya sekaligus adalah menjadi seorang muslim negarawan. Pada tahap ini ia akan menjadi problem solver, setidaknya dalam bidangnya.

Tentu untuk pada sampai tahap ini tidaklah mudah. Penulis berkeyakinan kembali nilai-nilai Islam adalah salah satu jalan terbaik untuk menjadi muslim negarawan. Kembali kepada nilai-nilai Islam bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran ke-Indonesiaan, bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Ke-Indonesiaan juga ada pada nilai-nilai ke-Islaman. Nilai-nilai perjuangan, ketulusan, profesionalitas, saling menghargai, dan sebagainya terangkum Indah dalam nilai-nilai ke-Islaman. Sebab pada hakikatnya Islam dan Indonesia sudah menyatu dan menjadi suatu identitas yang tidak terpisahkan.

Menjadi Muslim negarawan adalah menjadi Muslim Indonesianis. Peduli pada agama merupakan bentuk kepedulian pada Negara. Peduli pada Islam, bukan berarti mendiskreditkan agama lainnya. Sebab Islam selalu mengahargai pluralitas dan hak-hak umat beragama.

Pemuda Islam hari ini tidak perlu malu menunjukkan identitasnya. Menjadi Muslim adalah menjadi Indonesia. Islam adalah agama dan Indonesia adalah negara. Maka menjadi dan mengambil peran sebagai muslim negarawan adalah menjalankan serta menjayakan Islam dan Indonesia.

Lalu bagaimanakah Islam di dunia Internasional? Bukankah Muslim negarawan malah mengkotak-kotakkan perjuangan?  Menurut hemat penulis justru muslim negarawan (pemuda muslim) di tiap-tiap daerah Muslim lah kuncinya. Penegakan nilai-nilai keislaman sekaligus nilai-nilai kebangsaaan oleh muslim negarawan lah yang nantinya akan menghidupkan persatuan ke-Islaman sekaligus persatuan bangsa-bangsa di dunia Internasional. Hal ini didasari kemampuan Islam yang mengakomodir berbagai suku, etnis, ras, dan bangsa dalam nafas ajarannya. Jadi peradaban Islam adalah persatuan Islam dan bangsa-bangsa Internasional. Hidup muslim Negarawan. Wallahu ‘alam.

Oleh Khairul Amin, Alumni Intellectual Youth Summit (IYS) 2016, Aktivis Mahasiswa DIY

Grand Syekh Sayangkan Jika Muslim Hanya Fokus Berpolitik

Grand Syekh Al Azhar, Ahmad Muhammad Ath Thayeb meminta umat muslim di Indonesia untuk lebih memperhatikan masalah pengetahuan dibanding hal lainnya. Ia menyayangkan jika umat muslim hanya berfokus pada dinamika politik yang terjadi saat ini dan meninggalkan aktifitas keilmuan.

“Saya berharap kita memperhatikan masalah tentang pengetahuan dengan perhatian yang sangat, literasi-literasi islam dan memperhatikannya dengan seksama, yang sangat disayangkan bilamana kita memperhatikan politik namun kemudian kita meninggalkan aktivitas keilmuan kita,” kata Grand Syekh di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada Rabu (2/5).

Pernyataan Grand Syekh Al Azhar itu merespon sejumlah peserta yang menyampaikan pertanyaan menarik seputar sikap Al Azhar jika lulusan Al Azhar menjadi Presiden RI. Peserta pertama menanyakan sikap Al Azhar bilamana Presiden Indonesia seorang lulusan Al Azhar, sementara peserta kedua menyampaikan harapannya agar lulusan Al Azhardi Indonesia dapat menjadi kepala negara RI. Sebab, jelas penanya kedua, pada tahun 70an banyak lulusan-lulusan Al Azhar yang menjadi kepala negara di sejumlah negara.

 

Sementara dalam kesempatan tersebut, sejumlah tokoh turut hadir diantaranya seperti Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Gubernur NTB yang juga alumni Al Azhar, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi serta para pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Kunjungan Grand Syekh Al Azhar ke UMS selain untuk mengisi tausiyah juga untuk mempererat hubungan antar Muhammadiah dan Al Azhar.

Setelah dari UMS, Grand Syekh Al Azhar langsung bertolak ke Ponpes Putri Gontor diNgawi, Jawa Timur. Sehari sebelumnya, Grand Syekh menghadiri pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan muslim dunia di Bogor serta bertemu dengan Ikatan Alumni Al Azhar Indonesia.

 

REPUBLIKA

Gambaran Menawan Bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan

DALAM buku “Lathâ`ifu al-Ma’ârif fîmâ limawâsim al-‘Âm min al-Wadzâ`if” (1999: 234), Ibnu Rajab al-Hanbali menukil gambaran menawan dari ulama terkait bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Di antaranya adalah apa yang diutarakan oleh Abu Bakar al-Warraq al-Balkhi rahimahullah, dan sebagian ulama lainnya.

“Bulan Rajab,” tutur Abu Bakar al-Balkhi rahimahullah, “adalah bulan bertanam. Sedangkan Sya’ban adalah bulan pengairan tanaman. Adapun Ramadhan adalah bulan panen tanaman.” Bila diperhatikan secara saksama, apa yang dianalogikan olehnya begitu menawan.

Penggambaran Rajab dan Sya’ban sebagai bulan atau momentum untuk bertanam dan pengairan adalah di antara upaya persiapan untuk menuju panen raya Ramadhan. Bagi yang menghendaki sukses besar di bulan penuh berkah, mau tidak mau harus menyiapkannya dengan baik, utamanya bulan Rajab dan Sya’ban.

Terlebih, kalau melihat tradisi salaf, persiapan mereka bukan saja sejak bulan Rajab, tapi enam bulan sebelum Ramadhan. Artinya mereka sangat serius dalam menghadapi Ramadhan. Ibarat petani, mereka sudah menyiapkan benih-benih amal dan segenap sarananya untuk dipanen di ‘tanah subur Ramadhan’.

Pada kesempatan lain, Abu Bakar al-Balkhi rahimahullah memberi tamsil lain. “Perumpaan bulan Rajab,” gumam beliau, “laksana angin. Sedangkan Sya’ban bagaikan mendung. Dan Ramadhan seperti hujan.”

Begitu indah gambaran ini. Bulan Rajab diibaratkan seperti angin yang menghembuskan amal-amal kebaikan, yang kemudian kian menggumpal di bulan Sya’ban sehingga menjadi mendung amal kebaikan, yang kemudian akan menjadi hujan berkah, rahmat, dan maghfirah di bulan Ramadhan.

Sebagian ulama juga memberi gambaran menarik mengenai tiga bulan ini, “Tahun laksana pohon. Bulan Rajab adalah masa berdaun; Sya’ban saat bercabang;  sedangkan Ramadhan adalah waktu untuk memetik (buah). Para pemetiknya adalah orang-orang beriman.”

Gambaran pohon ini juga sangat menarik. Bila satu tahun penuh diibaratkan pohon, maka Rajab adalah masa di mana daun pohon amal saleh bertumbuh. Kemudian diikuti dengan bulan Sya’ban yang menggambarkan amal-amal kebaikan semakin intensif dan bercabang. Puncaknya adalah Ramadhan, yaitu: ketika persiapan-persiapan serius di bulan Rajab dan Sya’ban bisa dipetik buahnya di bulan yang penuh berkah, rahmat dan maghfirah.

Apa yang digambarkan ulama terkait bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan tadi, bukan saja menunjukkan bagaimana pentingnya persiapan amal menuju Ramadhan, tapi di sisi lain juga menggambarkan hal lain yang jarang terpikirkan: dengan berbekal iman dan takwa, mereka mampu memilih diksi yang indah dalam menggambarkan romantisme bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Itulah yang membedakan mereka dengan yang lainnya. Amalan-amalan yang dipersiapkan bukan sekadar masalah kebenaran dan kebaikan yang mesti dijalani sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, namun mereka juga tidak meninggalkan keindahan.

Kebenaran, kebaikan dan keindahan mampu mereka tuangkan dalam bentuk tamsil sastrawi yang harmoni sejak dari persiapan hingga Ramadhan. Persiapan amal yang dilakukan bukan sekadar rutinitas fisik, tapi bagaimana bisa menjalaninya dengan asyik.

Dengan menyiapkan amal di bulan Rajab, Sya’ban hingga Ramadhan, seakan mereka sebagai petani mujur yang siap panen raya;  atau sinergi harmonis antara angin, mendung hingga hujan; atau pohon yang daunnya bersemi, rantingnya bertumbuh hingga menghasilkan buah ranum yang bisa dipetik di bulan Ramadhan.*/Mahmud Budi Setiawan

 

HIDAYATULAH

 

—————————————————————-
Artikel keislaman di atas bisa Anda nikmati setiap hari melalui smartphone Android Anda. Download aplikasinya, di sini! Dengan aplikasi ini, Anda juga bisa ngecek Porsi Haji dan Visa Umrah Anda.

 

Ahli Surga Berada di Bawah Teduh Pohon Khuldi

SEORANG jemaah pengajian bertanya, masih adakah pohon Khuldi di surga? Apakah pohon itu pun ada dalam kehidupan dunia?

Atas pertanyaan itu, Ustaz Ammi Nur Baits menjelaskan, yang lebih penting dalam membahas masalah surga dan neraka adalah bagaimana kita bisa termotivasi untuk melakukan amalan yang mendekatkan diri kita ke surga dan menjauhkan diri kita dari neraka. Dan seperti inilah tujuan Allah ceritakan surga dan neraka dalam Alquran.

Dalam sebuah ayat, seusai Allah menyebutkan kondisi penduduk surga, Allah menyatakan, “Untuk seperti inilah hendaknya seseorang berlomba-lomba dalam beramal.” (QS. as-Shaffat: 61).

Di ayat lain, sesuai Allah menjelaskan kenikmatan surga, Allah menyatakan,
“Untuk mendapatkan seperti ini, hendaknya orang berlomba memperebutkannya.” (QS. al-Muthaffifin: 26)

Demikian pula sebaliknya, ketika Allah menceritakan kedahsyatan neraka, tujuannya agar para hamba menjadi takut. Usai Allah menyebutkan kedahsyatan neraka, Allah menegaskan, “Seperti itulah bagaimana Allah menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Wahai para hamba-Ku, bertaqwalah kepada-Ku. (QS. az-Zumar: 16).

Sementara bagaimana detil isi surga, berapa suhunya, seperti apa cuacanya, apa di surga bisa merayakan ulang tahun, apa di surga ada permainan water boom, termasuk bagaimana nasib pohon Khuldi, dst. sebenarnya kurang penting untuk kita ketahui. Meskipun setidaknya itu bisa menjadi wacana bagi orang yang membacanya.

Pohon yang besar di surga

Sebelum mengulas pohon khuldi, kami kenalkan dulu salah satu kenikmatan di surga, yaitu pohon yang sangat besar. Allah sebutkan dalam Alquran, “(Ahli surga berada di bawah) teduh bayangan yang sangat panjang.” (QS. al-Waqiah: 30).

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat ini,

Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pohon, andai orang yang naik kuda hendak melintasi bayangannya, selama 100 tahun belum sampai ke ujungnya. Bacalah firman Allah, teduh bayangan yang sangat panjang. (HR. Ahmad 7709, Bukhari 4881, Muslim 7317)

Dimanakah pohon Khuldi?

Kita sepakat, yang dimaksud pohon Khuldi di sini adalah pohon yang dulu Nabi Adam dilarang untuk mendekatinya. Meskipun penamaan khuldi berasal dari setan, untuk menggoda Adam. Karena arti kata khuldi adalah kekal. Agar Adam mengira dengan makan pohon ini, beliau bisa kekal di surga.

Dalam al-Bidayah, Al-Hafidz Ibnu Katsir menulis,

Setan membisikkan kepadanya, dia mengatakan, “Hai Adam, maukah kutunjukkan pohon Khuldi dan kerajaan yang tidak pernah sirna?” artinya, akan kutunjukkan sebuah pohon yang jika kamu memakannya maka kamu akan menjadi kekal dalam kenikmatan yang saat ini kamu rasakan. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/77).

Apakah pohon Khuldi adalah pohon besar itu?

Imam Ahmad meriwayatkan dari jalur Syubah dari Abu ad-Dhahak, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya di surga ada satu pohon, apabila ada penunggang kuda hendak melintasi bayangannya, selama 10 tahun, tidak sampai ke ujungnya. Itulah pohon Khuldi. (HR. Ahmad 9950, ad-Darimi 2895, dan tambahan Pohon khuldi dinilai dhaif oleh Syuaib al-Arnauth).

Keterangan lain disampaikan al-Hafidz Ibnu Katsir. Beliau menjelaskan bahwa bisa jadi pohon Khuldi di masa Adam adalah pohon besar yang teduhnya sangat panjang itu.

Di kitab al-Bidayah, beliau melanjutkan keterangannya,

Bisa jadi, pohon khuldi itu adalah pohon yang disebutan dalam hadis riwayat Imam Ahmad.. (kemudian beliau menyebutkan hadis di atas).

Hanya saja ada sebagian ulama yang mengingkari keberadaan pohon ini di Surga. Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Imam Ghundar (gurunya Bukhari),

Ghundar bertanya kepada Syubah, “Apakah pohon besar itu pohon khuldi?”

Jawab Syubah, “Di sana tidak ada lagi pohon khuldi.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/78).

Apakah kita dilarang mendekatinya?

Kita tidak tahu pasti, apakah pohon itu masih ada ataukah tidak. Karena kesimpulan keberadaan pohon Khuldi di surga akhirat, masih diperselisihkan ulama. Andai itu masih ada, apakah kita akan dilarang mendekatinya?

Tidak ada hari setelah akhirat. Sehingga penduduk surga akan kekal di surga selamanya. Sementara penduduk neraka yang beriman akan diselamatkan menuju surga. Ketika penduduk neraka yang tersisa tinggal orang kafir, mereka mendekam kekal di dalamnya.

Karena itu, peristiwa yang dialami Nabi Adam tidak akan berulang. Sehingga tidak ada istilah, jika besok di surga manusia mendekati pohon larangan maka dia akan diusir ke dunia. Jelas ini tidak terjadi. Tidak ada orang yang masuk surga kemudian dikeluarkan darinya. Allah menegaskan,

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman” Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya danmereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan dari surga. (QS. al-Hijr: 45 48)

Disamping itu, penduduk surga diberi keistimewaan, mendapatkan apapun yang mereka inginkan.

Di surga, kalian mendapatkan apapun yang diinginkan jiwa kalian dan kalian mendapatkan apa yang kalian minta sebagai balasan dari Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Fushilat: 31 32)

Di ayat lain, Allah juga menegaskan, “Masuklah ke dalam surga dengan keselamatan, itulah hari yang kekal. Mereka mendapatkan apapun yang mereka inginkan, dan kami memiliki nikmat tambahan.” (QS. Qaf: 34 35).

Dengan mempertimbangkan berbagai dalil, ditegaskan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, di surga akhirat tidak ada lagi istilah larangan. Lembaga Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan hubungan pohon besar dengan ppohon khuldi. Kemudian mereka menyatakan,

Jika pohon yang disebutkan dalam al-Quran adalah pohon yang pohon yang disebutkan dalam hadis, berarti pohon itu ada hingga sekarang. Dan tidak dilarang bagi penghuni surga di akhirat untuk memanfaatkannya. Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan pohon besar itu sebagai motivasi bagi umatnya untuk mendapatkannya, sehingga mereka berusaha beramal agar bisa masuk surga. Dan di surga tidak ada yang haram. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 113009). Allahu alam. []

 

INILAH MOZAIK

Orangtua Berdosa Bila Biarkan Anak Pakai Rok Mini

APABILA seorang ibu memakaikan rok pendek pada putrinya dan si ayah sendiri ketika melihatnya tidak berkomentar, padahal sebenarnya ia tidak setuju dengan pakaian tersebut, lalu apakah si ayah berdosa atas sikapnya tersebut?

Berdasarkan Ensiklopedi Anak karya Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, Darrus Sunnah dinyatakan bahwa keduanya berdosa.

Seorang ayah berdosa karena ia penanggung jawab seluruh isi rumah tangganya, terhadap istrinya dan anak-anaknya. Seharusnya ia menasihati istrinya, yaitu ibu dari putrinya, dan juga menasihati putrinya.

Si ibu juga berdosa karena ia bertanggung jawab terhadap putri-putrinya dan ia rida dengan pakaian seperti itu untuk putrinya. Artinya, baik si ayah maupun si ibu telah bahu-membahu dalam melakukan dosa dan permusuhan.

Tanggung jawab dan beban seorang suami lebih besar ketimbang tanggung jawab sang istri, karena dia lah tulang punggung keluarga, istri dan anak-anaknya. Adapun istri, ia memiliki tanggung jawab yang lebih kecil, yaitu hanya bertanggung jawab terhadap putra-putrinya.

Intinya, baik ayah maupun ibu sama-sama berdosa karena mereka berdua telah bahu-membahu berbuat dosa dan permusuhan, serta telah membiasakan perbuatan buruk kepada putrinya sejak usia dini. [Fatwa Syekh Abdur Razaq Afifi, hlm. 574]

 

INILAH MOZAIK

Siap dan Bahagia Sambut Ramadhan

MEMASUKI pertengahan Bulan Sya’ban, seorang anak kelas dua sekolah dasar terlihat sangat bahagia. Kepada kedua orang tuanya berulang kali ia bertanya, “Sebentar lagi puasa, ya, Ma?”

Ramadhan memang memiliki daya tarik tersendiri, tidak saja bagi orang beriman, tetapi juga anak-anak yang menuju baligh. Hal ini tidak lain karena  kemuliaan dan keagungannya sungguh sangat luar biasa.

Maka, sungguh mengherankan bila orang mengerti hakikat Ramadhan kemudian merasa biasa-biasa saja. Padahal, Ramadhan 1439 H tinggal dua pekan atau bahkan lebih dekat lagi.

Dalam sejarah kita akan temukan bahwa para ulama terdahulu saling mengingatkan bila Ramadhan akan tiba. Selanjutnya mereka mempersiapkan diri untuk memperbanyak amal sholeh.

Riwayat menyebutkan bahwa Imam Mu’la bin Fadhal pernah berkata, “Mereka (ulama terdahulu, salafus sholeh) berdoa selama enam bulan agar disampaikan kepada Ramadhan.”

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Ramadhan tidak bisa disikapi, melainkan dengan kesungguhan, totalitas, dan komitmen tinggi untuk meraih ketaqwaan.

Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menerangkan, “Nilai puasa Ramadhan adalah seperempat keimanan.” Hal itu beliau sandarkan dari hadtis Nabi, “Puasa adalah setengah dari kesabaran.” (HR. Tirmidzi).

Kemudian, Al-Ghazali mengutip hadits qudsi, “Setiap perbuatan baik yang dilakukan manusia akan mendapatkan pahala sepuluh hingga tujuh ratus kalilipat, kecuali puasa. Sebab, sesungguhnya puasa itu hanya bagi-Ku, dan Aku-lah yang akan menentukan balasannya.”

Jadi, sangat pantas jika setiap insan beriman memantaskan diri menyambut Ramadhan.

Terlebih puasa di dalam sabda Rasulullah termasuk dari pilar tegaknya agama.

Islam dibangun di atas lima perkara, 1) Syahadat, 2) sholat, 3) zakat, 4) haji, 5) puasa Ramadhan, demikian dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Ramadhan dalam bahasa Buya Hamka pada bukunya “Dari Lembah Cita-Cita menyatakan bahwa puasa adalah media pemerdeka jiwa atas kekangan hawa nafsu.

Buya Hamka menjelaskan, “Kita telah terbiasa makan di siang hari. Payah melepaskan, membiasakan, memerdekakan diri dari kebiasaan itu. Payah menghentikan merokok, payah makan di luar waktu yang telah ditentukan, sampai timbul pepatah terkenal, ‘Manusia budak dari kebiasaannya.’ Oleh karena itu, puasa adalah alat yang utama untuk memerdekakan jiwa dari kebiasaannya setiap hari, yang kelak menjadi tangga untuk melawan kebiasaan-kebiasaan yang besar sehingga terbuktilah pepatah yang asyhur, ‘Bukan untuk makan saja kita hidup.”

Penjelasan Hamka boleh jadi merupakan penjelasan dari hadits Nabi, “Sesungguhnya setan itu masuk ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya. Oleh karenanya, sempitkanlah jalan setan itu dengan cara berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim).

Dengan demikian, penting bagi setiap insan memahami Ramadhan dengan sebaik-baiknya kemudian diikuti dengan langkah-langkah persiapan yang dimana pada saat Ramadhan amalan itu bisa semakin digalakkan. Karena Ramadhan juga dikenal dengan nama Syahrul Ibadah (bulan ibadah).

Kita bisa bayangkan, begitu hebatnya kemuliaan yang Allah sediakan bagi orang yang berpuasa lagi beribadah, pahala umroh di bulan Ramadhan sebanding dengan pahala ibadah haji. Di sini kita penting benar-benar menyiapkan diri dengan beragam amalan sholeh di dalam Ramadhan.

Bagi kaum hawa, jika masih ada hutang puasa Ramadhan tahun sebelumnya, maka bersegeralah membayarnya.

Dari Abu Salamah berkata, Aku mendengar Aisyah radhiyallahu anha berkata, “Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha’nya kecuali pada Bulan Sya’ban.”

Yahya berkata, “Karena dia sibuk dengan (mengurus) Nabi atau sibuk karena senantiasa bersama (mengiringi kesibukan) Nabi shallallahu alayhi wasallam.” (HR. Bukhari).

Nah, ini kesempatan bagus bagi para suami agar mendorong istrinya segera membayar puasa. Terlebih, pada Bulan Sya’ban Rasulullah banak mengerjakan puasa sunnah.

Rasulullah shallallahu alayhi wasallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di Bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari Muslim).

Meski demikian penting dicatat, tidak dibolehkan berpuasa sehari atau dua hari sebelum masuk Ramadhan. Kita dilarang berpuasa pada akhir Bulan Sya’ban.

“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Muslim).

Sekarang baru masuk pertengahan, maka bersegeralah melakukan puasa sunnah sebagai wujud kesiapan sekaligus kebahagiaan menyambut Ramadhan.

Selanjutnya memperbanyak membaca Al-Qur’an. Hal ini sangat penting terutama bagi mereka yang memiliki kesibukan luar biasa di siang hari, pulang larut malam dari bekerja. Sebab, sangat sayang jika diri berpuasa, tetapi interaksi dengan Al-Qur’an rendah.

Jika memang ada kesanggupan menjalankan tanggungjawab lahiriah keluarga dengan baik selama Ramadhan tanpa bekerja, maka memfokuskan diri beribadah bukanlah hal yang buruk.

Amru bin Qois Al-Malai apabila memasuki Bulan Sya’ban beliau menutup tokonya, lalu memfokuskan diri untuk membaca Al-Qur’an. Sekalipun langkah seperti ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh kebanyakan kaum Muslimin. Ini hanya bagi yang mampu dan memang menyiapkan diri.

Terakhir, perkuatlah keimanan kepada Allah. Karena Ramadhan mesti menjadikan diri kita semakin beriman dan bertaqwa kepada-Nya.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari Muslim).

Jadi, mari persipakan diri dari sekarang untuk menyambut Ramadhan. Mulailah latihan beribadah, seperti puasa, membaca Al-Qur’an, dan segala macam amalan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. Jadilah Muslim yang siap dan bahagia menyambut Ramadhan.

Semoga Allah berikan kemampuan untuk kita semua menyiapkan diri dan mengisi Ramadhan 1439 H dengan sebaik-baiknya. Aamiin.*

 

HIDAYATULLAH

Mengonsumsi Daging Luwak, Halalkah?

Binatang luwak merupakan hewan menyusui yang termasuk suku musang dan garangan. Binatang ini kerap ditemui di permukiman-permukiman. Lantas, bagaimana hukum mengonsumsi daging binatang luwak secara syariat Islam?

Dikutip dari laman resmi fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, Senin (23/4), mengonsumsi daging luwak adalah halal. Fatwa tersebut berdasarkan kaidah yang berbunyi bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh atau halal kecuali yang ditunjuk dalil sebaliknya. Sedangkan, binatang luwak bukan termasuk hewan yang dilarang dikonsumsi.

Binatang yang haram dikonsumsi sebagai diterangkan dalam Alquran dan hadis, antara lain, bangkai binatang darat, darah binatang yang mengalir, daging babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, binatang yang tercekik, terpukul, terjatuh, ditanduk, diterkam binatang buas, juga disembelih untuk berhala.

Muhammadiyah merujuk pada ayat Alquran surah al-Maidah (5): 3. Kemudian, Muhammadiyah juga merujuk kepada hadis riwayat al-Bukhari, “Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata: Nabi SAW melarang memakan daging keledai peliharaan.”

Binatang lainnya yang haram dikonsumsi adalah binatang bertaring, seperti harimau, srigala, singa, beruang, anjing, dan kucing. Hal tersebut sesuai dari bunyi hadis, “Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah RA. Bahwa Rasulullah SAW melarang memakan setiap binatang yang mempunyai taring dari kalangan binatang buas.” (HR al-Bukhari).

Kemudian, burung yang mempunyai cakar sehingga mencengkeram mangsanya seperti rajawali, elang, dan burung hantu. Sebagaimana bunyi hadis, “Diriwayatkan Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW melarang (makan) setiap binatang yang mempunyai taring dari kalangan binatang buas dan setiap dan setiap yang mempunyai cakar dari kalangan burung.” (HR Muslim).

Selain itu, binatang atau burung yang makanannya bangkai juga dilarang untuk dikonsumsi sebagaimana ayat Alquran surah al-A’raf (7): 157. Kemudian, binatang yang buruk dan menjijikkan, seperti kalajengking, serangga, dan cicak sebagaimana surah al-A’raf (7): 157.

Lalu, binatang yang dilarang juga untuk dikonsumsi adalah binatang yang diperintahkan untuk membunuhnya, seperti ular, tikus, dan burung gagak. Hal tersebut sesuai bunyi hadis, “Diriwayatkan Aisyah RA. Dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, ‘Lima binatang fasik yang (sunah) dibunuh di daerah halal dan suci: ular, burung gagak yang abqa’ (di punggung dan perutnya ada warna putih), tikus, anjing ‘aqur (yaitu yang buas dan memangsa), dan burung elang.'” (HR Muslim).

Binatang yang dilarang untuk membunuhnya, seperti burung layang-layang, katak, semut, burung hud-hud, dan lebah, juga haram dikonsumsi. Itu sebagaimana hadis yang berbunyi, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW melarang membunuh burung layang-layang, katak, semut, dan burung hud-hud.” (Ibnu Majah).

Termasuk semua binatang yang membahayakan kesehatan atau membuat sakit, sebagaimana bunyi hadis, “Diriwayatkan dari Ubaidah bin as-Somit bahwa Rasulullah SAW menghukumi bahwa tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah).

 

REPUBLIKA

Memahami Psikologi Anak

Islam mengajarkan agar para orangtua tak mengabaikan perkembangan anak-anaknya. Sebab jika tidak, malapetaka yang terjadi. Anak-anak bisa berperilaku kurang baik dan terganggu emosinya.

Di pundak orangtualah, tanggung jawab untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. Sebuah pendidikan dan peningkatan akhlak Islam, yang didasarkan karakter mulia yang ditetapkan Nabi SAW.

Menurut Syekh Muhammad Ali Hasyimi dalam buku /Hidup Saleh dengan Nilai-nilai Spiritual Muslim/, tugas di atas hendaknya menjadi perhatian bersama. Sebab, lingkungan pun akan memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan mereka.

Oleh karenanya, semua pihak harus memahami psikologi anak. Mereka harus mengetahui cara bergaul dengan mereka, menerapkan metode terbaik serta paling efektif dalam perawatan dan pendidikannya.

Aisyah RA meriwayatkan, ”Anak-anak kita adalah hati kita, yang berjalan di antara kita di muka bumi. Bahkan jika sebuah angin dingin kecil menimpa mereka, kita tidak dapat tidur karena mengkhawatirkan mereka.”

 

Muslim sejati, sambung Syekh Muhammad, tidak dapat mengabaikan anak-anaknya dan membiarkan mereka dalam kesengsaraan. ”Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu.” (QS: at-Tahrim [66] : 6)

Nabi SAW, sejak 1500 tahun lampau, telah memberikan contoh terbaik akan metode membimbing dan mendidik anak. Beliau menunjukkannya langsung dalam kata dan perbuatan.

Metode pembimbingan sesuai arahan Nabi antara lain memberikan contoh yang baik, melihat tingkat perkembangan usia mereka, memperlakukan anak dengan baik, tunjukkan kasih sayang, cinta, dukungan, nasihat, koreksi dan bimbingan.

Banyak hadis dan riwayat yang menggambarkan kasih sayang beliau kepada Hasan dan Husein, cucu beliau, juga anak-anak lainnya. Nabi memperlakukan mereka dengan penuh cinta, kelembutan dan perhatian.

 

REPUBLIKA

Penyejuk Mata dan Hati

Dalam setiap doa orang tua hampir selalu disebutkan keinginan untuk memiliki anak yang saleh penyejuk mata dan hati. Anak yang mem buat kedua orang tua menjadi bangga dan penuh kasih setiap mengingatnya. Anak yang dengan kesalehan nya dapat mengangkat derajat orang tua menjadi orang terhormat dan ter pandang sehingga membuat orang tua merasa bahagia karena amal dan perbuatan anaknya.

Terkadang, tanpa disadari, orang tua menjadikan doa-doanya sebagai tun tutan terhadap anak-anaknya. Menuntut anak untuk selalu bersikap baik, tidak banyak ribut, tidak rewel, dan lainlain. Berharap anak dapat menjadi baik dan saleh, secara otomatis menuruti semua nasihat dan perintah orang tuanya.

Pernahkah orang tua memikirkan bahwa untuk menjadi anak yang baik dibutuhkan contoh-contoh dan panduan yang juga baik, bukan hanya sekadar kata-kata? Bayangkan kesulitan yang dihadapi anak-anak yang diharapkan menjadi anak saleh tanpa diberikan contoh, arahan, dan panduan untuk menjadi anak saleh.

Padahal, pendidikan anak secara utuh adalah tanggung jawab orang tua sebagaimana firman Allah SWT dalam QS at-Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” Kemudian, sabda Rasulullah SAW diriwayatkan oleh al- Hakim yang artinya: “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.”

Cara paling efektif dalam mem beri kan nasihat adalah dengan memberi kan contoh yang baik. Anak-anak akan le bih mudah untuk mengikuti dan me nu ruti jika orang tua telah melakukan apa yang diperintahkan. Orang tua se baiknya selalu memberikan contohcon toh perbuatan yang baik dan tidak me lakukan hal-hal buruk. Sebagai con toh, akan sulit melarang anak untuk ti dak merokok sedangkan ayahnya merokok.

Rasulullah SAW adalah suri teladan yang sempurna. Beliau mengajarkan para sahabat dengan perbuatannya. Memberikan contoh dan perkataan langsung untuk hal-hal yang dilarang, segala sesuatu yang dikerjakannya adalah panutan umat, baik dalam beribadah maupun berakhlak. Rasulullah SAW memberikan contoh cara berakhlak yang baik, termasuk dalam hal mendidik anak.

Oleh karena itu, sebagai orang tua, kita seharus nya menjaga sikap dan per buatan kita, menerapkan pola kehidupan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sehingga anak-anak mempunyai panutan dan dapat mengikuti contoh yang diberikan orang tua. Semoga kita akan dapat memiliki anak keturunan yang saleh penyejuk mata dan hati.

oleh: Dian Nuraini

 

REPUBLIKA

Sempurnakan Kebaikan

ALHAMDULILLAH. Segala puji hanya milik Allah Swt. Tiada yang wajib disembah kecuali Allah. Hanya Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan hanya kepada-Nya segala yang ada di alam semesta ini tunduk. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad Saw.

Allah Swt berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan, apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron [3] : 92)

Jika ada orang lain memberi kita sehelai kain untuk kita kenakan, namun ternyata kain itu usang dan bolong, tentu kita tidak akan senang. Demikian juga orang lain jika berada pada posisi yang sama.

Saudaraku, Allah mencintai hamba-Nya yang jika menolong orang lain maka ia memberikan pertolongan sesempurna mungkin yang bisa ia berikan. Saat memberi santunan beras untuk fakir miskin, maka ia berikan beras terbaik, minimal seperti beras yang biasa ia nikmati sehari-hari.

Jangan pernah merasa rugi saat bersedekah pada orang lain dengan barang yang bagus. Namun, sesungguhnya kita pasti rugi jika kita punya kemampuan untuk menyempurnakan pemberian, akantetapi kita tidak melakukannya. Karena kecukupan rezeki yang kita miliki, kelebihan harta yang kita miliki, sesungguhnya itu adalah kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk membelanjakannya di jalan Allah.

Jika kesempatan itu datang namun kita melewatkannya, maka betapa ruginya kita. Belum tentu kesempatan seperti itu datang kembali, dan tidak ada yang bisa menjamin usia kita akan sampai pada kesempatan berbuat baik yang berikutnya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa bersegera dalam berbuat kebaikan dan menyempurnakan kebaikan. Aamiin yaa Robbal aalamiin. [smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

INILAH MOZAIK