Kecerobohan Kaum Muslimin Terkait Kewajiban Zakat

Meremehkan kewajiban zakat dan malas mengeluarkan zakat sesuai waktunya merupakan kemungkaran dan kemaksiatan yang riil terjadi di tengah-tengah kaum muslimin. Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat merupakan kewajiban kaum muslimin yang berkaitan dengan masalah harta. Merupakan kewajiban atas setiap kaum muslimin untuk menunaikan zakat ketika sudah tiba saatnya untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Kaum muslimin hendaknya menunaikan zakat ini dengan kerelaan hatinya, ikhlas dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala mengancam orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat dengan ancaman yang mengerikan dalam firman-Nya,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 180)

Allah Ta’ala juga memberikan ancaman,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah [9]: 34)

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ، لَا يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا، إِلَّا إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، صُفِّحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِينُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ، فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ، فَيَرَى سَبِيلَهُ، إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

“Siapa saja yang memiliki harta berupa emas dan perak, namun tidak menunaikan haknya (kewajiban zakat, pent.), maka pada hari kiamat nanti akan dibuatkan lempengan (seterika) dari api neraka, lalu dipanaskan di dalam api neraka jahannam. Dengan lempengan tersebut, perut, dahi, dan punggungnya diseterika. Setiap kali seterika tersebut dingin, akan dipanaskan lagi dan dipakai lagi untuk menyeterika setiap hari, yang setara dengan lima puluh ribu tahun (di dunia), hingga perkaranya diputuskan. Setelah itu dia mengetahui jalannya, apakah ke surga atau ke neraka.” (HR. Muslim 987)

Waktu mengeluarkan zakat harta adalah ketika telah mencapai haul, yaitu genap satu tahun (hijriyah). Setiap genap satu tahun hijriyah, seorang muslim harus menzakatkan hartanya jika telah mencapai nishab. Dia wajib mencari orang-orang yang berhak menerima zakatnya dari delapan golongan yang telah Allah Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)

Inilah delapan golongan penerima zakat yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Jika seseorang tidak memperhatikan hal ini, dan menyalurkan zakatnya kepada pihak yang tidak berhak menerima, maka dia tidak dianggap telah menunaikan zakat alias kewajiban zakat atas orang tersebut belum gugur.

Oleh karena itu, wajib atas setiap muslim untuk mempelajari ilmu yang berkaitan dengan zakat. Seorang muslim harus memahami tentang jenis harta apa saja yang terkena kewajiban zakat dalm syariat, kapan waktu mengeluarkan zakat (haul), bagaimana perhitungan zakatnya (berapa persen), dan sebagainya. Jika dia tidak mengetahui dan kesulitan dalam memahami, hendaklah dia bertanya kepada orang yang berilmu (ulama atau ustadz), sehingga dia paham dan bisa menunaikan kewajiban zakat dengan benar sesuai ketentuan syariat. Karena tidak mungkin seseorang dapat menunaikan kewajiban zakat kecuali setelah dia memahami hukum-hukum berkaitan dengan kewajiban zakat.

Penulis: M. Saifudin Hakim

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43880-kecerobohan-kaum-muslimin-terkait-kewajiban-zakat.html

Nasihat Fajar

Subuh itu terasa nikmat. Selepas shalat berjamaah, dilanjutkan dengan zikir maktubah, penulis melihat kedua anak penulis, Alvin dan Amer, sedang terlibat diskusi kecil dengan mushaf di tangannya, persis di salah satu tiang masjid yang menghadap keluar.

Udara segar dan cuaca yang sangat sejuk pagi itu membersitkan keharuan bercampur bahagia. Kedua anak penulis yang kini sudah menginjak remaja itu terlihat begitu akrab membincangkan sesuatu yang ada dalam kitab pegangan hidupnya, Alquran.

Rupanya, pagi itu jamaah lain dan para generasi rabbani juga sedang membuat halakah-halakah kecil untuk saling menyimak Alquran dan ilmu-ilmu lain dalam al-Uluum ad-Diiniyyah. Dengan mata berkaca-kaca, penulis nasihatkan ini untuk kita semua, semoga di setiap Subuh atau dalam mengawali hari, yang selalu membuncah adalah rasa bahagia dan nikmat; karena buah dari ketaatan kita yang istiqamah di jalan Allah SWT.

Ikhwah, inilah keutamaan berhalakah dan bersimpuh dalam majelis ilmu, apalagi setelah shalat Subuh berjamaah di masjid sampai matahari terbit. Pertama, meraih pahala haji dan umrah sempurna. “Barang siapa menegakkan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia duduk berzikir (tadarusan) sampai matahari terbit, lalu menegakkan shalat dua rakaat, maka ia akan meraih pahala haji dan umrah, “Sempurna, sempurna, sempurna!” (HR At-Tirmidzi).

Kedua, seakan duduk di taman surga Allah. “Jika kalian melewati taman surga maka singgahlah dengan hati senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu?” Beliau SAW menjawab, “Halakah-halakah zikir (atau halakah ilmu).” (HR at-Tirmidzi).

Ketiga, masuk menjadi generasi termulia, yaitu generasi rabbani. “Jadilah kalian generasi rabbani, yang selalu mengajarkan Alquran (dan sunah) dan terus mempelajarinya. (QS Ali Imron [3]: 79).

Keempat, termasuk dalam sebutan mujahid di jalan Allah. “Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu syar’i, maka ia berjihad di jalan Allah hingga ia kembali.” (HR at-Tirmidzi). Kelima, didoakan para malaikat, meraih rahmat Allah, hati dibuat senang, tenang, dan bahagia. Serta, dibanggakan oleh Allah di hadapan para malaikat-Nya. (HR Muslim).

Keenam, jauh dari murka Allah. “Dunia ini terkutuk dengan segala isinya kecuali zikrullah (taat kepada Allah) dan yang serupa itu, berilmu dan penuntut ilmu.” (HR At-Tirmidzi). Ketujuh, menjadi kelompok umat terbaik. Sabda Kanjeng Rasul, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Satu di antara tujuh golongan di akhirat kelak yang mendapat “perlindungan Allah”, yaitu “Ijtama’a ‘alaihi wa tafarroqo alaihi”, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (HR Bukhari Muslim). Ia menjadi jalan mudah menuju surga Allah. “Siapa yang melalui satu jalan untuk menuntut ilmu Allah, Allah mudahkan menuju jalan surga-Nya.” (HR Abu Daud dan At Tirmidzi).

Bahkan, kelak kembali berkumpul bersama di akhirat. “Seseorang kelak di akhirat dikumpulkan bersama siapa yang dicintai di dunia.” (HR Muslim). Nah, apalagi alasan kita untuk tidak menghadirinya. Jangan sia-siakan hidup yang sebentar ini. Ayo raih semua kemuliaan itu dengan duduk di taman surga. Wallahu A’lam.

 

Oleh: Muhammad Arifin Ilham

KHAZANAH REPUBLIKA

Bisakah Mengenal Keluarga dan Kerabat di Surga?

Setelah manusia meninggal, mereka dipisahkan dengan keluarga dan teman-temannya dengan waktu yang sangat lama. Di mulai dari perpisahan menunggu di alam kubur, padang mahsyar, proses hisab, melewati shirath, kejadian di qantharah.

Perlu diketahui bahwa satu hari akhirat sebagaimana 1000 tahun di dunia. Dengan waktu menunggu yang sangat lama ini, apakah kita masih ingat atau sudah lupa dengan keluarga dan kerabat kita? Apalagi usia manusia di surga dalah 33 tahun, bagaimana jika ada keluarga yang meninggal ketika anak-anak?

Jawabannya: kita tetap bisa mengenal keluarga dan kerabat kita di surga, bahkan kita tetap kenal dengan teman-teman kita selama di dunia yang sudah masuk surga.

Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin,

هل المسلم إذا دخل الجنة يتعرف على أقاربه الذين في الجنة؟

Apakah seorang muslim apabila masuk surga, ia dapat mengenal kerabat-kerabatnya yang masuk di dalam surga?

Jawaban:

نعم يتعرف على أقاربه وغيرهم من كل ما يأتيه سرور قلبه؛ لقول الله تعالى: ﴿وفيها ما تشتهيه الأنفس وتلذ الأعين وأنتم فيها خالدون﴾ بل إن الإنسان يجتمع بذريته في منزلةٍ واحدة إذا كانت الذرية دون منزلته كما قال تعالى: ﴿والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم…الآية

Iya, Ia bisa mengenal kerabat- kerabatnya dan selain mereka dari setiap kebahagiaan (keinginan) hati yang datang kepadanya. Karenanya Allah berfirman,

“Dan di dalam surga terdapat apa-apa yang diinginkan oleh jiwa dan yang menyenangkan pandangan kalian, dan kalian di dalamnya kekal selamanya”

Bahkan seseorang akan berkumpul bersama anak keturunannya di dalam satu tingkatan surga. Jika anak keturunannya berada pada tingkatan yang lebih rendah darinya (maka akan disusulkan ke tingkatannya).Sebagaimana firman Allah,

“Dan mereka orang-orang yang beriman dan diikuti oleh keturunan mereka dengan keimanan, maka Kami akan pertemukan orang-orang beriman itu dengan anak keturunan mereka.” [Nuur ‘alad Darb. Kaset nomor 195]

Perlu diketahui bahwa seorang muslim yang masuk surga tidak hanya mengenal keluarga dan kerabatnya, tetapi juga mengenal sahabat-sahabatnya selama berada di dunia yang juga masuk surga. Sahabat yang bersama-sama saling menasehati di jalan agama.

Di surga terdapat pasar surga yang merupakan tempat berkumpul manusia. Tentu mereka saling mengenal dengan sahabat-sahabatnya ketika berkumpul di pasar surga tersebut.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai pasar surga,

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَسُوقًا يَأْتُونَهَا كُلَّ جُمُعَةٍ فَتَهُبُّ رِيحُ الشَّمَالِ فَتَحْثُو فِي وُجُوهِهِمْ وَثِيَابِهِمْ فَيَزْدَادُونَ حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَرْجِعُونَ إِلَى أَهْلِيهِمْ وَقَدِ ازْدَادُوا حُسْنًا وَجَمَالاً فَيَقُولُ لَهُمْ أَهْلُوهُمْ: وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً. فَيَقُولُونَ: وَأَنْتُمْ وَاللهِ، لَقَدِ ازْدَدْتُمْ بَعْدَنَا حُسْنًا وَجَمَالاً

“Sungguh di surga ada pasar yang didatangi penghuni surga setiap Jumat. Bertiuplah angin dari utara mengenai wajah dan pakaian mereka hingga mereka semakin indah dan tampan. Mereka pulang ke istri-istri mereka dalam keadaan telah bertambah indah dan tampan. Keluarga mereka berkata, ‘Demi Allah, engkau semakin bertambah indah dan tampan.’ Mereka pun berkata, ‘Kalian pun semakin bertambah indah dan cantik’.” (HR. Muslim no. 7324)

Salah satu kenikmatan manusia di dunia adalah berjumpa dengan saudara dan teman-teman akrab mereka, saling menyapa, menanyakan keadaan, saling bercanda ringan, saling curhat. Ini menimbulkan kebahagiaan dan kenikmatan, apalagi sudah lama sekali tidak bertemu. Demikian juga di surga, disediakan kenikmatan seperti ini. Dijelaskan dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,

إن سوق الجنة هو مكان اللقاء للمؤمنين بعضهم لبعض؛ لازدياد النعيم بما يجدونه من لذة وسؤدد ، وتحدث بعضهم لبعض؛ وتذاكرهم بما كان في الدار الدنيا وما آلوا إليه في الدار الآخرة؛ ويتجدد هذا اللقاء كل جمعة كما جاء في الحديث؛ لرؤية بعضهم لبعض وأنس بعضهم ببعض

“Pasar di surga adalah tempat bertemunya kaum muslimin satu sama lain supaya bertambah kenikmatan. Merasakan kelezatan saling berbincang-bincang. Dan saling mengenang apa yang terjadi di dunia dan membicarakan apa yang mereka dapatkan di akhirat. Mereka bertemu setiap Jumat sebagaimana pada hadits, agar mereka bisa saling berjumpa satu sama lain.” [Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah 54/214]

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43848-bisakah-mengenal-keluarga-dan-kerabat-di-surga.html

Mengapa Engkau Menangis, Saudaraku?

ABDURRAHMAN bin Auf adalah salah satu sahabat nabi yang juga merupakan saudagar kaya raya dan terkenal di penjuru Madinah. Ia begitu saleh dan dermawan. Sepertiga hartanya ia pinjamkan kepada penduduk Madinah. Sepertiganya lagi ia gunakan untuk membayar utang mereka. Sepertiga sisanya ia bagi-bagikan kepada mereka. Seluruh penduduk Madinah turut menikmati kekayaannya.

Tidak hanya dermawan, Abdurrahman bin Auf juga sosok yang mudah tersentuh dan memiliki rasa takut yang luar biasa. Bahkan kadang hingga menangis tersedu-sedu. Pernah suatu ketika para sahabat berkumpul untuk menghadiri undangannya. Makanan pun terhidang dan tanpa disangka ia menangis. Salah satu sahabatnya bertanya, “Mengapa engkau menangis, saudaraku?”

“Rasulullah telah wafat. Tahukah kalian, beliau dan keluarganya belum pernah memakan roti sampai kenyang? Apa harapan kita jika dipanjangkan usianya tetapi tidak bertambah kebajikannya?”

Mendengar itu para sahabatnya turut menangis. Mereka adalah orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah dan tidak pernah berputus asa dalam mengharap rida-Nya. Pada kesempatan yang lain, ia ditanya oleh seseorang perihal ketakutannya tersebut. Abdurrahman bin Auf menjawab, “Kalian tentu mengenal Mushab bin Umar. Seorang syuhada dan orang yang lebih baik dariku. Namun, ketika wafat, ia hanya memperoleh sehelai kain kafan dari burdah. Kain yang jika ditutupkan ke kepalanya, kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya.”

Ia melanjutkan, “Begitu juga yang terjadi dengan Hamzah, seorang syuhada lainnya dan orang yang lebih baik dariku. Ia hanya memperoleh selendang sebagai kafannya. Sesungguhnya kepada kami, telah dihamparkan dunia seluas-luasnya serta diberikan pula hasil sebanyak-banyaknya. Aku sungguh khawatir jika ternyata pahala kebajikan bagi kami sudah diberikan di dunia ini saja.”

Karena itulah Abdurrahman bin Auf menangis ketakutan. Ia menyadari bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan membawa kebahagiaan untuknya jika tidak digunakan untuk membela agama Allah.

Bagaimana dengan harta kita? Semoga kita senantiasa meneladani kisah seorang Abdurrahman bin Auf dan memperoleh rida Allah atasnya. [An Nisaa Gettar]

 

 

Budaya Berumrah Menziarahi Nabi Pada Peringatan Maulid

Perayaan Maulid Nabi, yakni memperingati kelahiran Nabi Muuhammad SAWA suci pada 12 Rabiul Awwal memang menjadi penyebab banyaknya Muslim di Asa —termasuk India— berberkeinginan untuk melakukan umrah di bulan tersebut.
Dan memang Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendorong perayaan kelahirannya. Sikap yang sama juga dilakukan para sahabatnya. Namun, peringatan perayaan Maulid kini telah meluas dan menjadi tradisi di berbagai negara. Bahkan Maulid telah menjadi sebuah adalah festival Muslim paling populer di sebagian besar dunia setelah Idul Fitri dan Idul Adha.

Penerbangan dari sebagian besar kota di Asia Selatan ke Jeddah padat sementara ribuan orang telah menunggu kursi pemesanan tiket umrah untuk Mild-u-Nabi, keberbagai biro perjalanan.

Menariknya lagi, bila orang-orang tersebut yang tidak bisa sampai ke Madinah sebelum tanggal 12 Rabiul Awal, mereka akan merasa puas dengan menghabiskan beberapa hari yang tersisa di kota nabi tersebut. Rabiul Awal adalah bulan yang paling disukai bagi peziarah umrah, terutama orang Asia Selatan, setelah bulan suci Ramadhan.

Banyak orang dari negara itu telah tiba di Makkah dan Madinah jauh-jauh hari sebelum hari perayaaan Maulid tiba.“Secara berkelompok mereka merayakan hari Mualid di kota-kota suci tersebut,’’ kata seorang biro tiur asal negara di belahan Asia Selatan.

Karena tingginya permintaan, semua maskapai besar di India menaikkan harga tiketnya penerbangannya ke Jeddah. Tahun sebelumnya, paket Umrah yang biasanya hanya 32.000 rupee India dari negara-negara selatan, sekarang naik secara drastis menjadi  di atas 55.000 rupee.

“Ada peziarah yang bersedia menanggung dua kali lipat biaya untuk paket Umrah di depan Rabiul Awwal 12,” kata Mohammed Masrat  dari Al-Quba Travel di Hyderabad, India.

“Kami biasanya menagih 65.000 rupee Pakistan untuk paket Umrah dari Lahore, namun karena harga terburu-buru saat ini melonjak menjadi 85.000 rupee,” kata Irfan Malik dari Bukhari Travels, agen perjalanan terkemuka di Lahore, kepada Saudi Gazette melalui telepon.

Oleh: Muhammad Subarkah

IHRAM

Nifas Wanita Yang Menjalani Operasi Caesar

Wanita yang melahirkan tidak secara normal, yakni melalui pembedahan yang dikenal dengan istilah operasi Caesar, tetap harus menjalani masa nifasnya seperti wanita yang melahirkan secara normal. Ketika darah nifas telah berhenti keluar, saat itulah masa nifasnya berakhir.

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzahullah memberi penjelasan ringkas dan menyeluruh mengenai hal ini. beliau menjelaskan, “Nifas adalah darah yang keluar karena proses melahirkan, baik itu normal maupun dengan operasi Caesar. Bahkan terhitung pula nifas apabila seorang wanita keguguran dengan kondisi janin yang sudah berbentuk rupa, seperti kepala, tangan, atau kaki yang biasanya di dapati pada waktu usia janin dalam kandungan (rahim) lebih dari 80 hari dari masa awal kehamilan. Maka berdasarkan keterangan tersebut, darah yang keluar akibat keguguran (operasi kuret) adalah darah nifas.” (dikutip dari situs web http://islamqa.info/ar/107045)

Operasi Caesar dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti proses melahirkan normal melalui farji/vagina si ibu. Meskipun proses yang dilalui berbeda, inti melahirkan bayi dalam kandungan terhitung sama. Sehingga hukumnya pun sama seperti hukum melahirkan tanpa operasi.
Yang demikian itu bedasarkan kaidah fiqih:

حكم البدل حكم المبدل منه

“Hukum pengganti sama dengan hukum yang digantikan.”
Kesimpulan:

  1. Wanita hamil yang menjalani proses melahirkan dengan operasi Caesar, nifasnya sebagaimana atau sama seperti wanita hamil yang melahirkan secara normal.
  2. Hukum syariat dalam hal ini melihat pada inti lahirnya si bayi. Bukan pada proses kelahirannya baik itu melalui operasi Caesar atau secara normal.

Disalin kembali dari buku Fiqih Kontemporer Kesehatan Wanita karya dr. Raehanul Bahraen cetakan kedua Muharram 1439 H/ Oktober 2017 terbitan Pustaka Imam Syafi’I dengan sedikit penyesuaian bahasa dari redaksi muslimah.or.id tanpa merubah konteks.

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10618-nifas-wanita-yang-menjalani-operasi-caesar.html

Saudaraku, Mana Senyummu?

DAN janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).

Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat tersebut, “Janganlah palingkan wajahmu dari orang lain ketika engkau berbicara dengannya atau diajak bicara. Muliakanlah lawan bicaramu dan jangan bersifat sombong. Bersikap lemah lembutlah dan berwajah cerialah di hadapan orang lain,”. (Tafsir Al Quran Al Azhim).

Kita harus melatih diri kita agar banyak senyum. Apalagi semakin berilmu agama, jangan sampai semakin jarang tersenyum. Padahal Nabi shalallaahu alaihi wasallam dikenal sebagai orang yang murah senyum. Tidak sedikit hadits yang menyebutkan bahwa Nabi murah senyum.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dariJarir bin Abdullah al-Bajaliradhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melarangku untuk menemui beliau sejak aku masuk Islam, dan beliaushallallahu alaihi wa sallam tidak pernah memandangku kecuali dalam keadaan tersenyum di hadapanku”.

Selain Nabi shalallahu alaihi wasallam adalah orang yang murah senyum, Nabi juga menganjurkan kita untuk banyak tersenyum. Hadits Nabi, “Senyummu di hadapan saudaramu (sesama muslim) adalah (bernilai) sedekah bagimu” (HR. Imam Muslim). Begitu juga hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Tirmidzi, “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan”.

Disamping mendapatkan pahala kebajikan, di antara faidah murah senyum adalah menghilangkan kegelisahan. Kalau kita sering melatih wajah kita untuk tersenyum, maka cepat atau lambat kegelisahan di hatinya akan pergi. Kalau orang susah tersenyum maka kegelisahan, kejengkelan, dendam dan yang semisalnya akan sulit hilang dari hatinya.

Sabda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam,””Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka denganwajah berseridan akhlak yang mulia” (HR. Al Hakim dalam mustadroknya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits inishahih).

Orang yang murah senyum akan mudah dikenal orang lain dan mudah mengambil hati orang lain. Orang yang tidak mudah senyum tidak lepas dari keadaan sedang bersedih, sedang marah, atau orang yang sombong. Orang yang sedih tidak tersenyum namun menampakkan kesedihan. Orang yang sedang marah pun tidak akan tersenyum. Begitu juga orang yang sombong, yang menganggap rendah orang lain, pasti dia tidak akan tersenyum pada orang lain.

Tidak sedang marah, tidak pula sedang sedih atau sakit, maka yang kita dapati pada diri orang yang susah tersenyum, tidak lain adalah kesombongan. Betapa susahnya bos tersenyum pada bawahan, betapa sulitnya bos tersenyum pada sopirnya, tidak pula pada pembantunya. Karena dia menganggap orang-orang ini rendahan. Dia hanya senyum pada sesama koleganya, atau dengan partner kerjanya yang satu level. Dia menyangka dengan sikapnya tersebut menyebabkan wibawanya tinggi di hadapan orang lain. Hendaknya orang seperti ini melihat sunnah Nabi yang mengajarkan bahwa Nabi tersenyum pada siapa saja. Dan hal demikian tidak menyurutkan wibawa Nabi sedikitpun.

Orang-orang yang murah senyum biasanya dikenal sebagai orang yang tawadhu dan berakhlak mulia. Orang yang murah senyum pada saudara sesama muslim, dia dipenuhi oleh husnuzh-zhan pada setiap saudara muslim yang ditemuinya. Dia selalu menilai saudaranya ini adalah orang Islam yang telah mendahuluinya dalam hal kebaikan, sedangkan dia penuh kesalahan dan dosa.

Jadi untuk apa baginya sombong di depan saudaranya ini. Sikap ini adalah sikap tawadhu. Dan tawadhu seperti ini hendaknya diaplikasikan pada setiap muslim yang ditemuinya. Dan murah senyum pada setiap muslim, adalah sarana agar kita memiliki sifat tawadhu.

Semoga Allah melunakkan hati kita agar mau tersenyum dan menampakkan wajah ceria di hadapan saudara kita. [*]

 

 

Takdir Allah Selalu Lebih Indah dan Terbaik

“KITA tetap bisa melanjutkan hubungan ini ke tahap yang lebih serius Ris, tapi kalau kamu mau memeluk keyakinan yang aku anut. Dan kamu tahu alasan aku gak bisa memeluk muslim.”

“Dan harusnya kamu tahu alasan ku, sorry Do, gua memang menyayangi mu, tapi maaf, gua lebih mencintai jalan yang selama ini gua yakini. Gua juga gak bisa.”

“Ya sudah. Kita akhiri saja hubungan ini. Tidak ada jalan lain”

“Ok”

Percakapan terakhirku bersama Ido. Lelaki yang selama empat tahun ini mengisi hatiku, menjalani hari demi hari bersama selama kuliah. Aku dan Ido satu universitas, namun beda jurusan. Ido jurusan teknik sipil, dan aku mengambil jurusan ekonomi, akutansi tepatnya.

Ido adalah pemuda Hindu Bali yang merantau ke Semarang, tempat tinggalku. Kami bertemu, hingga akhirnya menjalin hubungan. Tapi sayang, aku dan Ido akhirnya berpisah, empat tahun bersama bukan berarti kami akan berlabuh dalam jenjang hubungan yang lebih serius. Ditambah ada perbedaan keyakinan di dalamnya, Hindu-Islam, inilah jurang besar yang tak bisa kaim lewati bersama.

Jujur, itu masa tersulit yang ku alami, selain menyusun skripsi. Tak ada lagi kebersamaan, tak ada makan malam bersama, ngerjai tugas, nonton bioskop, dan tak ada lagi touring bersama ke tempat-tempat yang tidak aku tahu, tapi Ido tahu. Dia selalu bisa membuatku terdiam menikmati keindahan tempat-tempat yang kami kunjungi.

Sudahlah, itu hanya masa lalu terindah bersama cinta pertama ku, Ido. Kini aku punya jalan hidup baru yang harus kulalui, begitu juga Ido. Perpisahanku dengan Ido, membuatku lebih betah sendiri, tidak terasa dua tahun sudah aku menyendiri. Tapi tidak dengan keluargaku, mereka menuntutku untuk segera mencari pendamping hidup.

Usiaku 24 tahun, saat pamanku mengenalkanku pada Mas Fajar. Lelaki 12 tahun lebih tua dariku, seorang kepala HRD di sebuah perusahaan garmen di Solo dan belum menikah. Perkenalan itu berlanjut menjadi pertemuan-pertemuan santai antara aku dan Mas Fajar. Dia pria dewasa yang menyenangkan, dan aku nyaman bersamanya. Mungkin aku mulai jatuh hati dengan sosok dewasa ini.

Selain Ido, Mas Fajar memberiku kenyamanan yang tidak kutemukan saat bersama Ido, ya kenyamanan spiritual. Mas Fajar memang pria dewasa dengan kepribadian yang luar biasa, selama enam bulan perkenalan kami, dia selalu berusaha mengajakku untuk semakin mendekati diri dengan Allah swt, selalu mengingatkan untuk melengkapi lima waktuku, puasa sunah Senin-Kamis, sedekah, dan tidak pernah absen membangunkanku via sms atau telepon untuk mendirikan dua rakaat malamku.

Semua hal sederhana ini yang membuat rasa sayang itu kian hari kian tumbuh. Hingga akhirnya aku menerima lamaran Mas Fajar, dan kami menikah. Setelah menikah, aku hidup bersama Mas Fajar, suamiku di kota Solo. Saat itu aku belum mengetahui satu rahasia yang Mas Fajar simpan rapi dariku.

Alhamdulillah, Allah menitipkan calon malaikat kecil di rahimku, usianya sudah tiga bulan dan Mas Fajar belum tahu tentang calon anaknya ini. Dan kehadiran calon anakku ini juga yang telah membuka rahasia suamiku selama ini. Siang itu, aku memeriksakan kandunganku ke rumah sakit. Tanpa ditemani Mas Fajar, karena ia sedang tugas ke luar kota, katanya.

Selama memeriksakan kandungan itu, tidak ada kabar dari Mas Fajar. Aku berharap dia menghubungiku, dan aku takut mengganggu kesibukannya kalau aku menghubunginya. Tapi siang itu, saat aku keluar dari ruangan dokter Yessi, dokter kandunganku, aku melihat sosok seperti Mas Fajar. Bukan hanya seperti, tapi itu memang Mas Fajar, suamiku.

Dari kejauhan ku lihat tubuh Mas Fajar terbaring di tempat tidur dorong ditemani beberapa perawat dan seorang dokter. Mereka semua masuk ke ruangan yang tak ku tahu jelas namanya, tapi dari perawat yang sedang lewat dihadapan ku, ku tahu itu ruangan cuci darah. Aku bingung. Yaa Allah, ada apa dengan suamiku? Mengapa masuk ruang itu? Adakah yang ia sembunyikan dari ku, istrinya.

Aku putuskan untuk tidak pulang, aku menunggu Mas Fajar tepat di ruangan cuci darah itu. Cukup lama ku menunggu sampai Mas Fajar didorong kembali keluar ruangan, kali ini Mas Fajar didorong dengan kursi roda. Kami terdiam saat kedua bola mata kami saling bertemu di depan ruangan. Aku belum berani bertanya, aku ikut mendorong kursi roda Mas Fajar. Sampai semua urusan di rumah sakit selesai, dan dari itu aku tahu yang selama ini Mas Fajar sembunyikan dari aku, suamiku menderita gagal ginjal kronis dan harus cuci darah.

Ya Allah, kehamilanku ini merupakan berita bahagia yang kupersiapkan untuk suamiku, tapi selama ini ternyata ada kabar buruk yang Mas Fajar sembunyikan dariku. Seakan dunia ini berhenti saat ku dengar langsung penjelasan Mas Fajar tentang penyakit ginjal kronis yang selama ini ia rahasiakan, Mas Fajar tidak ingin membuat ku sedih dan khawatir, alasannya.

Saat aku menerima Mas Fajar sebagai imamku, saat itu juga aku telah berjanji untuk menerimanya, semua tentangnya termasuk kekurangannya, bahkan penyakitnya ini. Walaupun mulai hari itu, aku selalu mengurus Mas Fajar dan menemaninya setiap kali cuci darah, dalam pikiranku beliau tidak sakit, beliau hanya mengunjungi dokter sebagai bentuk silahturahmi. Suamiku sehat, dan kami bakal hidup bahagia bersama anak-anak kami kelak, benakku.

Kandunganku memasuki usia empat bulan ini, dan pagi itu untuk pertama kalinya Mas Fajar menemaniku memeriksa calon anak kami. Alhamdulillah, sang malaikat kecil masih dalam keadaan sehat dengan bentuk yang hampir sempurna, terima kasih Rabb-ku.

Dan ternyata itulah kali pertama dan terakhir Mas Fajar menemaniku memeriksa kandungan. Dua hari setelahnya, kondisi suamiku drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Dalam kondisi setengah sadar, pucat dan lemas kugenggam tangannya. Ia sempat mendapat perawatan dokter selama 15 menit, hingga akhirnya Malaikat Izrail menjemput suamiku. Ia pergi meninggalkanku dan calon anak kami.

Untuk kedua kalinya, Allah memisahkanku dari orang yang kukasihi. Marah, kesal dan tidak ikhlas itulah yang kurasa saat Allah memanggil Mas Fajar. Mengapa Allah memisahkanku dari sosok imam terbaik ku, tak ada yang kurang dari sosok Mas Fajar, beliau berhasil membimbingku lebih dekat dengan-Mu, tapi mengapa Engkau pisahkan dia dari hamba Rabb?

Aku putus asa atas kepergian suamiku, hanya setahun Allah menitipkan lelaki terbaik dalam hidupku, lebih baik dari cinta pertamaku Ido. Dan aku lebih mencintai Mas Fajar dibanding Ido. Aku hampir terpuruk dalam kesedihan, hampir ku lupakan calon anak ini. Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Semua hal tentang Mas Fajar menguatkan ku.

Gibran lahir tanpa kehadiran ayahnya, tanpa diazani sosok ayah. Gibran lahir dengan kondisi keuanganku yang pas-pasan peninggalan almarhum Mas Fajar. Tidak menunggu lama, saat Gibran berusia lima bulan, aku memutuskan bangkit dari semua kehampaan hidup. Kehadiran Gibran menyadarkanku, bahwa hidupku tidak selalu berjumpa dengan perpisahan, Allah kembali mempertemukanku dengan Mas Fajar melalui sosok anakku, Gibran. Alhamdulillah, dia begitu mirip dengan almarhum Mas Fajar.

Aku harus berusaha mendapatkan rezeki demi kehidupan yang lebih baik bersama Gibran. Bermodal ijazah S-1 akutansi, aku mencari pekerjaan. Tidak mudah memang mencari pekerjaan untuk wanita yang telah berkeluarga. Berawal dari penjaga toko furniture, naik kelas menjadi bagian keuangan di perusahaan mebel namun tidak bertahan lama, hanya tujuh bulan sebelum akhirnya aku mencoba karierku di bank swasta sebagai customer service.

Dan Allah tidak pernah menutup mata dari hamba-Nya yang selalu berusaha dan bekerja keras, setelah bekerja keras dan berjuang untuk selalu lebih baik, akhirnya aku diangkat menjadi manager di bank swasta tempatku bekerja selama ini. Alhamdulillah, takdir Allah selalu lebih indah dan terbaik. Hidup berdua dengan Gibran membuatku jauh lebih baik, dan kutemukan sosok almarhum Mas Fajar pada anakku Gibran yang selalu mengingatkanku untuk terus mengingat-Mu melalui ocehan-ocehan polosnya.

Ujian itu kembali datang, ya, Allah mempertemukan ku kembali dengan Ido, lelaki cinta pertamaku, tapi itu dulu. Ido menawarkan perasaan yang sama seperti dulu. Bismillah, aku menolak lamaran Ido, walaupun ia mengatakan akan memeluk Islam sebagai agamanya. Aku percaya, semua hal yang tidak didasari niat karena Allah swt, tidak akan bertahan lama. Dan aku tidak mau dijadikan alasan Ido memeluk Islam. Kudoakan agar Allah swt memberikan Ido hidayah, dan bukan menjadikan aku sebagai alasannya.

Perpisahan mengajarkanku menjadi kuat dan menjadi pribadi yang lebih bersabar, sekalipun aku sangat mencintai Mas Fajar, sesungguhnya beliau, Gibran, seluruh hal di dunia ini, bahkan roh dalam ragaku adalah titipan. Aku percaya selalu ada hikmah di balik semua kehendak-Nya. Dan kini aku akan selalu berusaha menjaga Gibran sesuai ajaran-Nya, sebagai titipan dan tabungan ku sebelum bertemu dengan-Nya.

Rasulullah SAW bersabda , “Kita milik Allah semata dan sesungguhnya hanya kepada-Nya semata kita kembali. Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripada musibah yang telah menimpa.” (HR.Muslim) [Chairunnisa Dhiee]

Sempurnanya Syariat Islam dalam Perkara Akhlak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa maksud diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad, al- Hakim, dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash- Shahihah)

Syariat-syariat terdahulu yang Allah Ta’ala syariatkan pada hamba-hamba-Nya bertujuan untuk memotivasi manusia untuk berakhlak mulia. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwasanya akhlak-akhlak yang mulia merupakan bagian dari syariat umat terdahulu. Namun, syariat yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan akhlak-akhlak tersebut sehingga menjadi yang paling sempurna.

Untuk memahami masalah ini, kita berikan contoh dalam masalah qishash.

Jika seseorang melakukan kriminal pada orang lain apakah dia di-qishash? Para ulama menyebutkan bahwasanya syariat qishash pada syariat Yahudi hukumnya wajib secara mutlak, tidak ada opsi untuk dimaafkan, sedangkan dalam syariat orang Nasrani adalah kebalikan syariat Yahudi, yaitu orang yang berbuat kriminal terhadap orang lain wajib dimaafkan secara mutlak (tidak ada qishash).

Akan tetapi, syariat Islam datang dengan membawa kesempurnaan pada dua sisi tersebut, ada qishash dan ada pengampunan. Karena, dengan menghukum pelaku/qishash, akan membuat efek jera dan menghentikan keburukan. Dan dengan adanya pemaafan, maka di dalamnya merupakan perbuatan kebaikan dan melakukan perbuatan yang ma’ruf kepada pelaku.

Oleh karena itu, dari sini kita ketahui syariat Islam datang dengan membawa kesempurnaan, dengan memberikan opsi antara pemaafan dan melanjutkan eksekusi qishash agar bisa melaksanakan hal yang tepat dalam setiap keadaan.

Ketika yang tepat itu memaafkan, maka memaafkan. Kalau yang tepat itu qishash, maka pelakunya di-qishash. Maka syariat Islam lebih utama ketimbang syariat Yahudi yang mewajibkan qishash secara mutlak, padahal terkadang pemaafan itu lebih maslahat untuk pelaku kriminal tersebut.

Dan lebih utama dari syariat Nasrani yang mengharuskan pemaafan pelaku secara mutlak, padahal terkadang yang maslahat adalah memberikan hukuman qishash.

**

(Disarikan dari kitab Makarimul Akhlaq, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hlm. 11-12)

Penulis: Fera Rita Ummu Sufyan

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10597-sempurnanya-syariat-islam-dalam-perkara-akhlak.html

Kenali Tanda-tanda Sempitnya Hati Sejak Dini

Kata “sempit” dalam al-Qur`an (bisa “dhaiq” dan “dhank”) dipakai untuk kondisi jiwa yang tertekan akibat menghadapi sesuatu yang dibenci atau menunjuk pada tempat yang sudah tak nyaman kerena menyempit.

Dalam al-Qur`an misalnya ada ungkapan “kehidupan yang sempit”, “dada yang sempit”, “kondisi yang sempit”, “bumi luas terasa sempit” dan “tempat yang sempit di neraka”. Lawan dari kata ini adalah “lapang” dan “luas”. Tulisan ini akan berfokus pada tanda-tanda sempitnya hati.

Kebanyakan orang –terutama di era digital seperti sekarang ini—banyak yang jiwanya resah dan  sempit hatinya. Kondisi ini bisa diatasi ketika sejak dini bisa diketahui tanda-tandanya. Dalam ungkapan Arab ada istilah “al-Wiqāyatu khairun minal-‘Ilāj” artinya: langkah preventif itu jauh lebih baik daripada kuratif.

Abdullah bin Husain bin Ahmad dalam buku “al-Dhaiq” yang sudah diterjemah ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Kesempitan Hati” (2004: 45-51) mengungkap beberapa tanda atau gejala  sempitnya hati.

Pertama, menjauhi perbuatan baik dan membiasakan perbuatan keji. Orang yang mengalami hal ini, berarti sempit hatinya. Kondisi demikian terkadang menyebabkan orang mencari pelarian terhadap masalah yang dihadapinya agar kondisinya menjadi lebih baik.

Ada yang bunuh diri, minum khamr, mengonsumsi narkoba, menghabiskan waktu dengan aktivitas yang justru menjauhkan diri dari Allah dan lain sebagainya. Semua perbuatan ini, sebenarnya malah membuat hatinya semakin sempit.

Kedua, mengisolasi diri dan suka menyendiri. Manusia adalah makhluk sosial. Ketika dirinya suka menyendiri dan tidak mau gaul atau berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan batas normal, maka tandanya hatinya sempit.

Hal ini menyebabkan imajinasi dan khayalan bisa menguasai mereka. Orang seperti ini gampang mengalami gangguan kejiwaan atau bahkan gampang dipengaruhi setan untuk melakukan tindakan yang munkar.

Ketiga, gampang marah. Orang yang hatinya sempit, biasanya susah mengontrol emosinya walaupun pada masalah yang sepele. Kondisi ini menyebabkan dirinya jauh dari Allah dan malah dekat dengan setan.

Marah sendiri memang di antaranya berasal dari setan. Athiyah as-Sa’dy pernah meriwayatkan sabda Nabi:

إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ الشَّيْطَانِ، وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ، وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ، فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Marah itu dari setan dan setan dari api. Sedang api hanya bisa dipadamkan dengan air. Maka dari itu, jika salah seorang dari kalian marah, hendaknya ia berwudhu.” (HR. Ahmad)

Meski hadits ini sanadnya lemah, namun ada hadits lain yang menguatkannya. Bukhari meriwayatkan bahwa ada dua orang yang saling caci maki di hadapan Nabi. Kemudian, Nabi memberi tips agar amarah mereka redam, yaitu dengan membaca ta’awwudz atau memohon perlindungan dari godaan setan yang terkutuk.

Keempat, merasa kalut. Ciri kesempitan hati adalah ketika dia selalu atau sering merasa kalut. Kondisi yang dialaminya seolah sedang dalam penjara ketakutan dan kekalutan. Orang demikian juga akan semakin jauh dari Allah dan lebih dekat pada setan.

Karena itu, Nabi pernah mengajarkan doa kepada sahabat-sahabatnya:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ غَضَبِهِ وَمِنْ شَرِّ عِبَادِهِ وَمِنْ شَرِّ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ وَأَنْ يَحْضُرُوْنَ

“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dan murka-Nya, dari kejahatan hamba-hamba-nya, dan dari godaan setan serta dari rasukannya.” (HR. Abud Dawud

Kelima, merasa tertekan. Orang yang sempit hatinya akan merasakan tekanan demi tekanan. Dalam surah al-An’am ayat 125, Allah membuat tamsil menarik. Orang yang disesatkan oleh-Nya dadanya akan dijadikan sempit dan sesak seperti sedang naik ke langit.

Itu artinya, orang demikian hidupnya akan senantiasa tertekan dan tidak akan merasakan ketenangan jiwa. Walaupun misalnya secara harta melimpah ruah, tapi karena hatinya sempit, maka hidupnya seperti orang tertekan.

Suatu hari Nabi pernah bersabda, kekayaan sejati bukanlah kaya materi tapi kaya hati. Salah satu bentuk kekayaan hati adalah ketika hatinya terasa lapang dan tak sempit. Orang demikian tentu tidak mengalami tekanan. Kalau pun mengalami, akan cepat diatasi.

Jadi, jika ada yang mengalami suka berbuat keji plus jauh dari kebaikan, mengisolasi diri-suka menyendiri, gampang marah, merasa kalut dan tertekan, maka itu adalah tanda-tanda hatinya sempit.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH