Haruskah Berdakwah dengan Lemah Lembut di Zaman Ini?

Bagi aktivis dakwah di zaman ini hendaknya kita benar-benar meluruskan niat agar berdakwah hanya kepada Allah dan benar-benar bersabar dalam berdakwah. Bersabar dalam menyampaikan dakwah dan bersabar dengan sikap manusia dalam menghadapi dakwah yang kita sampaikan.

Bisa jadi sebagian manusia mencela, marah, bahkan mengganggu kita dengan berbagai macam cara.

Sekali lagi hendaknya kita bersabar dan hukum asalnya berlemah-lembut dengan mereka. Hal ini dikarenakan manusia di zaman ini benar-benar cinta dengan dunia dan tenggelam dengan kepentingan dunia. Tidak jarang dakwah mengganggu urusan dunia mereka sehingga mereka merespon negatif.

Cara dakwah inilah yang dicontohkan oleh para ulama kita saat ini. Mereka berdakwah dengan lemah-lembut, kita bisa saksikan dalam ceramah dan sikap mereka yang penuh bimbingan dan ilmiah. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, beliau berkata

هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة ، وليس عصر الشدة ، الناس أكثرهم في جهل ،في غفلة وإيثار للدنيا ، فلا بد من الصبر ، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة ، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا

“Zaman ini adalah zamannya untuk berlemah-lembut, sabar dan hikmah, Bukan zamannya bersikap keras, karena kebanyakan manusia banyak yang jahil, lalai dan lebih mementingkan urusan dunia. Oleh karena ini harus bersabar dan lemah lembut sampai dakwah ini tersampaikan dan sampai pada manusia agar mereka mengetahuinya.” [Majmu’ Fatawa 8/376]

Hukum asal dakwah adalah lemah lembut, terlebih pada hal “memperbaiki/mengkoreksi kebiasaan seseorang/kaum” dan terkadang dalam dakwah tidak boleh terlalu gengsi semisal tidak mau “jemput bola” mendatangi mereka yang butuh dakwah. Terkadang dakwah itu perlu mendatangi manusia dan menjelaskan dengan hikmah dan lembut. Hal ini dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin, beliau berkata:

ينبغي لطلبة العلم أن ينبهوا الناس ،ولكن يالرفق، لأن العامة إذا أنكر عليهم ما اعتادوه نفروا، فإذا أتوا بالحكمة واللين قبلوا 

“Hendaknya para penuntut ilmu memperingatkan manusia, namun haruslah dengan lemah lembut, karena kebanyakan manusia jika diingkari sesuatu hal yang sudah menjadi kebiasaan mereka, akan lari menjauh, akan tetapi jika mereka didatangi dengan cara yang hikmah dan lembut, mereka akan menerima.” [Syarh al-Mumti’ 3/204]

Dakwah seperti inilah yang diperintahkan oleh agama kita yaitu lembut dan penuh hikmah.

Allah Ta’ala berfirman

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah (lemah lembut) dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Dakwah adalah perkara yang agung, hendaknya kita isi dengan kelembutan sebagaimana arahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia akan membuatnya menjadi buruk.” [HR. Muslim]

Memang benar dakwah juga bisa dengan ketegasan, akan tetapi hukum asalnya adalah hikmah dan lemah-lembut. Jangan sampai dakwah lebih banyak keras dan tegasnya dari pada kelembutan, terlebih di zaman ini. Apabila dakwah dilakukan dengan keras tentu manusia akan menjauh.

Allah berfiman

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap KERAS LAGI BERHATI KASAR, tentulah mereka akan MENJAUHKAN DIRI dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jug bersabda,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ 

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR. Bukhari]

Demikian semoga bermanfaat

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47423-zaman-ini-dakwah-dengan-lemah-lembut-dan-bersabar.html

Jamal Zarabozo Belajar Alquran Menuntunnya Bersyahadat

Alquran mengajak manusia untuk merenungkan firman Allah.

Hidup dalam tradisi keagamaan warisan keluarga membuat seorang Jamal Zarabozo tak merasa tenang. Pria kelahiran 1976 ini banyak bertanya-tanya mengenai konsep agama yang dianutnya. Mengapa Tuhan memiliki anak? Seperti apa sejarah Alkitab? Mengapa ada tiga tuhan yang disembah? Dan banyak lagi.

Semua itu menyelimuti pemikirannya. Dia mencari jawabannya dengan membedah berbagai literatur.Tapi, belum ada yang menjadi jawaban yang dicari. Lelaki asal Prancis ini memberanikan diri membedah kitab suci sejumlah agama.

Ketika membaca Alquran, sampailah dia pada pemahaman yang memuaskan kegelisahan batinnya. Ternyata, Tuhan adalah Mahasegala. Dia tunggal dan tidak memiliki kesamaan dengan apa pun. Berada di arasy nan jauh di atas sana bersama para malaikat yang mengitari baitul makmur di bawahnya.

Allah dengan segala firman-Nya menginspirasi kehidupan manusia. Dia adalah sumber ilmu yang tak pernah habis, seperti oase yang meng hidupi banyak makhluk. Lebih jelas, seandainya air laut digunakan sebagai tinta untuk menulis perkataan Allah, air laut akan habis sebelum kalimat-kalimat itu selesai ditulis (al-Kahfi: 109). Begitulah perumpaan ilmu Allah yang begitu luas dan penuh dengan kearifan.

Pada saat berusia 16 tahun, Zarabozo bersyahadat. Dia sudah meyakini bahwa Islam adalah agama yang selama ini dia cari. Setelah itu, dia mempelajari bahasa Arab yang merupakan kunci membedah ber bagai khazanah keilmuan Islam. Tak seperti latin, bahasa Arab kaya akan per bendaharaan kata. Bermula dari tiga huruf dasar, kata dapat berubah menjadi berbagai bentuk, mulai kata kerja, benda, tempat, dan banyak lagi.

Ketika itu, dia tertarik dengan ilmu hadis dan sains. Dari Kalifornia, dia pindah ke Colorado pada pertengahan 80-an. Di sana, dia bergaul dengan sekelompok pen dakwah lulusan Universitas Imam Muhammad, Riyadh, Arab Saudi. Mereka sedang mengejar gelar sarjana di Universitas Boulder. Dari mereka, Zarabozo mempelajari berbagai ilmu dalam Islam, seperti sejarah kenabian (sirah), fikih, tauhid, dan lainnya.

Yang lebih menarik lagi, dia bertemu dengan ahli hadis, Mustafa Azami di Boulder. Kesempatan itu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mendalami hadis dan banyak ilmu lainnya. Beberapa tahun dilaluinya untuk belajar bersama sang cendekiawan.

Dengan semua bantuan dan bimbingan mereka, bersama dengan ketekunan dan dedikasinya, Zarabozo berhasil memahami banyak tradisi keilmuan dalam Islam. Dia juga memegang gelar sarjana ekonomi dari UC Berkeley dan gelar master di bidang ekonomi dari UC Davis. Pada 2015 dia menerima gelar doktor kehormatan dari Majelis Ahli Hukum Muslim di Amerika (AMJA).

“Alquran telah meyakinkan saya bahwa Islam adalah agama yang benar. Keasliannya menyentuh hati saya. Ini yang selama ini tak saya te mukan dalam perjalanan hidup,” jelasnya seperti diberitakan aboutislam.net. Jika ingin mengimani Tuhan maka kitab suci yang menjadi rujukan harus terjaga keasliannya.

Itulah alasan mendasar yang membuat dirinya bera ni melakukan lompatan hidup, sesuatu yang belum tentu akan dilakukan orang lain. “Tidak masuk akal untuk meng imani wahyu Allah jika seseorang me ragukan keaslian kitab sucinya,” ujar Zarabozo. Sejarah Alquran menjelaskan ba gaimana kitab suci itu terjaga kebe naran dan keasliannya hingga kini.

Bermula dari kegelisahan sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab menyaksikan banyaknya para penghafal Al quran yang mati di medan perang. Mereka kemudian berijtihad untuk menuliskan Alquran yang selesai pada masa Khalifah Usman bin Affan. Karena itulah, mushaf yang sampai pada saat ini disebut dengan mushaf usmani.

Karena itu, dia tidak sepakat dengan orientalis dan sejumlah ilmuwan yang sinis kepada Islam. Asumsi mereka bahwa ayat-ayat dalam Alquran adalah hasil pencurian dari Injil dan kitab suci sebelumnya jauh dari kebenaran. Hal itu adalah fitnah yang sangat keji.

Zarabozo pun terkejut ketika mengetahui bahwa kitab suci ini menjadi bahan kajian banyak ilmuwan. Penelitian dilakukan dalam bidang sains, sejarah, ilmu agama, dan lain nya. Satu hal yang paling disukainya adalah Alquran mengajak manusia untuk merenungkan firman Allah. Sehingga, setiap orang akan mema hami bahwa semua yang ada saat ini tidak muncul dengan sendirinya. Ada proses penciptaan yang merupakan mahakarya Sang Pencipta.

Kini, Zarabozo menghabiskan wak tunya untuk berdakwah. Dia mengajarkan ilmunya kepada banyak orang. Dia juga aktif menerjemahkan sejumlah buku-buku rujukan, seperti Fikih Sunnah karangan Syekh Sayyid Sabiq. Dia juga menulis sejumlah buku tentang fikih wanita, jalan menuju surga, dunia jin dan setan, dan fikih pernikahan. Lainnya adalah tentang ekstremisme dalam beragama dan bagaimana Islam menyikapi hal tersebut.

Zarabozo juga aktif menyunting majalah al-Basheer sejak delapan tahun lalu. Orang memanggilnya dengan Syekh Zarabozo. Dari mulutnya telah keluar ratusan ceramah keagamaan yang menginspirasi Muslim di berbagai belahan dunia. Kepada jamaahnya, dia selalu berpesan agar tidak bosan belajar. Jangan sekadar mengimani keyakinan yang dijalani.

Sehingga, setiap orang harus belajar mendalami berbagai hikmah yang ada dalam Islam. Risalah yang dibawa Rasulullah itu berisikan hikmah kehidupan, penciptaan, sejarah masa lalu yang penuh inspirasi. Semuanya adalah bekal untuk menempuh perjalanan kehidupan yang penuh dengan tantangan, baik di dunia maupun akhirat. 

KHAZANAH REPUBLIKA

Bahaya Ikhtilath (Campur Baur Laki Perempuan)

Bahaya Ikhtilath Campur Lawan Jenis

Pertanyaan:

Bismillah, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ustadz ana mau nanya mohon penjelasannya tentang bahaya ikhtilat.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, bismillahi wassholaatu wassalaamu ala Rasulillah,

Saudara-saudariku yang mulia, Iktilath (bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat) merupakan hal terlarang dalam agama Islam, sebagaimana Islam melarang zina maka segala hal yang mengarah kepada zina pun diharamkan, sebagaimana firman Allah ﷻ:

ولا تقربوا الزنى إنه كان فاحشة وساء سبيلا

“dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’: 32).

Dalam menafsirkan ayat ini, Al Hafizh ibnu Katsir mengatakan:

يقول تعالى ناهيا عباده عن الزنى وعن مقاربته, وهو مخالطة أسبابه ودواعيه

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan perbuatan yang mendekatkan kepada zina, yaitu ber-ikhtilath (bercampur-baur) dengan sebab-sebabnya dan segala hal yang mendorong kepada zina tersebut.” (Umdatut Tafsir:2/428)

Dari sisi bahaya, tentunya ikhtilath memiliki bahaya yang besar, yaitu merusak hati seseorang sehingga terdorong untuk memikirkan tentang zina dan bahkan melakukannya, padahal hati merupakan segumpal daging yang menjadi penentu untuk baik atau buruknya perangai seseorang, Bahaya Iktilath ini dimulai dari pandangan mata yang kemudian bergerak masuk ke dalam hati, padahal Allah ﷻ memerintahkan agar kita menjaga pandangan mata:

قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم ويحفظوا فروجهم ذلك أزكى لهم إن الله خبير بما يصنعون

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, Sungguh, Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur: 30)

Rasulullah ﷺ juga mengatakan:

فلعينان زناهما النظر

“Zina kedua mata adalah dengan melihat.” (HR. Muslim: 4082)

Sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut, Al Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan:

ولما كان النظر داعية إلى فساد القلب, كما قال بعض السلف: (النظر سهام سم إلى القلب), ولذلك أمر الله بحفظ الفروج كما أمر بحفظ الأبصار التي هي بواعث إلى ذالك

“Dan ketika pandangan merupakan pendorong untuk merusak hati, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf: (Pandangan merupakan anak panah yang beracun bagi hati), oleh karena itu sebagaimana Allah ﷻ memerintahkan untuk menjaga kemaluan, Allah ﷻ pun memerintahkan untuk menjaga pandangan yang merupakan pendorongnya. (Umdatut Tafsir: 2/653), hal ini juga disebutkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam Majmuah Fatawa nya.” (Majmuatul fatawa: 8/230)

Sehingga banyak di antara para ulama yang mengharamkan laki-laki melihat kepada wajah perempuan yang bukan mahram dan bukan istrinya tanpa kebutuhan seperti nazhor untuk pernikahan, pengobatan, persaksian dan mu’amalah (jual-beli), hal ini tertulis dalam kitab-kitab mazhab Imam As-Syafi’I seperti Matan Abu Syuja’. (Matan al-Ghoyah wat Taqrib: 73-74).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah mengatakan:

أن الراجح في مذهب الشافعي وأحمد أن النظر ألى وجه الأجنبية من غير حاجة لا يجوز, وإن كانت الشهوة منتفية, لكن لأنه يخاف ثورانهأ, ولهذا حرم الخلوة بالأجنبية, لأنه مظنة الفتنة,والأصل أن كلما كان سببا للفتنة فإنه لا يجوز, فإن الذريعة إلى الفساد سدها إذا لم يعارضها مصلحة راجحة

“Sesungguhnya pendapat yang kuat adalah dalam mazhab Syafi’I dan Ahmad bahwa melihat kepada wajah wanita yang bukan mahram tanpa kebutuhan tidak dibolehkan, walaupun tanpa syahwat, akan tetapi pandangan tersebut dilarang adalah karena ditakutkan gairah yang dibangkitkan karenanya, dan karena inilah terlarangnya khalwat (berdua-duaan) laki-laki dengan wanita yang bukan mahram, karena ia sumber fitnah. Pada dasarnya segala sesuatu yang menjadi sebab menuju fitnah merupakan hal terlarang, dan sesungguhnya sarana menuju kerusakan harus ditutup jika tidak bertentangan dengan maslahat yang diharapkan.” (Majmuatul Fatawa : 8/243).

Begitu juga halnya dengan kaum wanita, tidak sepantasnya bagi mereka untuk melihat kepada kaum lelaki, Allah ﷻ berfirman:

وقل للمؤمنات يغضضن من أبصارهن ويحفظن فروجهن

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka…” (QS. An-Nur: 31).

Al Hafizh Ibnu katsir menjelaskan:

ولهذا ذهب كثير من العلماء إلى أنه لا يجوز للمرأة النظر إلى الرجال الأجانب بشهوة ولا بغير شهوة أصلا

“dan dengan ayat ini kebanyakan para ulama menyatakan bahwa pada dasarnya tidak boleh bagi wanita untuk melihat kepada para lelaki yang bukan mahram, apakah dengan syahwat ataupun tanpa syahwat” (Umdatut Tafsir: 2/654)

Saudara-saudariku yang mulia, karena alasan inilah terlarangnya ikhtilath yaitu bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan dalam satu tempat yang sama tanpa penghalang, seperti di sekolah, kampus, masjid, majelis ilmu, rumah dan sebaginya, karena hati seseorang itu sangat lemah, sedangkan hawa nafsunya selalu mengajak kepada keburukan:

(…إن النفس لأمارة باسوء…)

“Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53)

Bahaya terbesar yang ditimbulkan oleh ikhtilath adalah perzinaan, dan zina merupakan salah satu di antara dosa-dosa besar, yang dampaknya sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup seorang hamba di dunia begitu juga merusak kehidupan akhiratnya, sehingga segala bentuk aktifitas yang mengarahkan seseorang kepadanya harus ditutup serapat-rapatnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dijawab oleh Ustadz Hafzan Elhadi, Lc., M.Kom (Alumni Lipia, Fakultas Syariah)

Read more https://konsultasisyariah.com/35070-bahaya-ikhtilath-campur-baur-laki-perempuan.html

Yang Ketinggalan Puasa Syawal bisa Puasa Bulan Dzulqa’dah?

Ketinggalan Puasa Syawal

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam hadis dari Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dilanjut berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim, no. 1164)

Makna tekstual hadis menunjukkan bahwa pahala puasa setahun bisa diperoleh, jika puasa 6 hari itu dilakukan di bulan syawal. Apakah makna ini berlaku mutlak?

Ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Karena itulah, mereka berbeda pendapat, apakah puasa 6 hari itu harus dilakukan selama syawal, atau boleh setelah syawal.

Pertama, keutamaan pahala puasa setahun diperoleh bagi yang berpuasa 6 hari di bulan syawal atau bulan setelahnya (Dzulqa’dah). Ini merupakan pendapat beberapa ulama Malikiyah, dan Hambali.

Mereka beralasan,

[1] pernyataan dalam hadis ‘berpuasa enam hari di bulan Syawal’ maksudnya adalah penjelasan tentang keringanan syariah bagi kaum muslimin yang telah usai puasa ramadhan. Sehingga, ketika mereka telah menjalankan puasa selama ramadhan, akan merasa lebih mudah jika dilanjut di bulan syawal.

Dalam Hasyiyah al-Adawi untuk Syarh al-Kharsyi dinyatakan,

وإنما قال الشارع : ( من شوال ) للتخفيف باعتبار الصوم ، لا تخصيص حكمها بذلك الوقت ، فلا جرم أن فعلها في عشر ذي الحجة مع ما روي في فضل الصيام فيه أحسن

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, ‘di bulan syawal’ untuk memberi keringanan dalam berpuasa, bukan penjelasan hukum bahwa puasa ini hanya di bulan itu. Sehingga tidak masalah melaksanakannya di 10 Dzulhijjah, sekaligus mendapatkan keutamaan puasa di bulan awal Dzulhijjah. (Hasyiyah al-Adawi, 2/243).

[2] bahwa pahala puasa setahun, karena puasa ramadhan selama sebulan dinilai sama seperti puasa 10 bulan. Sementara puasa 6 hari dinilai sama seperti puasa 2 bulan (30 hari). Dan kaidah 1 kebaikan dilipatkan 10 kali, berlaku untuk semua amal soleh, termasuk puasa. Baik di bulan syawal maupun di selain bulan syawal.

Dalam Tahdzib al-Furuq al-Qarrafi dinyatakan,

أن قوله صلى الله عليه وسلم : (من شوال) “على جهة التمثيل ، والمراد : أن صيام رمضان بعشرة أشهر ، وصيام ستة أيام بشهرين ، وذلك المذهب [يعني مذهب الإمام مالك] ، فلو كانت من غير شوال لكان الحكم فيها كذلك

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘puasa di bulan syawal’ sifatnya hanya contoh. Maksudnya bahwa puasa ramadhan seperti puasa 10 bulan, dan puasa 6 hari di bulan syawal, seperti puasa 2 bulan. Dan itulah pendapat madzhab (maksudnya madzhab Imam Malik). Andaipun dilakukan di selain syawal, hukum yang berlaku juga seperti itu. (Tahdzib al-Furuq, al-Qarrafi, 2/297).

Alasan ini juga disampaikan Ibu Muflih – ulama hambali – dalam kitabnya al-Furu’ (5/83). Kata Ibnu Muflih, pendapat ini juga yang dinilai kuat al-Qurthubi.

Kedua, hanya bisa dilakukan di bulan syawal. Namun bagi yang tidak sempat di bulan syawal, bisa diqadha di bulan Dzulqa’dah. Meskipun pahalanya tidak seperti mereka yang puasa di bulan syawal.

Ini merupakan pendapat Syafi’iyah.

Sisi perbedaan pahalanya,

  • Siapa yang puasa ramadhan penuh kemudian puasa 6 hari selama syawal maka dia mendapat pahala puasa wajib selama setahun.
  • Siapa yang puasa ramadhan penuh kemudian puasa 6 hari setelah syawal maka dia mendapat pahala puasa wajib ramadhan dan pahala puasa sunah 6 hari.

Ibnu Hajar al-Makki mengatakan,

من صامها مع رمضان كل سنة تكون كصيام الدهر فرضا بلا مضاعفة ، ومن صام ستةً غيرها كذلك تكون كصيامه نفلا بلا مضاعفة

Siapa yang puasa syawal setelah ramadhan setiap tahun, seperti puasa wajib setahun tanpa pelipatan. Dan siapa yang berpuasa 6 hari di selain syawal, dia seperti puasa sunah tanpa pelipatan. (Tuhfatul Muhtaj, 14/69).

Ketiga, keutamaa puasa ini hanya untuk mereka yang melaksanakannya di bulan syawal.

Ini pendapat madzhab Hambali. Diantara pertimbangannya,

[1] Ini yang lebih sesuai makna teks hadis

[2] Bahwa penyebutan syawal dalam hadis itu untuk menjelaskan batasan waktu.

[3] Puasa syawal itu ibarat puasa bakdiyah ramadhan, sehingga harus dilakukan pasca-ramadhan. Dan siapa yang kehilangan waktu itu, berarti kehilangan kesempatan untuk melaksanakannya. Sebagaimana orang yang kehilangan kesempatan untuk shalat rawatib.

Al-Buhuti – ulama hambali – mengatakan,

ولا تحصل الفضيلة بصيامها أي : الستة أيام في غير شوال ، لظاهر الأخبار

Keutamaan puasa syawal tidak akan diperoleh di selain bulan syawal. Sesuai makna teks hadis. (Kasyaf al-Qana’, 2/338).

InsyaaAllah pendapat yang lebih mendekati bahwa puasa syawal telah ditetapkan waktunya. Sehingga yang mendapatkan keutamaan puasa syawal, hanya mereka yang berpuasa di bulan syawal. Meskipun bagi mereka yang memiliki udzur, karena sakit atau seperti wanita haid atau nifas, sehingga puasanya tidak bisa selesai sampai syawal-nya habis, dia bisa mengerjakannya di Dzulqa’dah.

أما إن كان له عذر من مرض أو حيض أو نفاس أو نحو ذلك من الأعذار التي بسببها أخر صيام قضائه أو أخر صيام الست ، فلا شكَّ في إدراك الأجر الخاص ، وقد نصُّوا على ذلك. وأما إذا لم يكن له عذر أصلاً ، بل أخر صيامها إلى ذي القعدة أو غيره ، فظاهر النص يدل على أنَّه لا يدرك الفضل الخاص ، وأنَّه سنة في وقت فات محله

Bagi orang yang memiliki udzur sakit, haid, nifas atau semacamnya, yang menyebabkan dia harus mengakhirkan puasa qadha’nya atau puasa syawalnnya, maka dia mendapat pahala khusus (keutamaan puasa syawal). Para ulama menegaskan hal ini. Sementara orang yang sama sekali tidak memiliki udzur, namun dia akhirkan puasa syawal sampai Dzulqa’dah atau bulan setelahnya, berdasarkan teks dalil, dia tidak mendapat keutamaan puasa syawal. Puasa syawal adalah puasa sunah yang dibatasi, sementara dia ketinggalan waktunya. (al-Fatawa as-Sa’diyah, hlm. 230)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/28119-yang-ketinggalan-puasa-syawal-bisa-puasa-bulan-dzulqadah.html

Bulan Dzulqadah Termasuk Bulan Haram

Bulan Dzulqadah saat ini termasuk bulan haram yakni bulan suci. Pada bulan suci semacam bulan ini dilarang keras melakukan tindak kejahatan dan maksiat.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Disebut dengan bulan haram karena pada bulan tersebut diharamkan maksiat dengan keras, begitu pula pembunuhan. Demikian kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam kitab beliau Taisir Al Karimir Rahman.

Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah berkata, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna:

1- Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.

2- Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Masiir, tafsir surat At Taubah ayat 36)

Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679).

Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan, “Janganlah menzhalimi diri kalian sendiri”, yaitu janganlah berbuat maksiat pada bulan-bulan haram karena dosanya lebih besar.

Larangan di atas berarti berlaku juga dengan bulan Dzulqadah.

Mengenai pembunuhan yang disebutkan dalam ayat di atas, para ulama ada yang menyebutkan bahwa mengenai larangan tersebut pada bulan haram sudah mansukh (dihapus) dengan keumuman ayat,

وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya” (QS. At Taubah: 36).

Semoga bermanfaat.

Sumber https://rumaysho.com/8621-bulan-dzulqadah-termasuk-bulan-haram.html

Begini Pola Kerja Karu dan Karom

Jakarta (PHU)—Jumlah jemaah haji dalam kelompok terbang (kloter) antara 330 sampai dengan 450 orang. Petugas yang menyertai jemaah haji dalam kloternya hanya sebanyak 5 orang tidak sebanding dengan jumlah jemaah yang harus dilayani. Meskipun dalam setiap kloter telah ditempatkan Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD) tetap saja pelayanan kepada jemaah haji kurang maksimal dalam kloter.

Langkah yang diambil Kementerian Agama dalam mengatasi kebutuhan layanan kepada jemaah haji di dalam kloternya dengan menetapkan Ketua Regu (Karu) dan Ketua Rombongan (Karom) yang ditetapkan dari jemaah haji. Karu dan Karom juga diberdayakan dalam pembinaan ibadah jemaah haji. Lalu bagaimana pola kerjanya?

“Kami lakukan pemantapan manasik haji kepada Jemaah yang berjumlah 12 sampai dengan 45 orang dengan memberdayakan perangkat Regu dan Rombongan,” kata Kepala Sub Direktorat Bimbingan Jemaah Haji Arsad Hidayat di Jakarta, Rabu (27/6/2019).

Arsa menjelaskan bahwa Karu dan Karom merupakan satuan kelompok di dalam kloter. Seorang Karu akan memimpin kelompok yang terdiri dari 10 orang. Dan Karom membawahi sekitar 30-40 orang. Secara umum mereka bertugas membantu tugas Ketua Kloter (TPHI) dalam membeikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji.

“Karu dan karom bertugas meneruskan informasi dari petugas kloter untuk disampaikan kepada Jemaah. Mereka juga mengatur, membantu, membimbing, memantau dan mengevaluasi segala hal yang berkaitan dengan layanan ibadah jemaahnya,” lanjt Arsad dalam penjelasannya.

Selain itu Karu dan Karom, menurut Arsad juga diminta turut menyelesaikan masalah jemaah haji yang terjadi dalam kelompoknya. Setelah itu mereka juga harus melaporkan kepada Petugas Kloter.

Teknis pelaksanaan tugas Karu dan Karom juga dijabarkan oleh Arsad. Dia menuturkan di setiap lokasi, Ketua Regu melakukan pengecekan ibadah anggota jemaahnya dengan melakukan penandaan terhadap pelaksanaan ibadah setiap orang. Karu juga harus memastikan pelaksanaan seluruh ibadah setiap Jemaah.

“Hasil isian diserahkan kepada Karom dan selanjutnya Karom merekap hasil isian Karu. Berikutnya TPIHI merekap isian dari Karom dan menyampaikan ke pembimbing ibadah sektor,” terang Arsad.

Karu dan Karom juga diberikan Panduan Praktis dalam bentuk buku saku. Buku mungil bersampul warna hijau tersebut memuat identitas Karu atau Karom, komitmen sebagai Karu dan Karom, struktur organisasi dan pola koordinasi komunikasi, peran Karu dan Karom serta lembar pengecekan. Selain itu dibagian belakang buku juga terdapat catatan permasalahan jemaah haji serta beberapa nomor penting yang bisa dihubungi bila Karu dan Karom mengalami masalah tertentu. (ab/ab).

Kemenag RI

Bolehkah Mempelajari Ilmu Kedokteran Dari Buku Orang Kafir?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fataawa (4: 114-115) dan Al-Intishar li Ahlil Atsar (hal. 168-170):

Jika orang kafir menyebutkan atau menjelaskan (ilmu) yang tidak berkaitan dengan masalah agama, seperti ilmu kedokteran dan matematika, dan kaum muslimin yang mengambil ilmu dari mereka pun kemudian menuliskan ilmu tersebut, seperti Muhammad bin Zakariya Ar-Razi dan Ibnu Sina dan orang-orang semisalnya dari ilmuwan kedokteran (tabib) yang memiliki pemahaman yang menyimpang (zindiq), maka tujuan mereka adalah mengambil manfaat dari pengaruh (jasa) orang-orang kafir dan munafik dalam masalah dunia, maka hal ini diperbolehkan. Sebagaimana diperbolehkan untuk tinggal di rumah-rumah (buatan) mereka dan menggunakan pakaian atau senjata mereka. Sebagaimana diperbolehkan juga untuk memanfaatkan jasa mereka, contohnya muamalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk Yahudi Khaibar. Demikian juga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menyewa seseorang dari Bani Dayyil sebagai penunjuk jalan ketika berhijrah (menuju Madinah). Dia adalah orang yang mahir (hafal) jalan (menuju Madinah) dan keduanya (Rasulullah dan Abu Bakar) pun mempercayakan jiwa dan binatang tunggangan mereka kepadanya serta mengambil janji darinya di gua Tsur pada subuh hari ke tiga.

Demikian pula bani Khuza’ah adalah teman diskusi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memberikan masukan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang muslim ataupun yang kafir. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima nasihat mereka (tanpa membedakan, pen.).

Semua contoh ini disebutkan dalam Ash-Sahihahin.

Abu Thalib juga membantu dan membela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal Abu Thalib masih musyrik. Contoh-contoh semacam ini banyak sekali.

Sesungguhnya ada di antara orang-orang musyrik dan ahli kitab yang bisa dipercaya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ إِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَائِمًا

Di antara ahli kitab, ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu. Dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya.” (QS. Ali Imran [3]: 75).

Oleh karena itu, boleh untuk mempercayakan harta kita kepada mereka, boleh juga untuk berobat kepada orang kafir jika mereka bisa dipercaya. Hal ini telah ditegaskan oleh para ulama, seperti Imam Ahmad rahimahullah dan selainnya. Karena hal itu termasuk dalam menerima berita (ilmu) mereka dalam hal-hal yang mereka ilmui (ketahui) dari masalah dunia dan mereka pun amanah (bisa dipercaya) dalam masalah tersebut. Hal ini diperbolehkan jika tidak muncul mafsadah (kerusakan) yang lebih besar, seperti penguasaan mereka atas kaum muslimin dan semisalnya.

Mengambil ilmu kedokteran dari buku-buku orang kafir itu semisal dengan memanfaatkan jasa orang kafir untuk penunjuk jalan atau untuk berobat, bahkan termasuk hal yang baik. Karena buku-buku mereka tidak ditujukan untuk person kaum muslimin tertentu sehingga ada potensi khianat. Tidak ada pula kebutuhan kepada salah satu di antara mereka (person tertentu) sepanjang hidup kita. Akan tetapi, hal ini hanyalah memanfaatkan jasa mereka, seperti pakaian, tempat tinggal, dan hasil pertanian mereka.

***

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28684-bolehkah-mempelajari-ilmu-kedokteran-dari-buku-orang-kafir.html

Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 3)

Dua Sikap Ekstrim dan Satu Sikap Pertengahan dalam Menyikapi Thibb Nabawi

Dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, kita dapati sikap dua kelompok masyarakat yang kurang tepat.

Pertama, mereka yang belum mengenal bentuk-bentuk pengobatan seperti iniHal ini merupakan sikap yang kurang tepat, karena secara tidak langsung menunjukkan kurangnya perhatian mereka dalam membaca dan menelaah hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa banyak hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membicarakan tentang jenis-jenis thibb nabawi dan bahkan sebagiannya tercantum dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim? Oleh karena itu, jika ada sebagian di antara kita yang tidak mengenal al-hijamah, habbatus sauda, atau metode thibb nabawi lainnya, bisa jadi hal ini menunjukkan kurangnya perhatian mereka terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kondisi yang lebih parah adalah mereka yang mengenal thibb nabawi, namun kemudian tidak beriman, tidak percaya, disertai sikap mencibir dan merendahkan pengobatan thibb nabawi. Hal ini pun kurang tepat. Karena konsekuensinya, berarti mendustakan banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini.

Ke dua, mereka yang berlebih-lebihan dalam mendudukkan thibb nabawi. Bagi mereka, thibb nabawi adalah satu-satunya bentuk pengobatan yang harus dipilih. Selain thibb nabawi adalah pengobatan yang salah, tidak “nyunnah”, dan tidak boleh ditempuh, apa pun dan bagaimana pun kondisi penyakit yang mereka derita. Atau menjadikan thibb nabawi sebagai standar apakah seseorang itu termasuk ahlus sunnah ataukah bukan. Yang berobat hanya dengan thibb nabawi berarti ahlus sunnah tulen, sedangkan mereka yang berobat dengan pengobatan medis berarti kurang “nyunnah” atau diragukan ke-ahlus-sunnah-annya.

Di antara sikap dan perilaku yang muncul dari masyarakat kelompok ke dua ini antara lain:

  1. Menganjurkan dilakukannya tindakan penyuntikan sari atau ekstrak habbatus sauda atau air zam zam, baik secara langsung melalui jarum suntik atau secara tidak langsung melalui cairan infus. Padahal, tindakan ini berbahaya dan dapat mengancam nyawa.
  2. Lebih memilih thibb nabawi tanpa memperhatikan kondisi penyakit yang diderita. Padahal, penyakit tersebut memerlukan tindakan pembedahan segera (karena ada kelainan anatomis), atau memerlukan penggantian cairan tubuh secara darurat (misalnya dehidrasi berat karena diare), dan kondisi-kondisi lainnya.
  3. Mengklaim bahwa thibb nabawi dapat menggantikan fungsi vaksin. Cukup diberikan madu, kurma, dan habbatus sauda, itu sudah berfungsi sebagai vaksin.
  4. Menganggap tahnik pada bayi baru lahir adalah imunisasi alami, bahkan lebih jauh dari itu, dapat berfungsi sebagai media transfer kesalihan seseorang.
  5. Mengklaim bahwa ibu-ibu yang akan melahirkan dan dalam kondisi gawat darurat dan harus dilakukan tindakan operasi sesar, bisa diganti dengan diruqyah dan tidak perlu dioperasi.

Contoh-contoh di atas menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam menyikapi pengobatan dengan thibb nabawi, apalagi hal ini kemudian dihubung-hubungkan dengan tingkat keimanan seseorang. Mereka yang hanya mau melakukan ruqyah dianggap paling tinggi imannya, sedangkan mereka yang menempuh pengobatan medis dianggap kurang rasa tawakkalnya kepada Allah Ta’ala.

Sikap pertama dan ke dua di atas adalah sikap yang kurang tepat.

Ke tiga, sikap yang terbaik adalah sikap pertengahan, yaitu tidak bersikap meremehkan (apalagi mendustakan) dan tidak pula bersikap berlebih-lebihan. Yaitu, kita beriman dengan hadits-hadits yang berbicara thibb nabawi. Namun, kita dudukkan thibb nabawi secara proporsional. Artinya, kita juga menempuh pengobatan medis jika memang terbukti bermanfaat. Sebagaimana dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga meminta tolong kepada tabib untuk mengobati sahabat beliau radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit. Dan sikap ini pula yang dicontohkan oleh para ulama rahimahumullahu Ta’ala sebagaimana penjelasan selanjutnya.

Contoh Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Para Ulama dalam Menyikapi Metode Pengobatan Orang Kafir

Mengapa kita mengatakan bahwa sikap ke tiga, yaitu sikap pertengahan, merupakan sikap yang terbaik berkaitan dengan thibb nabawi? Hal ini karena kita dapati contoh teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkaitan dengan thibb nabawi ini.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sumber referensi utama kita dalam mengenal dan mempelajari thibb nabawi. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata juga bersikap terbuka dengan metode pengobatan atau praktik-praktik kesehatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

Dari Jadamah binti Wahb radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ، فَنَظَرْتُ فِي الرُّومِ وَفَارِسَ، فَإِذَا هُمْ يُغِيلُونَ أَوْلَادَهُمْ، فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ ذَلِكَ شَيْئًا

“Sungguh aku berkeinginan untuk melarang kalian dari melakukan ‘al-ghilah’ (yaitu, menyetubuhi istri ketika sedang menyusui anaknya). Namun aku melihat (orang-orang) Romawi dan Persia, mereka melakukan ‘al-ghilah’ terhadap anak mereka, dan tidak membahayakan (anak-anak) mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1442)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang perbuatan menyetubuhi istri ketika menyusui berdasarkan pengetahuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap praktek dan pengalaman orang-orang Romawi dan Persia yang notabene adalah bangsa non-muslim.

Dalam hadits yang lain, dari Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

“Pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku. Beliau meletakkan tangannya di antara dua buah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kalidah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya ia adalah seorang tabib. Dan hendaknya dia [Al-Harits bin Kalidah] mengambil tujuh buah kurma ajwah, ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.”(HR. Abu Dawud no. 3875) [1]

Meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ramuan obat yang sebaiknya diminum, beliau tidak meracik dan mengobati sahabatnya sendiri. Beliau meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar menemui ke Al-Harits bin Kalidah yang merupakan seorang tabib.

Demikian pula teladan dari ibunda kaum muslimin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mempelajari berbagai jenis metode pengobatan. Hisyam bin ‘Urwah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

يَا أُمَّتَاهُ لَا أَعْجَبُ مِنْ فِقْهِكِ أَقُولُ زَوْجَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَلَا أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالشِّعْرِ وَأَيَّامِ النَّاسِ أَقُولُ: ابْنَةُ أَبِي بَكْرٍ وَكَانَ أَعْلَمَ النَّاسِ وَلَكِنْ أَعْجَبُ مِنْ عِلْمِكِ بِالطِّبِّ كَيْفَ هُوَ؟ وَمِنْ أَيْنَ هُوَ؟ وَمَا هُوَ؟ قَالَ: فَضَرَبَتْ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَتْ: أَيْ عُرَيَّةُ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْقَمُ فِي آخِرِ عُمُرِهِ فَكَانَتْ تَقْدُمُ عَلَيْهِ الْوُفُودُ مِنْ كُلِّ جِهَةٍ فَتَنْعَتُ لَهُ فَكُنْتُ أُعَالِجُهُ فَمِنْ ثَمَّ

“Wahai ibu (ummul mukminin), saya tidak heran ketika Engkau menguasai ilmu fiqh karena Engkau adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak Abu Bakar. Saya juga tidak heran ketika Engkau pandai ilmu sya’ir dan sejarah manusia (Arab) karena Engkau adalah anak Abu Bakar dan Abu Bakar adalah manusia yang paling pandai (mengenai sya’ir dan sejarah Arab, pen.).

Akan tetapi, saya heran ketika Engkau mengusasi ilmu pengobatan (kedokteran), bagaimana dan dari mana Engkau mempelajarinya?

Kemudian ia menepuk kedua pundakku dan berkata, “Wahai Urwah yunior, setiap utusan kabilah yang datang dari berbagai penjuru untuk mengobati sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada akhir hayatnya, aku deskripsikan sakit yang diderita Nabi kepada dokter yang datang lantas aku yang menjelaskan resep yang diberikan dokter tersebut. Dengan hal ini aku menguasai ilmu kedokteran.” (Hilyatul Auliya’, 2: 50)

Kisah di atas menguatkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mempelajari berbagai model pengobatan dari berbagai sumber, meskipun beliau sendiri adalah di antara sahabat yang paling dalam ilmunya terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula sikap yang dicontohkan oleh para ulama kita rahimahumullah. Kita dapati perkataan yang masyhur dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah yang memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani. Padahal mereka adalah orang-orang kafir.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

لا أعلم علما بعد الحلال والحرام أنبل من الطب إلا أن أهل الكتاب قد غلبونا عليه

“Saya tidak mengetahui sebuah ilmu -setelah ilmu tentang halal dan haram (yaitu ilmu agama, pen.)- yang lebih berharga daripada ilmu kedokteran. Akan tetapi, ahli kitab telah mengalahkan kita.” (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pun menyesalkan kaum muslimin yang menyia-nyiakan dan lalai untuk belajar ilmu kedokteran. Beliau mengatakan,

ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى

“Mereka (umat Islam) telah menyia-nyiakan sepertiga ilmu (yang beliau maksud adalah ilmu kedokteran, pen.) dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani. (Siyar A’laam An-Nubalaa’, 8: 528)

Tidak kita ragukan bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah ulama yang memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan thibb nabawi. Dan jika menurut beliau itu sudah cukup, lalu untuk apa beliau memuji ilmu kedokteran Yahudi dan Nasrani, dan bahkan menyesalkan kondisi kaum muslimin yang jauh tertinggal dalam bidang ilmu kedokteran dibandingkan mereka?

Sekali lagi dapat kita simpulkan bahwa sikap terbaik adalah sikap pertengahan. Yaitu kita beriman dengan keutamaan thibb nabawi sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dengan tetap bersikap proporsional. Di antaranya dengan bersikap terbuka terhadap metode pengobatan yang dikembangkan ilmu kedokteran medis saat ini, selama tidak menyelisihi hukum-hukum syariat.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

أرى أن يجمع الإنسان بين هذا وهذا ولا منافاة بأن يجمع بين الرقية الشرعية وكذلك الأدوية الحسية ولا مانع

“Saya berpendapat hendaknya manusia menggabungkan antara ini (ruqyah syar’iyyah, pen.) dan ini (ilmu pengobatan, pen.). Tidak ada pertentangan dan penghalang dalam menggabungkan ruqyah syar’iyyah dan ilmu pengobatan.” (Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14) [2]

Beliau rahimahullah juga berkata,

الأمراض النفسية كثيراً ما تستعصي على الأطباء إذا عالجوها بالأدوية الحسية، ولكن دواؤها بالرقية ناجع ومفيد ، وكذلك الأمراض العقلية، تنفع فيها الأدوية الشريعة وقد لا تنفع فيها الأدوية الحسية، لذلك أريد منكم أيها الأخوة أن تلاحظوا هذا وإذا أمكنكم أن تجمعوا بين الدواءين فهو خير، أي الحسي والشرعي، حتى تصرفوا قلوب المرضى إلى التعلق بالله عزوجل وآياته، وحينئذ أحيلكم إلى الكتب المؤلفة في هذا الشأن، أن تطالعوها وتحفظوها وترشدوا إليها المرضى، لأن تعلق المريض بالله عز وجل له أثر قوي في إزالة المرض أو تخفيف المرض

“Penyakit kejiwaan itu banyak, yang tidak mampu diobati oleh para dokter dengan pengobatan fisik. Akan tetapi, pengobatan dengan ruqyah akan berhasil dan bermanfaat. Begitu juga penyakit akal, terkadang pengobatan syar’i akan bermanfaat, namun pengobatan fisik tidak mendatangkan manfaat.

Oleh karena itu, aku menginginkan kalian saudara-saudaraku (para dokter) untuk memperhatikan hal ini. Dan jika memungkinkan bagi kalian untuk menggabungkan kedua jenis pengobatan ini, tentu lebih baik, yaitu pengobatan fisik dan pengobatan syar’i. Sehingga hal ini akan mendorong kalian untuk mempelajari buku-buku yang membahas ruqyah, menelaah, menghapal, dan mengarahkan orang sakit untuk membaca buku ruqyah. Bergantungnya hati orang sakit kepada Allah Ta’ala memiliki pengaruh yang kuat untuk menghilangkan atau meringankan penyakit.” (Al-Irsyaad li Thabiibil Muslim, hal. 14)

Semoga dengan penjelasan ini dapat membuka ilmu dan pengetahun saudara-saudara kami yang masih berlebih-lebihan dalam menyikapi thibb nabawi.

Selesai

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47429-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-3.html

Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 2)

Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Murni Ibadah ataukah Ada Manfaat Kesehatan?

Ibadah dan mentauhidkan Allah Ta’ala merupakan tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Di atas pondasi inilah, seluruh ajaran dan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpangkal, yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan umatnya dari kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan),’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl [16]: 36)

Sehingga tujuan utama dari amal yang kita lakukan adalah beribadah dan mengharap pahala dari-Nya, bukan tujuan-tujuan rendah yang sifatnya duniawi semata, termasuk tujuan kesehatan.

Oleh karena itu, berkaitan dengan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manfaat kesehatanharus kita bedakan beberapa jenis ini:

Pertama, murni ibadah atau mencari keberkahan (tabarruk).

Jenis pertama, yaitu syariat yang dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena murni ibadah kepada Allah Ta’ala atau dalam rangka mencari berkah (tabarruk). Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Ada atau tidak ada manfaat kesehatan yang diperoleh, amal tersebut hukumnya bisa jadi sunnah atau wajib.

Contoh, tahnik bayi baru lahir. Hukum tahnik kepada bayi baru lahir adalah sunnah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dalam rangka tabarruk (mencari berkah dengan beribadah kepada Allah Ta’ala)Tidak ada kaitannya dengan manfaat kesehatan tertentu yang diterima oleh sang bayi. Oleh karena kita, kita pun melakukan tahnik dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala (bukan karena mencari berkah dari air liur pentahnik).

Kami jumpai beberapa pendapat yang mencoba menjelaskan manfaat tahnik bagi kesehatan bayi, misalnya untuk meningkatkan kadar glukosa darah bayi. Namun, tampaknya jauh sekali dan tidak didukung oleh pembuktian yang valid. Karena kuantitas lumatan kurma tentu sangat sedikit (minimal) sekali dan juga bervariasi antar individu pentahnik. Oleh karena itu, hendaknya kita mencukupkan diri dengan penjelasan ulama bahwa hikmah tahnik adalah agar yang pertama kali masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis dan tidak perlu menghubung-hubungkan atau mencari-cari manfaat kesehatannya jika kita tidak memiliki bukti yang valid.

Contoh ke dua, yaitu perintah memanjangkan jenggot bagi kaum laki-laki. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Pangkaslah kumis dan lebatkanlah jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893 dan Muslim no. 259)

Berdasarkan perintah ini, memanjangkan jenggot hukumnya wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengaitkannya dengan manfaat kesehatan tertentu. Oleh karena itu, kewajiban kita sebagai seorang muslim yang baik adalah melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun tidak ada manfaat kesehatan yang nyata bagi tubuh kita.

Ke dua, perbuatan yang beliau kerjakan karena ada manfaat kesehatan tertentu.

Contohnya adalah bekam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bekam, dan beliau jelaskan bahwa ada manfaat kesehatan, bahkan beliau sebut sebagai sebaik-baik metode pengobatan. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah bekam itu sunnah atau mubah, maka jelas sekali bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan bekam dengan manfaat kesehatan.

Oleh karena itu, jika kita berbekam, kita bisa meniatkan untuk mengikuti (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berpahala. Di samping kita juga menginginkan adanya manfaat langsung bekam tersebut untuk kesehatan tubuh kita.

Dua hal ini hendaknya bisa dibedakan dan tidak dicampur-adukkan. Oleh karena itu, kita tidak boleh meng-klaim perbuatan yang dilakukan Nabi dalam rangka murni ibadah (jenis pertama), lalu kita katakan bahwa perbuatan tersebut memiliki manfaat kesehatan tertentu, tanpa ada dalil yang valid atau penjelasan para ulama terpercaya.

Perhatian Penting:

Sebagai sebuah metode pengobatan, thibb nabawi tidak hanya berbicara tentang jenis teknik (misalnya bekam) atau bahan (misalnya madu) yang digunakan. Akan tetapi, thibb nabawi adalah metode atau konsep yang kompleks, mencakup bagaimana mengetahui (mendiagnosis) penyakit, mengetahui dosis, indikasi, dan kontraindikasi suatu obat tertentu, dan sebagainya. Hal ini agar metode thibb nabawi tersebut menjadi metode pengobatan yang manjur (mujarab). Jika tidak terpenuhi, maka metode pengobatan tersebut, meskipun metode thibb nabawi, tidak akan memberikan kesembuhan.

Kompleksnya konsep metode thibb nabawi ini dapat kita ketahui dari penjelasan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala, salah seorang ulama pakar thibb nabawi, tentang syarat-syarat agar suatu metode pengobatan itu manjur (mujarab). Hal ini telah kami bahas di tulisan kami yang lain, sehingga silakan merujuk ke sana. [1]

[Bersambung]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47425-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-2.html

Pengertian Thibb Nabawi dan Cara Menyikapinya (Bag. 1)

Saat ini, kita jumpai adanya semangat sebagian saudara-saudara kita untuk berobat dengan metode thibb nabawi. Tentu saja semangat ini layak untuk kita syukuri, karena menunjukkan komitmen dan kesungguhan mereka untuk melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, semangat saja tidaklah cukup dalam beragama, karena harus disertai dengan ilmu yang memadai. Sebagian orang salah paham tentang thibb nabawi, dan menganggap bahwa semua bentuk pengobatan herbal termasuk thibb nabawi. Pemahaman ini tentu kurang tepat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini kami akan membahas tentang pengertian atau definisi thibb nabawi.

Mengenal Pengertian Thibb Nabawi

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

الأدوية الحسية معروفة، وهي نوعان، منها ما تلقاه الناس من الشرع، ومنها ما تلقوه من التجارب، فمما تلقاه الناس من الشرع، التداوي بالعسل فإن ذلك دواء شرعي ، ودليله قوله عزوجل في النجل: (( يخرج من بطونها شراب مختلف ألوانه فيه شفاء للناس))، ومن ذلك الحبة السوداء فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (( إنها شفاء من كل داء إلا السام )) وهو الموت، ومنها الكمأ ( نوع من الفقع) قال فيه النبي صلى الله عليه وسلم : (( الكمأة من المن وماؤها شفاء للعين))

“Metode pengobatan yang dapat kita saksikan itu ada dua jenis. Ada yang didapatkan melalui dalil syar’i dan ada yang didapatkan melalui penelitian (pengalaman). Adapun yang didapatkan melalui dari dalil syar’i contohnya adalah madu. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala tentang madu (yang artinya), “Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (QS. An-Nahl [16]: 68-69)

Contoh lainnya adalah habbatus sauda, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya habbatus sauda itu terdapat obat bagi segala penyakit, kecuali as-saam.” (Yang dimaksud dengan as-saam) adalah kematian.

Juga kam’ah (sejenis jamur tanah). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kam’ah termasuk al-mann, airnya adalah obat untuk (penyakit) mata.” (Al-Irsyaad ila Thabiibil Muslim, 1: 4)

Berdasarkan penjelasan di atas, thibb nabawi adalah metode pengobatan yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain, sumber pengetahuan tentang metode thibb nabawi adalah wahyu (dalil syar’i), baik yang didapatkan dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

طب النبي صلى الله عليه وسلم متيقن البرء لصدوره عن الوحي وطب غيره أكثره حدس أو تجربة

“Pengobatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini mendatangkan kesembuhan karena bersumber dari wahyu. Sedangkan pengobatan lainnya, kebanyakan berdasarkan praduga atau eksperimen.” (Fathul Baari, 10: 170)

Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilali hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Sesungguhnya istilah “thibb nabawi” dimaksudkan untuk semua petunjuk valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah pengobatan, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berobat dengannya atau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam gambarkan (jelaskan) kepada orang lain, baik (bersumber dari) ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits yang mulia.

Hal itu mencakup metode yang bersifat pencegahan (preventif) atau pengobatan (kuratif) yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; atau yang beliau kabarkan; atau beliau memotivasi untuk berobat dengannya; atau wasiat-wasiat beliau yang berkaitan dengan kesehatan manusia dalam berbagai kondisi kehidupannya, baik berupa makan, minum, berpakaian, tempat tinggal, pernikahan; dan mencakup pula ajaran syariat yang berkaitan dengan perkara pengobatan dan pencegahan penyakit, atau ruqyah syar’iyyah, atau adab berobat dan praktek pengobatan.” (Ath-Thibb Nabawi: Wahyun am Tajribat, hal. 5-6)

Karena bersumber dari wahyu atau penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita dapati tiga model penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pertama, penjelasan melalui ucapan (dalam bentuk kalimat berita) atau perintah secara lisan. Misalnya, perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan habbatus sauda atau kam’ah di atas. Atau perintah lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada saudara salah seorang sahabatnya yang sakit perut untuk meminum madu. [1]

Ke dua, penjelasan berupa contoh tindakan atau praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, keterangan dari sahabat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam ketika sedang berpuasa atau pada saat melakukan ihram.

Ke tiga, penjelasan berupa ucapan lisan dan praktik perbuatan (gabungan antara jenis pertama dan ke dua). Misalnya, selain melakukan bekam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan tentang keutamaan bekam dalam beberapa sabda beliau. [2]

Ke empat, penjelasan berupa persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas metode yang dilakukan oleh para sahabatnya. Misalnya, persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tindakan sahabat yang meruqyah orang yang tersengat kalajengking dengan membacakan surat Al-Fatihah. Para sahabat melaporkan metode ruqyah tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menyetujuinya dan tidak mengingkarinya. [3]

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapati bahwa sumber utama thibb nabawi adalah wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun As Sunnah. Oleh karena itu, thibb nabawi tidaklah identik dengan pengobatan herbal saja, apalagi herbal dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak terdapat penjelasannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, obat-obatan herbal yang berasal dari daerah tertentu (Cina atau India) yang tidak berdalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika ada seorang praktisi herbal meracik bahan-bahan tradisional tertentu, lalu dicampur dengan sedikit madu atau sedikit habbatus sauda, maka ramuan ini tentu tidak layak diklaim sebagai thibb nabawi. Apalagi jika klaim tersebut hanya bertujuan untuk menipu konsumen dan melariskan dagangan saja. Selain itu, kita juga tidak boleh beranggapan bahwa ramuan tersebut merupakan bagian dari ajaran agama Islam, sehingga apabila dipraktikkan akan mendapatkan pahala atau mendapatkan keberkahan.

[Bersambung]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47421-pengertian-thibb-nabawi-dan-cara-menyikapinya-bag-1.html