Syarhus Sunnah: Allah itu Mahatinggi

Allah itu Mahatinggi. Inilah akidah penting yang disebutkan oleh Imam Al-Muzani yang menyelisihi ulama Syafi’iyah.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

الوَاحِدُ الصَّمَدُلَيْسَ لَهُ صَاحِبَةٌ وَلاَ وَلَدٌ جَلَّ عَنِ المَثِيْلِ فَلاَ شَبِيْهَ لَهُ وَلاَ عَدِيْلَ السَّمِيْعُ البَصِيْرُ العَلِيْمُ الخَبِيْرُ المَنِيْعُ الرَّفِيْعُ

  1. Allah itu Maha Esa, Allah itu Ash-Shamad (yang bergantung setiap makhluk kepada-Nya), yang tidak memiliki pasangan, yang tidak memiliki keturunan, yang Mahamulia dan tidak semisal dengan makhluk-Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan Allah. Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Allah itu Maha Mengilmui dan Mengetahui. Allah itu yang mencegah dan Mahatinggi.

عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ

2. Allah itu Mahatinggi di atas ‘Arsy-Nya. Allah itu dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya.

 

Allah itu Al-Mani’ dan Ar-Rafi’

 

Allah itu Al-Manii’, mani’ itu artinya mencegah atau kuat, berarti tidak ada yang dapat mengalahkan Allah. Ar-Rafi’ itu artinya tinggi, mulia kedudukannya. Adapun dalil khusus untuk penetapan nama Al-Manii’ dan Ar-Rafii’, kami belum mengetahuinya, wallahu a’lam. Namun Al-Manii’ mendekati nama Allah Al-‘Aziz, yaitu Yang Mahakuat (Yang Mahaperkasa), tidak ada yang bisa mengalahkan. Sedangkan Ar-Rafii’ mendekati nama Allah Al-‘Ali yang dibahas berikut ini.

 

Allah itu Mahatinggi

 

Kalimat Imam Al-Muzani membicarakan tentang sifat Allah Al-‘Uluww (Mahatinggi). Bisa juga disebut Al-‘Ali, Al-A’la, dan Al-Muta’aail.

Dalil-dalil yang membicarakan nama Allah Al-‘Ali ada di delapan tempat. Di antaranya ayat,

وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚوَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)

ذَٰلِكُمْ بِأَنَّهُ إِذَا دُعِيَ اللَّهُ وَحْدَهُ كَفَرْتُمْۖوَإِنْ يُشْرَكْ بِهِ تُؤْمِنُوا ۚفَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ

Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Mu’min: 12)

Contoh dengan nama Allah Al-A’laa, seperti dalam firman Allah,

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A’laa: 1)

إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ

tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Rabbnya yang Maha Tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)

Nama Allah Al-Muta’aali terdapat dalam ayat,

عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ

Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. Ar-Ra’du: 9)

 

Arti Allah Mahatinggi

 

Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa Allah itu Mahatinggi di atas segala sesuatu.

As-Sa’di dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud Al-‘Uluww adalah Mahatinggi secara mutlak dari berbagai macam sisi yaitu mencakup:

  1. Allah itu Mahatinggi secara dzat, yaitu Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya.
  2. Allah itu Mahatinggi dari kemuliaan dan sifat-Nya, yaitu tidak ada yang semisal dengan Allah.
  3. Allah itu Mahatinggi dari sisi al-qahr, yaitu tidak ada yang dapat mengalahkan Allah, semua bergerak dengan izin Allah, semua yang terjadi dengan kehendak Allah.

 

Ada Seribu Dalil Pendukung

 

Ahmad bin Abdul Halim Al-Harrani (yang dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata,

قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ

“Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an ada seribu dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagian mereka lagi mengatakan ada tiga ratus dalil yang menunjukkan hal ini.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5:121)

 

Ada Ijmak, Kata Sepakat Ulama

 

‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh-Dhuba’i bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,

الجَهْمِيَّةُ فَقَالَ هُمْ شَرُّ قَوْلًا مِنَ اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى قَدْ إِجْتَمَعَ اليَهُوْدُ وَالنَّصَارَى وَأَهْلُ الأَدْيَانِ مَعَ المُسْلِمِيْنَ عَلَى أَنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ عَلَى العَرْشِ وَقاَلُوا هُمْ لَيْسَ عَلَى شَيْءٍ

“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” (Lihat Mukhtashar Al-‘Uluw, hlm. 168)

Yang namanya ijmak atau kata sepakat ulama seperti yang kami nukilkan sudah menjadi dalil kuat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Siapa yang menyelisihi akidah ini, dialah yang keliru.

Karena disebutkan dalam hadits,

إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ

Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah, no. 3950)

Masih berlanjut bahasan ini pada edisi selanjutnya. Moga Allah beri taufik dan hidayah.

 

Referensi:

  1. AnNahju Al-Asma’ fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna. Cetakan keenam, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Al-Hamud An-Najdi. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
  2. Fiqh Al-Asma’ Al-Husna. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr. Penerbit Ad-Duror Al-‘Almiyyah.
  3. Mukhtashar Al-‘Uluw li Adz-Dzahabiy. Cetakan kedua, 1412 H. Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy.
  4. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/18865-syarhus-sunnah-allah-itu-mahatinggi.html

Bulughul Maram – Adab: Menjilat Jari Ketika Makan

Di antara adab makan adalah menjilat sisa makanan pada jari jemari.

 

Hadits #1452

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا, فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ, حَتَّى يَلْعَقَهَا, أَوْ يُلْعِقَهَا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5456 dan Muslim, no. 2031]

 

Takhrij Hadits

 

Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah (makanan), Bab “Menjilat jari dan mengisapnya sebelum diusap dengan sapu tangan.” Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari jalur Sufyan, dari ‘Amr bin Dinar, dari ‘Atha’, dari Ibnu ‘Abbas. Lafal ‘tha’aman’ tidak didapati dalam riwayat Bukhari, hanya ditemukan dalam riwayat Muslim.

 

Kosakata Hadits

“إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا”, yang dimaksud makanan di sini adalah makanan yang memiliki suatu yang basah yang menempel pada jari. Beda dengan makanan yang kering, maka tidak diberlaku larangan dalam hadits ini.

“فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ”, yang dimaksud adalah jangan mengusap sisa makanan dengan sapu tangan dan semacamnya.

 

Faedah Hadits

  1. Hadits ini menunjukkan bahwa di antara adab makan adalah disunnahkan menjilat jari jika ada sisa makanan yang melekat sebelum diusap dengan sapu tangan atau semacamnya, atau sebelum dicuci dengan air.
  2. Sunnah ini dilakukan untuk menjaga keberkahan makanan dan kebersihan makanan tersebut dibanding langsung dicuci, akhirnya terbuang begitu saja.
  3. Hukum menjilat tangan setelah makan ini adalah sunnah, bukan wajib. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Ajaran ini termasuk sunnah qauliyyah dan ‘amaliyah (ucapan dan perbuatan).
  4. Perintah menjilat jari ini dalam hadits lain disebutkan bahwa sebabnya karena kita tidak tahu di mana tempat adanya keberkahan.
  5. Hadits ini mengajarkan tawadhu’.
  6. Hadits ini mengajarkan untuk bersikap menjaga sesuatu, tidak membuangnya sia-sia begitu saja.
  7. Menjilat jari ini demi menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  8. Hadits ini jadi bantahan untuk orang yang menganggap perbuatan menjilat jari adalah sesuatu yang menjijikkan. Mungkin bisa dikatakan jijik jika menjilatnya di tengah-tengah makan, kemudian di sini nampak bekas air liurnya. Namun kalau menjilatnya setelah selesai makan atau melihat ada sisa pada piring, maka seperti itu adalah bagian dari yang ia makan.
  9. Boleh makan dengan seluruh jari, misal ketika makan nasi dan semacamnya. Namun lebih afdal makan dengan tiga jari (jari tengah, telunjuk, dan ibu jari) jika memang memungkinkan. Makan dengan tiga jari juga menunjukkan tawadhu’ dan kesederhanaan.
  10. Boleh saja menyodorkan yang lain untuk menjilat jarinya, misal kepada istri dan ini menunjukkan kecintaan yang sangat. Bisa juga terjadi pada seorang anak pada bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti selalu berkata yang benar, dan bukan suatu yang sia-sia. Wallahu Ta’ala a’lam.

 

Beberapa Adab Makan

Pertama: Membaca bismillah ketika mengawali makan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala (baca ‘bismillah’). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal (lupa baca ‘bismillah’), hendaklah ia mengucapkan: ‘Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لاَ يُذْكَرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

Sungguh setan menghalalkan makanan yang tidak disebutkan nama Allah padanya.” (HR. Muslim, no. 2017)

 

Kedua: Makan dengan tangan kanan dan makan yang di dekat kita.

Dari ‘Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

Wahai anak, sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah yang ada di hadapanmu.” (HR. Bukhari, no. 5376)

 

Ketiga: Makan dari pinggir, tidak dari tengah.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ فَكُلُوا مِنْ حَافَتَيْهِ وَلاَ تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ

Berkah itu turun di tengah-tengah makanan, maka mulailah makan dari pinggirnya dan jangan memulai dari tengahnya.” (HR. Tirmidzi, no. 1805 dan Ibnu Hibban, no. 5245. Abu ‘Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

 

Keempat: Tidak makan dalam keadaan bersandar.

Dari hadits Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَمَّا أَنَا فَلاَ آكُلُ مُتَّكِئًا

Adapun saya tidak suka makan sambil bersandar.” (HR. Tirmidzi, no. 1830 dan Ibnu Hibban, no. 5240. Abu ‘Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

 

Kelima: Tidak menjelek-jelekkan makanan yang tidak disukai.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah mencela suatu makanan sekali pun dan seandainya beliau menyukainya maka beliau memakannya dan bila tidak menyukainya beliau meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari, no. 5409.)

 

Keenam: Tidak membiarkan suapan makanan terjatuh.

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambilah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan suapan tersebut dimakan setan.” (HR. Muslim, no. 2033)

 

Ketujuh: Memuji Allah dan berdoa sesudah makan.

Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “ALHAMDULILLAAHILLADZII ATH’AMANII HAADZAA WA ROZAQONIIHI MIN GHAIRI HAULIN MINNII WA LAA QUWWATIN” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi, no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

Sesungguhnya Allah sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum.” (HR. Muslim, no. 2734)

 

Kedelapan: Mencuci tangan untuk membersihkan sisa-sisa makanan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا بَاتَ أَحَدُكُمْ وَفِى يَدِهِ غَمَرٌ فَأَصَابَهُ شَىْءٌ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

Jika salah seorang dari kalian tidur dan di tangannya terdapat minyak samin (sisa makanan) kemudian mengenainya, maka janganlah mencela kecuali kepada dirinya sendiri.” (HR. Ahmad, 2:344. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahihsesuai syarat Bukhari-Muslim)

Moga bermanfaat, penuh berkah.

 

Referensi:

Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 10:32-34.

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/18426-bulughul-maram-adab-menjilat-jari-ketika-makan.html

Faedah Surat Yasin: Manusia Hanya dari Mani, Namun SOMBONG

Manusia hanya tercipta dari mani, namun akhirnya ia jadi sombong dan berbuat zalim. Pelajari dari faedah surat Yasin berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

أَوَلَمْ يَرَ الْإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ

Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yasin: 77)

 

Faedah dari Ayat

  • Manusia itu diciptakan dari keadaan lemah, hanya dari mani yang hina.
  • Realitanya manusia dari suatu yang lemah, namun akhirnya sombong, angkuh, jadi penantang yang nyata.
  • Harusnya manusia kalau melihat dari asal penciptaannya tidak menjadi orang sombong dan zalim.
  • Berdebat untuk membela kebatilan itu tercela. Namun berdebat untuk membela kebenaran itu terpuji sebagaimana dalam ayat lainnya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125)
  • Ayat ini ditujukan pada Ubay bin Khalaf dan Al-‘Ash bin Wail As-Sahmi, juga setiap orang yang mengingkari hari berbangkit (hari kiamat).
  • Kalau Allah mampu mencipta manusia, maka Allah mampu pula mengembalikan dan membangkitkannya.

Semoga raih ilmu yang bermanfaat.

 

Referensi:

  • At-Tashil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Juz Yasin. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Musthafa Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  • Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin. Cetakan kedua, tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya.

—-

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/16170-faedah-surat-yasin-manusia-hanya-dari-mani-namun-sombong.html

Pribadi Muslim: Sehat, Pikiran Tajam, Mental Baja

ISLAM datang memberikan perhatian pada persoalan jasmaniah umat manusia. Sejak pertama berada dalam lingkup agama Islam. Rasulullah SAW pernah menyampaikan “tubuhmu mempunyai hak atas dirimu.” (HR. Muslim: 1973)

Hak yang dimaksud di sini adalah hak tubuh apabila lemah dikuatkan, bila lapar diberi makan, bila haus diberi minum, bila kotor dibersihkan, bila lelah diistirahatkan, bila sakit diobati, bahkan sebisa mungkin kita harus melindungi tubuh agar terhindar dari berbagai penyakit.

Islam mendidik umat manusia dengan tiga hal yang berhubungan dengan dimensi jasmaniah, yaitu:

Pertama, kesehatan dan kebebasan dari serangan penyakit. Kita diharuskan bertubuh sehat, sesuai dengan sabda Nadi SAW “Barangsiapa di antara kalian di pagi hari aman di tengah-tengah keluarganya, sehat jasmaninya, memiliki kebutuhan pokok untuk sehari-hari, maka seakan akan dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi: 2268)

Kesehatan tubuh kita adalah faktor utama untuk menopang kehidupan yang aman dan tenang. Dan Rasulullah selalu meminta hal ini pada Allah Swt. Karena itu beliau berdoa “Allahummaghfirli Waahdinii Warzuqnii (ya Allah ampunilah aku, berikan aku petunjuk, karuniakan rizqi dan kesehatan padaku)” (HR. Nasai, 5440)

Kedua, ketangkasan dan kemampuan bergerak cepat (dinamis). Hendaknya kita meiliki tubuh yang tangkas, mempu menjalankan semua kewajiban, baik yang dibebankan agama maupun untuk kepentingan dunia. Allah berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (QS. Al-Anfal [8]:60). Tubuh yang kuat tentu bisa melakukan banyak hal dalam memenuhi kewajiban duniawi, maupun kewajiban agama.

Ketiga, ketegaran. Kita harus mendidik kaum muda supaya tegar. Karena hidup bukanlah mawar tak berduri. Tetapi adalah angin sepoi-sepoi dan badai, manis dan pahit. Maka kita perlu membekali diri untuk menghadapi hidup apa adanya. Maka kita perlu dilatih agar tegar.

Kepribadian seorang muslim, antara lain: bertubuh sehat, berpikiran tajam, dan memiliki mentalitas membaja. Kita menyambut baik olahraga, cabang-cabangnya, dan segenap olahragawan dari mancanegara. [Chairunnisa Dhiee]

Beberapa Sebab Kita Sulit Mendengar Nasihat? (1)

PADA tulisan sebelumnya telah dibahas beberapa penyebab mengapa kita sering kali enggan untuk menerima nasihat dari orang lain, seperti sikap arogan, cara yang salah, dan waktu yang tidak tepat.

Seperti dikutip dari productivemuslim.com (14/3/2016), penyebab lainnya serta cara yang perlu dilakukan untuk mengatasi tersebut, sehingga kita dapat lapang dada mendengar segala nasihat adalah sebagai berikut.

1. Malas dan Ketakutan Akan Kesalahan

Ya, benar! Meskipun kita hadir di kajian-kajian dan memperoleh berbagai nasihat, tidak jarang itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Kita terlalu malas untuk keluar dari zona nyaman kita untuk melakukan sesuatu yang baru, sehingga kita tak kunjung memperbaiki diri.

Akhiri kemalasan yang melanda! Yakinkan bahwa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita harus memperbaiki atas kebiasaan dan sikap kita saat ini. Dengan adanya kemauan untuk berubah menjadi yang lebih, insya Allah kita pun akan lebih siap dan senang mendengar nasihat seseorang. Karena kita telah bertekad, bahwa kita akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

2. Kesenjangan Generasi

Jika kita mendengar nasihat dari orangtua, kita cenderung untuk berkata, “Apa yang mereka tahu tentang masalah yang saya hadapi sekarang?” Jika kita mendengar nasihat dari orang yang lebih muda, kita cenderung berkata, “Bisa-bisanya dia menasihati saya, padahal dia masih muda dan tidak berpengalaman.” Akhirnya, tidak ada nasihat dari siapapun yang mau kita dengar.

Sadarilah, bahwa mereka yang memberikan nasihat kepada kita adalah orang-orang yang masih menyayangi kita. Orangtua, kakak, adik, saudara, kerabat, sahabat, pasangan, dll. Jangan memandang apakah mereka orang yang sudah tua atau jauh lebih muda dari kita.

Terlebih jika itu datang dari ayah atau ibu, meskipun nasihatnya tampak tidak sesuai dengan permasalahan yang kita hadapi saat ini, bersabarlah dan tetap terima dengan baik. Sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, san ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al Isra [17]: 23)

Mari kita ingat kisah para sahabat. Mereka meninggalkan adat dan kebiasaan lamanya setelah memeluk Islam. Sepanjang waktu mereka menerima berbagai nasihat agar menjadi muslim yang lebih baik. Bayangkan jika mereka berhenti menerima nasihat seperti apa yang mereka lakukan, apakah mereka akan menjadi mereka yang dicintai Allah? Tentuk tidak. Mereka dicintai Allah Rasul-Nya karena mereka senantiasa mendengar dan menuruti nasihat-nasihatnya. Mereka menjadi orang-orang penting yang di kemudian hari memberikan kejayaan Islam di masanya. Mereka adalah contoh nyata bahwa menerima nasihat adalah sesuatu yang akan membawa kebaikan bagi kita pribadi maupun orang lain.[An Nisaa Gettar]

 

 

Prof Dr Tagatat Tejasen: Alquran adalah Keajaiban

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisa:56).

Bagi sebagian besar umat Islam, ayat di atas terdengar seperti ayat-ayat serupa dalam Alquran yang menjelaskan pedihnya siksa neraka bagi orang-orang yang tidak beriman. Tetapi, tidak demikian bagi Prof Dr Tagatat Tejasen, seorang ilmuwan Thailand di bidang anatomi. Baginya, ayat itu adalah sebuah keajaiban.

Konferensi Kedokteran Saudi ke-6 di Jeddah yang diikuti Tejasen pada Maret 1981 menjadi awal kisah pertemuannya dengan keajaiban itu. Dalam konfe rensi yang berlangsung selama lima hari itu, sejumlah ilmuwan Muslim menyodori Tejasen beberapa ayat Alquran yang berhubungan dengan anatomi.

Tejasen yang beragama Buddha kemudian menga takan bahwa agamanya juga memiliki bukti-bukti serupa yang secara akurat menjelaskan tahap-tahap perkembangan embrio. Para ilmuwan Muslim yang tertarik mempelajarinya meminta profesor asal Thailand itu untuk menunjukkan ayat-ayat tersebut kepada mereka.

Setahun kemudian, pada Mei 1982, Tejasen mengha diri konferensi kedokteran yang sama di Dammam, Arab Saudi. Saat ditanya tentang ayat-ayat anatomi yang pernah dijanjikannya, Tejasen justru meminta maaf dan mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pernyataan tersebut sebelum mempelajarinya. Ia telah memeriksa kitabnya dan memastikan bahwa tidak ada referensi darinya yang dapat dijadikan bahan penelitian.

Ia kemudian menerima saran para ilmuwan Muslim untuk membaca sebuah makalah penelitian karya Keith Moore, seorang profesor bidang anatomi asal Kanada. Makalah itu berbicara tentang kecocokan antara embriologi modern dan apa yang disebutkan dalam Alquran.

Tejasen tercengang saat membacanya. Sebagai ilmuwan di bidang anatomi, ia menguasai dermatologi (ilmu tentang kulit). Dalam tinjauan anatomi, lapisan kulit manusia terdiri atas tiga lapisan global, yakni epidermis, dermis, dan subcutis. Pada lapisan yang terakhirlah, yakni subcutis, terdapat ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf.

Penemuan modern di bidang anatomi menunjukkan bahwa luka bakar yang terlalu dalam akan mematikan syaraf-syaraf yang mengatur sensasi. Saat terjadi combustio grade III (luka bakar yang telah menembus subcutis), seseorang tidak akan merasakan nyeri. Hal itu disebabkan oleh tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferent. Makalah itu tidak saja menunjukkan keberhasilan teknologi kedokteran dan perkembangan ilmu anatomi, tetapi juga membuktikan kebenaran Alquran.

Ayat 56 surah an-Nisa mengatakan bahwa Allah akan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka dan mengganti kulit mereka dengan kulit yang baru setiap kali kulit itu hangus terbakar agar mereka merasakan pedihnya azab Allah.

Jantung Tejasen berdebar. “Bagaimana mungkin Alquran yang diturunkan 14 abad yang lalu telah mengetahui fakta kedokteran ini?”

Sebelum berhasil mengatasi keterkejutannya, Tejasen disodori pertanyaan oleh para ilmuwan Muslim yang mendampinginya, “Mungkinkah ayat Alquran ini bersumber dari manusia?”

Ketua Jurusan Anatomi Universitas Chiang Mai Thailand itu sontak menjawab, “Tidak, kitab itu tidak mungkin berasal dari manusia. Ia kemudian termangu dan melanjutkan responsnya, “Lalu, dari mana kiranya Muhammad menerimanya?”

Mereka memberi tahu Tejasen bahwa Tuhan itu adalah Allah. Kemudian, Tejasen semakin ingin tahu. “Lalu, siapakah Allah itu?” tanyanya.

Dari para ilmuwan Muslim tersebut, Tejasen mendapatkan keterangan tentang Allah, Sang Pencipta yang dari-Nya bersumber segala kebenaran dan kesempurnaan. Dan, Tejasen tak membantah semua jawaban yang diterimanya. Ia membenarkannya.

Tejasen yang pernah menjadi dekan Fakultas Kedokteran Universitas Chiang Mai itu kembali ke negaranya, di mana ia menyampaikan sejumlah kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya itu. Informasi yang dikutip oleh laman special.worldofislam. infomenyebutkan bahwa kuliah-kuliah profesor yang masih beragama Buddha itu di luar dugaan, telah mengislamkan lima mahasiswanya.

Hingga akhirnya, pada Konferensi ke-8 Kedokteran Saudi yang diselenggarakan di Riyadh, Tejasen kembali hadir dan mengikuti serangkaian pidato tentang bukti-bukti Qurani yang berhubungan dengan ilmu medis. Dalam konferensi yang berlangsung selama lima hari itu, Tejasen banyak mendiskusikan dalil-dalil tersebut bersama para sarjana Muslim dan non-Muslim.

Pada akhir konferensi, 3 November 1983, Tejasen maju dan berdiri di podium. Di hadapan seluruh peserta konfe rensi, ia menceritakan awal ketertarikannya pada Alquran, juga ke kagumannya pada maka lah Keith Moore yang membuatnya me yakini kebenaran Islam.

“Segala yang terekam dalam Alquran 1.400 tahun yang lalu pastilah kebenaran yang bisa dibuktikan oleh sains. Nabi Muhammad yang tidak bisa membaca dan menulis pastilah menerimanya sebagai cahaya yang diwahyukan oleh Yang Mahapencipta,” katanya. Tejasen lalu menutup pidatonya dengan meng ucap dua kalimat syahadat, “ Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah.”

Hadapi Dua Malaikat Kubur, Ini Beda Muslim dan Non-Muslim

Di antara perbedaan antara orang yang beriman dan kufur adalah kemampuan menjawab pertanyaan dua malaikat ketika berada di alam barzakh. Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Khasrujaradi al-Baihaqi as-Syafi’I dalam kitabnya yang berjudul Itsbat ‘Adzab al-Qabr wa Sual al-Malakain menjelaskan kemudahan bagi orang yang beriman saat menjawab semua pertanyaan yang diajukan dua malaikat, Munkar dan Nakir.

Penegasan itu termaktub dalam ayat, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS Ibrahim [14]: 27).

Peneguhan iman yang dimaksud dalam ayat tersebut juga berlaku kelak di akhirat. Faktor apakah yang dapat meneguhkan keimanan seseorang itu? Salah satunya ialah kesaksian atau syahadat.

Menurut hadis riwayat al-Barra’ bin ‘Azib, Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa seorang Mukmin adalah mereka yang ketika berada dalam kuburnya mampu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan ber ikrar sebagai pengikut Muhammad SAW.

Riwayat lain dari Abdullah bin Mas’ud mengatakan, orang-orang yang beriman, sebagaimana disebutkan ayat di atas, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat tentang siapakah Tuhan yang ia sembah, agama yang ia peluk, dan siapakah nabi yang ia taati.

Soal-soal itu pun dengan mudah dijawab. Allahlah Tuhannya, Islam agamanya, dan Muhammad nabinya. Lalu, kuburnya dilapangkan hingga ia beristirahat dengan tenang.

Sebaliknya, deretan pertanyaan serupa juga disodorkan kepada orang-orang kafir. Jawaban yang keluar dari lisan mereka hanyalah ketidaktahuan dan kebodohan. Akibatnya, kubur yang ia huni pun akan sempit dan ia akan disiksa.

Terkait fakta ini, Abdullah bin Mas’ud membaca ayat, “Dan, barang siapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaahaa [20]: 124).

Baik pertanyaan, siksa, maupun nikmat kubur, pasti akan terjadi. Ketika jasad telah dikubur, lalu saudara, kerabat, dan para kolega beranjak pergi meninggalkan makamnya maka orang mukmin ataupun kafir akan mendapat disodori pertanyaan-pertanyaan itu.

Hukum Allah berlaku di sana. Seperti dalil-dalil sebelumnya, umat yang beriman menjawabnya dengan enteng. Sedangkan, kaum kafir tak kunjung bisa mencerna soal-soal itu secara baik. Siksa dan nerakalah balasannya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam riwayat Anas bin Malik.

Peninggalan Rasulullah: Dua Penasihat Kematian

ADAKALANYA manusia membutuhkan nasihat dalam kehidupannya, agar hatinya tidak keras membatu, pikirannya tidak lalai, dan tidak tertipu kenikmatan dunia apalagi tergoda rayuan setan untuk berbuat keburukan.

Dalam hal ini Rasulullah meninggalkan dua jenis penasihat kematian, ialah yang bersuara dan tidak bersuara. Kedua penasihat ini tidak hentinya memberikan nasihat.

Penasihat kematian yang pertama adalah Alquran. Ia selalu menasihati kita dengan memperdengarkan ayat-ayat Allah. Alquran mengingatkan manusia dan menyadarkan orang-orang yang lalai, juga untuk menambah keimanan orang-orang mukmin.

“Maka berilah peringatan dengan Alquran orang yang takut dengan ancaman-Ku.” (QS Qaf [50]: 45)

Penasihat yang tidak bersuara adalah kematian. Dan kematian merupakan penasihat paling berharga. Selalu mengintai setiap saat tanpa mengenal waktu. Namun kita manusia terlalu sering menutup telinga tidak mendengarnya. Kita disibukkan dengan urusan dunia. Menjadikan kita lupa bahwa kematian mengancam jiwa setiap hari, setiap jam, menit, dan detik kehidupan.

Adakah kita rasa penasihat yang lebih berharga dari ini:

“Jika suatu waktu kita dihadapkan dengan seseorang yang hidup, dengan wajah yang berseri-seri, lisannya berbicara, dan memiliki keinginan terhadap dunia, tetapi dengan seketika orang tersebut kaku tak bergerak, wajah yang berseri-seri berubah menjadi pucat, lisan yang fasih berbicara berubah bungkam seribu bahasa. Dan seseorang yang tadinya sangat nyaman untuk kita pandang, ternyata telah terkubur dalam liang lahat. Kalau sudah begitu, adakah penasihat yang lebih berharga dari kematian?”

Penasihat yang tidak bersuara itu lebih dekat daripada kedipan mata kita. Jangan pernah mengira bahwa ia begitu jauh. Saat kematian datang, kita berandai-andai supaya Allah menundanya. Sungguh disayangkan, kita tidak akan menemukan kesempatan itu lagi. Harapan itu percuma.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS, Al-Munafiqun [63]:9)

Dan belanjakanlah (infaqkanlah) sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS, Al-Munafiqun [63]:10)

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS, Al-Munafiqun [63]:11) []

 

 

Menyembelih Tumbal Adalah Syirik Akbar

Diantara bentuk kemungkaran yang menjamur di masyarakat adalah menyembelih tumbal. Baik ketika membangun bangunan besar, membangun jembatan, ingin menggarap lahan pertanian, atau yang berupa ritual-ritual adat tahunan.

Tumbal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki 2 makna:

  1. sesuatu yang dipakai untuk menolak (penyakit dan sebagainya); tolak bala;
  2. kurban (persembahan dan sebagainya) untuk memperoleh sesuatu (yang lebih baik);

Keduanya jika ditujukan kepada selain Allah maka merupakan syirik akbar. Karena menyembelih yang demikian merupakan ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah semata. Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Shalatlah untuk Rabb-mu dan menyembelihlah (untuk Rabb-mu)” (QS. Al Kautsar: 2).

Al Imam An Nawawi rahimahullah menjelaskan:

قَالَ الرَّافِعِيُّ وَاعْلَمْ أَنَّ الذَّبْحَ لِلْمَعْبُودِ وَبِاسْمِهِ نَازِلٌ مَنْزِلَةَ السُّجُودِ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ أَنْوَاعِ التَّعْظِيمِ وَالْعِبَادَةِ الْمَخْصُوصَةِ بِاَللَّهِ تَعَالَى الَّذِي هُوَ الْمُسْتَحِقُّ لِلْعِبَادَةِ فَمَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِهِ مِنْ حَيَوَانٍ أَوْ جَمَادٍ كَالصَّنَمِ عَلَى وَجْهِ التَّعْظِيمِ وَالْعِبَادَةِ لَمْ تَحِلَّ ذَبِيحَتُهُ وَكَانَ فِعْلُهُ كُفْرًا كَمَنْ يَسْجُدُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى سَجْدَةَ عِبَادَةٍ

“Ar Rafi’i mengatakan: ketahuilah, bahwa menyembelih kepada suatu sesembahan itu semakna dengan sujud kepadanya. Keduanya merupakan bentuk pengagungan dan ibadah yang khusus bagi Allah Ta’ala semata. Allah lah yang semata-mata berhak ditujukan kepada-Nya semua ibadah. Maka barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah semisal untuk hewan atau untuk benda mati seperti berhala dalam rangka pengagungan dan ibadah, maka tidak halal daging sembelihannya tersebut dan perbuatannya merupakan kekufuran, sebagaimana orang yang bersujud kepada Allah Ta’ala dengan sujud ibadah” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, 8/409).

Semestinya yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah sebagaimana yang dikatakan Khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ

Sesungguhnya shalatku, sembelihan, hidupkan dan matiku, hanya untuk Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu baginya” (QS. Al An’am: 162).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan:

يَأْمُرُهُ تَعَالَى أَنْ يُخْبِرَ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ يَعْبُدُونَ غَيْرَ اللَّهِ وَيَذْبَحُونَ لِغَيْرِ اسْمِهِ، أَنَّهُ مُخَالِفٌ لَهُمْ فِي ذَلِكَ، فَإِنَّ صَلَاتَهُ لِلَّهِ وَنُسُكَهُ عَلَى اسْمِهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ

“Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim untuk mengabarkan kaum Musyrikin yang menyembah selain Allah dan menyembelih dengan nama selain Allah, bahwasanya ia menyelisihi perbuatan tersebut. Karena shalatnya hanya untuk Allah, sembelihannya hanya dengan nama Allah semata, tidak ada sekutu baginya” (Tafisr Ibnu Katsir, 3/381).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

لعن اللهُ مَن ذبح لغيرِ اللهِ

Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim no. 1978).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الذبح لغير الله منكر عظيم وهو شرك أكبر سواء كان ذلك لنبي أو ولي أو كوكب أو جني أو صنم أو غير ذلك

“Menyembelih untuk selain Allah adalah kemungkaran yang besar dan termasuk syirik akbar. Baik sembelihan tersebut dipersembahkan untuk Nabi, atau untuk wali, atau untuk bintang-bintang, atau untuk jin, atau untuk berhala, atau untuk makhluk yang lain” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 6/360).

 

Sembelihan-Sembelihan Yang Dibolehkan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarah Tsalatsatil Ushul (hal. 67) menjelaskan bahwa sembelihan ada 3 macam:

  1. Sembelihan ibadah, yang mengandung unsur pengagungan dan ketundukan kepada objek yang jadi tujuan persembahan sembelihan tersebut. Maka sembelihan jenis ini hanya khusus ditujukan kepada Allah semata. Jika ditujukan kepada selain Allah maka merupakan kesyirikan.
  2. Sembelihan yang merupakan perkara sunnah atau wajib dalam agama. Seperti sembelihan kurban, akikah, sembelihan untuk hidangan walimah, sembelihan untuk memuliakan tamu dan semisalnya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:مَن كان يُؤمِنُ باللهِ واليومِ الآخِرِ فلْيُكرِمْ ضيفَه

    Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu” (HR. Bukhari no. 6018, Muslim no. 47).

    Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    أَولِمْ ولو بشاةٍ

    Adakanlah walimah walaupun dengan menyembalih seekor kambing” (HR. Bukhari no. 3781, Muslim no. 1427).

  3. Sembelihan yang merupakan perkara mubah, semisal sembelihan untuk sekedar makan atau untuk dijual. Allah Ta’ala berfirman:أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَاماً فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ وَذَلَّلْنَاهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُونَ

    Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?” (QS. Yasin: 72-72).

Namun sembelihan-sembelihan yang dibolehkan tersebut wajib disembelih dengan menyebut nama Allah. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan” (QS. Al An’am: 121).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan:

الواجب أن يسمي؛ لأن الله أمر بالتسمية، فالواجب أن يسمي الله عند الذبح، يقول: بسم الله الرحمن الرحيم، أو بسم الله، ويكفي، وإذا تعمد تركها وهو يعلم الحكم الشرعي لم تحل الذبيحة، لكن إذا تركها ناسياً أو جاهلاً فالذبيحة حلال. أما إن تركها عامداً وهو يعلم الحكم الشرعي فالذبيحة لا تحل في أصح قولي العلماء؛ لأن الرسول أمر من أراد الذبح أو الصيد أن يسمي الله

“Wajib untuk menyebutkan nama Allah ketika menyembelih, karena Allah Ta’ala memerintahkan demikian. Maka wajib untuk menyebutkan nama Allah ketika menyembelih. Semisal mengucapkan: “bismillahirrahmanirrahim” atau “bismillah” itu sudah cukup. Jika sengaja tidak mengucapkan demikian, sedangkan ia paham hukum syar’i maka tidak halal sembelihannya. Namun juga tidak mengucapkannya karena lupa atau karena jahil, maka sembelihannya halal. Adapun jika sengaja tidak mengucapkannya, sedangkan ia paham hukum syar’i maka tidak halal sembelihannya menurut pendapat yang kuat dari dua pendapat ulama. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan bagi yang ingin menyembelih untuk menyebut nama Allah” (Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/10927).

 

Mintalah Hanya Kepada Allah

Maka kaum Muslimin sekalian, hendaknya bertaqwa kepada Allah dan tinggalkanlah perbuatan syirik seperti mempersembahkan tumbal kepada selain Allah. Kesulitan dan kesusahan itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tatkala kesulitan itu datang, maka Allah lah sebaik-baik penolong dan kepada-Nya lah kita bergantung. Dan sesulit apapun cobaan dan kesusahan yang melanda janganlah anda tergoda untuk meminta tolong dengan jalan kesyirikan.

Allah Ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At Taghabun: 11)

bahkan setiap musibah dan kesusahan yang kita alami dan yang akan datang, itu semua sudah tercatat dalam Lauhul Mahfduz. Allah Ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّـهِ يَسِيرٌ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al Hadid: 22)

Dan ketahuilah bahwa musibah serta cobaan itu hanya Allah lah yang bisa menghilangkannya. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِن يَمْسَسْكَ اللَّـهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

jika Allah menimpakan suatu mudharat kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Allah sendiri” (QS. Al An’am: 17).

Demikian juga kenikmatan dan kebaikan, sesungguhnya itu semua dari Allah Ta’ala. Maka hendaknya kita hanya memintanya kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّـهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (QS. An Nahl: 53)

Tidak perlu ragu meminta tolong kepada Allah. Bukankah Allah yang telah menciptakan anda? Bukanlah Allah yang memiliki alam semesta ini termasuk bumi yang anda pijak? Maka sangat mudah bagi Allah memberi pertolongan kepada anda. Renungkan perkataan Nabi Musa ‘alaihissalam:

قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّـهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّـهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”” (QS. Al A’raf: 128).

Maka tinggalkanlah perbuatan syirik termasuk mempersembahkan tumbal demi tolak bala dan mengharap bertambahnya kenikmatan, mintalah itu semua hanya kepada Allah semata.

Semoga Allah memberi taufik.

 

***

Penulis: Yulian Purnama

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/41303-menyembelih-tumbal-adalah-syirik-akbar.html

Bidadari Surga

Wahai, para suami, istri yang menemani kita sesungguhnya adalah bidadari yang diturunkan untuk menjadi pendamping kita di dunia. Ia juga yang kelak menemani kita saat menikmati kebahagiaan surga di akhirat.

Mari, kita kenali sifat-sifat istri yang memesona ini. Imam Ath-Thabrany mengisahkan sebuah hadis dari Ummu Salamah. ”Wahai, Rasulullah, jelaskanlah kepadaku firman Allah tentang bidadari-bidadari yang bermata jeli?” Beliau menjawab, ”Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, serta rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”

”Lalu, bagaimana tentang firman Allah, ‘Laksana mutiara yang tersimpan baik’.” (QS Alwaqi’ah [56]: 23). Jawabnya, ”Kebeningannya seperti mutiara di kedalaman lautan yang tidak pernah tersentuh tangan manusia.”

”Jelaskan lagi kepadaku firman Allah, ‘Di dalam surga-surga itu, ada bidadari-bidadari yang baik-baik dan lagi cantik-cantik’.” (QS Arrahman [55]: 70). Beliau menjawab, ”Akhlaknya baik dan wajahnya cantik jelita.”

Saya berkata lagi, ”Jelaskanlah firman Allah, ‘Seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik’.” (QS Ashshaffat [37]: 49). Beliau menjawab, ”Kelembutannya seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung kulit telur bagian luar.”

”Manakah yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari yang bermata jeli?” Rasulullah berkata, ”Wanita-wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti kelebihan apa yang tampak dengan apa yang tak tampak.”

”Karena apa wanita dunia lebih utama dari mereka?” Beliau menjawab, ”Karena, shalat, puasa, dan ibadah mereka. Sehingga, Allah meletakkan cahaya di wajah mereka. Tubuh mereka seperti kain sutra, kulitnya putih bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas.”

Sungguh indah gambaran Nabi SAW tentang bidadari. Namun, lebih indah lagi penjelasannya tentang wanita di dunia yang taat kepada Allah. Hanya ada dua syarat untuk menjadi wanita mulia seperti itu. Pertama, taat kepada Allah dan rasul-Nya. kedua, taat kepada suami.

Yang pertama berarti mencintai Allah dan Rasulullah melebihi apa pun. Yang diperintahkan ia kerjakan dan yang dilarang ia tinggalkan. Kepada orang tua ia berbakti dan dengan sesama mau hidup berbagi (sedekah).

Sementara itu, taat kepada suami di antaranya tampil menyenangkan di hadapan suami serta menjaga kehormatan diri, anak-anak, dan harta suami. Ia juga tidak membantah suami dalam kebenaran, tidak jalan dan berkhalwat dengan lelaki yang bukan mahram, serta segalanya selalu dalam kebaikan. Dialah bidadari surga itu.

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

REPUBLIKA