Barang Siapa Masuk Masjid bukan Terkait Agama…

DARI Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Barang siapa yang masuk ke dalam masjid kami ini, tujuannya mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, maka dia seperti mujahid fisabilillah. Barang siapa memasukinya bukan untuk itu, maka dia seperti orang yang melihat sesuatu yang bukan kepunyaannya.” (HR. Ahmad No. 8587, Ibnu Hibban No. 78. Hadis ini hasan menurut Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam tahqiq Beliau terhadap Shahih Ibni Hibban)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan: “Barang siapa yang mendatangi masjid ingin salat di dalamnya, atau ingin salat berjemaah dan itu merupakan kewajiban, atau karena ingin mendapatkan pahala di masjid dengan berzikir, membaca Alquran, maka dia mendapatkan bagian sesuai yang diinginkan, barang siapa yang masuk ke masjid bukan untuk amal-amal agung ini, dia ke masjid tidak ada kaitan urusan agama dan ketaatan, maka dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkan itu tapi tanpa pahala.”

[Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 066. Maktabah Al Misykah/ Farid Nu’man Hasan, SS.]

 

 

Doa Mustajab Saudara dari Jauh

ADA saatnya, sesungguhnya, kita sedang dalam peran yang sangat penting bagi orang lain. Terutama saudara kita yang jauh. Namun sayang, karena ketidaktahuan akan peran penting kita, kita tidak memanfaatkannya. Peran apa itu?

Kita bisa membantu saudara yang jauh dengan doa. Kita mendoakan kebaikan bagi mereka. Allah Maha Pemurah, Allah jadikan doa seorang muslim bagi saudaranya dari tempat jauh sebagai doa yang mustajab.

Dari Abu Darda radliyallahu anhu, dia berkata bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak di hadapannya, maka malaikat yang ditugaskan kepadanya berkata, Aamiin, dan bagimu seperti yang kau doakan”. (HR. Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa hadits tersebut menjelaskan tentang keutamaan seorang muslim mendoakan saudaranya dari tempat yang jauh, jika seandainya dia mendoakan sejumlah atau sekelompok umat Islam, maka tetap mendapatkan keutamaan tersebut. Maka ulama ketika berdoa untuk diri mereka sendiri, mereka menyertakan saudaranya dalam doa tersebut. Karena disamping terkabul dia akan mendapatkan sesuatu semisalnya.

Mendoakan kebaikan bagi saudaranya dari tempat yang jauh dan tanpa diketahui oleh saudara yang didoakannya tersebut, maka InsyaAllah doa tersebut lebih berpotensi dikabulkan oleh Allah. Sebab doa yang tidak diketahui oleh orang yang didoakan, lebih mendekat ke ikhlas. Karena jauh dari riya dan sumah dan jauh pula dari berharap balasan orang yang didoakan. Doa seperti ini lebih diterima Allah.

Allahu Alam.

Ibu yang Berjihad Meski Bukan di Medan Perang

SUATU hari Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam menjenguk ‘Ubadah ibn Al-Shamith yang sedang sakit. Beliau bertanya, “Tahukah kalian, siapa orang yang mati syahid dari umatku?”

Orang-orang yang ada di sana diam saja. Lalu, ‘Ubadah berkata, “Bantulah aku untuk duduk!” Mereka pun menyandarkannya. ‘Ubadah berkata, “Yaitu orang yang sabar dan selalu bersyukur, ya Rasulullah!”

Kemudian beliau berabda, “Jika demikian, para syahid dari umatku jumlahnya sangat sedikit. Orang yang gugur di jalan Allah adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit pes (tha’un) adalah syahid, orang yang mati tenggelam adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit perut adalah syahid, dan ibu yang meninggal karena melahirkan akan ditarik ke surga oleh anaknya.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

Dalam riwayat lainnya, dari Ibn ‘Umar radhiallahu anha: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “Perempuan yang hamil hingga melahirkan dan menyapih anaknya akan mendapat pahala seperti pahala orang yang terluka di jalan Allah. Jika ia meninggal dalam masa itu, ia akan mendapat pahala mati syahid.” (HR Ibn Al-Jauzi)

Hadits ini melukiskan betapa mulianya pengorbanan seorang perempuan dengan diberi ganjaran berupa pahala mati syahid. Bahkan pahala mati syahid ini disetarakan dengan pahala para syuhada yang berperang di medan jihad. Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat peran besar seorang ibu yang rela mempertaruhkan nyawanya di situasi kritis seperti melahirkan.

Semoga kita mampu melaksanakan peranan kita sebagai ibu yang tetap berjihad meski tidak di medan perang, melainkan berjihad untuk mendidik para calon mujahid dan mujahidah agama ini. Selamat berjuang hingga surga diperkenankan Tuhan berada di bawah telapak kaki kita para wanita. [DOS]

Sejarawan Islam Ini Jelaskan Istilah Kafir

Kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Sejarawan Islam, Dr Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan, kata “kafir” berasal dari kata kafaro, dari Bahasa Arab yang artinya menutup. Dia mengatakan, kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Tiar mengatakan, istilah kafir tidak hanya berarti orang non-Islam. Kata kafir atau kufaar (kufaar adalah bentuk jamak dari kafir) dalam Bahasa Arab juga berarti petani. Petani disebut demikian karena mereka menutup galian tanah.

“Petani dalam Bahasa Arab juga disebut kafir/kufaar. Artinya dia adalah orang yang menggali tanah kemudian menutupnya kembali,” kata Tiar Anwar, Ahad (3/3).

Selanjutnya, doktor dari Universitas Indonesia itu menerangkan, dalam internal umat Islam, kata kafir merupakan istilah bagi orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. “Kalau secara istilah, kafir artinya orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. Maka disebutlah kafir (tertutup),” kata Tiar.

Selanjutnya, Tiar Anwar mengatakan, Alquran menggunakan kata kafir secara obyektif. Alquran tidak memiliki tendensi hinaan ataupun kekerasan. Kata kafir merupakan istilah teologis, untuk membedakan orang yang menerima hidayah Allah (Muslim) dan yang menutup diri dari hidayah Allah (kafir).

Anwar menegaskan bahwa istilah kafir hanyalah istilah teologi (akidah Islam). Bukan untuk istilah keseharian di masyarakat. Umat Islam tidak menggunakan istilah kafir sebagai kata sapaan.

“Tidak ada orang Islam yang memanggil orang non-Islam dengan sebutan hai kafir. Kalau dalam keseharian cukup dipanggil namanya saja,” kata Tiar Anwar.

Di sisi lain, Tiar Anwar menambahkan, istilah serupa juga digunakan oleh agama-agama lain. Tiar Anwar menyontohkan, agama kristen menyebut orang yang tidak menerima ajaran Kristen dengan istilah ‘domba yang tersesat’. Hal tersebut lumrah, karena pada dasarnya masing-masing agama memilki istilah untuk menyebut orang di luar agamanya.

 

REPUBLIKA

Melacak Akar Sejarah Kata Kafir di Indonesia?

Khazanah Melayu dan bahasa Indonesia sudah menyerap kata kafir sejak dahulu kala.

Sejak kapan kata kafir dipakai dalam kazanah bangsa Indonesia? Untuk menjawabnya sampai hari publik memang belum banyak tahu, alias masih serba abu-abu. Apalagi bila kemudian merunut penggunaan atau kapan kata itu ’kafir’ diserap dalam kosa kata dalam bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia itu.

Yang pasti penerjemahan Alquran adalam bahasa Indonesia belum terlalu lama. Yang terlihat memang jejak sejarah penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17 M. Sosoknya adalah pada figur Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.

Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari tinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra’uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya terjemahan Alquran karya Abdul Ra’uf Fansuri. Setelah itu, hampir tak ditemukan lagi terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M. Karya tafsir Alquran dia diberinama Tarjuman al-Mustafid.  Para ahli Melayu menegaskan, kitab tafsir Alquran pertama di Nusantara tersebut disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran Alquran.

Tak hanya itu, kitab tafsir tersebeut juga dipergunakan umat Islam di berbagai wilayah yang berbahasa Melayu, misalnya Malaysia dan Singapura. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta  Makkah (al-Amiriah).

Meski terkenal, terjemahan Alquran ini mendapat kritik dari orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje. Katanya, penerjemahan Alquran Abdul Raud Al Singkili  lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-Baidawi,  karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain.

Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh, ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid  karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.

Penerjemahan generasi kedua  di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).

Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. Seperti tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) yang dianggap mewakili generasi ketiga.

Dan setelah itu muncul berbagai karya terjemahan Alquran dari berbagai orang sampai sekarang, termasuk dari penerjamahan dari Kemenag RI. Di sana kata atau istilah ‘kafir’ itu pun tetap ada dan tak diganti.

Sastrawan, pakar sufisme dan guru besar falsafah dan kebudayaan Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM mengaku terkejut bila kata ‘kafir’ dianggap pejoratif bagi kerukunan berbangsa, hubungan antaragama, dan antarmanusa. Apalagi kata ini sudah terserap dan dipakai dalam sastra melayu, sastra Aceh, dan sastra daerah semenjak dahulu kala. Jadi sangat jauh waktunya dari eksistensi formil bahasa Indonesia yang mulai muncul sosoknya secara jelas melalui ‘Sumpah Pemuda’ pada sejak tahun 1928.

Menurut, Abdul Hadi, sejak masuknya Islam di wilayah kepulauan yang kini disebut Nusantara kata ‘kafir’ sudah eksis secara nyata. Fakta itu nyata yakni pada sastra Melayu, yakni melalui berbagai karya Hamzah Fansuri. Di sana dia memakai kata Arab/Alquran itu. Malahan, bila dihitung tercatat lebih dari 3000 kata Arab diserap dalam bahasa Melayu.

“Saat itu, yakni pada abad 16, pun sudah digunakan kata kafir dan kata serapan bahasa Alquran lainya. Ini ada dalam beragaman bentuk puisi, syair, kitab fikh, ajaran keagaman Islam, dan lainnya. Silahkan baca isi kesusateraan lama kita. Berbagai kata itu, termasuk kafir’ sudah ada dan dipakai orang. Di sini memang kadang tidak mengakui dan malas baca asal usul bahasa itu ada yang ada dalam kazanah Islam yang sudah lama. Dan wlaupun ada baca, banyak yang hanya dari pandangan yang aliran sepaham saja,’’ katanya.

Tak hanya kata ‘kafir’, lanjut Abdul Hadi, kata ‘Habib’ pun bukan barang asing atau istilah baru dalam kazanah bahasa di Nusantara. Kata itu sudah dipakai pada abad 16. Di Jawa misalnya ‘habib’ mereka disebut sebagai ‘maulana’. Dan kata habib atau maulana itu dipakai orang untuk tidak hanya menyebut orang dan keturunan Arab dari Hadramaut saja, tapi bagi setiap  orang yang mereka anggap sebagai para pencinta ajaran Rasul Muhammad SAW.’’

Lalu kapan kata ‘kafir’ mempunyai konotasi keras atau pejoratif? Abdul Hadi menjawab itu sejak kolonial Belanda memakai kata ini sebagai lambang perlawaan bagi orang yang menentang eksistensinya sebagai pihak kolonial. Maka kata kafir dipandang sebagai sebutan untuk melawannya.

‘’Jejak kata ‘kafir’ dianggap bermasalah atau pejoratif sejak kata itu dipakai untuk melawan pihak penjajah, Kapan itu, sejak dari fatwa Syekh Abdul Samad al Palembangi pada abad 18. Sejak itu lebih tegas dipakai ulama dan rakyat untuk melawan diberbagai koloni Belanda termasuk untuk meletupkan Perang Jawa (Diponegoro), perang Padri yang kemudian memuncak pada  perang Aceh, dan lainnya. Dalam hikayat Perang Sabi karya Cik Pantekulu, kafir disebut ‘kaphe’,’’ katanya.

Dan  semua tahu, surat dan seruan Abdul Samad Al Palembani yang saat itu menjadi imam di Masjidil Haram dipasang di berbagai masjid di pusat kekasaan Mataram Jawa di Surakarta. Surat yang beredar menjelang Ramadhan ini sangat menggelisahkan pihak kolonial.

‘’Namun sebelum dipakai Syekh Abdul Samad Al Palembangi, sebelum itu kata ‘kafir’ sebagai sarana perlawanan terhadap kolonial, pun sebenarnya sudah dipakai, yakni pada sosok pejuang asal Makasar yang meninggal dan menjadi pahlawan di Afrika Selatan, Syekh Yusuf Al Makasari,’’ ujar Abdul Hadi.

Bahkan, lanjut dia, kata ‘kafir’ itu juga ada di serat Babad Lombok, Babad Madura dan lainnya. Bahkan sudah disebut pula dalam kitab Syamsudin Al Sumatrani, yang kemudian sudah diserap pula dalam bahasa Aceh dan Melayu. “Tak hanya itu, sepengetahuan saya dalam terjemahan Bible dalam bahasa Melayu pada abad 18,  kata kafir juga dipakai untuk orang yang tidak percaya pada ajaan Trinitas).

Lalu bagaimana dengan nasib kata ‘kafir’ di negara lain? Dalam hal ini ada kenyataan yang sangat menarik, yakni bila mengacu pada sejarah umat Islam yang tinggal di Balkan (Bosnia). Ternyata di sana kata  ‘kafir’ itu dipakai dalam masyarakat yang wilayahnya dahulu hidup dalam lingkup Kerajaan Ottoman. Kata kafir di dalam bahasa Balkan (Bosnia) disebut dengan ‘cavir’. Begitu juga kata lain yang identik menjadi pandangan hidup dan ajaran agama Islam seperti iman, azan, mukmin, syariat, syarufm maulana, dan lainnya. Mereka tak menerjemahkan atau menyerap dalam istilah bahasa lokal.

‘’Jadi sama saja dengan yang di Indonesia pun. Di mana banyak kata yang menjadi into ajaran Islam— seperti istilah kafir, iman, shaat, zakat, dan lainnaya — memang di Bosnia tak diterjemahkan. Kata itu merupakan ‘word viewnya’ orang Muslim baik yang ada di Balkan  yang di Eropa dan seluruh negara lainnya,’’ tukas sahabat saya.

Jadi apakah kata ‘kafir’ akan bernasib sama dengan kata ‘fiksi’ dan ‘fiktif’ yang sudah ramai diributkan orang belakangan ini. Ternyata banyak pihak yang salah paham dan bingung memahami? Atau mungkin nasibnya persis dengan kata ‘adil’ yang dalam bahasa Jawa atau bahasa lokal lainnya tak ketemu padan makna dalam satu kata yang sama. Ini persis juga nasib Rafles yang kala itu di Sumatra Timur terkejut dan bingung melihat orang yang tak sadar dan bikin ribut di kerumunan orang di pasar. Kata amuk akhirnya dimasukkan dalam lema Inggris menjadi ‘amock’. Silap kata memang bisa hilang isi kepala –bahkan nyawa– ternyata!

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

 

REPUBLIKA

Apa dan Siapa Kafir Itu?

Kafir adalah mereka yang tertutup hatinya menerima kebenaran, meski seorang Muslim

 

Sebenarnya saya tidak ingin ikut-ikutan membahas soal istilah kafir ini. Toh, saya bukan siapa-siapa. Lagi pula, sudah banyak ormas dan tokoh agama yang berkomentar masalah ini, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), tokoh Muhammadiyah yang juga ketua dewan pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin, juga mantan menteri agama Prof Quraish Shihab, serta lainnya. Tentu penjelasan mereka sangat mendalam (in-depth analysis).

Namun, tak ada salahnya saya mengomentari istilah yang sekarang jadi viral ini. Barangkali apa yang saya kemukakan ada manfaatnya. Dan jika tidak ada manfaatnya, ya nggak apa-apa, silakan diabaikan saja. Kata seorang sahabat, melakukan sebuah tindakan lalu salah, itu lebih baik daripada tidak melakukan tindakan dan benar. Lebih parah lagi, tidak melakukan tindakan sama sekali dan salah. Karena itu, saya akan mencoba mengomentari istilah kafir ini, dengan sedangkal-dangkalnya pemahaman saya.

Sahabat!

Kita sudah sering kali mendengar dan bahkan menyebutkan bahwa orang yang tidak beragama Islam itu sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan makna ini turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, hingga pada akhirnya kita pun menerimanya taken for granted,dan tanpa memeriksanya lagi. Seolah, istilah itu sudah tepat, sehingga terkesan tidak mau ambil pusing dengan hal yang sesungguhnya.

Andai saja kita mau membuka kitab suci kita, yakni Alquran, kita pasti akan menemukan maknanya. Meskipun hanya melalui terjemahannya saja. Sebab, istilah ‘kafir’ itu sama sekali tidak berkaitan dengan perbedaan agama.

Baik, sebelum masuk pada pembahasan inti, ada baiknya kita bahas dulu tashrif dari kata ‘kafir’ ini. Dalam bahasa Arab, kata ‘kafir’ berasal dari akar kata isim fail tsulasi mujarrod dari wazan (kata) ‘kafara-yakfuru-kufran’, yang artinya menutup. Dan orang yang menutup (isim fail), disebut dengan ‘kaafir’ (kaf, alif, fa, dan ra). Ini makna secara bahasa. Kata ‘kafara’ ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris dengan kata ‘cover’ yang artinya penutup.

Ada pun kata ‘kafir’ secara istilah, bisa kita perhatikan penyebutannya dalam Alquran. Ada banyak sekali Alquran menyebutkan kata ‘kafir’ ini. Baik dengan kata kaafir, kaafirun, kufr, yakfuruun, maupun lainnya. Berikut beberapa contohnya.

Misalnya dalam surah al-Baqarah [2] ayat 6-7.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”

“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”

Makna kafir dalam kalimat di atas, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, disebutkan; Innal ladziina kafaruu, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Alquran yang engkau datangkan kepada mereka.

Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (QS. Yunus: 96-97).

Kemudian dalam ayat ke-7 surah Al-Baqarah disebutkan, Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah “Allah mengunci mati.” Menurut Qatadah, ayat ini bermakna “setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya”. Jadi, makna dari kata ‘kafir’ pada ayat tersebut adalah menutup diri dalam menerima kebenaran.

Secara lebih perinci bisa kita simak dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 100-101.

“Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.” “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (‘memerhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat surah al-Kahfi ini, kita dapatkan definisi dari kata ‘kafir’. Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar kebenaran sejati (al-Haqq).

Jika demikian, apakah orang yang kebetulan telah lanjut usia lalu mengalami ketulian atau buta, bisa dikatakan kafir? Atau, jika kebetulan seseorang ditakdirkan dalam keadaan tuli atau buta sejak lahir, apakah bisa dikatakan dirinya sebagai orang kafir? Sementara keinginan untuk lahir menjadi buta atau tuli bukanlah keinginannya sendiri. Jawabannya tentu saja tidak bisa demikian. Sebab, setiap orang diberi kesempatan untuk mendapatkan hidayah.

Lalu, apa maksud dari ayat 100-101 surah Al-Kahfi tersebut? Kita bisa lihat pada surah al-Hajj [22] ayat ke-46. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Nah, berdasarkan keterangan ayat ini, maka dapat kita tarik definisi bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, melainkan mereka yang mata (hati), telinga (hati) yang di dalam dadanya tidak berfungsi dalam melihat al-Haqq (kebenaran sejati). Ia melihat alam semesta, tetapi tidak bisa melihat kebesaran Allah pada alam semesta. Ia mendengar suara, tetapi ia tidak mendengar suara kebenaran sejati. Yang dimaksud dengan mata dan telinga disini adalah apa yang ada di dalam dada/jiwa (shudur, nafs), bukan liver atau jantung.

Sahabat!

Setiap tubuh manusia terdiri atas tiga hal, yakni ruh, nafs (jiwa), dan jasad. Nafs (jiwa) inilah yang diabadikan dalam surah al-A’raf [7] ayat 172 saat kita bersumpah di hadapan Allah bahkan Dia-lah yang Maha Besar. “A lastu bi rabbikum? Qaalu Balaa syahidna (Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ia menjawab; Benar, (Engkau Rabb kami) dan kami menyaksikannya).

Nafsun (nafs) atau jiwa inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat oleh Allah SWT. Sedangkan jasad akan hancur menjadi tanah (sebagaimana awal kejadiannya), dan ruh akan kembali kepada Allah. Apa yang akan dilakukan ruh? Tak ada yang tahu, karena itu adalah urusan Allah. Lihatlah surah al-Isra [17] ayat 85. “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah’ “Sesungguhnya ruh itu adalah urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) kecuali hanya sedikit.” (QS [17]: 85).

Kembali lagi kepada istilah ‘kafir’, merujuk pada keterangan berbagai ayat di atas, tampak jelas bahwa kafir bukanlah karena perbedaan agama (an-sich), melainkan hati dan pendengaran mereka yang telah tertutup terhadap kebenaran yang ada. “…Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.”

Lihat lagi surah al-Baqarah [2] ayat 6-7; “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Apakah ayat ini menegaskan tentang orang yang tidak beragama Islam itu kafir? Tentu tidak. Karena dari keterangan surah al-Baqarah tersebut, yang disebut dengan kafir itu adalah konteks ketertutupan qalb (hati), dan bukan dalam konteks perbedaan agama. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi (ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan). Kalau demikian, berarti ruhani seseorang yang tidak menerima Islam sebagai kebenaran, berarti dia kafir? Oh, tentu saja tidak. Lihatlah surah al-Baqarah [2] ayat 62 dan al-Hajj [22] ayat 17.

“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS [2]: 62).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS [22]: 17).

Di dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa orang yang beriman, orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in, dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta beramal saleh, mereka itulah orang yang akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

Jadi, secara sederhana bisa kita katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb (hatinya) masih tertutup dari Al-Haqq (kebenaran Ilahi), dan tidak secara langsung terkait dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.

Apakah orang Islam yang tidak menjalankan perintah agamanya bisa disebut dengan kafir? Mungkin saja. Lihatlah surah al Hujurat [49] ayat 14. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (aslamna)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Apakah orang yang tidak beragama Islam semuanya tidak beriman? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini dalam Alquran. “Dan sesungguhnya di antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.” (QS. Ali Iman [3]:199).

Juga pada ayat 113-114, surah Ali Imran [3];

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran [3]:113-114).

Bahkan dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW mengatakan; “Dari Abu Ja’d Adh-Dhomri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meninggalkan tiga kali Jumatan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat Imam Muslim, hadis ini berbunyi: “Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbarnya: “Hendaknya orang yang suka meninggalkan Jumatan itu menghentikan kebiasaan buruknya, atau Allah akan mengunci mati hatinya, kemudian dia menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim).

Maksud mengunci mati hatinya adalah Allah menyegelnya, menutupinya, mencegah hati tersebut memperoleh Luthfun (kelembutan) dari Allah, memberi hati tersebut kebodohan, sifat kasar, keras hati atau menjadikannya hati orang munafik/hipokrit. Demikian dikatakan al-Manawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir, Vol. 6, hlm 102).

Karena itu, kita bisa melihat bahwa kafir itu sesungguhnya bisa saja menimpa dan dialami umat Islam. Salah satunya, jika ia berulang kali (maksimal tiga kali) meninggalkan shalat Jumat. Merujuk pada keterangan ini, sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah ‘kafir’ adalah mereka yang telah tertutup hatinya menerima kebenaran, sekalipun mereka menjadi seorang Muslim. Allahu a’lam.

Secara umum, kafir itu bertingkat-tingkat, terutama dari caranya memahami kebenaran. Ada yang kafir mutlak, yakni sama sekali tidak bisa menerima dan memahami kebenaran (Al-Haqq), sedikit memayaminya, cukup memahami, atau bahkan sangat memahami. Dan kadar kekufuran itu juga demikian, tergantung bagaimana ia mampu memahami kebenaran (Al-Haqq) tersebut.

Mari kita perhatikan lagi surah al-Hujurat [49]: 14-18; “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (aslamna), ‘ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (14) Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar. (15) Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (16). Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (17) Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hujurat [49]: 14-18).

Karena itu, orang yang beriman/iman (memercayai, meyakini kebenaran/al-Haqq), setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan Islam (tunduk). Beriman itu masuk ke dalam hati (nafs/jiwa). Sedangkan seseorang yang telah ber-Islam, namun belum tentu dia memiliki iman. Dan lawan kata dari iman (percaya) adalah ‘kafara’ atau kafir, mengingkari atau menutup diri dari kebenaran al-Haqq.

Lalu bagaimana dengan istilah withuniyah (warga negara)? Menurut pemahaman saya yang faqir ini, tentu saja istilah tersebut sifatnya berbeda. Sebutan atau istilah withuniyah sangat terkait dengan kewarganegaraan. Siapa pun orangnya yang tinggal dalam suatu negara, ya dia berarti warga negara.

Apakah setuju dengan penyebutan istilah kafir pada orang yang berbeda agama dengan saya? Tentu saja tidak. Di atas sudah penulis jelaskan, bagaimana penyebutan kafir itu. Penulis lebih nyaman dengan istilah non-Muslim, karena memang faktanya berbeda agama. Saya Muslim dan mereka bukan Muslim (non-Muslim, ghairul muslimin). Soal keyakinan, kita kembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui.

Dan yang paling penting lagi, kita tidak boleh sembarangan bahkan serampangan menyebut seseorang dengan istilah kafir (takfir). Ingatlah hadis Nabi Muhammad SAW; “Barang siapa yang menuduh saudaranya (sesama Muslim) dengan sebutan ‘wahai kafir’, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satunya.” (HR Bukhari, No. 5752).

Bahkan, dalam Piagam Madinah, tak ada satu pun kata yang menyebutkan istilah ‘kafir’ kepada kelompok yang berada di luar Islam. Perjanjian antara Rasulullah, Kaum Muslimin, dan Yahudi itu, lebih banyak menyebut orang Yahudi. Sedang bagi penduduk Madinah yang belum menjadi Muslim, disebut dengan warga atau penduduk Madinah.

Allahu a’lam bish-shawab.

— Jagakarsa, 6 Maret 2019

Oleh: Syahruddin El-Fikri

 

 

REPUBLIKA

Tiga Teknologi Penyelenggaraan Haji

Penyelenggaraan haji selalu diwarnai dengan inovasi yang tak terpikirkan. Ada saja pembaruan yang terlihat pada infrastruktur situs suci, sehingga lebih memudahkan umat Islam melaksanakan rukun Islam kelima.

Contohnya adalah penutupan sumur zamzam di dekat Ka’bah. Semula jamaah haji bisa mencapai sana dan menimba langsung air zamzam. Namun, kini sumur tersebut dikelola secara profesional.

Area masjid suci juga semakin diperluas, mulai dari pintu King Fahd, King Abdullah, dan yang terakhir adalah King Salman. Bangunan yang terakhir adalah perluasan yang luar biasa. Di dalamnya terdapat toilet dan tempat wudhu yang didesain dengan teknologi mutakhir.

Nyaman untuk jamaah lanjut usia dan juga muda. Tak hanya itu. Masih ada sejumlah inovasi penyelenggaraan haji yang diproyeksikan oleh Kerajaan Arab Saudi. Berikut ulasannya

Teknologi Haji

Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi telah merilis sebuah video yang memberikan gambaran bagaimana teknologi akan mengubah cara masyarakat melakukan haji dan umrah pada 2030.

Video itu menunjukkan bahwa di masa depan, setiap orang yang pergi haji atau umrah akan diberikan kartu identitas digital bersama dengan gelang elektronik dan lubang suara. Cukup dengan menggesek kartu identitas di bandara jamaah akan terdaftar di Bea Cukai dan imigrasi.

Peziarah juga akan dapat menggunakan kartu tersebut untuk menumpangi kereta berteknologi tinggi yang mengantarkan mereka dari Makkah ke Madinah atau sebaliknya. Juga bisa untuk menumpangi bus dan memesan kamar hotel. ¦

Teknologi Komunikasi

Ketika jutaan orang mencapai Arab Saudi selama musim haji, salah satu tantangan terbesar adalah mempertahankan komunikasi yang efektif. Karena banyak jamaah tidak dapat memahami bahasa apa pun selain bahasa ibu mereka.

Di situlah earpiece berguna. Alat ini akan menerjemahkan percakapan jamaah secara langsung, sehingga memudahkan para peziarah dan penyelenggara di lapangan untuk berkomunikasi.

Lubang suara dan gelang yang terhubung secara digital juga akan membantu para peziarah mengingat – kan mereka apa doa yang harus dibaca atau berapa kali mereka telah mengelilingi Ka’bah selama thawaf.

Memudahkan Pencarian Orang

Teknologi tadi juga akan memudahkan para petugas untuk mencari jamaah yang hilang. Dengan gelang misalkan, penyelenggara haji baik dari Kerajaan Saudi atau petugas dari masing-masing negara asal jamaah dapat cepat mendeteksi keberadaan jamaah hilang. Kemudian langsung mencarinya.

Jamaah juga bisa dengan mudah mencapai tempat- tempat yang diinginkan, sehingga mereka tidak tersesat. Namun, inovasi semacam ini membutuhkan sosialisasi yang masif.

Keutamaan Melaksanakan Ibadah Umrah

Melaksanakan umrah merupakan bagian bukti keimanan Muslim dalam memenuhi panggilan Allah SWT. Ibadah umrah juga dapat menyiasati lamanya daftar tunggu haji saat ini.

Begitu banyak keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada hambanya yang melaksanakan ibadah umrah atas dasar keimanan. Ustaz H Hasbullah menyampaikan, di antara keutamaan yang didapat oleh umat Nabi Muhammad SAW yang melaksanakan umrah adalah dihapusnya dosa seorang hamba oleh Allah SWT.

“Antara umrah yang satu dan lainnya, itu akan menghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasannya melainkan surga,” HR Al Bukhari dan Muslim.

Selain mendapat penghapusan dosa, keutamaan lain menjalankan ibadah umrah adalah mendapat pahala silaturahmi. Rasulullah SAW dalam hadisnya mengatakan, “Barang siapa yang menziarahiku setelah aku meninggal sama dengan menziarahiku semasa hidupku.”HR Al-Baihaqi, Syu’ab Al-Iman.

Dari Abu Hurairah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabad “Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu kali shalat di tempat lain, kecuali Masjid Al-Haram” HR.Al-Bukhari. Dan shalat di Masjid Al-Haram lebih utama dari seratus ribu kali shalat. (Imam Suyuti,Syarah Ibn Majah). Atas dasar itulah ibadah umrah begitu diminati umat Islam selain ibadah haji yang saat ini daftar tunggunya mencapai puluhan tahun.

 

IHRAM REPUBLIKA

Tersenyumlah…

SEMOGA Allah Swt Yang Maha Mendengar setiap bisikan yang ada di dalam hati kita, menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa antusias menjaga kebersihan hati. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Saw.

Tersenyum adalah hal sederhana, malah sering dipandang sebagai hal yang remeh. Namun, jika tersenyum dilakukan dengan ikhlas dan dengan cara yang benar, ia bisa bernilai ibadah. Subhanallah, betapa lengkapnya Islam ini, hingga hal-hal kecil pun mendapat perhatian luar biasa.

Senyum adalah perbuatan ringan yang berdampak besar. Senyuman yang tulus bisa mencairkan suasana di antara dua orang yang sedang bermusuhan. Senyuman yang tulus pun bisa menularkan kebahagiaan pada orang-orang di sekitar kita. Senyuman yang tulus bisa mengeratkan persaudaraan.

Rasulullah Saw adalah orang yang paling banyak tersenyum dan paling baik senyumannya. Abdullah bin Al Harits bin Jazi pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak senyumannya selain Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.” (HR. Tirmidzi)

Bertemu dan bertegur sapa dengan orang lain sambil tersenyum jauh akan lebih menentramkan daripada sambil cemberut. Bermuka masam selain menimbulkan rasa tidak enak bagi orang yang sedang kita hadapi, juga merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah Swt.

Bahkan, Allah Swt pernah mengingatkan Rasulullah Saw agar tidak bermuka masam kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abdullah Ibn Ummi Maktum yang buta. Singkat kisah, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah Saw sedang berdialog dengan para pemuka kaum Quraisy. Lalu, datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum yang meminta kepada Rasulullah Saw untuk diajarkan ayat-ayat Al Quran.

Masih menurut keterangan Ibnu Abbas, mungkin karena merasa terganggu dengan kedatangan Abdullah, Rasulullah Saw tidak sempat menghiraukan permintaan Abdullah itu. Nampak, wajah Rasulullah Saw agak masam dan melanjutkan dialognya dengan para pemuka Quraisy itu.

Kemudian, Allah Swt secara halus mengingatkan Rasulullah Saw dengan firman-Nya, “Dia bermuka masam dan berpaling. Karena datang kepadanya orang buta itu. Padahal adakah yang memberitahumu boleh jadi dia akan jadi orang yang suci.” (QS. Abasa [80] : 1-3).

Setelah ayat ini turun, barulah Rasulullah Saw tersadar akan kekhilafannya. Sejak peristiwa itu, Abdullah bin Ummi Maktum menjadi orang yang sangat disayangi oleh Rasullah Saw. Setiap kali beliau berhadapan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum, beliau selalu menghadapinya dengan wajah yang berseri penuh senyuman. Ya, Rasulullah Saw. tersenyum tulus meski di hadapan sahabatnya yang buta. Subhanallah!

Saudaraku, ketika kita terjebak kemacetan, kemudian ada pengendara lain yang nampaknya menyerobot jalan atau menghalangi jalan kita, tentu kita merasa kesal. Tidak heran kalau ada yang melontarkan umpatan atau makian hingga kata-kata kasar. Tidak jarang juga yang berujung pertengkaran.

Padahal, jika mau sedikit saja menahan diri, melontarkan teguran secara hangat sembari memberikan senyuman, niscaya itu lebih produktif. Untuk diri kita sendiri hal itu bisa menurunkan ketegangan. Untuk orang lain hal itu bisa menentramkan suasana. Dua situasi yang sangat berbeda disebabkan satu hal yang sederhana. Maka, tebarkanlah senyuman.

Akan tetapi, hati-hati juga dengan senyuman. Jangan pula mengumbar senyuman kepada orang yang tidak tepat. Misalnya mengumbar senyuman kepada lawan jenis yang bukan mahram. Selain bisa menimbulkan fitnah, hal ini bisa menjadi pintu bagi kotornya hati kita. Selain itu, tahan pula diri kita dari tersenyum sinis. Karena senyuman sinis hanya akan menyinggung hati orang lain dan menimbulkan permusuhan.

Tersenyumlah secara tulus, proporsional dan dengan cara yang benar. Jangan tersenyum dengan dibuat-buat hanya demi menyenangkan hati atasan, atau demi memikat calon konsumen agar membeli dagangan kita. Tersenyumlah hanya karena mengharap ridha Allah Swt. Tersenyumlah dengan niat ibadah. Senyum yang tulus karena Allah akan bernilai ibadah karena termasuk sedekah.

Rasulullah Saw bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Semoga Allah Swt. mengkaruniakan kebersihan hati kepada kita agar senantiasa semangat menebarkan keceriaan dan senyuman. Sehingga tali persaudaraan di antara kita semakin erat. Aamiin ya Allah ya Rabbal aalamiin.[smstauhiid]

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar 

 

 

Umrah Wajib Bagi yang Telah Penuhi 5 Kriteria Ini

Ibadah umrah menjadi alternatif bagi seorang Muslim yang belum mampu melaksanakan rukun Islam kelima (haji) karena beberapa hal. Umrah layaknya haji menjadi wajib rukunnya bagi seorang hamba yang sudah mampu secara finansial.

Apalagi waktu pelaksanaan umrah cukup panjang dan banyak jasa keuangan memberikan fasilitas pinjaman untuk berangkat umrah. Sehingga tidak ada alasan umat Muslim tidak bisa berumrah.

Ustaz H Hasbullah mengatakan, hukum umrah menjadi wajib ketika seorang Muslim telah memenuhi lima kriteria. Kelimanya adalah Islam, berakal, baligh, merdeka bukan budak atau hamba sahaya, dan kelima mampu. “Syarat mampu dibagi menjadi dua bagian,” kata H Hasbullah dalam bukunya Tanya Jawab Umrah.

Pertama, syarat mampu bagi laki-laki dan kedua syarat mampu bagi perempuan. Syarat mampu bagi laki-laki, pertama memiliki biaya ibadah umrah, kedua bekal pulang pergi dan ketiga sehat badan, keempat aman dalam perjalanan.

Sementara syarat mampu, khsus bagi perempuan. Pertama suami atau mahramnya (lelaki yang haram menikahnya dan dalam hal ini harus mahram permanen, baik lewat pertalian darah, susan atau pernikahan).

“Demikian menurut mazhab Hanafi dan Hanbali dalilnya “Bahwa Nabi SAW bersabda janganlah seorang perempuan melakukan perjalanan selama tiga hari,  kecuali di didampingi mahramnya,” kata H Hasbullah mengutip HR Ibnu Umar.

Menurut ulama Syafiyyau, seorang wanita boleh pergi haji umrah jika bersama dengan wanita lain yang dapat dipercaya, walaupun tanpa mahram. Juga Mazhab Maliki membolehkan, jika bersama rombongan wanita atau rombongan laki-laki, atau gabungan rombongan laki-laki bersama perempuan.

Kedua sedang dalam masa iddah. Baik iddah talak atau iddah ditinggal wafat oleh suami. Apakah umrah wajib disegerakan saat sudah mampu atau boleh ditangguhkan Menurut Mazhab Syafi’i disunahkan untuk dilaksanakan segera apabila sudah terpenuhi syarat-syaratnya karena menyegerakan kebaikan adalah baik. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 14: “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.”

Menurut mazhab Habali wajib disegerakan jika sudah terpenuhi syarat-syarat, berdosa jika menangguhkan tanpa uzur.

Ada perbedaan di antara ulama mengenai hukum umrah. Pendapat pertama umrah menurut ulama mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah muakkad.

Dalilnya adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan dari Jabir RA bahwa Nabi SAW, ketika ditanya mengenai hukum umrah, apakah itu wajib? Nabi menjawab tidak wajib, tapi itu adalah suatu keutamaan. “Haji adalah jihad dan umrah adalah tathawwu(sunah).”

Pendapat kedua menurut mazhab Syafii dan Hanbali demikian juga dari kalangan shabat Umar bin Khattab Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan lainnya bahwa umar wajib bagi orang yang mampu minimal sekali seumur hidup dan disunahkan memperbanyaknya. Dalilnya ada dalam surah al-Baqarah ayat 196.

“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah.” H Hasbullah mengatakan, makna ayat ini telah laksanakan keduanya (haji dan umrah) secara sempurna. Dan hakikat perintah menghendaki wajib.