Month: January 2019
Doa tidak Ada yang Disia-siakan
DOA adalah ibadah yang bisa mengantarkan kita kepada kedekatan dengan Allah SWT. Ketika doa diijabah, semestinya membuat kita sadar itu merupakan karunia Allah. Jika belum diijabah, maka doa menjadi perisai dari berputus asa.
Maka yang terpenting dari sebuah doa bukan doa itu sendiri, tapi suasana hati kita yang benar-benar memurnikan tauhid, dan kita menyadari betapa lemahnya kita, tanpa pertolongan-Nya mustahil kita mampu menjalani hidup ini. Seorang yang berdoa dengan baik adalah ia yang berhasil menemukan posisi yang paling tepat bagi seorang hamba, sebagaimana hal-hal berikut:
Merasa lemah tiada daya dan upaya, hanya Allah tempat satu-satunya memohon Yang Maha Perkasa, yang akan mengijabah hajatnya, tiada yang lain.
Merasa diri miskin tidak mempunyai apa pun, termasuk tidak memiliki diri ini. Sedangkan Allah SWT pemilik semua kekayaan.
Merasa sangat membutuhkan Allah, tidak ada lagi yang bisa menolong selain Allah. Tidak pernah hati ini bercabang mengharap-harap kepada selain Allah SWT. Saat berdoa hati kita merasa tidak tahu, bodoh, tidak mengerti dan hanya Allah satu-satunya yang Maha Tahu jalan keluar, ilmu, rezeki, dan pertolongan orang lain tidak ada yang bisa menjadi jalan, tanpa izin-Nya. Selanjutnya, mestinya hal itu bukan hanya pada waktu berdoa saja, melainkan menjadi bagian dari sikap hidup kesehariannya.
Ada orang yang merasa berkedudukan di sisi Allah. Seakan-akan ia sudah saleh, suci dan mulia, gara-gara dia memakai penampilan agamis. Maka akan menjadi hijab/penghalang bagi dirinya kepada Allah. Semestinya diri ini merasa kotor dan hina.
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. QS An-Najm:32
Masalah doa bukan hanya masalah redaksi doanya. Karena ada yang membaca sekali diijabah dan yang membaca ribuan kali tidak saja diijabah. Mengapa hal demikian terjadi, tentu di antaranya hatinya masih belum bulat, ia masih bersandar pada selain Allah SWT.
Memang doa itu bisa mengubah dari takdir satu ke takdir yang lain. Allah-lah yang memiliki takdir. Namun ada catatan pula di Lauhul Mahfudz, bahwa bila dia berdoa dengan sepenuh keyakinan, maka aka nada catatan takdirnya, demikian pun bila lalai dalam doanya, akan nada catatan takdir lainnya. Tidak ada yang luput dan baru, karena ada di Lauhul Mahfudz jauh sejak kita dilahirkan ke dunia. Tetap ada rangkaian takdirnya dengan detail di lauhul mahfudz. Namun tugas kita adalah berusaha.
Dengan demikian, yang terpenting bagi kita bukan terkabulnya doa, tapi dengan doa itu kita benar-benar menjadi hamba Allah. Perintah Allah adalah untuk menjadi mengabdi, bersih tauhid. berjiwa bulat hanya kepada Allah. Perkara dikasih, itu bonus, agar makin tambah keimanan kita. Perkara ijabah Allah Maha Kuasa. “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada diri-Ku.” (Hadis Qudsi). Maka berbaik sangka kepada Allah dengan kepatuhan, itu syaratnya.
Jangan ragukan dengan ijabahnya dari Allah atas doa-doa kita. Hal itu sudah janji Allah. Pasti diijabah, walau waktu, cara, bentuknya bisa tidak sesuai dengan yang dimohonkan.
Doa tidak ada yang disia-siakan. Dari sebuah hadis disebutkan Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya doa dan musibah itu berada diantara langit dan bumi saling bertempur dan doa itu dapat mengalahkan musibah sebelum musibah itu turun.” (diriwayatkan Imam Atthabrani dalam kitab al-Ausath (2498).
Mana yang dapat mengalahkan, apa doa yang menang sehingga bisa menghindarkan musibah. Dengan memeriksa dosa-dosa diri dan menguatkan ibadah, maka itu menjadikan energi doa semakin besar. Yang paling penting juga dari unsur ibadah doa ini adalah melahirkan ketulusan dan silaturahmi.
Bagaimana keikhlasan itu? Allah Yang Maha Menyaksikan mengetahui persis keadaan setiap hambanya, dari mulai latar belakang keluarga, ilmu, lingkungan, lahirnya, karena Allah Yang menentukan. Allah Mengetahui persis.
Sementara, di antara manusia, ada yang diketahuinya hanya persoalan-persoalan duniawi belaka. Tatkala membutuhkan keperluan duniawinya, tetap ia memintanya hanya kepada Allah walaupun hanya untuk urusan dunia. Ia pun berhasil menaikan keimanannya dengan berlanjut kepada keyakinan bahwa ia tidak ragu terhadap jaminan Allah. Ia sudah naik lagi setahap menjadi orientasinya mengejar pahala Allah. Karena itu, ia menyukai segala hal yang terkait dengan pahala. Selanjutnya, ia pun semakin menyadari bahwa ia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mencari rida-Nya.
Inti dari doa adalah benar-benar bisa menjadikan diri kita jadi hamba sejati, agar ngepas, kita sebagai hamba, Allah sebagai Tuhan. Doa itu ruhul ibadah. Bila seseorang rajin berdoa hatinya menjadi kerut, terasa hamba yang tidak punya apa-apa, bodoh; memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa, satu-satunya yang bisa menolong, dan makin bulat makin lumpuh kepada Allah SWT, itulah saat-saat terbaik berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika hati tidak merasa makin mengkerut, la haula quwwata illa billah, maka tidak akan diperoleh tujuan dari ibadah doa itu sendiri. []
Alicia Brown Temukan Hidayah di Rumah Sakit
“Aku bagai lahir kembali, bebas dari segala sesuatu. Segala dosa yang menjerat dan semua hal yang telah terjadi di dalam hidupku, tak penting lagi,” ucap Alicia, tepat sehari setelah ia memeluk Islam.
Berjilbab rapi, wajahnya cerah bak mentari terbit. Senyumnya pun mengembang laksana bunga mekar di pagi hari. Melihat binar wajahnya, tak akan ada yang menyangka bahwa ia memiliki sederet catatan hitam dalam hidupnya.
Alicia Brown, wanita asal Texas, AS, tersebut menemukan cahaya hidayah setelah bertahun-tahun kekacauan melanda hidupnya. Ia terjerumus dalam kubangan dosa. Alkohol, narkoba, hingga seks bebas menjadi teman hidupnya. Mengapa ia lakukan semua itu? Alicia memang ingin merusak hidup yang sangat ia benci. Ia sangat membenci dirinya, membenci segala sesuatu di sekitarnya.
Dunia gelap membelenggu Alicia setelah musibah melanda keluarganya. Orang tuan Alicia bercerai. Saat itu, usianya baru 10 tahun. Terpaksa, Alicia tinggal dengan ayah yang sangat membencinya dan sangat ia benci. Caci-maki menjadi kalimat rutin yang ia dengar dari sang ayah setiap hari selama enam tahun.
“Ayah sangat kejam kepadaku dan adik laki-lakiku. Dia tak terlalu kejam pada adik perempuanku, tapi dia benar-benar kejam padaku, sangat kejam. Mungkin karena aku mengingatkannya pada ibuku,” tutur Alicia.
Di usia 16 tahun, Alicia pindah ke rumah kakek neneknya. Namun terlambat, karena didikan kejam sang ayah, saat itu Alicia telah benar-benar diselimuti kebencian. Ia pun mulai merusak hidupnya dengan kesenangan semu. Ia memulai gaya hidup merusak diri.
“Aku membenci diriku dan semua yang ada di sekitarku. Aku ingin melakukan apapun yang bisa untuk menyakiti diri sendiri. Aku coba narkoba, alkoho, dan seks bebas.”
Kewajiban Minta Maaf Pelaku Hoaks kepada Objek yang Difitnah
Pimpinan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, KH Muhammad Hasan Mutawakil Alallah, menyatakan penyebaran hoaks merupakan dosa besar dalam perspektif agama.
Dia mengatakan, penyebaran hoaks guna menjatuhkan lawan politik merupakan cara yang tidak sehat.
Rasulullah SAW Sosok Penyayang Binatang
Suatu saat, imam Bukhari melakukan rihlat li thalab al hadits, perjalanan dengan misi utama men cari hadis-hadis yang ter se bar di daerah-daerah yang jauh. Ia menempuh jarak ratusan ki lo meter untuk mengambil riwayat hadis tertentu dari seorang perawi.
Setibanya di lokasi, ia mendapati perawi yang ia tuju itu sedang beranjak memberi makan kudanya di sebuah ember. Padahal, imam Bukhari melihat secara kasat mata, ember tersebut kosong, tak ada makanan sama sekali. Tampaknya, pe rawi yang bersangkutan bermaksud mempermainkan dan menipu kudanya.
Berbuat Baik kepada Orangtua
Mau Ditemani Syetan?
Nomor Porsi Jemaah Wafat Bisa Dilimpahkan, Ini Aturannya
Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama tahun ini kembali memberlakukan kebijakan pelimpahan nomor porsi bagi jemaah wafat. Kebijakan ini kali pertama diterapkan tahun lalu, melalui Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 174 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelimpahan Nomor Porsi Jemaah Haji Reguler yang Meninggal Dunia.
Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin Yanis mengaku kebijakan tersebut dilanjutkan karena mendapatkan sambutan cukup baik dari masyarakat. Untuk itu, Yanis berharap publik bisa memahamai aturan dan persyaratannya dengan cermat.
“Pelimpahan nomor porsi ini hanya bagi jemaah haji yang wafat setelah ditetapkan berhak melunasi BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) atau akan berangkat pada tahun berjalan,” kata Yanis di ruang kerjanya, Jakarta, Selasa (22/01).
Kementerian Agama akan merilis jemaah yang berhak melunasi BPIH 1440H/2019M setelah ada ketetapan kuota haji dan besaran biaya haji. Jika setelah diumumkan, ada jemaah yang wafat, maka nomor porsinya bisa dilimpahkan kepada yang berhak. Batas akhir proses pelimpahan nomor porsi jemaah wafat adalah pemberangkatan kloter terakhir dari Tanah Air pada musim haji tahun berjalan.
“Pelimpahan nomor porsi bukan warisan. Namun, mereka yang dapat menggantikan atau menerima pelimpahan nomor porsi jemaah wafat harus keluarga baik istri, suami, anak, atau menantu,” tegasnya.
Ketentuan lainnya, lanjut Yanis, dalam proses pengajuan pelimpahan nomor porsi jemaah wafat, pihak keluarga harus melampirkan sejumlah dokumen, yaitu: surat kematian, bukti setoran awal BPIH, surat kuasa pelimpahan, surat tanggung jawab mutlak, bukti identitas. “Mereka yang akan menerima pelimpahan, minimal berusia 18 tahun atau sudah menikah,” ujarnya.
“Persyaratan yang sudah lengkap diajukan ke Kemenag Kabupaten/Kota untuk diveifikasi dan diajukan ke Kanwil Kemenag Provinsi. Pihak Kanwil lalu akan membuat rekomendasi untuk diusulkan persetujuan dari Direktur Jenderal,” imbuh mantan Sekretaris Ditjen PHU ini.
Setelah disetujui Dirjen PHU, jemaah penerima limpahan nomor porsi harus datang ke Subdit Pendaftaran dan Pembatalan Haji Reguler untuk proses pendaftaran dan input data biometrik. “Berikutnya nanti akan diterbitkan SPPH (Surat Permohonan Pergi Haji) baru sebagai pengganti dengan menggunakan nomor porsi jemaah yang wafat,” tandasnya.
Yanis menambahkan, jemaah yang menerima pelimpahan porsi tidak otomatis berangkat haji pada tahun berjalan itu juga. Sebab, keberangkatan itu juga disesuaikan dengan kesiapan jemaah untuk berangkat haji. Selain itu, keberangkatan juga bergantung pada ketersediaan waktu penyiapan dokumen perjalanan haji.
“Jika tidak berangkat tahun berjalan, proses keberangkatannya bisa dipersiapkan pada tahun berikutnya,” ujarnya.
Sejak kali pertama diberlakukan pada 2018, Subdit Pendaftaran dan Pembatalan Jemaah Haji Reguler mencatat terdapat 563 orang yang mengajukan pelimpahan nomor porsi. Sementera pada musim haji 1439H/2018M, Kemenag sudah memberangkatkan 166 orang. Sisanya, jika memungkinkan akan diberangkatkan tahun ini atau tahun berikutnya. (Ditjen PHU)
Mukmin Bukan Tukang Laknat dan Berkata Keji
AKHIR-AKHIR ini kebiasaan melaknat (mengutuk) banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua maupun yang muda, laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati seseorang melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orangtuanya dengan mengatakan, “Terlaknatlah kedua orangtuaku atau terlaknatlah ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak melakukan ini dan ini).” Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan rida Allah , seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (al-Fajr: 14)
Dan firman Allah: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik, sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (Al-Isra: 53)
Dan beberapa hadis Nabi yang melarang hal tersebut di antaranya: Hadis Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak berbunyi: “Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya.” (Mutafaqun alaihi)
Hadis dari Abu Hurairah berbunyi: “Tidak pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang laknat.” (HR Muslim)
Dan Hadis dari Abu Darda berbunyi: “Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat.” (HR Muslim)
Hadis Abdullah bin Masud berbunyi: “Seorang mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka berkata keji lagi kotor.” (HR Tirmidzi) ; Hadis ini dicantumkan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami Tirmidzi no 610 dan Silsilah Hadits Shahih no 320
Di dalam Silsilah Hadis Sahih tercantum sebuah hadis yang berbunyi: “Apabila sebuah laknat terucap dari mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Hakikat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah menyatakan bahwa sesuatu telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta dan mengada-ada atas nama Allah.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa! Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, Tahanlah dirimu. Saudaranya berkata, Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku? Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga. Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku? Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku. Dan Allah berkata kepadanya, Seret ia ke neraka!'”
Abu Hurairah berkata, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” (HR Abu Dawud dengan sanad hasan) Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya. Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun alaihi)
Mengelola Ucapan, Sulitkah?
Husain menyampaikan pertanyaan kepada ayahnya, Ali bin Abu Thalib, tentang kakeknya, Muhammad SAW. Ia ingin tahu bagaimana perilaku kakeknya saat berada di luar rumah. Ali, sahabat yang juga menantu Nabi Muhammad, menggambarkan sejumlah hal kepada putranya tersebut.
Menurut dia, Rasulullah selalu menjaga lidah atau ucapannya dan tak berbicara kecuali yang penting. Dia juga berlaku santun dan lemah lembut terhadap orang lain. Di kesempatan lain, Ali berujar pula pada anak laki-lakinya itu bahwa sang kakek tidak pernah mencela.