Agar Doa Didengar Allah SWT

Istighfar membersihkan hati dari karat-karat dosa dan penyakit-penyakitnya

Siapa yang tak kenal dengan Imam Ahmad bin Hanbal? Pengikutnya mencetuskan Mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab besar di kalangan umat Islam. Ulama besar bernama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Abu ‘Abd Allah al-Shaybani ini dalam menuntut ilmu dan mengumpulkan hadis telah menyambangi banyak negeri.

Setelah mengkaji hadis Nabawi semenjak usia 15 tahun, ia pun berkelana dari negara ke negara, dari lembah ke lembah, hingga sampailah ia di sebuah negeri antah barantah.

Seperti dikisahkan dalam kitab Shifatus Shafwah karangan Ibnul Jauzi, sang imam besar kemalaman ketika sampai di sebuah negeri. Ia pun sempat kebingungan untuk mencari tempat bermalam. Hingga akhirnya, ia meminta izin kepada pengurus masjid setempat untuk istirahat di masjid barang satu malam.

Sayang sekali, kendati ketenaran Imam Ahmad sudah sampai di seluruh pelosok negeri, tak  banyak orang yang tahu bagaimana sosok dan rupa sang imam. Di negeri tersebut, sudah banyak ajaran dan pengikut mazhabnya, tapi karena keterbatasan informasi, tak ada orang yang mengenal siapa dirinya.

Karena itulah, pengurus masjid tak memperbolehkannya menginap. Sang imam besar pun sempat luntang-lantung malam itu hingga akhirnya seorang pengusaha roti bersedia menerima beliau di rumahnya.

Ketika sampai di rumah si tukang roti, Imam Ahmad terus memperhatikan amalan yang selalu diwiridkan oleh tuan rumah. Menurutnya, amalan tersebut sederhana namun istimewa. Sang tuan rumah senantiasa beristighfar dalam setiap aktivitas yang ia lakukan. Lidahnya selalu saja basah dengan zikir dan meminta ampunan Allah.

“Wahai Tuan, apa fadilah yang tuan dapatkan dari amalan (selalu beristighfar)  tersebut?” tanya Imam Ahmad penasaran.

Sang tuan rumah tersenyum. “Fadilahnya, setiap doa yang saya panjatkan kepada Allah, pasti selalu dikabulkan-Nya,” jawab si tuan rumah. Imam Ahmad pun salut kepadanya.

“Tapi, ada satu doa saya yang hingga saat ini belum dikabulkan Allah,” kata sang tuan  rumah. Imam Ahmad pun kembali penasaran. “Doa apakah itu, Tuan?” tanyanya.

“Dari dahulu, saya berdoa kepada Allah agar saya dipertemukan dengan imam mazhab saya, yakni Imam Ahmad bin Hanbal. Namun hingga saat ini, saya belum juga dipertemukan dengan beliau,” ujar sang tuan rumah.

Mendengar itu, Imam Ahmad langsung kaget. Inilah rupanya yang memaksa seorang imam besar luntang-lantung tengah malam. Ini juga alasannya, mengapa Imam Ahmad diusir dari masjid dan dipaksa berjalan tengah malam hingga akhirnya sampai dipertemukan dengan si tukang roti itu. Semuanya sama sekali bukan suatu kebetulan, melainkan skenario Allah SWT untuk menjawab doa si tukang roti.

Demikian dahsyatnya kekuatan istighfar sehingga membuat Allah SWT enggan untuk menolak doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Seorang imam yang berkelana dari negeri ke negeri, Allah tuntun langkahnya agar sampai di negeri si tukang roti. Kemudian, Allah membuat suatu keadaan hingga keduanya dipertemukan. Tak ada yang mustahil bagi Allah jika Dia berkehendak.

Menyegerakan Amal

Kebanyakan manusia memang cukup longgar dalam menggunakan waktu

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menukil ungkapan Al-Mandzir, “Aku mendengar Malik bin Dinar berkata kepada dirinya, ‘Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu. Celakalah kamu. Bersegeralah sebelum urusan datang kepadamu.’ Sehingga, ia mengulangi yang demikian itu sampai 60 kali yang aku dengarnya dan ia tidak melihatku.”

Tindakan Malik bin Dinar tentu didorong oleh pemahaman yang kuat terhadap perintah Allah Ta’ala agar bersegera dalam beramal (QS Ali Imran: 133-134 dan QS al-Hadid: 21). Kata “segera” berarti tidak bisa dipisahkan dari waktu.

Ibn Al-Jauzi dalam bukunya Shaid Al-Khatir mengatakan, “Seorang manusia mesti mengetahui nilai dan kedudukan waktu agar ia tak menyia-nyiakan sesaat pun darinya untuk sesuatu yang tak bisa mendekatkan diri kepada Allah.”

Pemahaman mendalam terhadap nilai dan kedudukan waktu menjadikan ulama terdahulu amat selektif dalam memanfaatkan nikmat yang menurut Rasulullah kebanyakan manusia tertipu, yakni waktu. Fudhail bin Iyadh berkata, “Aku kenal orang yang menghitung perkataannya dari minggu ke minggu.”

Kemudian ada Dawud al-Tha’i, meski sedang membuat adonan roti, lisannya tak pernah kering dari ayat-ayat Alquran. “Antara membuat adonan dan makan roti aku telah berhasil membaca 50 ayat.”

Suatu hari seseorang berkata kepada Amir bin Abd Qais (55 H), murid dari Abu Musa al-Asy’ari, “Berhentilah, aku ingin berbicara kepada Anda!” Amir bin Abd Qais pun menjawab, “Coba hentikan matahari.”

Sikap Amir bin Abd Qais itu menunjukkan bahwa dirinya telah menetapkan beragam amal di setiap pergantian waktu sehingga menjadi tidak mungkin dirinya meluangkan waktu kepada orang yang secara tiba-tiba memintanya untuk berhenti tanpa niat dan tujuan yang jelas.

Kebanyakan manusia memang cukup longgar dalam menggunakan waktu, terutama pada malam hari. Kebanyakan menghabiskan waktu dengan mengobrol yang kurang, bahkan tidak berguna sehingga tidur sangat larut yang menjadikan sebagian waktu siang habis untuk tidur atau berfoya-foya di keramaian. Dirinya seakan lupa bahwa kematian bisa datang kapan saja.

Seorang pemuda yang gagah dan memiliki warisan harta melimpah tetapi tidak pernah bersegera dalam amal saleh justru tenggelam dalam beragam jenis kemaksiatan dan terus asyik menunda-nunda tobat. Sangat mungkin mengalami kebinasaan bersebab ajal yang datang tiba-tiba.

Oleh karena itu, Islam mengutuk kebiasaan menunda-nunda suatu pekerjaan ataupun menghafal, mempelajari, memahami dan menguasai ilmu. Sebab, waktu akan habis bila ditunda-tunda dan tidak ada lagi cita-cita, kecuali tinggal cerita. Benarlah pepatah Arab yang mengatakan, “Waktu itu bagaikan pedang, jika kau tak memanfaatkannya, ia akan menebasmu.”

Lantas, jenis amal yang mana yang mesti disegerakan? Mengacu pada ayat 134 surah Ali Imran, amalan tersebut meliputi: menafkahkan harta baik dalam kondisi lapang maupun sempit, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang.

Dalam soal menafkahkan harta di jalan Allah, Sayyidah Aisyah RA sangat patut kita teladani. Suatu waktu Ibn Zubari memberikan uang sebesar 100 ribu dirham. Aisyah menerima uang itu dan langsung membagi-bagikannya kepada fakir miskin. Sampai-sampai, Ummu Dzarrah berkata, “Wahai Ummul Mukminin, tidak bisakah engkau membelikan kami sepotong daging satu dirham saja?”

Aisyah menjawab, “Jangan keras-keras kepadaku. Andai engkau mengingatkan aku, niscaya aku akan membelinya.” Aisyah RA benar-benar tidak mau ketinggalan momentum sehingga jika ada kesempatan bersedekah, hal itu akan dilakukan tidak saja dengan bersegera, tetapi juga seluruhnya disedekahkan.

Karena itu, terhadap amal saleh bersegeralah. Pesan Nabi, “Ambillah kesempatan lima sebelum lima, yaitu mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, kekosonganmu sebelum kesibukanmu, dan hidupmu sebelum matimu” (HR Ibn Abi al-Dunya). Insya Allah surga seluas langit dan bumi sedang berhias menanti penuh cinta kehadiran kita. Wallahu a’lam.

 

Oleh: Imam Nawawi

Awas! Kamar Kosong di Rumah Anda Dihuni Jin

YANG kami pahami bahwa jin bisa tinggal di tempat manapun yang ditempati manusia. Mereka tinggal bersama kita, mereka makan bersama kita. Sehingga mereka menikmati fasilitas yang kita miliki. Ketika Allah mengusir Iblis dari surga, dan diturunkan ke bumi, Iblis dan keturunannya dari kalangan jin dipersilahkan untuk hidup bergabung dengan manusia. Allah berfirman,

“Hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan bergabunglah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. al-Isra: 64)

Intinya mereka bersama kita, meskipun kita tidak pernah melihat dimana mereka berada, karena mereka berada di alam gaib. Dan tidak melihat mereka lebih baik dibandingkan melihat mereka. Untuk itu, jangan sampai anda meminta agar bisa melihat mereka.

Kemudian terkait masalah tempat, sebagaimana manusia, di sana ada 2 keadaan,

Pertama, ada tempat yang paling disukai jin di rumah kita, seperti toilet dan tempat-tempat najis lainnya. Jin jahat dan setan, lebih menyukai tempat yang kotor dan bau tak sedap. Dalam hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya tempat buang air ini dikerumuni setan.” (HR. Ahmad 19331, Abu Daud 6, dan disahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kedua, ada tempat yang dijauhi jin, seperti rumah yang sering dibacakan alquran, terutama surat al-Baqarah,

“Janganlah jadikan rumah kalian seperti kuburan, sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR. Muslim 1860)

Mengenai kamar kosong yang tidak ditempati, apakah ini termasuk ruangan yang disukai jin? Allahu alam, saya tidak menjumpai keterangan hadis tentang ini. Sementara kita hanya berbicara jika didukung dalil atau bukti realita.

Allahu alam. [Ustaz Ammi Nur Baits]

 

 

Cintailah Allah dan Rasulullah Lebih dari Siapapun

DALAM kitab Al Mahabbah, Imam Al Ghazali menyatakan bahwa puncak perjalanan keberagamaan kita adalah al mahabbah alias cinta kepada Allah.

Sebagian sufi bahkan percaya, awal dan akhir kehidupan, pada dasarnya cinta itu pula. Karena cinta Allah menciptakan semesta, menciptakan kita, dan cinta pula yang kita temui di sepanjang kehidupan hingga kita semua kembali kepadaNya.

Kecintaan kepada Allah ini bahkan menjadi hal pokok. Iman, menurut Rosulullah SAW, adalah, “Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih engkau cintai dari apa pun.” Dan cinta itu begitu sehat. Karena sebagaimana psikolog terkemuka, Erich Fromm, banyak penyakit bisa disembuhkan dengan belajar mencintai. Sementara, percayalah pula balasan Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan. Hadis riwayat Ahmad dan Al Thabrani berbunyi,” Barang siapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah dengan berjalan, Allah akan menyambutnya dengan berlari…”

Para pencinta seperti itu yang dijanjikan Allah dalam komunikasi yang indah antara Sang Khalik dengan Nabi SAW pada malam isra mikraj, untuk mendapatkan cinta-Nya. “Aku membukakan mata hati dan pendengarannya, sampai dia mendengar dan melihat dengan mata hatinya pada kebesaranKu..” []

Thawus bin Kaisan datang menghadap, beliau membuka sepatunya di tepi permadani, lalu memberi salam tanpa menyebut “Amirul Mukminin” dan hanya menyebutkan namanya saja tanpa atribut kehormatan. Kemudian beliau langsung duduk sebelum khalifah memberi izin dan mempersilakannya.

Rupanya Hisyam tersinggung dengan perlakuan tersebut, sehingga tampak kemarahan dari pandangan matanya. Dia menganggap hal itu kurang sopan dan tidak hormat, terlebih di hadapan para pejabat dan pengawalnya.

Hanya saja dia sadar bahwa saat itu berada di Tanah Haram, rumah Allah Subhanahu wa Taala sehingga dia menahan dirinya lalu berkata,

Hisyam: “Mengapa Anda berbuat seperti itu wahai Thawus?”

Thawus: “Memang apa yang saya lakukan?”

Hisyam: “Anda melepas sepatu di tepi permadani saya, Anda tidak memberi salam kehormatan, Anda hanya memanggil namaku tanpa gelar lalu duduk sebelum dipersilakan.”

Thawus: “Adapun tentang melepas sepatu, saya melepasnya lima kali sehari di hadapan Allah Yang Maha Esa, maka hendaknya Anda tidak marah atau gusar.

Adapun masalah saya tidak memberi salam tanpa menyebutkan gelar amirul mukminin, itu karena tidak seluruh muslimin membaiat Anda. Oleh karena itu, saya takut dikatakan sebagai pembohong apabila memanggil Anda dengan amirul mukminin. Anda tidak rela saya menyebut nama Anda tanpa gelar kebesaran, padahal Allah Subhanahu wa Taala memanggil nabi-nabi-Nya dengan nama-nama mereka, “Wahai Daud, Wahai Yahya, Wahai Musa, Wahai Isa.” Sebaliknya menyebut musuhnya dengan menyertakan gelar (“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”).

Adapun mengapa saya duduk sebelum dipersilakan, ini karena saya mendengar Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Bila engkau hendak melihat seorang ahli neraka, maka lihatlah pada seorang yang duduk sedangkan orang-orang di sekelilingnya berdiri.” Saya tidak suka Anda menjadi ahli neraka.” Amirul Mukminin Hisyam mendengar penjelasan itu dengan serius.

Hisyam: “Wahai Abu Badurrahman, berilah saya nasihat!”

Thawus: “Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, “Di dalam jahannam terdapat ular-ular sebesar pilar dan kalajengking sebesar kuda. Mereka mengigit dan menyengat setiap penguasa yang tidak adil terhadap rakyatnya.”

Setelah itu beliau bangkit dari tempat duduknya lalu pergi. Ada kalanya Thawus bin Kaisan mendatangi para penguasa untuk memberikan petunjuk dan nasihat. Adakalanya dia mengecam dan membuat mereka menangis.

Putranya bercerita, “Suatu tahun kami berangkat dari Yaman untuk melaksanakan haji, kemudian singgah di suatu kota yang di sana ada seorang pejabat bernama Ibnu Najih. Dia adalah pejabat yang paling bejat, paling anti pati terhadap kebenaran dan paling banyak bergumul dalam lembah kebathilan.

Setibanya di sana, kami singgah di masjid kota itu untuk menunaikan salat fardhu. Ternyata Ibnu Najih sudah mendengar tentang kedatangan ayahku sehingga dia datang ke masjid. Dia duduk di samping ayahku dan memberi salam. Namun ayahku tidak menjawab salamnya, bahkan memutar punggung membelakanginya. Kemudian dia menghampiri dari sisi kanan dan mengajak bicara, tetapi ayahku mengacuhkannya. Demikian pula ketika dia mencoba dari arah kiri.

Aku mendatangi Ibnu Najih, memberi salam lalu berkata, “Mungkin ayah tidak mengenal Anda. Dia berkata, “Ayahmu mengenalku, karena itulah dia bersikap demikian terhadapku.” Lalu dia pergi tanpa berkata apa-apa lagi

Sesampainya di rumah, ayah berkata, “Sungguh dungu kalian! Bila jauh kamu selalu mengecamnya dengan keras, tapi bila sudah berada di hadapannya, kalian tertunduk kepadanya. Bukankah itu yang dikatakan kemunafikan?”

Nasihat Thawus bin Kaisan tidak hanya khusus ditujukan untuk khalifah atau pejabat dan gubernur saja, melainkan juga kepada siapa saja yang dirasa perlu atau bagi mereka yang menginginkan nasihat-nasihatnya.

Sebagai contoh adalah kisah yang diriwayatkan oleh Atha bin Abi Rabah sebagai berikut:

Pernah suatu ketika Thawus bin Kaisan melihatku dalam keadaan yang tak disukainya, lalu berkata, “Wahai Atha, mengapa engkau mengutarakan kebutuhanmu kepada orang yang menutup pintunya di depanmu dan menempatkan penajga-penjaga di rumahnya?” Mintalah kepada yang sudi membuka pintu-Nya dan mengundangmu untuk datang, serta yang berjanji akan menetapi janji.

Thawus pernah menasihati putranya, “Wahai putraku, bergaullah dengan orang-orang yang berakal karena engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka. Jangan berteman dengan orang-orang bodoh, sebab bila engkau berteman dengan mereka, niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka, walaupun engkau tidak seperti mereka. Ketahuilah, bagi segala sesuatu pasti ada puncaknya. Dan puncak derajat seseorang terletak pada kesempurnaan agama dan akhlaknya.”

Begitulah, putranya Abdullah tumbuh dalam bimbingannya, hidup serta berakhlak seperti ayahnya itu. Maka wajar bila khalifah Abbasiyah, Abu Jafar al-Mansur memanggil putra Thawus, Abdullah serta Malik bin Anas untuk berkunjung.

Setelah keduanya datang dan duduk di hadapannya, khalifah menatap Abdullah bin Thawus seraya berkata, “Ceritakanlah sesuatu yang engkau peroleh dari ayahmu!” Beliau menjawab, “Ayah saya bercerita bahwa siksa Allah Subhanahu wa Taala yang paling keras di hari kiamat dijatuhkan kepada orang yang diberi-Nya kekuasaan lalu berlaku curang.”

Malik bin Anas berkata, “Demi mendengar ucapan tersebut, aku segera melipat pakaianku karena takut terkena percikan darahnya. Tapi ternyata Abu Jafar hanya diam terpaku lalu kami berdua diizinkan pulang dengan selamat.”

Usia Thawus bin Kaisan mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Namun usia tua tidak mengubah sedikit pun ketajaman ingatan, kejeniusan pikira,n dan kecepatan daya tangkapnya.

Abdullah Asyami bercerita, “Saya mendatangi rumah Thawus bin Kaisan untuk belajar sesuatu kepadanya, sedangkan aku belum mengenalnya. Ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seseorang yang sudah tua usianya. Aku memberi salam lalu bertanya, “Andakah Thawus bin Kaisan?” Orang tua itu menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.”

Aku berkata, “Bila Anda putranya, maka tentulah syaikh itu sudah tua renta dan mungkin sudah pikun. Padahal saya datang dari tempat yang jauh untuk menimba ilmu dari beliau.” Putra Thawus berkata, “Jangan bodoh, orang yang mengajarkan Kitabullah tidaklah pikun. Silakan masuk!”

Akupun masuk, memberi salam lalu berkata, “Saya datang kepada Anda karena ingin menimba ilmu dan mendengarkan nasihat Anda. Jelaskan secara singkat.” Thawus berkata, “Akan aku ringkas sedapat mungkin, InsyaAllah. Apakah engkau ingin aku menceritakan tentang inti isi Taurat, Zabur, Injil, dan Alquran?”

Aku berakta, “Benar.” Beliau berkata, “Takutlah kepada Allah Subhanahu wa Taala dengan rasa takut yang tiada bandingnya. Mohonlah kepada-Nya suatu permohonan yang lebih besar daripada rasa takutmu kepada-Nya. Dan senangkanlah orang lain sebagaimana engkau menyenangkan dirimu sendiri.”

Malam 10 Dzulhijah 106 H, wafatlah seorang syaikh lanjut usia, yaitu Thawus bin Kaisan ketika tengah menunaikan haji, dari Arafah menuju Muzdalifah, pada perjalanannya yang keempat puluh kalinya.

Ketika itu, beliau menaruh perbekalannya, kemudian melakukan shalat maghrib dan Isya. Setelah itu beliau merebahkan tubuhnya di atas tanah untuk beristirahat. Pada saat itulah ajal menjemput beliau.

Beliau wafat ketika jauh dari keluarga, jauh dari negeri sendiri, demi bertaqarub kepada Allah Subhanahu wa Taala. Wafat dalam keadaan bertalbiah dan berihram untuk mencari pahala Allah Subhanahu wa Taala, untuk keluar dari dosa-dosa sehingga kembali seperti saat dilahirkan dengan karunia Allah Subhanahu wa Taala.

Ketika matahari terbit dan jenazah hendak diurus penguburannya, ternyata jenazah sulit untuk dikeluarkan karena sesaknya orang yang hendak mengantarkan jenazahnya.

Bahkan amir Mekah terpaksa mengirim pengawalnya untuk menghalau orang-orang yang mengerumuni jenazahnya agar bisa diurus sebagaimana mestinya. Orang yang turut menshalatkan banyak sekali, hanya Allah yang mampu menghitungnya, termasuk di dalamnya Amirul Mukminin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. []

Sumber: Mereka adalah Para Tabiin, Dr. Abdurrahman Raat Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

 

 

Dua Pemain Milan Pamerkan Foto Umrah Bareng

Dua penggawa AC Milan Hakan Calhanoglu dan Tiemoue Bakayoko ternyata menyempatkan untuk beribadah umrah saat tim itu bertanding di Jeddah, Arab Saudi, dua pekan lalu untuk pertandingan Piala Super Italia melawan Juventus.

Hakan yang berasal dari Turki dan Bakayoko dari Prancis sama-sama pemeluk agama Islam.

Di saat rekan-rekannya yang lain beristirahat pasca kegagalan meraih trofi Piala Super Italia, Bakayoko, dan Calhanoglu pergi ke Masjid al-Haram untuk beribadah.

“Hakan Calhanoglu  dan Tiemoue Bakayoko baru menerbitkan  foto mereka berdua saat berkunjung ke Mekkah dua pekan lalu,” begitu laporan dari  Pianeta Milan, Sabtu (2/2).

Hakan dan Bakayoko kompakan baru mengunggah foto bersama mereka di depan Ka’bah di sosial media instagram.

Hakan menuliskan selamat Hari Jumat pada baris caption. Sementara Bakayoko juga menuliskan hal yang sama pada instagramnya.

Milan berada di Jeddah pada Kamis (17/1) lalu untuk laga Piala Super Italia melawan Juventus di Stadion Raja Abdullah. Hasilnya  Milan kalah 1-0 oleh gol tunggal Cristiano Ronaldo.

Niaga Menjadi Ibadah

ALHAMDULILLAH! Tak ada satupun perkataan dan bisikan kecuali pasti Allah Swt mendengarnya. Tak ada satupun perbuatan dan rahasia kecuali pasti Allah Swt menyaksikannya. Tak ada satupun peristiwa sekecil apapun kecuali pasti Allah Swt mengetahuinya. SubhaanAllah! Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada baginda Nabi Muhammad Saw.

Saudaraku, bagi kita sebagai muslim, setiap aktifitas haruslah menjadi ibadah. Termasuk urusan jual beli. Karena waktu adalah bekal pulang kita, dan jual beli pastilah menggunakan waktu.

Sesuatu menjadi ibadah syaratnya minimal ada dua. Pertama, niatnya lurus lillaahi taala. Kedua, caranya baik dan benar sesuai yang diridhoi oleh Allah Swt dan dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Seseorang yang memiliki keyakinan bahwa hanya Allah Swt. yang kuasa memberi rezeki, ini akan membuatnya berbeda dengan orang yang sekadar bisnis biasa. Bagi pecinta akhirat, bisnis adalah ibadah. Sedangkan bagi pecinta dunia, akan berpikir bahwa rezeki itu datang dari makhluk.

Bagi orang yang yakin kepada Allah Swt, dia akan ajeg tak mudah goyah meyakini bahwa rezeki hanyalah datang dari Allah Swt. Kita diciptakan oleh Allah Swt secara lengkap dengan rezekinya. Allah Swt berfirman, Tidak ada satupun makhluk melata di bumi ini melainkan dicukupi rezekinya oleh Allah. (QS. Huud [11] : 6)

Artinya, Allah Swt tidaklah menyuruh kita untuk mencari rezeki, melainkan Allah menyuruh kita untuk menjemput rezeki. Ada perbedaan antara mencari dan menjemput. Kalau mencari itu antara ada dan tiada, sedangkan menjemput itu pasti ada, hanya saja apakah kita terampil untuk mendapatkannya ataukah tidak. Gambarannya seperti kita menjemput anak yang sedang berada di Blok M, tapi kita malah menjemput ke Blok C, tentu tidak akan bertemu.

Allah Swt telah menebarkan rezeki-Nya di alam raya ini, bahkan tidak jauh dari tempat kita berada. Hanya saja apakah cara kita mendapatkannya baik dan benar sesuai dengan tuntunan-Nya, maka itu akan mempengaruhi keberkahan rezeki kita.

Perniagaan atau bisnis kita adalah ladang amal sholeh bagi kita, cara kita menjemput rezeki yang telah Allah janjikan bagi kita. Maka, menjemputnya mestilah dengan langkah-langkah yang ada dalam ridho Allah Swt. Sehingga perniagaan kita tidak hanya mendatangkan kemanfaatan di dunia semata, melainkan juga menjadi investasi jangka panjang bagi kita di akhirat kelak. Mari, menjadikan perniagaan kita sebagai amal sholeh kita. [smstauhiid]

KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Berbohong kepada Suami atau kepada Istri yang Diperbolehkan

Berkata dusta atau bohong termasuk di antara perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah [9]: 119)

Dapat dipahami dari ayat di atas yaitu larangan untuk menjadi atau bersama dengan orang-orang yang berkata dusta atau bohong.

Akan tetapi, terdapat beberapa pengecualian dari hukum di atas, yaitu diperbolehkannya berkata bohong dalam sebagian keadaan. Salah satunya adalah perkataan suami kepada istri atau sebaliknya. Masalah inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

 

Dalil Diperbolehkannya Perkataan Bohong kepada Suami atau Istri

Diriwayatkan dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, beliau berkata,

مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ، كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ

“Tidaklah aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan sedikit pun berkaitan dengan perkataan dusta kecuali dalam tiga perkara. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا، الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ، يَقُولُ: الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ، وَالرَّجُلُ يَقُولُ: فِي الْحَرْبِ، وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ، وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

“Tidaklah termasuk bohong: (1) Jika seseorang (berbohong) untuk mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan suatu perkataan yang tidaklah dia maksudkan kecuali hanya untuk mengadakan perdamaian (perbaikan); (2) Seseorang yang berkata (bohong) ketika dalam peperangan; dan (3) Seorang suami yang berkata kepada istri dan istri yang berkata kepada suami.” (HR. Abu Dawud no. 4921, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Demikian juga dalam masalah ini terdapat hadis khusus yang diriwayatkan dari ‘Atha bin Yasar, beliau berkata,

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله : هل علي جناح أن أكذب على أهلي ؟ قال : لا ، فلا يحب الله الكذب قال : يا رسول الله استصلحها و أستطيب نفسها ! قال : لا جناح عليك “

“Ada seseorang yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.’

Orang tersebut bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, (dusta yang aku ucapkan itu karena) aku ingin berdamai dengan istriku dan aku ingin senangkan hatinya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada dosa atasmu.’ (HR. Al-Humaidi dalam Musnad-nya no. 329. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 498)

 

Maksud Dusta kepada Suami atau Istri yang Diperbolehkan

Dari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Humaidi di atas, kita dapat mengetahui dusta seperti apakah yang diperbolehkan kepada istri atau sebaliknya. Dusta yang diperbolehkan adalah ketika seorang suami ingin menyenangkan istri yang sedang “ngambek” dan menghibur hatinya. Artinya, tidak semua dusta diperbolehkan.

Oleh karena itu, ketika Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku berdosa jika aku berdusta kepada istriku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh, karena Allah Ta’ala tidak menyukai dusta.”

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menunjukkan bahwa dusta kepada istri atau kepada suami hukum asalnya tetap haram, namun terdapat pengecualian sebagaimana dalam kasus yang disebutkan, yaitu dusta untuk mendamaikan hati istri dan menyenangkan (menghibur) hatinya.

Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya, “Sayang, Engkau adalah wanita tercantik di dunia, kalau sayang ngambek tidak jadi cantik.” Padahal faktanya, istrinya bukanlah wanita tercantik di dunia ini. Jadi, boleh seorang suami memuji istri dengan pujian yang dusta dalam rangka menghilangkan rasa ngambek sang istri.

Hal ini sebagaimana penjelasan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala ketika menjelaskan hadis ini,

وأما كذبه لزوجته وكذبها له فالمراد به في إظهار الود والوعد بما لا يلزم ونحو ذلك فأما المخادعة في منع ما عليه أو عليها أو أخذ ماليس له أو لها فهو حرام بإجماع المسلمين والله اعلم

“Adapun dusta dan bohong kepada sang istri, yang dimaksud adalah (dusta) untuk menampakkan besarnya rasa cinta atau janji yang tidak mengikat, atau semacam itu. Adapun berbohong (menipu) dalam rangka menahan (tidak menunaikan) apa yang menjadi kewajiban suami atau istri, atau mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak suami atau istri, maka ini haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 16: 135)

Contoh dusta yang haram adalah suami memotong jatah nafkah yang berhak diterima istri dan suami beralasan dengan kebohongan. Misalnya dia mengaku sedang kesulitan ekonomi atau sedang kesusahan. Maka dusta semacam ini haram, karena ini bohong untuk tidak menunaikan kewajiban suami (yang menjadi hak istri). Atau misalnya, suami mengatakan kepada istri bahwa dia pergi ke luar kota dalam rangka perjalanan dinas. Padahal, dia ke luar kota bukan karena tugas dinas, namun sekedar senang-senang atau wisata.

 

Berdasarkan penjelasan An-Nawawi di atas, termasuk bohong yang diperbolehkan adalah janji yang tidak mengikat. Misalnya, seorang istri ngambek ingin dibelikan sesuatu dan suami tidak mampu, lalu sang suami berkata, “Kapan-kapan saja ya belinya.”

Perkataan “kapan-kapan” itu dinilai janji yang tidak mengikat, sehingga tidak wajib ditunaikan. Janji yang tidak mengikat semacam itu boleh diucapkan untuk menghibur atau menyenangkan hati sang istri.

Adapun janji yang mengikat, wajib dipenuhi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala berkata,

و ليس من الكذب المباح أن يعدها بشيء لا يريد أن يفي به لها ، أو يخبرها

بأنه اشترى لها الحاجة الفلانية بسعر كذا ، يعني أكثر من الواقع ترضية لها ،

لأن ذلك قد ينكشف لها فيكون سببا لكي تسيء ظنها بزوجها ، و ذلك من الفساد لا الإصلاح

“Tidaklah termasuk dusta yang mubah adalah seorang suami menjanjikan sesuatu dan dia tidak ingin (tidak berniat) untuk memenuhinya. Atau seorang suami mengabarkan kepada istri bahwa dia membelikan untuknya barang tertentu dengan harga sekian, yaitu lebih mahal dari harga sebenarnya, supaya istrinya rida. Karena hal semacam ini akan terbongkar di masa mendatang sehingga akan menjadi sebab buruk sangka istri kepada suami. Dan hal ini termasuk kerusakan, bukan perbaikan.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1: 818)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/44851-berbohong-kepada-suami-atau-kepada-istri-yang-diperbolehkan.html

Wahai Para Suami, Tundukan Pandanganmu!

SEORANG suami mengadukan apa yang ia rasakan kepada seorang syekh.

Dia berkata: “Ketika aku mengagumi calon istriku seolah-olah dalam pandanganku Allah tidak menciptakan perempuan yang lebih cantik daripadanya di dunia ini.

“Ketika aku sudah meminangnya, aku melihat banyak perempuan seperti dia. Ketika aku sudah menikahinya, aku lihat banyak perempuan yang jauh lebih cantik daripada dirinya.

“Ketika sudah berlalu beberapa tahun pernikahan kami, aku melihat seluruh perempuan lebih manis daripada istriku.”

Syekh berkata: “Apakah kamu mau aku beritahu yang lebih dahsyat daripada itu dan lebih pahit?”

Laki-laki penanya: “Iya, mau.”

Syekh: “Sekalipun kamu menikahi seluruh perempuan yang ada di dunia ini pasti anjing yang berkeliaran di jalanan itu lebih cantik dalam pandanganmu daripada mereka semua.”

Laki-laki penanya itu tersenyum masam, lalu ia berujar: “Kenapa tuan Syekh berkata demikian?”

Syekh: “Karena masalahnya terletak bukan pada istrimu. Tapi masalahnya adalah bila manusia diberi hati yang tamak, pandangan yang menyeleweng, dan kosong dari rasa malu kepada Allah, tidak akan ada yang bisa memenuhi pandangan matanya kecuali tanah kuburan.

Rasulullah bersabda: Andaikan anak Adam itu memiliki lembah penuh berisi emas pasti ia akan menginkan lembah kedua, dan tidak akan ada yang bisa memenuhi mulutnya kecuali tanah. Dan Allah akan menerima tobat siapa yang mau bertobat.

“Jadi, masalah yang kamu hadapi sebenarnya adalah kamu tidak menundukkan pandanganmu dari apa yang diharamkan Allah.

“Sekarang, apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan mengembalikan kecantikan istrimu seperti pertama kali kamu mengenalnya? Ketika ia menjadi wanita tercantik di dunia ini?”

Laki-laki penanya: “Iya, mau sekali.”

Syekh: “Tundukan pandanganmu.” []