Riya sebagai Perusak Ikhlas

SESEORANG masih bisa digoda oleh setan dalam beramal soleh. Bila tidak melalui amalannya yang dirusak (ditambah atau dikurangi, menyelesihi sunnah Nabi), setan menggoda seseorang melalui niat saat ia beramal.

Ikhlas untuk Allah adalah sebenar-benar niat seseorang dalam beramal. Tapi setan tidak pernah rela seseorang mendekatkan diri kepada Allah melalui amal shaleh. Segala upaya akan dilakukan setan agar seseorang tidak mendekat kepada Allah, atau agar rusak amal ibadahnya tersebut.

Dari sektor niat, setan akan membisikkan sekaligus membelokkan niat amal ibadah seseorang. Bila niat ikhlas adalah tujuan yang benar, maka setan akan membelokkan niat tersebut dengan membisikkan niat selain ikhlas. Maka orang tersebut menduakan niat karena Allah dan niat karena selain Allah. Otomatis rusaklah ibadahnya. Ia beramal atau beribadah untuk selain Allah pula. Ia telah melakukan riya.

Riya sendiri didefinisikan oleh ulama sebagai melakukan ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia, sehingga orang yang riya mencari pengagungan, pujian, harapan atau rasa takut terhadap orang yang dia berbuat riya karenanya.

Nabi shalallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita tentang bahaya riya. Sabda beliau, “Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasulullah?”. Rasulullah bersabda, “Riya. Pada hari kiamat, ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah subhanahu wataala akan berfirman, “Pergilah kepada orang yang kamu dahulu waktu di dunia berbuat riya kepadanya, dan lihatlah apakah kamu dapatkan balasan (pahala) darinya”.

Maka inilah pentingnya mempelajari niat. Setelah tahu tentang niat, maka hendaknya kita mengetahui tipu daya setan dalam menenggelincirkan kita melalui niat. Semoga Allah menjaga niat ikhlas kita dalam beribadah. [*]

 

INILAH MOZAIK

Demokrasi Itu Rahmat, Bukan Laknat

Jangan rusak keindahan demokrasi dengan tindakan yang tak benar.

 

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَـٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِی ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَاۤءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَاۤءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاۤءُۖ بِیَدِكَ ٱلۡخَیۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَیۡءࣲ قَدِیرࣱ

Surat Ali ‘Imran 26

Artinya:

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Sahabatku tercinta yang dirahmati Allah SWT…

Kenapa kita sibuk bertengkar dengan hal-hal yang tak patut. Rasa dan kehalusan budi, etika dan kesantunan akibat perbedaan pilihan seakan mengirab entah kemana. Hilang ditelan suasana saling hujat, saling caci, saling hina dan saling serang…

Wahai…..

Sadarkah kita, bahwa semua apapun diatas dunia ini sudah diatur oleh Allah SWT. Siapa menjadi apa, siapa mau kemana, siapa berjodoh dengan siapa, termasuk siapa yang akan jadi pemimpin kita, semuanya telah diatur oleh Allah. Jadi, jangan campuri urusan Allah dengan saling benci akibat beda pilihan. Saling serang akibat perbedaan jagoan. Tetaplah kesantunan dijaga sebagai sesama manusia, apatah lagi sesama Muslim. Kenapa harus saling serang, saling tendang dan saling perang?

Pertanyaannya, untuk apakah itu semua? Apakah ada untungnya? Apakah ada faedahnya?  Kita ini kan hanya memilih pemimpin. Siapapun calonnya sekarang, secara jujur kita akui, merekalah putra terbaik bangsa saat ini. Siapapun terpilih nantinya, mari kita dukung bersama dengan penuh suka cita.

Demokrasi itu adalah rahmat, bukan laknat. Jangan rusak keindahan demokrasi dengan tindakan yang tak benar. Jangan rusak kebangsaan kita gara-gara beda pilihan. Jangan rusak ukhuwwah kita gara-gara tak sepemahaman…

Makanya, sekali lagi saya mengingatkan kepada saudara-saudara saya, bahwa sesungguhnya siapapun pemimpin kita nantinya, itu adalah keputusan Tuhan, keputusan Allah,  skenarionya Sang Khaliq, ketetapan Sang Pencipta. Lalu kenapa kita seperti perang Badar antarsesama?

Ketetapan Allah SWT itu telah ada dan itu pasti, kita hanya menjalaninya saja tak berdaya. Jagalah lisan dan perbuatan antarsesama. Gunakanlah hak pilih dengan sebaik-baiknya di ruangan tempat pemungutan suara (TPS) dengan rahasia. Imbau sahabat dan tetangga untuk gunakan hak pilihnya, ajak mereka ke TPS untuk memilih wakil dan presidennya…

Ingatlah sahabat, kita hanyalah boneka dari sang sutradara nan Maha Hebat yaitu Sang Pengatur Alam Semesta, yaitu Allah SWT…

Yuuuk, mari kita ciptakan Pemilu yang damai sambil bergembira ria. Mari dewasa dalam berdemokrasi dan ciptakan pesta demokrasi nan ceria…

Ingat, Demokrasi itu rahmat, bukan laknat…

 

Oleh: Jasman Rizal, Kabiro Humas dan Protokol Pemprov Sumbar

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bagaimana Menyambut Hadirnya Bulan Ramadhan?

PERMATA diletakkan dan disimpan dalam wadah yang bersih dan indah. Anugerah terindah dipersembahkan pada mereka yang mempersiapkan diri untuk layak mendapatkannya. Kemuliaan dan keindahan Ramadhan hanya bisa diperoleh oleh mereka yang membersihkan hatinya, membersihkan badannya dan membersihkan amalnya.

Ibnu Mas’ud, sahabat Rasulullah, pernah ditanya: “Bagaimanakah cara kalian semua menyambut Ramadhan?” Beliau menjawab: “Tak seorangpun dari kami itu tiba pada bulan Ramadhan kecuali hatinya telah bersih dari kedengkian.” Ini bermakna bahwa mereka menyambut Ramadhan dengan kebersihan diri. Begitu luar biasanya mereka. Hapuslah dengki dan dendam, buanglah permusuhan.

Proyek pembersihan hati ini dilengkapi pula dengan tawbat dan istighfar. Ketahuilah bahwa dosa merupakan penghalang utama hadirnya kebahagiaan. Ketahuilah bahwa belenggu masalah semakin menguat dan tak pernah lepas dari kehidupan kita adalah karena dosa dan kesalahan kita yang belum terampuni. Ingin bahagia? Bertaubatlah. Baca QS An-Nur ayat 31.

Demikian poin pertama dari empat poin cara menyambut bulan Ramadlan yang dicontohkan orang-orang shalih pada jaman dahulu. Marhaban Yaa Ramadhan. Salam, AIM. [*]

Oleh : KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Apa Saja Delapan Pintu Rezeki?

Ada delapan pintu rezeki yang disebutkan dalam Alquran

Allah SWT adalah satu-satunya Zat Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Dia memberikan rezeki kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Dia menyuruh umat manusia untuk banyak-banyak bersyukur, jangan kufur nikmat yang mana justru dapat mendatangkan murka-Nya.

Dalam hidup ini, seseorang kadang diberikan kelapangan rezeki. Sebaliknya, terkadang rezeki dirasakan sempit, sehingga orang yang lemah hatinya kemudian berkeluh-kesah. Padahal, pintu-pintu rezeki amat luas.

Berikut ini adalah penjelasan Alquran tentang delapan pintu rezeki, sebagaimana dilansir dari lama resmi organisasi masyarakat (ormas) Persatuan Islam yang diakses Ahad (28/4).

 

Rezeki yang Telah Dijamin

Dalilnya adalah Alquran surah Hud ayat enam. Artinya, “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” Sebagai contoh, seorang anak yatim piatu akan tetap hidup sampai besar, padahal orang tuanya telah tiada. Allah membuatnya bertemu dengan pihak panti asuhan atau keluarga lain yang bersedia mengurusnya.

 

Rezeki Hasil Usaha

Dalilnya adalah surah an-Najm ayat ke-39. Terjemahannya, “Dan bahwasannya seorang manusia tiada memeroleh selain apa yang telah diusahakannya.” Misalnya, bangsa-bangsa yang maju di dunia hari ini karena keuletan pemerintah dan rakyatnya dalam berusaha. Bandingkan dengan bangsa-bangsa yang miskin karena pemerintah dan rakyatnya yang kurang berinisiatif, padahal tanahnya subur.

 

Rezeki karena Bersyukur

Alquran surah Ibrahim ayat tujuh menjelaskan hal itu. Artinya, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Misalnya, suatu negeri yang menerapkan syariat Islam secara utuh karena pemimpin dan rakyatnya bersyukur atas nikmat Allah. Selanjutnya, negeri itu menemukan ladang energi gas baru dengan kapasitas yang banyak.

 

Rezeki tak Terduga

Surah at-Thalaq ayat dua dan tiga telah menegaskannya. Terjemahannya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” Misal, kondisi geografis Makkah dan Madinah cenderung gersang. Namun, siapa sangka pada abad modern ditemukan kandungan minyak yang begitu banyak di bawah tanah Arab Saudi, sehingga penduduk dua kota itu merasakan manfaat yang besar.

 

Rezeki karena Istighfar

Alquran surah Nuh ayat 10 dan 11 menjelaskan pentingnya memohon ampun kepada Allah. Terjemahannya, “Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat.” Sebagai gambaran, yakni kaum Nabi Yunus. Mereka bertaubat kepada Allah, sehingga Dia mengaruniakan kepadanya kemakmuran berpuluh-puluh tahun lamanya.

 

Rezeki karena Menikah

Menikah tak sekadar sebagai jalan yang mulia untuk menyalurkan hasrat biologis. Menikah juga menyimpan hikmah bagi mereka yang berharap rezeki nan berkah. Surah an-Nur ayat ke-32 telah memaparkan hal itu.

Artinya, “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak dari hamba sahayamu, baik laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, maka Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Ambil contoh, pasca-hijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah), Abdurrahman bin Auf dalam beberapa waktu belum menikah. Setelah menikah, dia berangsur-angsur menjadi pedagang yang kaya raya lagi, seperti halnya sebelum hijrah.

 

Rezeki karena Anak

Anak-anak merupakan karunia Allah yang begitu besar. Keberadaan mereka juga dapat mendatangkan rezeki yang berkah. Karena itu, Alquran telah menegaskan larangan menolak hadirnya buah hati. Lihat surah al-Isra ayat ke-31. Artinya, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang akan menanggung rezeki mereka dan juga (rezeki) bagimu.” Sebagai contoh, Nabi Yakub waktu masih muda hijrah dari rumahnya. Dia pun menjadi pengembala kambing. Setelah menikah dan memiliki 12 orang anak, justru kambing-kambingnya makin bertambah banyak.

 

Rezeki karena Sedekah

Dalam surah al-Baqarah ayat ke-245, Allah berfirman. Artinya, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” Sebagai misal, salah seorang sahabat yang mulia, Utsman bin Affan. Dia pernah berinfak dengan hartanya. Sampai kini, namanya tercatat sebagai pemilik warisan dan tabungan, bahkan terekam di salah satu bank syariah di Arab Saudi.

Demikianlah, hidup seorang Muslim hendaknya tak diliputi kekhawatiran dalam urusan rezeki. “Kalaulah anak Adam lari dari rezekinya, sebagaimana dia lari dari kematian, niscaya rezekinya itu akan mengejarnya sebagaimana kematian itu akan mengejarnya,” itulah sabda Nabi Muhammad SAW.

Sumber : Persatuan Islam (Persis)

 

REPUBLIKA

Akhlak Nabi Muhammad di Kala Perang dan Menang

Nabi Muhammad SAW memberikan contoh teladan yang agung

Dalam buku Muhammad: His Character and Conduct(2003), Adil Salahi memaparkan tentang budi pekerti Rasulullah SAW di masa peperangan. Pada dasarnya, Rasulullah SAW memaklumkan perang hanya sebagai siasat mempertahankan diri kolektif umat Islam dari serangan militer kaum kafir.

Tidak pernah satu pun perang di masa hidup Rasulullah menjadi jalan penjajahan kaum Muslim atas non-Muslim. Pasca Perang Badar, misalnya, Allah meletakkan kemenangan di atas kubu Muslimin. Pasukan Islam mendapati 70 tawanan perang.

Hal pertama yang diutamakan Rasulullah SAW adalah soal akhlak. Saat ditanya apakah yang harus dilakukan terhadap para tawanan, Rasulullah SAW menjawab perlakukanlah mereka dengan baik. Jangan menyiksa mereka. Berikanlah makanan dan minuman kepada mereka secara saksama.

Pemimpin paripurna ini lebih memilih memaklumkan tebusan kepada pihak musuh untuk menebus beberapa dari mereka. Sejumlah tawanan yang bisa membaca dan menulis justru hanya diperintahkan untuk menebus kebebasannya dengan mengajarkan literasi kepada anak-anak Muslim.

Rasulullah SAW juga menjadikan kemenangan sebagai momentum mengajarkan akhlak kepada umat manusia. Sebelumnya, kaum Quraisy mengalami degradasi moral yang luar biasa karena tidak bisa menggempur kekuatan pasukan Islam. Sebaliknya, kekuatan militer Madinah semakin jauh melampaui Makkah.

Pada 20 Ramadhan atau delapan tahun setelah hijrahnya, Rasulullah SAW memimpin sekitar 10 ribu orang pasukan dari Madinah dan sekitarnya untuk bergerak memasuki Makkah. Tidak ada perlawanan yang berarti dari kaum Quraisy. Mereka yang berpuluh tahun silam menyiksa para pengikut Nabi Muhammad SAW, kini menjadi lemah tak berdaya. Sebagiannya malah ketakutan melihat berduyun-duyun pasukan Islam datang mendekat.

Dengan situasi yang amat menguntungkan itu, apa yang dilakukan Rasulullah SAW? Beliau tidak menunjukkan rasa dendam. Sebaliknya, Rasulullah SAW memaklumkan keselamatan bagi siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram dan bahkan rumah Abu Sufyan, seorang pemimpin Quraisy, atau rumah masing-masing.

Setiap orang hanya perlu tinggal dengan selamat di kediamannya sambil menyaksikan langsung betapa besar kini kekuatan umat yang pada awalnya lemah. Sasaran penghancuran Rasulullah SAW hanya satu: berhala-berhala yang selama ini mengotori Rumah Allah. Melalui tindakannya, Nabi SAW mengajarkan pentingnya pengampunan, alih-alih melanggengkan benci atau dendam. Dengan perkataan lain, mengubah musuh menjadi kawan di dalam bingkai Islam.

REPUBLIKA

Manakah yang Lebih Utama, Wanita Shalat di Rumah atau di Masjid? (Bag. 3)

Baca pembahasan sebelumnya Manakah yang Lebih Utama, Wanita Shalat di Rumah atau di Masjid? (Bag. 2)

5. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah

Pertanyaan:

“ Manakah yang lebih utama : i’tikaf wanita di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”

 

Beliau menjawab:

Duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) lebih utama dan hal ini adalah perkara yang tidak ada keraguan (didalamnya)!

Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

(صلاة المرأة في بيتها أفضل)

“Sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama” dan seterusnya sampai akhir hadits yang menunjukan bahwa sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada sholatnya di masjid.

Namun, janganlah wanita tersebut dilarang dari pergi ke masjid jika ia menginginkannya.

Dengan demikian berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk beribadah) dan tidak mendatangi masjid itu lebih utama baginya.

Akan tetapi (yang perlu diingat) bahwa i’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di masjid dan tidak sah dilakukan di rumah.

Jika ia ingin i’tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia dipersilahkan mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika menginginkannya, pent.), namun rumahnya lebih utama baginya”.

 

6. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

“ Apakah wanita seperti laki-laki dalam masalah sholat sunah Rawatib, Witir, Dhuha, dan duduk di masjid setelah Fajar (sholat Shubuh) hingga terbit matahari -maksudnya- di tempat sholatnya? Tolong jelaskan hal ini dan Jazakumullahu khairan”

Beliau menjawab:

Pada asalnya bahwa laki-laki dan wanita sama dalam masalah hukum Syar’i kecuali sesuatu yang ditunjukkan dalil bahwa sesuatu tersebut khusus untuk laki-laki, barulah hukumnya khusus untuk laki-laki, atau (dalil menunjukkan) sesuatu itu khusus bagi wanita, maka hukumnyapun khusus pula bagi wanita.

Sholat jama’ah, misalnya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut khusus bagi laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk sholat berjama’ah, dan menunaikannya di masjid.

Adapun wanita, maka ia tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah, tidak wajib baginya sholat berjama’ah di masjid bersama dengan jama’ah laki-laki, dan tidak wajib pula baginya berjama’ah di rumahnya.

Bahkan sesungguhnya (sholat di) rumahnya lebih utama baginya daripada menghadiri sholat berjama’ah bersama dengan jama’ah laki-laki (di masjid), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

«لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن»

“Janganlah kalian larang wanita hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, kalimat yang terakhir ini:

«وبيوتهن خير لهن»

“namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, walaupun tidak terdapat dalam Ash-Shahihain, namun kalimat ini shahih.

Oleh karena itu, wanita itu seperti laki-laki dalam seluruh permasalan hukum, maka jika ia sedang bersafar, disyari’atkan baginya untuk melakukan ibadah seperti ibadah yang dilakukan laki-laki, maksudnya ia tidak melakukan sholat: rowatib Zhuhur dan rowatib Maghrib, dan rowatib Isya’, adapun selebihnya dari sunnah-sunnah lainnya, maka tetap tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana laki-laki melakukan hal itu.

Adapun masalah duduknya seorang wanita di tempat sholatnya di dalam rumahnya hingga terbit matahari, lalu sholat dua raka’at untuk

 

mendapatkan pahala umroh dan haji, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang ulama berselisih tentang keshahihannya itu, maka ia tidak bisa mendapatkan keutamaan tersebut.

Karena haditsnya (dalam masalah ini) adalah :

(من صلى الصبح في جماعة ثم جلس)

“Barangsiapa yang sholat Shubuh dengan berjama’ah kemudian duduk…. ”, sedangkan wanita tersebut bukanlah orang yang sholat Shubuh berjama’ah (di masjid), dan jika ia sholat (shubuh) di rumahnya, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala ini, namun, ia tetap berada di atas kebaikan.

Jadi, jika ia duduk dzikrullah, mengucapkan “Subhanallah”, “La ilaha illallah” dan membaca Alquran sampai terbit matahari, kemudian matahari meninggi, ia melakukan sholat sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, maka ia berada di atas kebaikan”.

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46304-manakah-yang-lebih-utama-wanita-shalat-di-rumah-atau-di-masjid-bag-3.html

Manakah yang Lebih Utama, Wanita Shalat di Rumah atau di Masjid? (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Manakah yang Lebih Utama, Wanita Shalat di Rumah atau di Masjid? (Bag. 1)

3. Fatwa Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:

“Bolehkah wanita merutinkan sholat berjama’ah di masjid, dan apakah suaminya berhak melarangnya?”

Beliau menjawab:

“Dibolehkan bagi wanita untuk keluar menunaikan sholat di masjid, akan tetapi sholatnya di rumah lebih utama baginya, karena sholatnya di rumahnya bersifat menutupinya (tersembunyi dari pandangan) dan aman baginya dari terjerumus kedalam fitnah, baik fitnah tersebut disebabkan olehnya atau fitnah yang mengancam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”

«لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير لهن»

“Janganlah kalian larang wanita (dari) hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.

Jika ia hendak sholat di masjid, maka janganlah dilarang, namun ia berdiam diri dan sholat di rumahnya itu lebih utama dari keluarnya menuju ke masjid untuk menunaikan sholat.

Namun, (yang perlu diperhatikan) jika ia keluar ke masjid, maka ia haruslah ia beradab dengan adab Islami, seperti : tidak memakai parfum, tidak mengenakan pakaian yang dihiasi, tidak memakai perhisasan dan menampakkannya dan tidak menampakkan anggota tubuhnya (yang tidak boleh ditampakkan), menutupi wajah, kedua telapak tangan dan kakinya, serta menutupi dirinya dari pandangan laki-laki (yang bukan mahramnya).

Apabila ia beradab dengan adab-adab Syar’i ini, maka diperbolehkan baginya keluar menuju ke masjid untuk menunaikan sholat.

Demikian pula, ketika ia berada di masjid juga, hendaknyalah letak shofnya terpisah dengan kaum laki-laki, tidak menjadi satu dengan shof laki-laki dan tidak pula bercampur-baur dengan mereka, akan tetapi ia berada di bagian akhir (shof) masjid.

Jika terdapat jama’ah wanita lainnya, maka ia sholat bersama mereka atau (jika tidak ada wanita lainnya), ia bershof sendirian di belakang laki-laki, jika ia beradab dengan adab-adab Syar’i ini.

Adapun jika ia tidak beradab dengannya, maka suaminya hendaknya melarangnya dari pergi untuk menunaikan sholat ke masjid”.

 

4. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah

Pertanyaan:

“Manakah yang lebih utama bagi wanita: ‘Ia sholat Taraweh di rumahnya sendirian atau di masjid secara berjama’ah? ”

Beliau menjawab:

“Sholat wanita di rumahnya lebih utama dalam seluruh keadaan, baik untuk sholat wajib maupun sholat sunnah.

Sedangkan jika ia sholat di masjid, baik itu sholat wajib maupun sholat Taraweh, maka hal itu diperbolehkan.

Demikian pula untuk masalah Lailatul Qodar – yaitu di sepuluh hari terakhir (Ramadhan), namun tidak diketahui kepastian harinya-, seseorang yang bersungguh-sungguh (beribadah) di sepuluh hari terakhir tersebut, terhitung sebagai orang yang benar-benar berusaha mendapatkannya, maka jika datang malam tersebut, ia sedang beramal sholeh.

Jadi, sholat wanita di rumahnya lebih utama dalam seluruh keadaan, baik di sepuluh hari terakhir, sebelum atau sesudahnya.

Sedangkan jika ia mendatangi masjid di sepuluh hari terakhir atau masih dalam bulan Ramadhan atau pada seluruh bulan-bulan selainnya, maka hal itu diperbolehkan”.

 

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46296-manakah-yang-lebih-utama-wanita-shalat-di-rumah-atau-di-masjid-bag-2.html

Manakah yang Lebih Utama, Wanita Shalat di Rumah atau di Masjid? (Bag. 1)

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:

Berikut ini kumpulan beberapa fatwa tentang tempat sholat bagi wanita yang paling utama dari para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zaman ini.

1. Fatwa Samahatul Mufti Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah

Pertanyaan:

“ Apa hukum sholat Taraweh bagi wanita di rumahnya, dan apakah yang afdhol ia sholat di rumah atau di masjid?”

Beliau menjawab:

“Tergantung keadaannya, jika ia mampu melakukannya di rumah, bisa kosentrasi melakukan sholat tersebut dan tidak disibukkan dengan kesibukan, baik berupa mengurus anak atau perkerjaan rumah tangga (lainnya), maka sholat di rumahnya lebih utama (afdhol).

Namun, jika ia memandang bahwa sholat di masjid itu (menyebabkan) ia lebih semangat melakukannya, karena ia makmum dibelakang seorang imam, dan lebih semangat baginya dengan menyaksikan para wanita muslimah (lainnya) sholat, maka dalam hal ini tidak ada laranggannya”.

2. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:

“Apakah boleh (saya) melakukan sholat Taraweh sendirian, karena suamiku terpaksa harus safar ke kota lain, sedangkan di kota tersebut tidak terdapat mushola untuk wanita, karena itu saya sholat Taraweh sendirian di rumah.

Perlu diketahui bahwa saya hanya hafal sedikit dari Alquran, bolehkah saya membawa mushaf Alquran (untuk dibaca) di tengah-tengah sholat Taraweh?”

Beliau menjawab:

“Baik, saya jawab:

إن الأفضل للمرأة أن تصلي في بيتها، حتى إن كان هناك مسجد تقام فيه صلاة التراويح. وحضورها للمسجد من باب المباح، وليس من باب المسنون أو المشروع

“Yang terbaik bagi seorang wanita adalah sholat di rumahnya, meskipun disitu terdapat masjid yang diselenggarakan sholat Taraweh di dalamnya.

Sedangkan kehadiran wanita di masjid tersebut hukumnya mubah (boleh), dan bukan disunnahkan atau (bukan pula) disyari’atkan!

 

Oleh karena itu, jika seorang wanita sholat di rumahnya, maka tidak mengapa ia sholat berjama’ah di tengah-tengah (anggota) keluarga (sesama) wanita, karena diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :

«أمر أم ورقة أن تؤم أهل دارها أو أهل بيتها»

Bahwa beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami anggota keluarganya (yang wanita, pent.) di rumahnya (Ahlud Dar atau Ahlul Baitnya) “.

Pada keadaan ini, jika ia tidak hafal Alquran kecuali sedikit saja, maka boleh baginya membacanya dari mushaf, karena diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu pernah melakukannya dan karena gerakan memindah-mindahkan mushaf dan membolak-balik lembarannya dan melihat ayat (yang tertulis) padanya termasuk gerakan untuk kemaslahatan sholat, maka tidak makruh hukumnya.

Kalau seandainya gerakan itu hukumnya makruhpun dengan alasan memungkinkan untuk tidak melakukannya dan (memungkinkan) seseorang mencukupkan diri dengan hafalannya, maka dalam keadaan ini kemakruhanpun tertutupi (tidak makruh), karena adanya kebutuhan untuk melakukannya”.

 

(Bersambung, in sya Allah)

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/46290-manakah-yang-lebih-utama-wanita-shalat-di-rumah-atau-di-masjid-bag-1.html

Anak-Anak yang Penuh Berkah ialah…

BERKAH adalah kata yang diinginkan oleh hampir semua hamba yang beriman, karenanya orang akan mendapat limpahan kebaikan dalam hidup.

Berkah bukanlah cukup dan mencukupi saja, tapi berkah ialah bertambahnya ketaatanmu kepada Allah Ta’ala dengan segala keadaan yang ada, baik berlimpah atau sebaliknya.

Berkah itu, “Albarokatu tuziidukum fi thoah” (Berkah menambah taatmu kepada Allah)

Hidup yang berkah bukan hanya sehat, tapi kadang sakit itu justru berkah sebagaimana Nabi Ayub, sakitnya menambah taatnya kepada Allah. Berkah itu tak selalu panjang umur, ada yang umurnya pendek tapi dahsyat taatnya layaknya Musab ibn Umair.

Tanah yang berkah itu bukan karena subur dan panoramanya indah, karena tanah yang tandus seperti Mekkah punya keutamaan di hadapan Allah tiada yang menandingi. Makanan berkah itu bukan yang komposisi gizinya lengkap, tapi makanan itu mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah makan.

Ilmu yang berkah itu bukan yang banyak riwayat dan catatan kakinya, tapi yang berkah ialah yang mampu menjadikan seseorang meneteskan keringat dan darahnya dalam beramal dan berjuang untuk agama Allah.

Penghasilan berkah juga bukan gaji yang besar dan bertambah, tapi sejauh mana ia bisa jadi jalan rizki bagi yang lainnya dan semakin banyak orang ysng terbantu dengan penghasilan tersebut.

Anak-anak yang berkah bukanlah saat kecil mereka lucu dan imut atau setelah dewasa mereka sukses bergelar dan mempunyai pekerjaan dan jabatan hebat, tapi anak yang berkah ialah yang senantiasa taat kepada Rabb-Nya dan kelak di antara mereka ada yang lebih saleh dan tak henti-hentinya mendoakan kedua orangtuanya.

Semoga segala aktifitas kita hari ini berkah. “Barang siapa yang mengajarkan satu ilmu dan orang tersebut mengamalkannya maka pahala bagi orang yang memberikan ilmu tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkan ilmu tersebut.” (HR.Bukhori Muslim) []

INILAH MOZAIK

Konsultasi Syariah: Pembiayaan (Leasing) Syariah

Transaksi antara leasing syariah dan konsumen adalah jual beli dan pendapatan.

 

Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, apa bedanya leasing konvensional dan leasing syariah? Bagaimana tahapan transaksinya?

Aminah – Depok

Waalaikumussalam wr wb.

Perbedaan mendasar antara leasing (pembiayaan) syariah dengan leasing konvensional adalah pembiayaan syariah itu penjual, sedangkan pembiayaan konvensional adalah kreditur.

Sebagai kreditur, pembiayaan konvensional memberikan pinjaman kepada konsumen. Dengan pinjaman tersebut, konsumen membeli kendaraan dari dealeratau supplier. Selanjutnya, membayar cicilan kepada pembiayaan konvensional.

Transaksi tersebut tidak diperkenankan karena total angsuran yang harus dibayarkan oleh konsumen kepada pembiayaan konvensional melebihi pokok pinjaman. Hal tersebut termasuk bunga/riba jahiliyah sesuai dengan kaidah; “Setiap manfaat yang diterima oleh kreditur atas jasa pinjamannya kepada debitur itu termasuk riba.” (Al-Mushannaf, Abdurrazzaq, 8/304.)

Berbeda dengan pembiayaan syariah, transaksi antara perusahaan dengan konsumen adalah jual beli dan pendapatan yang diterima perusahaan adalah margin yang halal.

Transaksi tersebut adalah jual beli, sehingga pendapatan yang diterima perusahaan adalah margin yang halal; bukan bunga/riba atas utang piutang. Karena jual beli berbeda dengan riba, di mana riba terjadi pada utang piutang (salah satunya meminjam uang dan dibayar dengan uang).

Sedangkan, dalam jual beli murabahah di pembiayaan syariah itu transaksi antara uang dengan barang. Oleh karena itu, jual beli tidak tunai, bukan riba dan tidak ada hubungannya dengan riba.

Pada umumnya, perusahaan tidak memiliki stok barang, maka ada dua tahapan transaksi berikut:

Tahapan pertama, perusahaan membeli barang (sesuai pesanan konsumen) kepada supplier yang diawali dengan pesanan konsumen dengan spesifikasi barang tertentu.

Pesanan ini mengikat, jika konsumen membatalkan pesanan dan mengakibatkan kerugian, konsumen mengganti sebesar kerugian riil sebagaimana Fatwa DSN MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah dan Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh).

Sebagai penjual, perusahaan harus telah memiliki barang yang akan dijual kepada konsumen dengan membeli barang dari supplier, baik tunai ataupun tidak tunai walaupun dengan sekadar ijab kabul sebagaimana fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.

Jika transaksi yang terjadi adalah purchase order oleh perusahaan kepada supplier, isi purchase order tersebut harus berisi ijab kabul dengan seluruh konsekuensi hukumnya, sehingga barang menjadi milik perusahaan dan bisa dijual kepada konsumen.

Tahapan kedua, perusahaan menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga lebih besar sesuai kesepakatan dengan menegaskan harga beli ditambah biaya-biaya perolehan dan keuntungan. Transaksi tersebut dilakukan dengan barang diserahkan secara tunai dan pembayaran dilakukan secara angsur atau tidak runai.

Butir-butir jual beli tersebut dituangkan dalam akad yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagaimana fatwa DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah dan Fatwa No.111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah, Standar Syariah Internasional AAOIFI di Bahrain no.8 tentang Murabahah, dan Keputusan Lembaga Fikih OKI tentang Bai’ Taqsith.

Transaksi jual beli tidak tunai tersebut termasuk jual beli yang diberkahi, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Ada tiga hal yang mengandung berkah; jual beli secara tidak tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).

Semoga, Allah SWT meridhai dan memberkahi setiap ikhtiar kita. Wallahu a’lam.

 

Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI

 

REPUBLIKA