Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyuk (Bag. 2)

Menghilangkan lintasan-lintasan pikiran yang muncul ketika shalat

Perkara penting untuk meraih khusyuk dalam shalat adalah hadir atau fokusnya hati. Terkait ini, setan berusaha untuk memalingkan seseorang dari kekhusyukan dengan memunculkan berbagai lintasan pikiran ketika shalat, bahkan lintasan-lintasan pikiran yang tidak ada faedahnya sedikit pun. Ketika selesai shalat, lintasan pikiran itu pun cepat pergi, karena tujuan setan memang mengganggu fokus manusia ketika shalat.

Inilah yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ketika seseorang berdiri untuk mendirikan shalat, setan pun mendatangi orang tersebut dan mengatakan,

اذْكُرْ كَذَا، اذْكُرْ كَذَا، لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى

“Ingatlah (perkara) ini, ingatlah (perkara) itu. Setan terus-menerus mengingatkan perkara itu, sampai orang tersebut tidak tahu berapa raka’at yang dia sudah kerjakan.” (HR. Bukhari no. 608)

Disebutkan bahwa seseorang mendatangi Imam Abu Hanifah rahimahullahu Ta’ala dan berkata kepadanya, “Wahai syaikh, aku lupa perkara ini dan itu.”

Maksudnya, dia terlupa beberapa perkara penting dan urgen dalam hidupnya.

Imam Abu Hanifah berkata, “Pergilah untuk shalat, niscaya Engkau akan ingat.”

Orang tersebut pun pergi, dan ketika dia mulai mendirikan shalat, dia pun teringat perkara yang sebelumnya dia lupa. (Syarh Shahh Bukhari 2: 237, karya Ibnu Bathal)

 

Namun, alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bagaimanakah obat untuk mengatasi gangguan setan tersebut. ‘Utsman bin Abu Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu mengadukan perkara tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,

ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا

“Itu adalah (karena) gangguan setan yang disebut dengan Khanzab. Bila Engkau diganggunya, mintalah perlindungan Allah darinya dan meludahlah ke kiri tiga kali.”

‘Utsman bin Abu Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu kemudian berkata,

فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي

“Lalu aku pun melakukan hal itu, godaan itu pun hilang dengan ijin Allah.” (HR. Muslim no. 2203)

Berdasarkan hadits tersebut, obat yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

Pertama, mengucapkan ta’awudz, yaitu dengan mengucapkan,

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

(Aku berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang terkutuk.)

 

Kedua, meludah ke kiri tiga kali.

“Obat” yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu manjur, karena kuatnya keimanan sahabat ‘Utsman bin Abu Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu.

Menoleh ke kiri dalam kondisi seperti ini tidaklah mengapa, karena termasuk dia menoleh karena kebutuhan (hajat). Namun, jika di sebelah kirinya ada orang shalat, maka hendaknya mencukupkan diri dengan doa ta’awudz. Karena jika dia meludah ke kiri tiga kali, hal itu akan mengganggu orang shalat yang ada di sebelahnya.

Perlu kami sampaikan juga bahwa meludah di masjid pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu memang memungkinkan. Karena pada saat itu, lantai masjid masih berupa tanah (pasir). Sehingga jika seseorang telah meludah, dia bisa menutup ludah tersebut dengan pasir, sehingga tidak mengganggu atau membuat jijik orang lain setelahnya.

Adapun pada zaman sekarang, lantai masjid itu berupa karpet, sehingga akan mengotori masjid, meskipun tidak najis. Sehingga saran kami bagi orang-orang yang mudah terkena penyakit seperti ini, untuk membawa semacam tisu ketika shalat. Ketika muncul gangguan tersebut, dia ber-ta’awudz dan meludah ke kiri dan ditutup dengan tisu yang dibawa, lalu tisu tersebut dimasukkan ke dalam kantong baju, dan bisa dibuang setelah shalat. Wallahu a’lam.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45157-kiat-kiat-meraih-shalat-khusyuk-bag-2.html

Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyuk (Bag. 1)

Pengertian dan keutamaan khusyuk dalam shalat

Khusyuk adalah tenangnya hati yang tampak dalam amal anggota badan. Artinya, seseorang yang khusyuk dalam shalat, pikirannya akan tenang, tidak memikirkan dan berpaling kepada hal-hal yang tidak berkaitan dengan shalat. Kekhusyukan hati ini akan tampak dalam anggota badan, sehingga anggota badan tersebut juga ikut tenang, tidak bergerak kecuali dalam hal-hal yang berkaitan dengan shalat.

 

Allah Ta’ala memuji hamba-Nya yang khusyuk dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

”Sesungguhnya mereka itu senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan serta berdoa kepada kami dengan penuh “raghbah” dan “rahbah”. Sedangkan mereka selalu khusyu’ hanya kepada kami.” [QS. Al-Anbiya’ : 90]

Secara khusus, Allah Ta’ala memuji hamba-Nya yang khusyuk dalam sahalat. Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” [QS. Al-Mu’minuun : 1-2]

Yang dimaksud dengan “keberuntungan” adalah mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dan tercegah dari sesuatu yang kita benci.

Oleh karena begitu besarnya keutamaan khusyuk dalam shalat, berikut ini kami sampaikan beberapa kiat agar kita dapat meraih khusyuk dalam shalat.

 

Meyakini dan menghadirkan dalam hati bahwa kita sedang menghadap Allah Ta’ala

Untuk meraih khusyuk dalam shalat, kita pertama adalah kita meyakini bahwa kita sedang menghadap Allah Ta’ala, Rabb yang telah menciptakan kita. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ

“Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian berdiri untuk shalat, maka dia sedang berhadapan kepada Rabb-nya.” [HR. Bukhari no. 405 dan Muslim no. 551]

Demikian pula, ketika kita sedang shalat, maka kita sedang berdialog dengan Allah Ta’ala. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

“Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (yaitu surat Al-Fatihah, pent.) untuk-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memujiku.”

وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku menyanjungku.” (sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, pent.)

وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang menguasai hari pembalasan”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.” Dan terkadang Allah berfirman, “Hamba-Ku memasrahkankan urusannya kepada-Ku.”

فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Ketika hamba berkata (yang artinya), “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.”

فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Dan ketika hamba berkata (yang artinya), “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” [HR. Muslim no. 395]

Inilah di antara keistimewaan shalat yang tidak kita jumpai di ibadah-ibadah lainnya. Ketika kita menghadirkan hati kita bahwa kita sedang berdialog dengan Allah Ta’ala ketika shalat, maka hal ini akan berperan besar dalam mendatangkan kekhusyukan. Sayangnya, banyak di antara kita yang membaca surat Al-Fatihah, namun tidak memiliki bekas dan pengaruh apa-apa karena kita membacanya hanya sekedar lewat.

Ketika sujud, seorang hamba itu paling dekat dengan Rabb-nya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa seorang hamba itu paling dekat dengan Rabb-nya ketika bersujud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ، وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud. Maka perbanyaklah doa (ketika sujud).” (HR. Muslim no. 482)

Yang paling dekat dengan Rabb-nya bukanlah ketika berdiri dalam shalat, namun ketika sujud. Karena dalam sujud terkandung makna tunduk dan penghinaan diri di hadapan Allah Ta’ala, yaitu seorang hamba meletakkan dua anggota tubuhnya yang mulia (dahi dan hidung) di lantai yang merupakan tempat yang terinjak oleh kaki. Dia meletakkan anggota tubuhnya tinggi ke posisi yang paling rendah, sejajar dengan dua telapak kakinya.

Dalam posisi seperti itu, kita berdzikir ketika sujud dengan mengatakan,

سبحان ربي الأعلي

“Maha suci Allah, Dzat Yang Maha tinggi.”

Seolah-olah kita hadirkan dalam hati kita, ketika kita turun ke lantai, kita mensucikan Allah Ta’ala dari sifat-sifat kerendahan. Inilah kesesuaian mengapa dalam sujud kita membaca dzikir tersebut.

Oleh karena itu, salat menggabungkan dua keutamaan sekaligus. Ketika berdiri kita berdialog dengan Allah Ta’ala (membaca surat Al-Fatihah) dan ketika sujud kita berada dalam posisi paling dekat Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala adalah Dzat yang Maha Tinggi, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/45151-kiat-kiat-meraih-shalat-khusyuk-bag-1.html

‘Surga di Telapak Kaki Ibu’, Apakah Benar Sabda Rasulullah?

Hadis ini diriwayatkan dari berbagai jalur riwayat berbeda yang saling menguatkan.
Kita kerap mendengar pernyataan ‘surga di telapak kaki ibu’ atau dalam bahasa Arabnya diucapkan dengan kalimat al-jannatu tahta aqdam al-ummahat. Darimanakah sumber pernyataan tersebut? Apakah benar pernyataan tersebut adalah sabda Rasulullah SAW?

Mengutip Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta’, pernyataan ini memang disandarkan kepada Rasulullah SAW. Hadis al-jannatu tahta aqdam al-ummahat, diriwayatkan Ibnu ‘Addi dalam al-Kamil, dari jalur Musa bin Muhammad al-Maqdisi dari Ibnu Abbas.

Redaksi hadis tersebut sebagai berikut: ”Surga itu (berada) di telapak kaki ibu, dari jalur manapun masuk dan dari jalur manapun pula keluar.”

Menurut Ibnu ‘Addi  Musa bin Muhammad a-Maqdisi statusnya adalah munkar (yaitu periwayat yang dikenal lemah meriwayatkan hadis berbeda dengan periwayat yang kuat).

Redaksi al-jannatu tahta aqdam al-ummahat, berasal dari jalur Anas bin Malik yang dinukilkan oleh sejumlah ulama antara lain Abu Bakar as-Syafi’i dalam ar-Ruba’iyyat, Abu as-Syekh dalam al-Fawaid, al-Qudha’i, dan ad-Daulabi.

Jalur periwayatannya bertemu di Manshur bin al-Muhajir dari Abu an-Nadhar al-Abar. Jalur yang sama disalin oleh al-Khathib al-Baghdadi  dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi dan as-Suyuthi dalam al-Jami’ as-Shaghir. 

Siapakah Abu an-Nadhar dan Manshur?  Dalam Faidh al-Qadir bi Syarh al-Jami’ as-Shaghir, al-Munawi menyatakan bahwa kedua periwayat tersebut tidak diketahui dan derajat hadisnya adalah munkar.

Kendati demikian, meski hadis dengan redaksi ini deranjatnya adalah lemah, namun ada hadis lain dengan subtansi yang sama statusnya sahih.

Hadis itu diriwayatkan sejumlah kalangan yaitu Imam Ahmad, an-Nasai Ibnu Majah, at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir yang dikuatkan Imam al-Hakim serta ad-Dzahabi.

Hadis itu dari jalur Mu’awiyah bin Jahimah. Suatu ketika dia mendatangi Rasul dan bertanya, ”Wahai Rasulullah aku hendak berperan, namun aku datang untuk berkonsultasi. ‘Apakah kamu memiliki ibu?’, tanya Rasul. Sahabat tadi menjawab punya. Rasul bersabda: ‘Berbaktilah kepadanya, karena surga itu di bawah kakinya (fainnal jannata tahta rijliha).”

Makna hadis di atas adalah rasa rendah diri, kepatuhan, dan tidak membangkang kepada ibu adalah faktor penyebab masuk surga.

Kesimpulannya menurut Dar al-Ifta’, pernyataan al-jannatu tahta aqdam al-ummahat, adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan dari berbagai jalur. Ada yang sahih dan lemah.

Masing-masing saling menguatkan satu sama lain. Yang pasti, subtansi dari hadis itu sama yaitu menyerukan berbakti kepada ibu.

REPUBLIKA

Keutamaan Ramah Terhadap Binatang

Alquran memang menempatkan hewan atau binatang pada kedudukan yang lebih rendah dari manusia. Meski begitu, Alquran memerintahkan manusia agar memperlakukan hewan dengan rasa belas kasihan dan tidak menganiaya. Hewan sangat akrab dengan keseharian manusia.

Ada yang menjadi hewan ternak maupun peliharaan, di samping yang hidup liar di alam. Maka itu, sudah selayaknya apabila kehidupan binatang harus dilindungi.  Pada dasarnya, hewan beserta makhluk yang lain juga senantiasa memuji Allah, walaupun pujian tersebut tidak dinyatakan sebagaimana yang manusia perbuat.

Sebagaimana firman Allah SWT, ”Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memujinya.” (QS :al-Israa’ [17] : 44).

Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW telah memberikan contoh terbaik untuk menyayangi hewan. Beliau sangat memperhatikan kehidupan mereka, dan melarang siapapun untuk menyakiti binatang, termasuk memberi beban di luar batas kemampuannya.

Pernah suatu hari di tengah perjalanannya, Rasulullah melihat seekor unta yang kurus kering dan menderita karena kelaparan. Tak ayal, hal itu menimbulkan kemarahan Rasulullah dan berkata ke pemiliknya, ”Takutlah kepada Allah, karena perlakuan yang kejam terhadap hewan-hewan itu.”

Begitu pula ketika Nabi SAW masuk ke dalam kebun milik seorang Anshar, dilihatnya seekor unta yang merintih dan meleleh air matanya. Rasulullah segera mendekati unta itu, dan mengelus-elus belakang telinganya hingga hewan itu menjadi tenang.  Seketika, Rasul bertanya, ”Siapa pemilik unta ini?” Seorang pemuda menyahut, ”Aku pemiliknya, ya Rasulullah.”

Rasulullah pun menegurnya, ”Tidakkah engkau takut kepada Allah karena memperlakukan hewan yang Allah telah memberikan kepadamu dengan kejam? Engkau laparkan perutnya, meletihkan tubuhnya karena kerja yang tiada henti, dan memaksa di luar kemampuannya.”

Disebutkan dalam buku Rasulullah Manusia Tanpa Cela, menyiksa atau menyakiti binatang tanpa rasa belas kasihan, adalah pantangan bagi Rasulullah. Terlebih membunuh binatang tanpa alasan, sebuah tindakan yang dilaknat Nabi.

Hadis riwayat Ibnu Umar mengisahkan, pernah seorang wanita disiksa di neraka lantaran mengurung seekor kucing hingga mati. ”Ia masuk ke dalam neraka, karena saat ia mengurungnya, ia tidak memberi makan kucing itu, juga tidak melepaskannya agar kucing itu bisa mencari makan sendiri.”

Beberapa hadis juga meriwayatkan, Rasulullah memperingatkan supaya jangan merampas nyawa burung sekadar untuk main-main tanpa ada manfaat yang diperoleh darinya.  Rasulullah bersabda, ”Siapa orang yang membunuh burung dengan sia-sia, maka burung tersebut akan datang pada hari kiamat dan dengan suara keras mengadu kepada Allah, ”Ya Tuhan, si Fulan merampas nyawaku, menganiayaku dan membunuhku tanpa suatu yang bisa dimanfaatkan olehnya, sehingga aku mati sia-sia.”

Bahkan katak pun dilarang untuk dibunuh. Menurut Nabi, suaranya yang bising dan sahut menyahut itu pada hakikatnya merupakan suara tasbih  katak saat memulaikan Allah SWT. Larangan serupa juga berlaku bagi siapapun yang gemar mengadu hewan, apalagi hanya untuk berjudi.

Satu hal yang penting mendapat perhatian yakni pesan Nabi agar berlaku lemah lembut terhadap hewan yang hendak disembelih. Jangan sampai hewan itu merasa sangat kesakitan dengan sembelihan yang dilakukan.  Nabi bersabda, ”Tajamkanlah pisau terlebih dahulu sebelum hewan yang akan disembelih itu dibaringkan.” (HR at Thabrani).

Islam merupakan ajaran paripurna sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Dan umat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT paling sempurna, mengemban tanggung jawab untuk mewujudkan harapan tersebut.

Maka itu, keselamatan dan kelestarian segenap alam, termasuk di dalamnya makhluk Allah lainnya, haruslah dijaga dengan sebaik-baiknya. Berbuat kerusakan ataupun kehancuran pada makhluk lainnya, berarti bertentangan dengan perintah Allah SWT.

KHAZANA REPUBLIKA

Kemenag Terus Lobi Perluasan Layanan Fast Track Jemaah Haji

Jakarta (Kemenag) — Tahun 2018, jemaah haji Indonesia yang berangkat melalui Bandara Soekarno-Hatta mendapatkan layanan fast track di bandara Arab Saudi. Pre clearance atau proses keimigrasian yang biasanya dilakukan di bandara Arab Saudi, tahun lalu berlangsung di Cengkareng saat keberangkatan jemaah. Sampai di Saudi, jemaah bisa melalui jalur cepat keimigrasian atau yang dikenal dengan fast track.

“Kami terus lobi pihak Saudi agar kebijakan fast track tahun ini tidak hanya diberlakukan untuk Jemaah yang diberangkatkan dari Bandara Soekarno-Hatta seperti tahun lalu,” terang Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Muhajirin Yanis di Jakarta, Jumat (22/02).

Menurutnya, Kemenag terus berusaha agar penerapan layanan fast track bisa diberlakukan untuk seluruh Jemaah dari 13 embarkasi. Hal ini juga telah diusulkan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat bertemu Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Saudi Muhammad Salih bin Taher Benten saat penandatanganan MoU Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 2019 pada Desember 2018.

Tim Kemenag, lanjut Muhajirin, saat ini berada di Arab Saudi untuk menindaklanjuti rencana pemberlakuan fast track. Sejumlah hal didiskusikan utamanya terkait kesiapan SDM dan fasilitas pendukung bandara.

“Jika tidak bisa di semua embarkasi, kami sedang mendorong agar pemberlakukan pre clearance diperluas secara bertahap. Ini terus dilakukan pembicaraan antara dia pihak,” tuturnya.

“Semoga tahun ini, selain di Bandara Seokarno-Hatta, pre clearance paling tidak juga bisa diberlakukan di Solo dan Surabaya,” ujarnya.

Layanan fast track tahun 2018 bagi Jemaah yang diberangkatkan dari Bandara Soekarno-Hatta mendapat sambutan positif dari jemaah haji. Total ada 64.166 jemaah yang berangkat dari Cengkareng, berasal dari Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung.

“Tahun 2018, survei BPS, kenaikan indeks kepuasan jemaah yang tertinggi berhasil diraih oleh Daerah Kerja Bandara, dari 87,16 menjadi 89,01. Ini saya kira tidak terlepas dari layanan fast track di bandara,” ujar Muhajirin.

Jika tahun ini diberlakukan di Solo dan Surabaya, maka penerima manfaat layanan ini akan bertambah cukup signifikan. Jemaah haji Indonesia yang berangkat dari Embarkasi Solo mencapai 34.112 orang. Sedang dari Embarkasi Surabaya ada 37.055 jemaah.

“Jadi, total dengan yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta mencapai 135.333 jemaah. Artinya sudah lebih dari 60% jemaah Indonesia,” jelasnya.

Perkuat Manasik, KUA Dapat Libatkan Alumni Petugas Haji

Jakarta (Kemenag) — Penyelenggaraan ibadah haji 1440H/2019M terus dipersiapkan. Pembinaan ibadah melalui manasik haji juga akan segera diselenggarakan.

Direktur Bina Haji Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Khoirizi mengatakan bahwa pihaknya ingin terus meningkatkan kualitas layanan manasik. Tujuannya, agar pemahaman jemaah memadai saat akan menjalankan ibadah, baik dari aspek fiqih maupun praktis.

“Kami minta KUA dapat bekerjasama dengan seluruh potensi yang ada di wilayahnya, termasuk alumni petugas haji,” jelas Khoirizi di Jakarta, Sabtu (23/02)

Khoirizi menilai alumni petugas haji secara umum memiliki pemahaman manasik yang memadai. Selain aspek ibadah yang sudah mereka jalani,  petugas juga memahami alur perjalanan haji dan kondisi di Makkah dan Madinah terkini.

“Pemerintah Saudi terus melakukan penataan di Masjidil Haram dan akan dilkukan juga di Nabawi. Petugas tahu persis seluk beluk di sana sehingga bisa berbagi pengalaman dengan jemaah,” ujarnya.

Khoirizi mencontohkan tentang tempat wudlu. Dalam dua tahun terakhir, di dekat areal thawaf,  sudah ada fasilitas berwudlu sehingga jemaah tidak perlu keluar Masjidil Haram. “Perluasan Masjidil Haram juga sudah mulai digunakan untuk beribadah. Jemaah perlu mendapat pengetahuan seperti ini sejak di Tanah Air,” urainya.

Menurut Khoirizi,  jumlah alumni petugas haji cukup banyak. Setiap tahun, Kemenag memberangkatkan tidak kurang 1000 petugas non kloter. Selain itu,  ada juga 2500 petugas kloter yang 500 di antaranya bertugas sebagai pembimbing ibadah.

“Ini jumlah yang besar dan silahkan dimanfaatkan,” tegasnya.

Selain alumni petugas, KUA juga bisa melibatkan tokoh masyarakat yang dinilai berkompeten dalam manasik haji. Tidak sedikit tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang juga bisa diajak sinergi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang sudah mengikuti sertifikasi pembimbing manasik yang diselenggarakan oleh UIN bekerjasama dengan Kementerian Agama.

“Sinergi KUA dengan alumni petugas haji dan tokoh masyarakat yang tersertifikasi pembimbing ibadah, diharapkan dapat mewujudkan penyelenggaraan manasik sepanjang tahun,  tidak semata berbasis program,” ujarnya.

“Manasik juga bisa digelar secara mandiri oleh masyarakat, dengan memanfaatkan peran aparatur KUA, tenaga pembimbing bersertifikasi, serta para alumni petugas haji,” tandasnya.

KEMENAG RI

Jangan Saling Bermusuhan (Tujuh Larangan Rasulullah (7))

SAUDARAKU, perbuatan terakhir yang dilarang oleh Rasulullah Saw untuk dilakukan kaum muslimin adalah saling bermusuhan.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Rasulullah Saw memperkuat hal ini, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis. Maka akan diampuni semua hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, kecuali dua orang laki-laki yang terdapat permusuhan antara dia dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai. Tangguhkan oleh kalian kedua orang ini, sampai keduanya berdamai.” (HR. Bukhari, Muslim.Shahih).

Betapa Rasulullah Saw di dalam hadits di atas amat mengecam umatnya yang saling bermusuhan, apalagi hingga tidak mau berdamai dan saling memaafkan. Kecaman beliau sangatlah kuat sampai- sampai ancamannya adalah tidak akan diampuni dosa- dosanya, sehingga pintu surga tertutup bagi mereka.

Marilah kitra ingat kembali bagaimana Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Kerekatan tali persaudaraan di antara mereka melampaui kerekatan berdasarkan tanah air, suku bangsa dan bahasa. Bahkan melampaui persaudaraan yang berdasarkan pertalian darah atau nasab.

Ada satu kisah yang terselip di tengah kisah agung tentang hijrahnya Rasulullah Saw bersama para sahabat dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar yaitu kisah Saad Ibn Ar Rabi dan Abdurrahman Ibn Auf. Saad dari kaum Anshar, sedang Abdurrahman dari kaum Muhajirin. Keduanya adalah sama-sama sahib Rasulullah Saw. Yang kaya raya.

Ketika hijrah ke Madinah, Abdurrahman tidak membawa harta kekayaannya yang ada di Mekkah. Maka, ia pun tiba di Madinah sebagai orang yang tidak berpunya. Kemudian, Rasulullah Saw mempersaudarakannya dengan Saad. Saad pun seketika itu menawarkan bagian dari kekayaan untuk dimiliki oleh Abdurrahman. Bahkan, Saad menawarkan salah satu istrinya untuk diceraikan dan kemudian diperistri oleh Abdurrahman. Namun, meskipun Saad menawarkan semua itu dengan penuh kesungguhan, Abdurrahman menolaknya secara halus dan memilih untuk berusaha sendiri melalui perniagaan.

Membaca penggalan kisah kedua sahabat Rasulullah ini, maka kita bisa melihat betapa agungnya persaudaraan sesama muslim. Sungguh, tak ada keuntungan yang akan kita dapatkan dari permusuhan selain dari sesaknya hati dan rasa gelisah manakala berjumpa dengan saudara yang bermusuhan dengan kita.

Oleh karena itu berbesar jiwalah, lapangkanlah hati kita untuk mau memohon maaf dan memberi maaf. Sebagai gambaran, jikalau kita berada di dalam sebuah kamar yang sempit, dan dikamar itu ada seekor tikus kecil, maka sungguh terasa sengsaranya kita. Betapa tikus itu akan menjadi masalah yang terasa amat besar buat kita. Namun, jikalau kita berada di dalam ruang yang sangat luas yang bahkan seolah tak berbatas, maka jika ada seekor gajah besar di dalam ruangan itu tak akan menjadi masalah besar untuk kita.

Demikianlah jika kita memiliki kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Rasa kesal, marah dan permusuhan dengansaudara kita, tidak akan menjadi masalah untuk kita. Karena kita akan memiliki kemudahan untuk mau meminta maaf dan member maaf.

Allah Swt berfirman,”Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang maruf, serta berpalinglah dari pada orang- orang yang bodoh.” (QS. Al Araf [7]: 199)

“..Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang- orang yang dzhalim.” (QS. Asy Syura [42]: 40)

Dua ayat di atas lebih dari cukup bagi kita untuk menyadari bahwa Allah Swt sangat mencintai hamba-Nya yang ringan dalam member maaf. Rasulullah Saw menegaskankedua ayat di atas dengan haditsnya sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda,

“Barangsiapa pernah melakukan kedzhaliman terhadap saudaranya, baik menyangkut kehormatannya atau sesuatu yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan darinya hari ini, sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi (hari kiamat). (kelak) jika dia memiliki amal shaleh, akan diambil darinya seukuran kedzhalimannya. Dan jika dia tidakmempunyai kebaikan (lagi), akan diambil dari keburukan saudara (yang dizhalimi) kemudian dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari. Shahih).

Masya Allah, betapa besarnya urusan maaf- memaafkan ini dalam agama kita. Saking besarnya, Rasulullah amat menekankan kepada kita untuk bersegera dalam meminta maaf dan memaafkan apabila memiliki kesalahan terhadap sesama.

Karena jika hal itu tekat, yaitu ketika belum mendapatkan maaf dari orang yang kita dzhalimi, maka kita akan menjadi orang yang rugi di akhirat. Kenapa? Karena amal kebaikan kita akan diberikan pada orang yang kita dzhalimi seukuran dengan kedzhaliman yang kita lakukan terhadapnya. Sedangkan jika itu belum juga memenuhi, maka keburukan dirinya akan dialihkan kepada kita. Naudzubillahimindzalik!

Oleh karena itulah selain ampunan dari Allah Swt, terdapat juga dosa- dosa yang tidak terhapus kecuali mendapatkan maaf dari orang yang di dzhalimi atau disakiti. Memang bisa jadi orang yang didzhalimi itu memiliki keluasan hati sehingga ia memaafkan sebelum dimintai maaf, akan tetapi, mungkin juga sebaliknya, ia diam namun memendam marah tanpa mau memberikan maaf. Hal ini sebagaimana kisah Al Qomah dengan ibunya.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas RA, disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta; tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan sifat memberi maaf, kecuali kemuliaan; dan tidaklah seorang hamba merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim. Shahih)

Rasulullah Saw juga pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku tunjukkan akhlak yang paling mulia di dunia dan di akhirat? Memberi maaf orang yang mendzhalimimu, memberi orang yang menghalangimu, dan menyambung silaturahim orang yang memutuskan (silaturahim dengan)mu.” (HR. Baihaqi. Marfu).

Permusuhan hendaklah dilawan dengan semangat saling maaf- memaafkan. Karena semangat ini adalah bukti keimanan terhadap Allah dan Rasul- Nya, serta wujud nyata persaudaraan di dalam islam. Semoga kita menjadi bagian dari golongan orang- orang memiliki semangat tersebut dan termasuk golongan yang dijanjikan surge oleh Allah Swt. Aamiin! [smstauhiid/habis]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

10 Perintah Allah SWT Agar Kita Dimudahkan Rezeki dan Diberkahi

Kalau disebut kata rezeki biasanya kita memahami dalam hal-hal materi saja lebih khususnya adalah uang akan tetapi kalau kita renungkan rezeki itu bisa berupa macam-macam.

Kesehatan, istri yang shalihah, anak yang shalih & shalihah, teman yang baik itu semua adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kita semua.

Kemudian pemahaman kita tentang kaya itu adalah orang yang banyak duitnya, punya mobil mewah, rumahnya megah dan lain sebagainya, akan tetapi orang kaya yang mana bahasa arabnya adalah Ghaniy artinya adalah orang yang tidak membutuhkan dalam artian orang yang merasa cukup dengan pemberian Allah.

Ada beberapa hal yang Allah perintahkan kepada kita guna dimudahkan rezeki dan diberkahi.

Disamping usaha secara dhahir atau bekerja maka ada beberapa usaha secarabatin atau wasa’il batiniyah. Diantaranya adalah

1. Taqwa

Mari kita simak firman Allah berikut,

“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Athalak 2-3)

Dalam ayat ini ada dua hal yang dijanjikan oleh Allah yang pertama akan diberikan jalan keluar yang kedua diberi rezeki tanpa disangka-sangka. sebaliknya orang yang tidak bertaqwa akan selalu diberikan masalah yang sulit& akan di cegah keberkahan rezekinya sampai betul-betul insyaf dari kesalahanya dan kembali melanggengkan keta’atan kepada Allah swt.

2. Istighfar dan Taubat

Coba kita renungkan firman Allah dalam surat Nuh,

“Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai…”(Nuh 10-12)

Ayat ini sebetulnya ada korelasinya dengan ayat AThalaq tadi jika tadi orang yang tidak bertaqwa akan di berikan masalah dan dicegah rezekinya maka ketika beristighfar dan bertaubat maka Allah akan membuka kembali pintu rezekinya. Sayid Qutub berkata : Allah menyandingkan kata rezeki dengan istighfar ini banyak ayat dalam Al-Qur’an.

3. Syukur terhadap nikmat Allah

Hal ini juga telah dijelaskan dalam Al-qur’an,

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“.(Ibrahim :7)

Cara bersyukur ini dilakukan dengan tiga cara yang pertama syukur dengan lisan (Asyukru billisan) dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang baik yang mencerminkan rasa syukur kita terhadap Allah swt seperti Alhamdulillahirabbil alamin. Yang kedua sukur dengan hati atau (Assyukru bilqolb) yaitu dengan meyakini dalam hati bahwa kenikmatan yang diberikan kepada kita apapun bentuk dan jumlahnya berasal dari Allah swt bukan semata-mata kerja keras kita. Kemudian yang ketiga syukur dengan anggota badan atau (Asyukru bil jawarih) yaitu bersyukur dengan anggota badan dalam arti menggunakan kenikmatan-kenikmatan yang diberi Allah swt dalam rangka melakukan ketaatan atau ketika diberi rezeki semakin melakukan keta’atan kepadaNya.

4. Ikhraju Shodaqoh (Mengeluarkan sedekah)

Adapun dalam al-quran yang menyatakan bahwa dengan sedekah akan melipatgandakan rezeki kita sangat banyak sekali diantaranya,

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (saba’ : 39)

Dalam ayat lain Allah berfirman

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Al-Baqarah : 261)

Rasul menegaskan kembali : sedekah dengan harta tidak akan menambah rezeki berkurang.

5. Sholat Dhuha

Salah satu hadist Rasul yang menjelaskan hal ini,

”Rosulullah SAW bersabda: ”Allah berfirman, wahai anak adam,janganlah sekali- kali engkau malas melakukan sholat 4 rakaat pada pagi hari (sholat dhuha) karena akan kucukupi kebutuhanmu hingga sore hari”(HR.Tirmidzi)

Dalam hadist muslim juga telah dijelaskan, Rasulullah saw bersabda: “Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah, maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut.” (HR Muslim).

6. Membantu hajatnya orang lain

Sebagaimana sabda Rasulullah saw,

“Barang siapa yang membantu hajat saudaranya maka Allah akan membantu hajatnya”

Dalam hadist lain,

“Dan barang siapa memudahkan memudahkan orang yang susah maka akan dimudahkan oleh Allah di dunia dan akherat, dan Allah akan menaungi seseorang hamba yang selalu memberi naungan kepada saudaranya.”

7. Menikah dan beranak-pinak

Hal ini sudah dijelaskan dalam Al-qur’an,

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(Annur: 32)

Kemudian rezeki akan semakin bertambah disaat memiliki keturunan, sebagaimana janji Allah swt.

“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” (Al-An’am : 151 )

8. Berahlaq baik

Setiap akhlaq yang baik akan melahirkan sesuatu yang baik atau bisa disebut dengan rezeki. Contoh akhlak yang baik seperti Shidiq (Jujur ) Orang yang jujur itu memang dalam jangka pendek menyengsarakan, akan tetapi dalam jangka panjang kalau dia bersabar akan mendapatkan rezeki yang berlimpah daripada orang yang tidak jujur. Sebagai contoh seorang pegawai yang jujur maka dia akan mendapat kepercayaan dari atasanya kemudian dinaikkan pangkatnya ditambah gajinya. Sebaliknya seorang pegawai yang tidak jujur dalam jangka pendek dia bisa mendapatkan banyak uang karena ketidak jujuranya dengan menipu dan mencuri akan tetapi pasti suatu saat akan tercium kelakuanya tersebut yang akhirnya bisa diberhentikan dari jabatanya atau dipecat. Disamping jujur contoh yang lain yaitu amanah (bisa dipercaya) tidak pernah berkhianat terhadap amanat yang diberikan kepadanya tapi sebaliknya dia akan menjalankan amanah tersebut dengan maksimal. Dengan demikian dia akan selalu dipercaya oleh orang lain, dan tidak mudah untuk memnbangun kepercayaan itu. Contoh yang lain seperti Sabar dalam arti tidak mudah menyerah, ulet dan tekun seperti sebuah kata mutiara “Maan tsabat nabat” barang siapa yang sabar/tegar maka ia akan berkembang.

9. Silaturahim

Amalan ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah dan memiliki fadhilah melapangkan rezeki, beliau bersabda,

“Barang siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan dilapanjangkan umurnya maka hendaklah dia menyambung tali silaturahim.” (HR. Muslim)

Karena dalam silatu rahmi ini akan saling berkenalan, bertukar informasi, saling berintraksi. Dengan demikian pastilah ada pengalaman yang bisa saling diberikan, ada tambahan ilmu dan persaudaraan. yang ini semua adalah salah satu bentuk dari rezeki.

10. Bersungguh-sungguh dalam berdo’a

Doa ibarat senjata bagi orang muslim, seseorang yang menginginkan dimudahkanya rezeki maka jurus yang terakhir adalah berdo’a dengan sungguh-sungguh, dalam keadaan apapun baik berdiri, duduk atau terlentang. Dalam sebuah hadist di jelaskan,

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang mati-matian dalam berdo’a “

Dalam hadist lain juga Rasul telah bersabda,

“ Sesungguhnya Allah maha malu dan maha mulia, Dia malu kalau ada seorang hamba yang mengangkat kedua tangannya kemudian Allah menolak permintaan orang tersebut dan tidak memberi apa-apa “

Selain berdo’a untuk diri sendiri kita berdo’a untuk orang lain, sabda Rasulullah saw,

“Do’anya saudara muslim untuk saudaranya muslim tanpa sepengetahuannya sangat mustajab..”

Kemudian dijelaskan pula bahwa ketika kita mendoakan orang lain tanpa sepengetahuanya maka malaikat akan berkata kepadanya “aamiin dan bagimu seperti apa yang kamu pintakan untuk saudaramu.” Kita mendoakan teman kita agar dimudahkan rezekinya maka kita akan dido’akan oleh malaikat seperti itu juga.

Al-Faqier Ila afwi Rabbihi

 

Sumber: akhwatshalihah.net

Apakah Kita yang Menangis di Hari Kiamat?

SEMUA kaum Muslim berkeyakinan bahwa dunia dan kehidupan ini akan berakhir. Akan datang suatu saat ketika manusia berkumpul di pengadilan Allah Swt.

Alquran menceritakan berkali-kali tentang peristiwa Hari Kiamat ini, seperti yang disebutkan dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 1-16. Dalam surah itu, digambarkan bahwa tidak semua wajah ketakutan.

Ada wajah-wajah yang pada hari itu cerah ceria. Mereka merasa bahagia dikarenakan perilakunya di dunia. Dia ditempatkan pada surga yang tinggi. Itulah kelompok orang yang di Hari Kiamat memperoleh kebahagiaan.

Tentang wajah-wajah yang tampak ceria dan gembira di Hari Kiamat, Rasulullah pernah bersabda, “Semua mata akan menangis pada hari kiamat kecuali tiga hal. Pertama, mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt. Kedua, mata yang dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan Allah. Ketiga, mata yang tidak tidur karena mempertahankan agama Allah.”

Mari kita melihat diri kita, apakah mata kita termasuk mata yang menangis di Hari Kiamat?

Dahulu, dalam suatu riwayat, ada seorang yang kerjanya hanya mengejar-ngejar hawa nafsu, bergumul dan berkelana di teinpat-tempat maksiat, dan pulang larut malam.Dari tempat itu, dia pulang dalam keadaan sempoyongan. Di tengah jalan, di sebuah rumah, lelaki itu mendengar sayup-sayup seseorang membaca Al-Quran. Ayat yang dibaca itu berbunyi: “Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kenudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang yang fasik (Qs 57: 16).

Sepulangnya dia di rumah, sebelum tidur, lelaki itu mengulangi lagi bacaan itu di dalam hatinya. Kemudian tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Si pemuda merasakan ketakutan yang luar biasa. Bergetar hatinya di hadapan Allah karena perbuatan maksiat yang pemah dia lakukan. Kemudian ia mengubah cara hidupnya. Ia mengisi hidupnya dengan mencari ilmu, beramal mulia dan beribadah kepada Allah Swt., sehingga di abad kesebelas Hijri dia menjadi seorang ulama besar, seorang bintang di dunia tasawuf.

Orang ini bernama Fudhail bin Iyadh. Dia kembali ke jalan yang benar kerena mengalirkan air mata penyesalan atas kesalahannya di masa lalu lantaran takut kepada Allah Swt. Berbahagialah orang-orang yang pernah bersalah dalam hidupnya kemudian menyesali kesalahannya dengan cara membasahi matanya dengan air mata penyesalan. Mata seperti itu insya Allah termasuk mata yang tidak menangis di Hari Kiamat.

Kedua, mata yang dipalingkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Seperti telah kita ketahui bahwa Rasulullah pernah bercerita tentang orang-orang yang akan dilindungi di Hari Kiamat ketika orang-orang lain tidak mendapatkan perlindungan. Dari ketujah orang itu salah satu di antaranya adalah seseorang yang diajak melakukan maksiat oleh perempuan, tetapi dia menolak ajakan itu dengan mengatakan, “Aku takut kepada Allah”.

Nabi Yusuf as. mewakili kisah ini. Ketika dia menolak ajakan kemaksiatan majikannya. Mata beliau termasuk mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, lantaran matanya dipalingkan dari apa-apa yang diharamkan oleh Allah Swt.

Kemudian mata yang ketiga adalah mata yang tidak tidur karena membela agama Allah. Seperti mata pejuang Islam yang selalu mempertahahkan keutuhan agamanya, dan menegakkan tonggak Islam. Itulah tiga pasang mata yang tidak akan menangis di Hari Kiamat, yang dilukiskan oleh Al-Quran sebagai wajah-wajah yang berbahagia di Hari Kiamat nanti.[]

Tidak Semua Kejadian Viral Harus Dikomentari

Ada benarnya ungkapan:

“Manusia butuh waktu 2 tahun untuk belajar bicara, tetapi butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk belajar diam”

Adanya sosial media di saat ini memudahkan semua orang bisa kerkomentar tentang apapun. Terlebih apabila ada kejadian viral yang yang membuah heboh, padahal belum tentu berita itu benar (bisa jadi HOAX). Beberapa orang terdorong untuk segera men-sharing berita tersebut sekaligus memberikan komentar. Tidak jarang komentar tersebut adalah komentar yang tidak dibangun di atas ilmu karena yang berkomentar bukanlah ahlinya dalam bidang tersebut, sehingga terkadang memperkeruh suasana atau menimbulkan efek yang lebih buruk serta tidak memberikan solusi. Hal ini bisa jadi terdorong karena ingin sifat ingin selalu menonjolkan diri dan menjadi perhatian serta mencari ketenaran

Hendaknya kita berhati-hati dalam berkomentar dan menahan diri untuk berkomentar terhadap semua yang kejadian yang kita lihat dan kita dengar. Hendaknya kita perhatikan beberapa poin-poin berikut:

  1. Hendaknya kita paham bahwa terlalu banyak berbicara bisa mengeraskan hati. Camkan juga bahwa lisan adalah salah satu penyebab utama masuk ke neraka

Al-Fudhail bin Iyadh berkata,

خصلتان تقسيان القلب:كثرة الكلام وكثرة

“Ada dua perkara yang menjadikan hati menjadi keras: Terlalu banyak bicara dan terlalu banyak makan.” (Nuzhah Al-Fudhala’: 779)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan dua kakinya (kemaluan), maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari)

  1. Jika kita bukan ahlinya atau tidak berilmu mengenai hal tersebut, hendaknya kita tidak ikut memberikan komentar, apalagi komentar di sosial media dan publik

Jika yang berkomentar bukan ahlinya, maka akan timbul hasil atau pemikiran yang aneh dan memperkeruh suasana serta tidak memberikan solusi.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata,

من تكلم بغير فنه أتى بالعجائب

“Barangsiapa yang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya, maka ia akan memunculkan banyak keanehan” (Fathul Bari 3/584)

Perlu diperhatikan bahwa semua ucapan kita akan dipertanggung-jawabkan kelak. Allah berfirman.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban” (Al-Israa : 36)

  1. Hendaknya kita hati-hati ketika men-share dan mengomentari kejadian atau berita, karena bisa jadi berita tersebut tidak benar atau berita HOAX.

Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menyifati sebagai pendusta orang yang selalu menceritakan apa yang dia dapat dan dia dengar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.”(HR. Muslim)

  1. Ketika ada berita yang terbukti kebenarannya pun, kita tidak boleh asal-asalkan menyebarkannya ke publik secara luas, karena tidak semua berita harus disebarkan ke publik dan manusia secara umum. Harus menimbang mashalahat dan mafsadatnya. Hal ini berlaku untuk berita baik maupun berita buruk.

 

Terdapat hadits bahwa ada kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘aiahi wa sallam kepada Mu’adz bahwa semua orang yang yang bersyahadat (selama syahdatnya tidak batal) dengan JUJUR pasti Allah haramkan neraka baginya. Kemudian Mu’adz dengan semangat ingin menyebarkan, tetapi ditahan oleh beliau karena berita ini jika disebarkan pada saat itu dan kondisi itu akan membuat manusia malas beramal. Mu’adz pun menahan berita gembira ini dan menyampaikannya menjelang kematiannya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Wahai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Lalu Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali Allah pasti mengharamkan dia tersentuh api neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”. Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”. Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadits ini karena khawatir terjerumus dalam dosa [akibat menyembunyikan ilmu] (HR. Bukhari dan Muslim)

  1. Ada baiknya kita diam ketika mendapatkan berita yang kita tidak punya ilmu dalam hal tersebut. Hendaknya kita serahkan kepada ahlinya atau yang berilmu baik dari kalangan umara’ mampun ulama serta para ilmuan.

Ini adalah perintah Allah dalam Al-Quran agar tidak langsung menyiarkan berita (lalu menambahkan komentar) lalu meimbulkan ketakutan dan kegaduhan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) . Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)

Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’diy rahimahullah menfsirkan ayat ini,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه

“Ini adalah pengajaran dari Allah kepada hamba-Nya bahwa perbuatan mereka [menyebarkan berita tidak jelas] tidak selayaknya dilakukan. Selayaknya jika datang kepada mereka suatu perkara yang penting, perkara kemaslahatan umum yang berkaitan dengan keamanan dan ketenangan kaum mukminin, atau berkaitan dengan ketakutan akan musibah pada mereka, agar mencari kepastian dan tidak terburu-buru menyebarkan berita tersebut. Bahkan mengembalikan perkara tersebut kepada Rasulullah (pemerintah) dan yang berwenang mengurusi perkara tersebut yaitu cendikiawan, ilmuan, peneliti, penasehat dan pembuat kebijaksanan. Merekalah yang mengetahui berbagai perkara dan mengetahui kemaslahatan dan kebalikannya. Jika mereka melihat bahwa dengan menyebarkannya ada kemaslahatan, kegembiraan dan kebahagiaan bagi kaum mukminin serta menjaga dari musuh, maka mereka akan menyebarkannya. Dan jika mereka melihat tidak ada kemaslahatan [menyebarkannya] atau ada kemaslahatan tetapi madharatnya lebih besar, maka mereka tidak menyebarkannya.” (Taisir Karimir Rahmah hal 17)

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/43108-tidak-semua-kejadian-viral-harus-dikomentari.html