Ternyata Ada Lipstik Berbahan Cacing, Apa Hukumnya?

Penggunaan cacing untuk pengobatan dan kecantikan merupakan salah satu metode kuno yang banyak dipergunakan dalam sejarah peradaban manusia. Tak terkecuali di dunia kecantikan modern. Ekstrak cacing ternyata juga menjadi salah satu bahan penting yang tak pernah dilewatkan.

Seperti apakah penggunaan cacing dalam kosmetik? Direktur Halal Centre Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir Nanung Danar Dono menjelaskan, ada tiga macam pigmen cacing yang harus diperhatikan. Pertama, pigmen darah yang berwarna merah, berwarna hijau dan tidak berwarna. Yang berwarna hijau merupakan jenis pigmen yang bisa menyala di kegelapan, yang ternyata telah digunakan ahli-ahli kosmetik di Jepang untuk lipstik.

Lipstik yang menggunakan bahan itu biasanya biasa saja ketika dipakai, tapi terlihat sangat menarik dari kejauhan atau kegelapan. Terkait hukumnya, Nanung merasa harus disesuaikan kepada masing-masing orang.

“Ini kaidah fikih, ulama berpendapat kalau kita jijik terhadap cacing kita tidak boleh menggunakan itu,” kata ujar Nanung yang juga auditor halal LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY itu saat mengisi Kajian Halal Class di Masjid Suciati Saliman, Rabu (21/11).

Salah satu rujukan yang dapat digunakan tidak lain hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik tentang Khalid bin Walid yang disuguhkan daging dhab. Nanung berpendapat, kisah itu bisa menguatkan pemahaman terkait kasus di atas.

Menurut Nanung, ada memang hewan-hewan yang tidak masalah untuk dimakan, tapi haram dimakan jika kita merasa jijik terhadapnya. Kondisi itu dirasa bisa jadi panduan terhadap kandungan seperti pigmen cacing yang menjadi bahan kosmetik.

Lantas bagaimana dengan pendangan fikih terhadap penggunaan ekstrak cacing dalam kosmetik? Menurut Mazhab Syafii, hukum mengonsumsi cacing dan menggunakan ekstraknya tidak diperbolehkan. Pengharaman ini kembali kepada fakta bahwa, cacing termasuk binatang yang menjijikkan (khabaits). “Dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS al A’raf: 157).

Sementara, menurut Mazhab Maliki, konsumsi cacing hukum dasarnya adalah  halal. Namun, konsumsi ini tidak boleh jika ada unsur yang membahayakan.

Fatwa MUI yang dirilis pada tahun 2000 menyebutkan, terdapat dua pandangan hukum terkait dengan mengonsumi atau menggunakan ekstrak cacing. Pendapat Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Namun, ada pula yang mengaramkan konsumsi cacing, seperti Imam Syafi’i.

Dalam fatwa MUI itu juga disinggung hukum membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan. Aktivitas tersebut dinyatakan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

KHAZANAH REPUBLIKA

Alicia Brown: Islam Menyelamatkanku dari Dunia Gelap

“Aku bagai lahir kembali, bebas dari segala sesuatu. Segala dosa yang menjerat dan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku, tak penting lagi,” ucap Alicia, tepat sehari setelah ia memeluk Islam. Berjilbab rapi, wajahnya cerah bak mentari terbit.

Senyumnya pun mengembang laksana bunga mekar di pagi hari. Melihat binar wajahnya, tak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki sederet catatan hitam dalam hidupnya.

Alicia Brown, wanita asal Texas, AS, tersebut menemukan cahaya hidayah setelah bertahun-tahun kekacauan melanda hidupnya. Ia terjerumus dalam kubangan dosa. Alkohol, narkoba, hingga seks bebas menjadi teman hidupnya. Mengapa ia lakukan semua itu? Alicia memang ingin merusak hidup yang sangat ia benci. Ia sangat membenci dirinya, membenci segala sesuatu di sekitarnya.

Dunia gelap membelenggu Alicia setelah musibah melanda keluarganya. Orang tuan Alicia bercerai. Saat itu, usianya baru 10 tahun. Terpaksa, Alicia tinggal dengan ayah yang sangat membencinya dan sangat ia benci. Caci-maki menjadi kalimat rutin yang ia dengar dari sang ayah setiap hari selama enam tahun.

“Ayah sangat kejam kepadaku dan adik laki-lakiku. Dia tak terlalu kejam pada adik perempuanku, tapi dia benar-benar kejam padaku, sangat kejam. Mungkin karena aku mengingatkannya pada ibuku,” tutur Alicia.

Di usia 16 tahun, Alicia pindah ke rumah kakek neneknya. Namun terlambat, karena didikan kejam sang ayah, saat itu Alicia telah benar-benar diselimuti kebencian. Ia pun mulai merusak hidupnya dengan kesenangan semu. Ia memulai gaya hidup merusak diri.

“Aku membenci diriku dan semua yang ada di sekitarku.  Aku ingin melakukan apapun yang bisa untuk menyakiti diri sendiri. Aku coba narkoba, alkoho, dan seks bebas.”

Setahun dengan gaya hidup itu, Alicia tak merasa batinnya terpuaskan. Ketika usianya 17 tahun, ia tinggal dengan sang ibu. Alicia sempat berpikir, tinggal dengan ibu mungkin bisa membuatnya berbenah diri. Tapi rupanya, Alicia telah terjatuh sangat dalam pada jerat dunia hitam. Ia tak bisa lepas bahkan terus memburuk dari hari ke hari.

Di sekolah menengah atas, ia bertemu dengan seorang pria. Ia lalu tinggal bersama pria itu selama bertahun-tahun tanpa ikatan pernikahan. Lagi-lagi Alicia berharap itu menjadi kehidupan baru yang membentangkannya kesempatan untuk berubah. Celakanya, pasangan Alicia pun memiliki kebiasaan sama. Ia peminum dan pecandu.

Masalah pun kian rumit ketika Alicia hamil. “Awalnya, itu tak terlalu masalah. Setidaknya, kami memiliki seseorang untuk saling dimiliki. Tapi, saat bayiku lahir, ketika itulah pacarku dan ayahnya benar-benar menjadi pecandu berat,” kisahnya.

Hari demi hari, keuangan keluarga ini kian menipis digerogoti alkohol dan narkoba. Beruntung, kehadiran si jabang bayi membuat Alicia tersadar bahwa ia harus menghentikan kecanduannya demi tumbuh kembang sang buah hati. Sementara, kekasihnya tak mau peduli. Dia tetap saja menjadi pecandu narkoba. Karena kesal, Alicia pun meninggalkan kekasihnya yang juga ayah biologis putrinya.

Hari-hari pertemuan Alicia dengan hidayah Islam kian dekat. Hal itu bermula ketika putri kecilnya divonis menderita sindroma Guillain-Barre, suatu kelainan berupa sistem kekebalan tubuh yang menyerang saraf pusat. Akibatnya, penderita mengalami pelemahan otot dan tak mampu bergerak.  Tak pelak, anaknya harus dirawat di rumah sakit.

Saat di rumah sakit menemani putrinya itulah, Alicia berkenalan dengan beberapa Muslimin, salah satunya bernama Hayat. Dari Hayat, ia mulai mengenal agama Islam. Alicia pun banyak mengajukan pertanyaan tentang Islam pada kenalan barunya ini.

Ketika kondisi putrinya membaik dan boleh dirawat di rumah, Alicia tetap menjaga kontak dengan Hayat. Jelas sekali, Alicia mulai tertarik dengan Islam. Ia pun menyadari bahwa banyak orang mendapat informasi yang salah tentang Islam. “Aku pikir banyak orang mengira bahwa itu (Islam) seperti agama Hindu. Aku pun tadinya berpikir, Islam merupakan agamanya orang Timur Tengah.”

Alicia memang buta sama sekali tentang Islam. Sejak kecil ia dibesarkan di tengah keluarga yang jauh dari agama. Meski mengaku sebagai Kristen, keluarga Alicia sangat jarang ke gereja. “Mereka Kristen Baptis, tapi kami tipe keluarga yang tidak pergi ke gereja secara teratur,” ujarnya.

Sejak bertemu Hayat, Alicia baru mengetahui bahwa Islam berasal dari akar yang sama dengan agama yang dianutnya. Namun, berangkat dari perenungan dan diskusi panjangnya dengan beberapa Muslimin, Alicia mulai mendapat kejelasan arah yang harus ia tuju. Ya, arah yang jelas itu adalah Islam.

Namun Alicia tak serta-merta berislam. Alicia sangat takut karena selama ini ia meyakini bahwa mengatakan Yesus bukan anak Allah merupakan sebuah penghujatan. Sementara, penghujatan merupakan dosa tak terampuni. “Artinya, Anda akan masuk neraka,” tuturnya.

Diakui Alicia, selama ini pun ia telah bergelimang dosa. Hanya saja, dalam keyakinannya, itu bukan dosa yang tak terampuni. Dicekam kebingungan dan ketakutan, Alicia setiap malam senantiasa menengadahkan tangan, berdoa meminta petunjuk. “Ya Allah, tolong beri petunjuk. Petunjuk yang jelas untuk mengetahui bahwa inilah jalan yang harus hamba tuju.’”

Suatu hari, Alicia bertemu ibunda Hayat, Hana. Ia membacakan ayat Alquran. Alicia tak ingat ayat apa yang dibaca saat itu. Yang pasti, di ayat tersebut Yesus berkata, “Saya bukan anak Tuhan.”

Kemudian, di akhir ayat, kata Alicia, disebutkan, “Untuk setiap pencari petunjuk, terdapat petunjuk dari dirinya sendiri. Bagiku ini sungguh luar biasa. Aku pun menangis karena merasa ini merupakan petunjuk untukku.”

Setelah mendapat petunjuk yang jelas dari ayat Alquran itu, Alicia tak ragu lagi untuk memeluk Islam. Jalan hidup baru sebagai Muslimah pun terbentang.

Islam membuka lembaran hidup baru bagi Alicia. Ia benar-benar meninggalkan dunia hitamnya, bertobat, dan memperbaiki diri. Tak pernah ia merasakan kebahagiaan, kecuali setelah memeluk Islam. “Aku benar-benar merasakan kasih dan dukungan.”

Selama ini, Alicia hidup dalam suramnya dunia. Ia yang sebelumnya senantiasa berselimut dosa, kini merasakan iman yang begitu menyegarkan. Belenggu ketakutan dan kecemasan pun serta-merta lenyap. Ia bagai terlahir kembali.

“Aku benar-benar merasa jauh lebih baik. Aku merasa beban berat telah diangkat. Aku pun bisa bernapas lebih lega dari sebelumnya,” ungkapnya.

Jika sebelum berislam teman setianya adalah alkohol, narkoba, dan seks bebas, kini Alicia hanya bersandar kepada Allah. Alquranlah yang menjadi teman setianya sehari-hari. Ia sangat suka membaca Alquran. Baginya, kitab suci umat Islam ini sangat memesona.

“Alquran terasa begitu asli dan mudah dipahami,” katanya

KHAZANAH REPUBLIKA

Pergi Haji karena Menolong Anak Yatim

SEJAK muda, Zaid bin Ali bersama istrinya telah bermimpi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, pergi haji. Kondisi ekonomi yang sederhana membuat keduanya rajin menabung. Saat ini, ketika usia mereka sudah cukup tua, tabungan merekapun sudah cukup untuk bekal pergi ke tanah suci Mekah.

Suatu hari pada saat akan membeli keperluan haji, mereka bertemu dengan dua orang kakak beradik bertubuh sangat kurus dan menyedihkan. “Mengapa tubuhmu sangat kurus begitu, nak? Apakah kalian kelaparan?”

Kedua bocah tersebut menggeleng. “Kami sudah terbiasa dengan rasa lapar sejak kami hidup sendiri tanpa orangtua,” ujar salah satu di antaranya.

“Apakah orangtuamu sudah meninggal?”

Anak tadi, yang mungkin adalah sang kakak, kembali menjawab. “Mereka meninggal saat rumah kami terbakar. Saat itu kami selamat karena sedang menginap di rumah kerabat.”

“Lalu, bagaimana dengan kerabatmu?” kata Zaid.

“Karena jatuh miskin, mereka justru menelantarkan kami. Tapi kami bersyukur masih saling memiliki.” Kali ini sang adik yang menjawab. “Kami juga terserang penyakit aneh yang membuat tubuh kami kurus kerontang seperti ini. Tentu saja kami tidak memiliki uang untuk berobat.”

Zaid dan istrinya melemparkan pandangan satu sama lain. Lalu, bersamaan mengalihkannya kepada dua bocah tersebut. Mereka menatapnya. “Anak-anakku, awalnya kami akan pergi berhaji. Namun kami rasa uang yang kami miliki jauh lebih bermanfaat untuk kalian. Sepertinya ini adalah jalan Allah dalam mempertemukan kita semua.”

Akhirnya Zaid dan istrinya memutuskan untuk mengasuh keduanya dan membatalkan untuk pergi haji. Bocah kakak beradik tersebut pun sembuh dan tumbuh sehat di bawah asuhan Zaid dan istrinya. Pasangan tersebut bersyukur karena Allah menghadirkan dua anak yang saleh, setelah sekian lama mereka berdoa juga untuk dianugerahi buah hati.

Batalnya haji Zaid dan istri pun bukan berarti mereka tidak menunaikan rukun Islam yang kelima. Sebaliknya, karena merekalah, semua orang yang menunaikan haji pada saat itu diterima hajinya, tak terkecuali Zaid dan istri.

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian beliau shalallahu waalaihi wa salam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya, serta agak meregangkan keduanya. (HR Bukhari) [An Nisaa Gettar]

 

 

Anda Mau Menikah? Ini Tips Memilih Calon Istri

KRITERIA isteri saleh, antara lain:

1. Taat kepada Allah Ta’ala dan kepada suami

2. Menjaga dirinya dan harta suami apabila suami bepergian

3. Menyenangkan apabila dipandang suami

Allah Ta’ala berfirman:

“Wanita yang saleh adalah yang taat kepada Allah dan kepada suaminya lagi memelihara diri ketika suami tidak ada.” (QS An-Nisaa’: 34)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:

“Isteri terbaik adalah apabila dipandang suami ia menyenangkan, apabila diperintah ia taat dan apabila ditinggal bepergian ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR Imam Ahmad dll dengan sanad sahih)

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda pula:

“Dunia adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah istri yang saleh.” (HR Muslim)

[Abdulah Saleh Hadrami]

 

 

Libatkan Allah dalam Segala Hal

SAHABAT, kalau Allah SWT menolong kita, niscaya akan ringan dan mudah bagi kita menjalani hidup ini. Sebesar apapun episode kehidupan yang sedang kita jalani. Sedangkan kalau Allah SWT tidak menolong kita maka pasti berat bagi kita menjalani hidup ini, masalah sekecil apapun akan terasa besar dan rumit.

Oleh karena itu, janganlah takut pada masalah. Namun, takutlah kalau kita tidak ditolong Allah SWT.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2] : 153)

Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa selalu melibatkan Allah SWT dalam segala hal, dan termasuk orang-orang yang ditolong oleh Allah SWT.

Aamiin yaa Robbal aalamiin. [*]

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

Kasih Sayang Islam dalam Jihad di Medan Perang

ISLAM adalah agama yang selalu mengedepankan kasih sayang. Nabi Muhammad ﷺ, juga diutus untuk menjadi rahmat bagi seantero alam (QS. Al-Anbiya [21]: 107). Hatta dalam jihad dalam pengertian perang sekalipun, kasih sayang Islam juga masih terpancar.

Beberapa poin berikut –yang disarikan dari kitab “Minhāj al-Muslim” (274-275) karya Syeikh Abu Bakar Al-Jazairy–bisa menjadi bukti pancaran kasih sayang tersebut. Pertama, perang tak akan digulirkan sebelum dilangsungkan dakwah.

Dalam Islam, memang perang adalah opsi terakhir ketika langkah-langkah berikut sudah tidak efektif lagi atau justru Islam yang diserang lebih dahulu maka inilah urutannya: (1) mengajak masuk Islam (2) membayar jizyah jika menyerah (3) berperang.

Mengenai hal itu, Muslim meriwayatkan, “Rasulullah ﷺ jika mengangkat komandan tentara atau angkatan perang, beliau memberikan wasiat khusus agar bertaqwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda: “Jika engkau bertemu musuhmu dari kaum musyrikin, ajaklah mereka kepada tiga hal. Bila mereka menerima salah satu dari ajakanmu itu, terimalah dan jangan apa-apakan mereka, yaitu: ajaklah mereka memeluk agama Islam, jika mereka mau, terimalah keislaman mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum muhajirin.”

Kemudian, “Jika mereka menolak, katakanlah pada mereka bahwa mereka seperti orang-orang Arab Badui yang masuk Islam, mereka tidak akan memperoleh apa-apa dari harta rampasan perang dan fai’ (harta rampasan tanpa peperangan), kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Bila mereka menolak (masuk Islam), mintalah mereka agar membayar upeti. Jika mereka menyetujui, terimalah hal itu dari mereka. Lalu, bila mereka menolak, mintalah perlindungan kepada Allah dan perangilah mereka.”

Kedua, tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, tua renta dan pendeta (pemuka agama) jika mereka tidak terlibat perang. Ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ:

انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلاَ طِفْلاً وَلاَ صَغِيرًا وَلاَ امْرَأَةً

“Berangkatlah (ke medan perang) dengan nama Allah, dengan Allah, dan di atas millah Rasulullah. Janganlah membunuh orang tua jompo, anak-anak, bayi, dan perempuan.” (HR. Abu Dawud)

Kelima, tidak boleh memutilasi musuh. Suatu ketika, Samurah bin Jundab bercerita:

كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحُثُّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ وَيَنْهَانَا عَنْ الْمُثْلَةِ

“Sesungguhnya Nabi menyuruh kami bersedekah dan melarang mutilasi.” (HR. Abu Daud)

Di sini betapa terpancar jelas bagaimana kasih sayang Islam hingga dalam peperangan. Musuh yang sudah mati dan tak berdaya, tidak boleh dimutilasi.

John Madalam buku “Saladin The Life, the Legend and the Islamic Empire” yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Shalahuddin al-Ayyubi: Riwayat Hidup, Legenda, dan Imperium Islam (2017: 33) mengisahkan pembantaian yang cukup mengerikan yang dilakukan saat pasukan Salib merebut Yerusalem pada tahun 1099. Katanya, anak-anak, pria, wanita dibantai. Hukuman penggal kepala katanya disebut sebagai belas kasih. Ada juga yang ditusuk dengan panah, dilempar dari menara, dibakar hidup-hidup hingga mati dan ada disiksa dalam waktu yang lama.

Beberapa bukti yang disebut tadi menunjukkan sejauh mana kasih sayang Islam yang tetap tercermin hingga dalam kondisi genting peperangan sekalipun. Dalam hal ini, sepanjang sejarah umat manusia, umat Islam –tentunya yang mengikuti petunjuk Nabi—menjadi teladan yang baik dalam menerapkan kasih sayang hingga dalam peperangan.*/Mahmud Budi Setiawan

HIDAYATULLAH

Rasulullah Lahir dari Keluarga Mulia

Nabi Muhammad shalallahu alahi wassalam lahir dari silsilah atau nasab keluarga yang paling mulia. Nasabnya terpelihara dan terjaga kehormatannya. Nabi Muhammad dilahirkan dari keluarga yang terbaik dari keluarga Arab. Dari ayah hingga kakek buyutnya yang terkenal saleh.

Rasulullah merupakan putra Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan, yang terus bersambung hingga Nabi Ismail. Ibunda Nabi Muhammad bernama Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murarh bin Ka’ab bin Luayyi bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan, bersambung hingga ke Nabi Ismail. Para sejarawan menyebutkan ada empat nama di atasnya hingga sampai ke Nabi Ismail bin Ibrahim.

Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sejarah bahwa Adnan adalah anak dari Nabi Ismail ‘alaihissalam. Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Arab Adnaniyah atau al-Arab al-Musta’rabah.

Para ahli sejarah membagi orang-orang Arab menjadi tiga golongan. Pertama al-Arab al-Baidah mereka adalah orang-orang Arab kuno yang sudah punah. Seperti kaum ‘Aad, Tsamud, Kan’an. Kedua al-Arab al-‘Aribah mereka adalah orang Arab asli dari keturunan Ya’rib bin Yasyjub bin Qahthan. Karena itu, mereka juga disebut Arab Qahthaniyah. Mereka berasal dari Yaman. Dan ketiga al-Arab al-Musta’robah mereka adalah orang yang ter-arabkan dari keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam. Mereka dikenal dengan Arab Adnaniyah (al-Mubarakfury: ar-Rahiq al-Makhtum, Hal: 16).

Menurut penjelasan sejarawan Muslim, Adnaniyah disebut al-Arab al-Musta’robah, menjadi suku tinggal di Jazirah Arab karena nenek moyang mereka Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam bukanlah seorang yang berasal dari Jazirah Arab. Nabi Ibrahim berasal dari Irak. Kemudian beliau membawa anaknya Ismail ke Jazirah Arab.

Nabi Ismail menetap di sana, menikah dengan orang-orang setempat, dan memiliki keturunan. Inilah yang menyebabkan keturunan Nabi Ismail ini disebut dengan al-Arab al-Musta’robah.

Para ulama berpendapat siapa pun yang nasabnya sampai kepada Hasyim, maka dia adalah keluarga ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berbeda dengan orang-orang Syiah yang hanya mengkategorikan ahlul bait Nabi hanya dari anak keturunan Ali dan Fatimah saja.

“Aku diutus dari keturunan bani Adam yang terbaik pada setiap kurunnya, hingga sampai pada kurun dimana aku dilahirkan.” (HR. Bukhari 3557).

Menjaga Warisan Rasulullah

Riuh rendah pasar Kota Madinah. Manusia-manusia tenggelam dalam jual beli. Matahari yang semakin meninggi tak menyurutkan aktivitas mereka. Saat itu, lewatlah Abu Hurairah. Sahabat Nabi itu menyaksikan para penduduk kota sibuk dengan perniagaan.

Abu Hurairah pun berseru, “Alangkah ruginya kalian, wahai penduduk Madinah!”

“Ada apa, wahai Abu Hurairah?”

“Warisan Rasulullah SAW sedang dibagi-bagi, mengapa kalian masih di sini? Mengapa kalian tidak pergi mengambil bagian kalian?” Para penduduk saling berpandangan. Mereka antusias mendengar kabar tersebut. “Di mana itu?” tanya mereka. Abu Hurairah menjawab, ” Di masjid.”

Mereka bergegas pergi ke masjid. Tetapi, alangkah kecewanya para penduduk Madinah. Mereka tidak menemukan apa pun di sana, kecuali orang yang tengah shalat, mengkaji Alquran, berzikir, dan duduk di majelis-majelis ilmu.

Orang-orang kembali ke pasar sambil melemparkan protes kepada Abu Hurairah. “Wahai Abu Hurairah, di mana harta warisan Rasul yang kamu katakan itu?”

Abu Hurairah bertanya, “Tidakkah kalian melihat ada orang di sana.” Mereka menjawab, “Kami hanya melihat sekelompok orang yang sedang shalat, membaca Alquran, dan sekelompok lain sedang menyebutkan perkara halal-haram. Itu saja.”

Abu Hurairah pun menjawab, “Sesungguhnya, itulah warisan Muhammad SAW.”

Hadis riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi menyebutkan, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barang siapa yang telah mengambil ilmu yang banyak, ia telah mengambil bagian yang banyak.”

Kisah ini meneguhkan pentingnya ilmu dalam kehidupan seorang Muslim. Ulama, bukan umara, yang menjadi pewaris para Nabi. Allah SWT akan mengangkat kedudukan orang yang berilmu beberapa derajat di atas manusia lain. Walau, tak berarti Islam merendahkan kedudukan perniagaan atau harta dunia. Semua tetap mempunyai porsi masing-masing.

Sekarang, marilah kita menyimak kisah Abu Hurairah. Dia tumbuh sebagai seorang yatim, kemudian hijrah sebagai seorang yang miskin. Dia menjadi seorang buruh dalam keluarga Busrah binti Ghazwan dengan imbalan makanan sekadar mengisi perut. Pada tahun ke-7 H, Abu Hurairah mendatangi Rasulullah untuk menyatakan keislamannya. Ilmu yang mengangkat derajat sahabat Nabi ini.

Abu Hurairah menemani Rasulullah hanya sekitar empat tahun. Akan tetapi, Abu Hurairah adalah periwayat hadis Nabi yang paling banyak dibanding sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Bagi Abu Hurairah, empat tahun bisa menjadi waktu yang panjang, penuh dengan ucapan, amal, dan pendengaran yang bermanfaat.

Abu Hurairah sadar ia baru masuk Islam belakangan. Karena itu, dia bertekad mencari kompensasi atas segala sesuatu yang telah terlewatkan. Tak ada kata terlambat untuk mengejar ilmu. Dia rajin mengikuti Rasulullah dan hadir dalam setiap majelis Beliau SAW. Tekad dan kesungguhan itu didukung oleh kecerdasan yang Allah karuniakan. Abu Hurairah bukan seorang penulis, melainkan penghafal. Ia mampu menghafalkan setiap ucapan Rasulullah dengan tepat.

Sebagai seorang fakir, Abu Hurairah juga memiliki waktu teramat lapang untuk menuntut ilmu. Ia tidak memiliki tanah yang bisa ditanami atau perniagaan yang menyibukkan. Karena itu, Abu Hurairah bisa mendedikasikan waktu untuk menghafal hadis-hadis Rasulullah.

“Ingatlah bahwa para sahabat Muhajirin itu sibuk untuk berdagang di pasar, sementara para sahabat Anshar sibuk mengurus tanah. Adapun aku adalah seorang laki-laki miskin yang paling banyak hadir di majelis Rasulullah. Aku hadir ketika mereka tidak hadir dan aku menghafal ketika mereka lupa,” jelasnya.

Kemampuan Abu Hurairah tak ayal mengusik rasa ingin tahu beberapa orang. Dikisahkan oleh Khalid Muhammad Khalid dalam Biografi 60 Sahabat Rasulullah, Khalifah Marwan bin al-Hakam pernah menguji kemampuan hafalan Abu Hurairah.

Dia mengundang Abu Hurairah dan mengajaknya duduk bersama. Khalifah Marwan meminta sahabat Nabi itu meriwayatkan hadis dari Rasulullah, sementara dia telah menempatkan seorang sekretaris di balik tirai. Ia perintahkan sekretaris itu untuk mencatat segala yang diucapkan Abu Hurairah.

Selang beberapa tahun, Khalifah Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan memintanya membacakan hadis-hadis yang telah dicatat sekretarisnya. Ternyata, Abu Hurairah tidak lupa satu kata pun. Kisah serupa juga kita dapati dalam pribadi Imam al-Bukhari. Imam al-Bukhari mampu menghafal 100 ribu hadis shahih dan 200 ribu hadis yang tidak shahih.

Abu Hurairah ditakdirkan menjadi madrasah umat yang kekal dan abadi. Sahabat yang satu ini pernah mengatakan tentang dirinya sendiri, “Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah yang lebih banyak hafal hadis daripada aku, kecuali (hadis) yang berasal dari Abdullah bin Amr bin Ash karena dia mencatat, sedangkan aku tidak.” Imam Syafi’i meneguhkan, “Sekitar 800 atau lebih dari sahabat, tabi’in, dan ahli ilmu telah meriwayatkan dari Abu Hurairah.”

Semangat menuntut ilmu banyak diteladani oleh para tabi’in dan ulama terdahulu. Seorang ilmuwan Muslim, al-Biruni, konon menjelang kematiannya masih mendiskusikan sebuah persoalan fikih yang belum dia ketahui jawabannya. Seorang sahabat yang menjenguknya bertanya, mengapa dia masih mempersoalkan hal itu, padahal sedang sakit berat. Apa jawabnya? “Aku tidak ingin meninggal dalam keadaan jahil mengenai hal ini.”

Setelah kaum Muslim mengakrabi aksara, kemampuan menulis para ulama tidak ada bandingan. Konon, ath-Thabari menulis sebanyak 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. Imam al-Ghazali menulis sekitar 500 buku, sedangkan Ibnu Hazm menulis sekitar 400 buku. Rekor itu tak tertandingi, padahal sekarang kita tinggal menarikan jemari di atas tuts-tuts keyboard. Sejarah tentu tak banyak bermakna apabila sekadar dijadikan nostalgia.

Menuntut ilmu bukan jalan yang penuh keriuhan. Suatu ketika, Imam Syafi’i menyampaikan nasihat kepada para muridnya. “Saudaraku, kalian tidak akan mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam perkara. Akan aku kabarkan keenam perkara itu kepadamu secara terperinci, yaitu kecerdasan, semangat, kesungguhan, bekal harta, duduk di majelis bersama guru, dan waktu yang lama.”

Kecerdasan. Para ulama membagi kecerdasan menjadi dua. Pertama, bekal kecerdasan yang diberikan oleh Allah. Kedua, kecerdasan yang didapat dengan usaha. Misalnya, lewat mencatat, berdiskusi, atau mengulang-ulang materi. Semangat. Ilmu akan lebih mudah meresap apabila kita menyambutnya dengan antusias dan penuh semangat. Kesungguhan. Jalan menuntut ilmu bukan jalan mudah. Tanpa kesungguhan, niscaya seorang penuntut ilmu akan patah di tengah jalan.

Harta. Sebuah pepatah Jawa mengatakan, jer basuki mawa bea. Menuntut ilmu juga membutuhkan bekal harta. Para ulama terdahulu mengorbankan harta benda, bahkan nyawa, demi perjalanan mencari ilmu.

Guru. Perkara ini sering kali dilupakan umat Islam hari ini. Generasi muda lebih akrab dengan sumber-sumber anonim, seperti jejaring sosial, mesin pencari, atau broadcasting yang beredar viral. Padahal, guru adalah otoritas yang akan membimbing kita mendapatkan pemahaman yang benar.

Waktu yang lama. Menuntut ilmu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Al-Qadhi Iyadh, seorang ulama hadis, pernah ditanya, “Sampai kapan seseorang harus menuntut ilmu? Beliau menjawab, “Sampai dia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.”

Muadz bin Jabal mengatakan, “Pelajarilah ilmu. Mempelajarinya karena Allah adalah khasyah, menuntutnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui adalah sedekah, menyerahkan kepada ahlinya adalah taqarrub. Ilmu adalah teman dekat dalam kesendirian dan sahabat dalam kesunyian.”

Tak Boleh ada yang Maju Kecuali Aku

SALAH satu penyakit yang mungkin hinggap di dalam hati banyak orang, termasuk para cerdik cendikia, adalah iri hati dan dengki. Bagaimana mungkin orang berilmu bisa iri?

Para ulama hati berargumen bahwa itu sangat mungkin saat ilmu masuk ke dalam kepalanya tanpa disertai dengan pendidikan akhlak ke dalam hatinya. Orang berilmu seperti ini selalu saja berharap hanya dirinya yang maju dan tampil dan yang lain harus mundur atau taat di bawah ketiaknya.

Mungkinkah orang berilmu yang iri hati dan dengki ini menjadi pemimpin? Mungkin saja. Namun tak akan lama karena bau busuk iri hati dan dengkinya akan tercium dengan sendirinya oleh banyak hidung. Dia akhirnya aka terbunuh oleh karakter jelek yang tetap dipupuk dalam hatinya. Senyuman palsunya tak akan mampu menutup wajah hasad yang ada dalam dirinya itu.

Imam Abu al-Laits as-Samaraqandi berkata: “Sebelum hasadnya sampai pada yang dihasadi, lima hal akan sampai duluan kepada orang yang hasad itu: derita tak berujung, musibah tak berpahala, ketercelaan yang tak pernah dipuji, murka Tuhan, tertutupnya pintu tawfiq.”

Buanglah iri hati dan dengki. Ikutlah berbangga bahagia dengan nikmat yang Allah berikan kepada saudara-saudara kita yang lain. Bangkitlah bersama-sama agar maju bersama-sama. Berhentilah berkata: “Yang boleh tampil dan maju hanyalah saya, yang lain harus mundur.” Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi 

Inilah Generasi Terbaik Islam

ORANG-ORANG yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya, itulah kemenangan yang besar.”(Q.S. At-Taubah: 100).

Betapa sayangnya Allah kepada kita, sehingga Allah menurunkan agama Islam untuk manusia. Allah tidak meninggalkan manusia untuk mempelajari Islam sendiri-sendiri, namun Allah Azza Wa Jalla mengutus Muhammad shalallahu alayhi wasallam sebagai Nabi dan RasulNya, beliau shalallahu alayhi wasallam mengajarkan manusia pada zamannya tentang Islam. Maka segala puji bagi Allah Rabbul ‘Alamin, Shalawat dan Salam bagi Nabi Muhammad.

Lalu Allah pilihkan orang-orang terpilih untuk hidup pada masa Nabi Muhammad shalallahu alayhi wasallam dan beriman serta berjihad bersama beliau. Mereka menjadi sahabat-sahabat Nabi. Wahyu turun kepada Nabi di tengah-tengah mereka. Lalu mereka mengimaninya, mempelajarinya, serta mengamalkan dan mendakwahkannya. Istimewanya mereka lakukan semua itu berdasar bimbingan langsung Nabi Muhammad shalallahu alayhi wasallam. Maka Radliyallahu anhum jami’an, semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya.

Merekalah sebaik-baik generasi Islam, mereka hidup pada zaman Nabi. Mereka beriman dan belajar tentang Islam langsung dari NabiNya. Dan mereka rela mati demi Allah dan Rasul-Nya. Ridhwanullahu Ajmain, semoga Allah meridhoi mereka seluruhnya.

Dari para Sahabat Nabi ini, Islam kemudian diajarkan pada generasi setelahnya, yakni generasi tabi’in. Tabi’in ini adalah orang-orang yang mengikuti Nabi atas bimbingan para sahabat nabi. Generasi tabi’in hadir setelah Nabi wafat. Mereka tidak menjumpai Nabi shalallaahu alaihi wasallamhidup. Namun mereka masih menemui para sahabat. Mereka belajar Islam dari para sahabat yang telah diajar Nabi. Tabi’in adalah generasi terbaik pula yang disebut Nabi.

Selanjutnya, para tabi’in ini mengajarkan Islam kepada generasi yang mereka tidak melihat sahabat Nabi. Mereka mengenal Islam bukan dari Sahabat Nabi, melainkan dari generasi tabi’in. Mereka disebut sebagai tabi’ut tabi’in; pengikut tabi’in. Era mereka ini pun masih Nabi sebut sebagai generasi terbaik Islam.

Tiga generasi inilah yang Nabi shallallaahu alaihi wasallam menyebutnya sebagai generasi atau umat terbaik. Beliau shalallaahu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka,”. (Shahih Al-Bukhari, no. 3650).

Semoga kita bisa meneladani generasi terbaik umat Islam dalam mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkan agama ini. Aamiin. [*]