Hukum Oleh-Oleh Haji dan Umrah

Telah menjadi kebiasaan orang yang pergi haji dan umrah membawa oleh-oleh ke tanah air. Ternyata kebiasaan ini adalah hal yang dianjurkan oleh para ulama, karena hal ini dapat menyatukan hati dan menghilangkan dendam serta permusuhan.

Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani menjelaskan,

تستحب الهدية, لما فيها من بطييب القلوب و إزالة الشحناء

“Dianjurkan untuk memberikan hadiah (oleh-oleh haji), karena dapat menyatukan hati dan menghilangkan dendam dan permusuhan.” [Al-Umrah wal Hajj Wa Ziyarah hal 30, Syaikh Al-Qahthani]

Secara umum kita dianjurkan untuk saling memberikan hadiah, sebagaimana dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺗَﻬَﺎﺩُﻭْﺍ ﺗَﺤَﺎﺑُّﻮْﺍ
“Saling memberi hadiah-lah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (Al-Adabul Mufrad no.594)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan,

ولأنها سبب للألفة والمودة. وكل ما كان سبباً للألفة والمودة بين المسلمين فإنه مطلوب؛ ولهذا يُروى عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أنه قال: (تهادوا تحابوا)، وقد تكون أحياناً أفضل من الصدقة وقد تكون الصدقة أفضل منها

“Karena hadiah merupakan sebab persatuan dan rasa cinta. Apapun yang dapat menjadi sebab persatuan dan rasa cinta antar kaum muslimin, maka ini dianjurkan. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ‘“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, Niscaya kalian akan saling mencintai’.Terkadang memberi hadiah itu lebih baik dan terkadang sedekah itu lebih baik (pada keadaan tertentu).” [sumber: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_6080.shtml]

Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani membawakan sebuah syair Arab mengungkapkan tentang hadiah:

هدايـا النـاس بعضهم لبعض تولـد فـي قلوبهم الوصال

“Saling memberikan hadiah di antara manusia satu sama lainnya akan menimbulkan hubungan (hangat) dalam hati mereka.”

Beliau menceritakan juga seorang yang menyambut orang yang pulang haji dan umrah, tetapi orang tersebut tidak membawa oleh-oleh sedikitpun. Lalu ia membuat syair yang menunjukkan kekecewaannya:

كأن الحجيج الآن لم يقربوا مني

ولم يحملوا منها سواكاً ولا نعلاً

أتونا مما جادوا بعود أراكة

ولا وضعوا في كف طفل لنا نقلاً

“Jamaah haji sekarang tidak mendekat, tidak membawa sedikitpun (oleh-oleh) baik siwak maupun sandal

Ia mendatangi kita tidak berbuat baik walaupun dengan kayu siwak, tidak juga meletakkan di tangan anak-anak kami buah tangan.” [Al-Umrah wal Hajj Wa Ziyarah hal 31]

Dianjurkan membawa oleh-oleh berupa air zam-zam karena keberkahan dan manfaatnya yang sangat banyak. Mengabulkan doa dan menenuaikan keinginan sesuai dengan niat peminumnya dengan izin Allah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ

“Air zamzam itu sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya”. [HR. Ibnu Majah dan Irwaaul- 4/320]

Mujaahid rahimahullah berkata,

ماء زمزم لما شرب له، إن شربته تريد شفاء شفاك الله، وإن شربته لظمأ أرواك الله، وإن شربته لجوع أشبعك الله، هي هَزْمة جبريل وسُقيا الله إسماعيل.

“Air zamzam sesuai dengan apa yang diniatkan peminumnya. Jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu. Apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu. Dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu. Ia adalah usaha Jibril dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il”. [HR. ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 5/118]

Ibnul-Qayyim rahimahullah juga menjelaskan bawah air zam-zam dapat menyembuhkan berbagai penyakit, beliau berkata,

وقد جرّبت أنا وغيري من الاستشفاء بماء زمزم أمورا عجيبة، واستشفيت به من عدة أمراض، فبرأت بإذن الله

“Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu juga orang lain, berobat dengan air zamzam adalah  hal yang menakjubkan. Dan aku sembuh dari berbagai macam penyakit dengan ijin Allah Ta’ala” [Zaadul-Ma’ad 4/393.]

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen 

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50661-hukum-oleh-oleh-haji-dan-umrah.html

Apa Itu Tanazul saat Haji?

Kepala PPIH Arab Saudi Daker Makkah Subhan Cholid menyebut sudah ada lebih dari 100 orang jamaah yang mengajukan mutasi kloter atau tanazul. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh jamaah untuk bisa tanazul.

“Sudah, sudah ada ratusan yang mengajukan tanazul.Karena yang tertunda keberangkatannya itu berentet dari kloter awal sampai kloter akhir cukup banyak juga,” kata Subhan, Selasa (13/8).

Lalu, apa itu tanazul? Subhan menjelaskan bahwa tanazul adalah mutasi perpindahan satu kloter ke kloter lain. Baik itu kloter yang lebih awal maupun kloter yang lebih akhir.

“Itu dimungkinkan selama masih tersedia seat (pesawat) di kloter yang dituju,” kata Subhan.

Kemudian, jamaah haji yang diizinkan melakukan tanazul pertama yaitu pemulangan lebih cepat  untuk jamaah sakit. Namun, harus ada keterangan dari dokter kloter dan  tetap harus ada ketersediaan seat.

“Sakit itu ada dua kemungkinan. Sakit baring dan sakit duduk. Kalau baring tentu butuh seat lebih banyak,” kata Subhan.

Kedua, tanazul untuk penggabungan jamaah terpisah. Misalnya,  pada waktu akan berangkat tetapi jamaah tersebut sakit di embarkasi sehingga dia diberangkatkan pada kloter berikutnya.

“Begitu di sini bisa dimutasikan dan dikembalikan ke kloter asal,” kata Subhan.

Atau, yang terpisah antara keberangkatan dengan keluarga. Misalnya, orang tua, anak, suami istri yang terpisah  karena visanya tidak keluar.

“Pada saat mau berangkat belum keluar visanya. Maka begitu sampai sini itu dimungkinkan diajukan mutasinya sejauh seatnya tersedia,” kata Subhan.

Kemudian, juga soal kedinasan. Misalnya, ada seseorang yang mendaftar haji sudah lama dan menunggu antrean lama. Kemudian, saat ini dia sudah jadi pejabat dan memiliki penugasan yang tak bisa dihindari. Maka, dia bisa mengajukan proses tanazul.

Menurut Subhan, pascapuncak haji ini, jumlah yang mengajukan tanazul sudah cukup banyak. Mencapai ratusan. Dan, yang mendominasi adalah jamaah yang tertunda keberangkatannya karena sakit di embarkasi. Sehingga, ketika dia sampai di Tanah Suci mengajukan tanazul.

Adapun prosesnya yaitu, jamaah yang ingin tanazul melaporkan diri ke ketua kloter dam sektor dengan mengirimkan permohonan. Kemudian, pihak PPIH Arab Saudi mengecek ketersediaan seat pesawatnya.

Dan, pihak PPIH juga mengajukan permohonan ke Maktab. Karena, paspor jamaah disimpan di maktab sesuai kloternya masing-masing.

“Maka ketika terjadi perpindahan kloter maka juga dokumen harus ikut dipindahkan ke kloter yang dituju karena berbeda maktab,” kata Subhan.

Oleh Muhammad Hafil dari Makkah, Arab Saudi

IHRAM REPUBLIKA

Proses Pembentukan Hujan dalam Alquran

Kalangan ilmuwan meneliti proses terbentuknya awan dan bagaimana hujan terjadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Para saintis telah mempelajari beragam jenis awan. Selain itu, kalangan ilmuwan juga meneliti proses terbentuknya awan dan bagaimana hujan terjadi. Secara ilmiah, saintis memaparkan proses terjadinya hujan dimulai dari awan yang didorong angin. Awan Cumulonimbus terbentuk ketika angin mendorong sejumlah awan kecil ke wilayah awan itu bergabung hingga kemudian terjadi hujan.

Tentang fenomena pembentukan awan dan hujan itu, Alquran pun menjelaskannya secara akurat.  Simaklah Alquran surat Annur ayat 43. ”Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Maka, kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan, seperti) gunung-gunung. Maka, ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”

Menurut Harun Yahya, manusia baru mengatahi tahapan pembentukan hujan setelah radar cuaca ditemukan. Namun, Alquran telah menjelaskan secara detail pada 14 abad silam. Berdasarkan pengamatan radar, papar Harun, pembentukan  hujan terhadi dalam tiga tahap. ”Pertama, pembentukan angin; kedua, pembentukan awan; ketiga, turunnya hujan,” papar Harun.

Jauh sebelum manusia mengetahui itu, Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 48 berfirman,” Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira.”

Harun menjelaskan ayat itu sangat sesuai dengan pemantauan radar cuaca.  Tahap pertama pembentukan hujan dijelaskan lewat , ”Allah, Dialah yang mengirimkan angin…”  Tahap kedua dijelaskan dalam, ”…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…” Tahap ketiga, ”… lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya.” Sungguh Allah SWT Mahakuasa atas segala sesuatu.

REPUBLIKA


Senandung Doa Penuh Cinta Dari Balik Pagar Ma’la

Makkah (Kemenag) — Laa ilaaha illallah… laa ilaaha illallah…
Laa ilaaha illallah… laa ilaaha illallah…
Laa ilaaha illallah… muhammadur rasulullah…

Senandung tahlil terdengar lirih keluar dari mulut perempuan paruh baya itu. Tangannya yang sedikit gemetar terus menengadah, sambil terus menyenandungkan keEsaan Sang Khalik. Matanya tak beranjak menatap kerumunan ratusan bahkan ribuan orang yang berada sekitar 500 meter dari tempatnya berdiri.

Jelas tampak di raut wajahnya, keinginan untuk berada di tengah kerumunan itu. Namun apa daya… aturan di tanah Saudi ini jelas. Perempuan, tak diperkenankan masuk ke dalam area pemakaman. Maka, Nyai Heni Maryam, hanya mampu memandang ribuan pelayat yang menghantar kepergian Sang Suami KH Maimoen Zubair dari balik pagar pemakaman Ma’la, Makkah.

Sesekali, dengan ujung jilbabnya ia tampak mengusap matanya. Mungkin titik air mata tak kuasa ia tahan untuk keluar dari sepasang mata yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya. “Duduk saja dulu Bu Nyai,” bujuk dokter perempuan yang terus mendampinginya.

Bu Nyai menggeleng lemah, sambil terus menatap areal pemakaman yang sebenarnya khusus diperuntukkan bagi masyarakat Makkah tersebut. Namun akhirnya perempuan itu pun menuruti bujukan sang dokter dan kerabat. Ia pun terduduk di kursi roda yang memang sengaja dibawa untuknya.

Saya yang berada hanya dua tiga langkah di samping Bu Nyai, begitu ia biasa disapa, cukup jelas melihat bibirnya tak henti melantunkan doa…

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu. Allahumma la tahrimna ajrahu, wa laa taftina ba’dahu waghfirlana wa lahu…

Hari itu, Selasa (06/08), saya betul-betul kembali belajar tentang mencintai dari Bu Nyai. Sekitar dua jam sebelum prosesi pemakaman KH Maimoen Zubair dilakukan di komplek pemakaman Ma’la, saya kebetulan berada bersama Bu Nyai di Kantor Daker Makkah.

“Wong semalem masih ngobrol kok. Proses perginya almarhum cepat sekali,” kata Bu Nyai bercerita saat-saat terakhir sang suami.

Kalimat istighfar tak henti keluar dari bibirnya yang bergetar, seakan ingin menguatkan hati atas kepergian Sang Suami yang tiba-tiba.

“Bu Nyai mendampingi almarhum sejak jam 03.00 pagi tadi, waktu Kyai dibawa ke RS,” ujar dokter yang selalu berada di samping Bu Nyai.

“Jam 04.00 pagi, saat kami menunggu di luar ruang rawat almarhum, tiba-tiba hujan di Kota Makkah. Kami semua gak tahu kok ya menangis semua. Bu Nyai juga. Mbah Kyai kepundut pukul 04.17,” imbuhnya.

Jadi tak heran bila Bu Nyai pun ingin melihat di mana terakhir kali belahan hatinya terakhir disemayamkan. Maka, di sinilah kami. Berada di bawah langit Makkah, di balik pagar pemakaman Ma’la.



Waktu terus bergulir makin siang. Beberapa kerabat mulai membujuk Bu Nyai untuk beranjak dari tempatnya.

“Sudah bisa pulang bu? Istirahat yuk di apartemen?,” bujuk salah satu kerabat.

“Sebentar, saya belum lihat,” tuturnya lirih.

Bu Nyai ternyata ingin melihat pusara Kyai. Pandangannya terhalang oleh kerumunan orang yang masih memadati areal pemakaman. “Bapak-bapak tolong minggir-minggir… Bu Nyai ada di sini, Bu Nyai ingin melihat. Tolong minggir,” teriak salah seorang santri yang juga berada di luar pagar Ma’la.

Kerumunan itu pun mulai bergeser. Tak lama, tampak sebidang tanah datar dengan dua batu sebagai penanda. Di sana jasad Sang Kyai besar disemayamkan terakhir kali. Ya, kuburan di tanah Arab memang tak seperti di tanah air yang berupa gundukan disertai papan nisan.

Melihat itu airmata Bu Nyai makin menderas. Tangannya kembali menengadah, lantunan doa makin keras ia ucapkan. Allahummaghfirlahu…

Bu Nyai berulang kali memohon ampunan bagi sang kekasih hati. Ah, jika tak ada iman pada Sang Maha Cinta, bagaimana seorang istri dapat melepas suaminya tercinta.

Dari balik pagar Ma’la saya saksikan lantunan doa penuh cinta untuk Sang Kyai penebar cinta.

KEMENAG RI

Makan Kambing itu Sunah?

Hukum Makan Kambing

Benarkah makan kambing itu sunah? Bagaimana jika kita tidak doyan kambing?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Terdapat beberapa hadis yang menunjukkan kesukaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya,

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى دَعْوَةٍ ، فَرُفِعَ إِلَيْهِ الذِّرَاعُ ، وَكَانَتْ تُعْجِبُهُ ، فَنَهَسَ مِنْهَا نَهْسَةً

Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah undangan. Kemudian dibawakanlah paha kambing, dan beliau menyukainya. Kemudian beliau menggigitnya satu gigitan. (HR. Bukhari 3340 & Muslim 501)

Apakah hadis ni menunjukkan bahwa makan kambing statusnya sunnah?

Kita berikan beberpa catatan,

Pertama, informasi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai daging kambing, bukan semua bagian kambing. Tapi hanya bagian pahanya. Dan berbeda antara menyukai daging kambing dengan menyukai bagian paha kambing. Seperti misalnya ada orang yang menyukai bagian kepala ikan. Belum tentu dia menyukai seluruh bagian ikan.

Kedua, ada pertimbangan masalah selera, mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai bagian paha kambing.

An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menukil keterangan al-Qadhi Iyadh,

قال القاضي عياض رحمه الله تعالى محبته صلى الله عليه وسلم للذراع لنضجها وسرعة استمرائها مع زيادة لذتها وحلاوة مذاقها وبعدها عن مواضع الأذى

Al-Qadhi Iyadh – rahimahullah – mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai paha kambing, karena mudah masak dan mudah dicerna, disamping lebih lezat dan lebih steril dari resiko penyakit. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 3/65)

Kemudian an-Nawawi menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

مَا كَانَ الذِّرَاعُ أَحَبَّ اللَّحْمِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَكِنْ كَانَ لاَ يَجِدُ اللَّحْمَ إِلاَّ غِبًّا فَكَانَ يُعَجَّلُ إِلَيْهِ لأَنَّهُ أَعْجَلُهَا نُضْجًا

Tidaklah Paha kambing disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain karena beliau jarang mendapatkan daging. Sehingga beliau ketika mendapatkannya, ingin segera memakannya, sebab paha adalah daging yang paling cepat masak. (HR. Turmudzi 1954 dan dinilai dhaif oleh sebagian ulama).

Berdasarkan keterangan beliau, bisa kita pahami bahwa minat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap daging kambing, murni karena pertimbangan selera. Artinya, beliau lakukan itu bukan dalam rangka mengajarkan kepada umatnya agar mereka menyukai paha kambing. Karena selera masing-masing orang berbeda.

Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya, Af’al ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Memahami Perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebutkan,

ولا بد لنا أن نفرق في أمر المحبّة والكراهية ونحوهما أيضاً بين نوعين منهما، لكل نوع حكمه:

النوع الأول: المحبّة والكراهية الناشئتان عن تعويد النفس على موافقة الشرع، بمحبة المطلوبات الشرعية، وكراهية الممنوعات، هما فعلان دالاّن على الأحكام، وينبغي الاقتداء بهما

Kita harus membedakan perkara-perkara yang disukai dan yang tidak disukai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berikut masing-masing hukumnya,

Yang pertama, perkara disukai dan yang tidak disukai yang muncul karena dorongan ingin membiasakan diri agar sesuai syariat. Dengan menyukai apa yang diajarkan syariat atau tidak menyukai yang dilarang syariat. dua perbuatan ini menunjukkan hukum. Dan selayaknya untuk diikuti.

Kemudian beliau menyebutkan contohnya,

فمن النوع الأول من المحبة والكراهة، وهي التي تدل على الحكم، ويقتدى به – صلى الله عليه وسلم – فيها، ما ورد عن عائشة رضي الله عنها أنه – صلى الله عليه وسلم -: “كان يحب التيامن ما استطاع في طهوره وتنعّله وترجّله وفي شأنه كله” (1). وكان يحب من أصحابه أبا بكر وعمر

Perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis pertama ini, yang menunjukkan hukum dan selayaknya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti, seperti pernyataan Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan bagian yang kanan semampu beliau, ketika bersuci, memakai sandal, menyisir, dan dalam semua urusan beliau. (HR. Nasai 5257), dan beliau mencintai dua manusia diantara sahabatnya yaitu Abu Bakr dan Umar.

Kemudian beliau melanjutkan jenis kedua,

والنوع الثاني: المحبة والكراهية الطبيعيتان، من محبة المستلذّات وكراهية المؤلمات. وهو الذي لا قدوة فيه لخروجه عن سلطان الإرادة

Yang kedua, suka dan tidak suka karena bawaan tabiat, seperti menyukai yang enak dimakan dan menghindari yang tidak enak dimakan. Dan kecintaan semacam ini tidak ada tuntunan untuk ditiru, karena ini di luar kendali kehendak (dorongan dari dalam).

Kemudian Dr. Muhammad Sulaiman al-Asyqar menyebutkan contohnya,

ومن النوع الثاني، وهو المحبة والكراهة الطبيعيتان، ما ورد عن عائشة أنه – صلى الله عليه وسلم – كان يحب الحلواء والعسل، ويحب الدبّاء، وكان أحب الشراب إليه الحلو البارد. وكان أحب الطعام إليه الثريد من الخبز والثريد من الحيس. وكان يكره ريح الحناء. فلا قدوة في شيء من ذلك. ومنه أنه – صلى الله عليه وسلم – ترك أكل الضبّ كراهةً له. قال: “أجدني أعافه” فلم يقتدِ به الصحابة في ذلك، بل أكله خالد بن الوليد على مائدته – صلى الله عليه وسلم

Diantara contoh  perkara disukai dan yang tidak disukai pada jenis kedua ini adalah keterangan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai makanan manis dan madu (Bukhari & Muslim). Beliau juga menyukai labu (Ahmad & Nasai). Minuman yang beliau sukai yang manis dan dingin (Muttafaq alaih). Dan roti atau adonan yang beliau sukai adalah tsarid (Abu Daud & Hakim). Beliau tidak menyukai aroma daun pacar (Ahamd & Abu Daud). Yang semacam ini tidak dianjurkan untuk ditiru.

Termasuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau makan daging dhab karena tidak suka. Beliau mengatakan, ‘Saya agak jijik’, namun ini tidak diikuti oleh sahabat. Sehingga Khalid bin Walid tetap memakan hidangan daging dhab di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Af’al ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/221-222).

Berdasarkan keterangan di atas, kami memahami bahwa memakan kambing masuk dalam perkara mubah dan bukan termasuk sunah. Sehingga bagi yang tidak doyan kambing, tidak harus memaksakan diri untuk menyukai kambing..

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/30174-makan-kambing-itu-sunah.html

Pahala Haji dan Umrah Untuk Mertua

Ibadah Haji dan Umrah Untuk Mertua

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalamu ‘ala Rasulillah waba’du.

Pada dasarnya setiap orang mendapatkan pahala dari amalnya masing-masing. Kecuali beberapa ibadah yang dikecualian oleh dalil bahwa pahalanya dapat diteruskan kepada orang lain.

Allah berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, (QS.An-Najm : 39)

Dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim dijelaskan,

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia telah meninggal, maka seluruh amalannya terputus kecuali tiga amalan : sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya.” (HR. Muslim)

Diantara ibadah yang dikecualikan di sini adalah, umrah dan juga haji. Ada beberapa hadis yang menerangkan hal ini, diantaranya :

Pertama, hadis Abu Razin Al ‘Uqaili, dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bertanya:

يا رسول الله إن أبي شيخ كبير لا يستطيع الحج و لا العمرة و لا الظعن : قال ( حج عن أبيك واعتمر )

Wahai Rasulullah, ayahku sudah sangat tua, tidak mampu haji, umrah, dan perjalanan.

Beliau menjawab, “Hajikanlah ayahmu dan umrahkanlah.”

(HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i dll)

Kedua, hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma

أتى رجل النبي صلى الله عليه وسلم فقال له إن أختي نذرت أن تحج وإنها ماتت فقال النبي صلى الله عليه وسلم لو كان عليها دين أكنت قاضيه قال نعم قال فاقض الله فهو أحق بالقضاء

Seorang laki-laki menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepada beliau, “Sesungguhnya saudara perempuanku bernadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”.

Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya ?”

“Iya”. Jawabnya

Beliau kemudian bersabda, ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Bukhari)

Dua hadis di atas sangat jelas menerangkan, bahwa haji dan umrah adalah diantara ibadah yang pahalanya dapat diteruskan untuk orang lain. Bukan berarti hanya orang yang dia niatkan yang mendapat pahala umrah atau haji, namun juga orang yang menghajikan atau mengumrahkan, juga mendapat pahala, tanpa sedikitpun dikurangi.

Apakah disyaratkan harus dari kerabat?

Mari simak penjelasan dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah nomor 159553 berikut :

لا مانع من أداء العمرة عنها بشرط أن تكون قد أديت العمرة عن نفسك أولا، ولو لم تربطك بها صلة قرابة، لأنه لا يشترط لصحة إهداء ثواب العبادة وجود القرابة

“Tidak mengapa seorang mengumrahkan orang lain, asal dengan syarat dia sudah menunaikan ibadah umrah (atau haji) untuk dirinya dahulu. Mengumrahkan orang lain boleh meskipun dia tidak ada hubungan kekerabatan dengan anda. Karena dalam menghadiahkan pahala suatu ibadah, tidak disyaratkan harus ada hubungan kekerabatan.”

Jika yang tidak ada hubungan kekeluargaan saja sah mengumrahkan orang lain, apalagi yang ada hubungan ikatan kekeluargaan seperti mertua. Dan mertua adalah diantara orang yang sangat berhak mendapatkan bakti kita. Karena merekalah yang telah berjuang menyiapkan belahan jiwa kita; istri kita sehingga menjadi pasangan hidup penyejuk pandangan kita. Mengumrahkan mereka, adalah bagian dari terimakasih kita atas jasa besar ini.

Sementara Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan,

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ

“Siapa belum berterima kasih kepada manusia, maka ia belum bersyukur kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Syarat Haji dan Umrah untuk Orang Lain

Namun, sebelum mengumrahkan atau menghajikan orang lain, perlu kita penuhi syarat berikut :

Pertama, yang mengumrahkan sudah pernah melakukan umrah/haji.

Jika seorang mengumrahkan/menghajikan orang lain, sementara dia sendiri belum pernah melaksanakannya sebelumnya, maka pahala umrah/haji itu tidak akan sampai kepada yang diumrahkan/dihajikan. Namun, pahala tersebut kembali kepada dia sendiri yang melakukannya.

Kedua, yang diumrahkan secara terus-menerus tidak mampu untuk melakukan ibadah haji/umrah sendiri.

“Terus-menerus” maksudnya ketidakmampuan yang tidak ada harapan hilang. Seperti : sakit menahun, tua renta atau bahkan sudah meninggal dunia.

Wallahua’lam bis showab.

***

Ditulis oleh Utsdaz Ahmad Anshori, Lc (Pengasuh PP. Hamalatul Quran, DIY)

Read more https://konsultasisyariah.com/33713-pahala-haji-dan-umrah-untuk-mertua.html

Bolehkah Anak Menghajikan Bapaknya?

Pertanyaan:

Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, ayahku masuk Islam setelah tua dan lanjut usia. Dia tidak sanggup mengendarai kendaraan, padahal haji suatu kewajiban atasnya. Bolehkah aku menghajikannya?”

Jawaban:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu anaknya yang paling besar?” Dia menjawab, “Benar.”

قَالَ: أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيْكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ، كَانَ ذَلِكَ يَجْزِئُ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَحُجَّ عَنْهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai hutang lalu engkau membayarnya, apakah itu bisa memadai?” Dia menjawab, “Ya.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena itu, hajikanlah dia.” (HR. Ahmad).

Abu Dzar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku seorang yang lanjut usia, tidak mampu melaksanakan haji dan umrah, bahkan (melakukan) pelajaran.”

فَقَالَ لَهُ: حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ


Nabi 
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hajikanlah untuk ayahmu dan lakukan umrah untuknya.” (Ad-Daraquthni berkata, “Semua rawi pada sanad hadits ini terpercaya.”)

Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ayahku meninggal, tetapi dia belum sempat mengerjakan haji. Apakah aku boleh menghajikannya?” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai utang, apakah engkau akan membayarnya?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ

Lalu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu, utang kepada Allah lebih berhak (untuk dibayar).” (HR. Ahmad).

Imam ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku meninggal, tetapi belum mengerjakan haji?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ayahmu mempunyai utang, lalu engkau membayar untuknya, apakah pembayaranmu diterima?” Dia menjawab, “Ya.”

قَالَ: فَاحْجُجْ عَنْهُ

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu, berhajilah untuknya.”

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa tanya jawab yang terjadi adalah semata-mata menjelaskan bahwa hukum menghajikan itu sah, bukan untuk menetapkan bahwa hukumnya adalah wajib.

Sumber: Fatawa Rasulullah: Anda Bertanya Rasulullah MenjawabTahqiq dan Ta’liq oleh Syaikh Qasim ar-Rifa’i, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Pustaka As-Sunnah, Cetakan Ke-1, 2008.
(Dengan pengubahan tata bahasa seperlunya oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/2946-anak-menghajikan-ayah.html

ISIS itu dari Salafi?

Benarkah ISIS itu Salafi?

Berbagai isu negatif yg menjangkiti umat islam, diantaranya ada yang mengatakan, isis itu berasal dari salafi. Apakah ini benar?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salafi secara bahasa berasal dari kata salaf [السلف] yang artinya pendahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membisikkan kepada Fatimah, ketika beliau merasa ajal beliau sudah dekat.

وَإِنِّى لاَ أُرَى الأَجَلَ إِلاَّ قَدِ اقْتَرَبَ فَاتَّقِى اللَّهَ وَاصْبِرِى فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ… يَا فَاطِمَةُ أَمَا تَرْضَىْ أَنْ تَكُونِى سَيِّدَةَ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ

“Saya merasa bahwa ajalku telah dekat, karena itu bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah. Karena sebaik-baik pendahulu adalah saya bagimu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Fatimah, tidakkah kamu senang jika kamu menjadi pemimpin para wanita mukminin…” (HR. Bukhari 5928 & Muslim 6467)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendahulu bagi putrinya, Fatimah. Karena beliau meninggal sebelum Fatimah.

Disebut salafy, diberi tambahan ya nisbah [السلفي] yang berarti pengikut. Sehingga disebut salafi, karena mereka memiliki komitmen untuk mengiring ajaran islam murni, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.

Selanjutnya, kita akan melihat kondisi isis. Kita tidak sedang membahas secara detail siapa itu isis. Hanya ada ada beberapa catatan mengenai ideologi isis, agar kita bisa bandingkan dengan kondisi beberapa kegiatan dakwah di tanah air.

Diantara ideologi isis yang bisa kita kenali,

[1] Mengklaim bahwa pimpinan mereka adalah Khalifah yang wajib dibaiat dan ditaati oleh setiap muslim sedunia.

Dan ini bagian dari ciri Khawarij. Dalam sejarah Islam, mereka selalu mengaku bahwa pemimpin mereka adalah pemimpin yang sah dan mutlak untuk ditaati.

[2] Mengkafirkan setiap muslim yang tidak mau membai’at khalifah mereka.

Dan ini juga bagian dari ciri Khawarij. Mereka terbiasa mengkafirkan orang Muslim yang tidak mau menerima pandangan dan pendapatnya.

[3] Menghalalkan darah setiap orang yang tidak mau membai’at khilafah mereka.

Dalam doktrin ISIS, Muslim yang di luar kelompok mereka – yang mereka sebut sebagai orang murtad –, lebih utama untuk dibunuh dan diperangi sebelum memerangi orang-orang kafir asli.

[4] Mewajibkan setiap muslim untuk membatalkan baiat mereka kepada pemimpin negara mereka masing-masing.

Karena itu, isis dimana-mana menyerukan pemberontakan terhadap pemimpin kaum muslimin di negara mereka masing-masing.

Beberapa ideologi ini bisa disaksikan dengan kasat mata bagi mereka yang membaca berita tentang isis.

[5] Orang yang melakukan dosa besar, boleh dibunuh.

Menurut mereka, seorang pemimpin harus terlepas dari dosa-dosa besar. Bila seorang pemimpin terjatuh  dalam dosa besar, wajib diganti. Bahkan harus dibunuh karena dia telah kafir disebabkan dosa besar, kecuali jika dia bertaubat dan menyatakan keislamannya kembali.

Antara ISIS dan Salafy

Untuk melihat bagaimana prinsip dakwah salafi, kita bisa menyimak buku dan referensi yang sering diajarkan para dai salafi kepada masyarakat. Jika kita sebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pemimpin dakwah salaf, bararti karya beliau bisa dijadikan representasi prinsip ajaran salafi.

Ada beberapa hal yang menonjol dari karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,

[1] Menegakkan tauhid yang benar

Tidak ada yang salah dengan dakwah, mengajak masyarakat kembali kepada ajaran tauhid yang benar. Bahkan tauhid merupakan tujuan dasar manusia dan jin diciptakan. Anda bisa membaca firman Allah di surat ad-Dzariyat,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka memurnikan ibadah kepada-Ku.” (QS. ad-Dzariyat: 56).

Ada banyak karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menjadi bukti perhatian beliau terhadap pemurnian tauhid, seperti; Kitabut tauhid, Qawaidul arba’, al-Ushul at-Tsalatsah, Kasyfu as-Syubuhat, dan masih banyak lagi risalah masalah tauhid yang beliau sebarkan ke masyarakat yang menjadi sasaran dakwah beliau.

Dan tidak ada dalam kitab-kitab itu yang mengkafirkan ahli kiblat (kaum muslimin). Yang ada adalah meluruskan sebagian tradisi kaum muslimin yang menyimpang dari ajaran tauhid yang benar.

Ini sangat berbeda dengan isis. Orang yang mendengar isis bisa memahami dengan pasti bahwa pusat perhatian isis adalah bagaimana mengajak manusia untuk membaiat khalifah mereka. terlepas dari latar belakang aqidahnya.

[2] Mengakui dan taat kepada pemimpin muslim yang sah

Di beberapa karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, beliau menegaskan bahwa bagian dari prinsip islam adalah mengakui dan mentaati pemimpin yang sah di negara mereka.

Dalam kitab yang berjudul al-Ushul as-Sittah (6 prinsip dalam beragama), beliau menyatakan di prinsip kedua,

أمر الله بالاجتماع في الدين ونهى عن التفرق فيه، فبين الله هذا بياناً شافياً تفهمه العوام ، ونهانا أن نكون كالذين تفرقوا واختلفوا قبلنا فهلكوا

Allah perintahkan untuk bersatu di atas agama yang benar, dan melarang berpecah belah. Allah jelaskan dengan penjelasan yang sangat jelas, bisa dimengerti oleh orang awam. Dan Allah melarang kita untuk meniru umat sebelum kita yang berpecah dan berselisih, sehingga mereka binasa.

Kemudian di prinsip ketiga, beliau menyatakan,

أن من تمام الاجتماع السمع والطاعة لمن تأمر علينا ولو كان عبداً حبشياً

Dan bagian dari kesempurnaan dalam menjaga persatuan adalah mendengar dan taat kepada pihak yang menjadi pemimpin kita, meskipun dia seorang budak dari Ethiopia.

Meskipun pengandaian ini tidak mungkin terjadi. Karena pemimpin tidak mungkin seorang budak. Namun, sekalipun pemimpin negara kita bukan termasuk orang yang memenuhi kriteria pemimpin yang ideal, kita tetap diwajibkan untuk tunduk dan taat, selama tidak memerintahkan untuk maksiat.

Prinsip ini juga ditegaskan para ulama salafi yang lainnya. Seperti Syaikh Abdus Salam bin Barjas, yang menulis buku khusus mengenai adab rakyat terhadap pemerintahnya, yang berjudul ‘Muamalah al-Hukkam’. Dalam buku ini, beliau banyak menegaskan pentingnya mentaati pemerintah di masing-masing wilayah. Beliau sebutkan banyak dalil dan keterangan para ulama salafi.

Karya lain yang ditulis ulama salafi mengenai pentingnya mentaati pemerintah adalah al-Adillah as-Syar’iyah fi Bayan Haq ar-Ra’i wa ar-Ra’iyah, karya Syaikh Muhammad bin Abdillah as-Subayyil. Buku ini menjelaskan tugas dan kewajiban rakyat kepada pemerintah dan sebaliknya, pemerintah kepada rakyatnya.

Ibarat langit dan bumi, ketika prinsip di atas disandingkan dengan ideologi isis. Mereka memiliki prinsip, semua pemerintah di wilayah selain daulah islamiyah adalah kafir dan wajib diberontak. Dan rakyat wajib melengserkan pemimpinnya jika mereka melakukan kesalahan yang statusnya dosa besar.

[3] Tidak mengkafirkan satupun kaum muslimin, disebabkan dosa besar

Terdapat banyak pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang menegaskan bahwa beliau tidak menngkafirkan ahli kiblat seorangpun. Kecuali perbuatan dosa yang dinyatakan sebagai kekufuran oleh syariat, seperti dosa syirik, sihir, menghina Allah atau menghina syariat, dst.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan,

لا نكفر أحداً من أهل القبلة بذنب، وإنما نكفر لهم، بما نص الله، ورسوله، وإجماع

Kami tidak mengkafirkan siapapun di kalangan ahli kiblat, disebabkan perbuatan dosa yang mereka lakukan. Kami hanya menilai kafir disebabkan perbuatan yang dinyatakan oleh Allah, Rasul-Nya dan ijma ulama bahwa itu kekufuran. (ad-Durar as-Saniyah, 1/293).

Sangat berbeda dengan prinsip isis. Mengkafirkan kaum muslimin, sudah menjadi tabiat dasar mereka, bahkan dengan alasan itu, mereka jadikan sebagai alasan untuk menghalalkan darah mereka.

Dan jika kita perhatikan, belum pernah kita jumpai di dunia maya maupun nyata, bantahan terhadap isis yang melebihi bantahan para ulama dan dai salafi. Mereka tidak hanya mengingatkan masyarakat terhadap bahaya kekejaman dan pembantaian isis. Sampai mereka juga membantah dari sisi ideologi dan landasan berfikirnya.

Ada satu kumpulan artikel para ulama salafi, yang semua berisi bantahan untuk isis berikut ideologinya. Anda bisa lihat kumpulan itu di: http://sunnahway.net/node/2589

Demikian pula, tidak ada negara yang lebih dimusuhi isis, melebihi negara yang digelari wahabi (Saudi). Sampai mereka bertekad untuk menghabisi semua rakyat Saudi. Anda bisa lihat pernyataan kemarahan mereka di:

Bukankah banyak anggota isis yang dulu belajar di timur tengah?

Kami tidak menjumpai bukti otentik tentang itu. Andaipun itu benar, seharusnya anda bisa membedakan mana guru mana murid. Dulu Washil bin Atha (Founder pemikiran Mu’tazilah) adalah muridnya Hasan al-Bashri. Namun tidak ada satupun yang mengatakan, Mu’tazilah adalah pengembangan dari ajarannya Hasan al-Bashri. Dulu, Juhayman bin Muhammad al-Uthaibi (pembajak Masjidil Haram) adalah muridnya Syaikh Ibnu Baz. Meskipun tidak ada satupun orang yang mengatakan, pembajakan masjidil haram berasal dari pemikiran Syaikh Ibnu Baz…

Ketika murid menyimpang, guru yang baik tentu tidak disalahkan.

Bisa jadi ada anggota isis yang dulunya belajar di Saudi, tapi itu sama sekali tidak sejalan dengan prinsip yang diajarkan para ulama Saudi.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/29717-isis-itu-dari-salafi.html

Syiah: HomoSeks dan Sodomi itu Ibadah

Ajaran Syiah: HomoSeks dan Sodomi itu Ibadah

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ada satu risalah yang ditulis salah satu tokoh syiah, dia bergelar al-Mufassir (ahli tafsir), al-Muhaddits (ahli hadis), dan al-Muarrikh (ahli sejarah) versi syiah. Dia bernama Samahah Sayid Mulah Zadah Ridha.

Dia menyatakan,

كان قد سألني بعض الأصحاب أن أكتب له رسالة مختصرة في وصف وفضائل وطء الأدبار ، تكون جامعة وكافية وشافية… ولما كثر الإلحاح والطلب صرفت بعض الوقت قبيل وطء صبياني الحسان في كتابة هذه الرسالة النفسية وسميتها ” الإخبار بما صح في ضرب الحلق من فضائل مروية عن سادة آل البيت وآثار معتبرة وأخبار”.

Ada sebagian kawan yang memintaku untuk menulis risalah ringkas tentang cara dan keutamaan menyetubuhi dubur, yang lengkap dan komprehensif… ketika permintaan semakin banyak, aku sediakan waktu khusus, sebelum aku menyetubuhi anak-anakku yang cakep, untuk menulis risalah yang mulia ini. Yang aku beri nama: “al-Ikhbar bima shahha fi dharbil halqi min fadhail, marwiyah ‘an sadati alil bait, wa atsaar mu’tabarah wa akhbar.” Artinya, “Informasi terkait riwayat yang shahih tentang keutamaan menyetubuhi dubur. Berdasarkan riwayat dari pemuka ahlil bait dan riwayat-riwayat yang diterima.”

Selanjutnnya Zadah Ridha memberikan mukadimah,

وأقول بداية أن الله خلق الأدبار لتكون موضعاً شريفاً للأزْبَـار ، وحكمتها تضاهي حكمه خلق الليل والنهار ، والوطء مرغوبٌ فيه وقت الإقامة والأسفار ، فالإسْتُ الحصن الحصين وهي العلاج إذا فقد الطب عمل يسير يعود بالنفع على فاعليه بالأجر الكثير رؤية الإست عبادة ، ولمسها عبادة وتقبيلها عبادة ، ووطئها عبادة ، والنظر إلي الدبر، والبحث عنه عباده ومجرد التفكير في الإست أو الدبر هو عبادة محضة

Saya awali dengan pernyataan, bahwa Allah menciptakan dubur untuk menjadi tempat mulia bagi azbar (penis). Hikmahnya seperti hikmah penciptaan siang dan malam. Senggama sangat diinginkan ketika itu, baik ketika di rumah maupun ketika safar. Pantat adalah pelindung, yang menjadi obat ketika tidak ada dokter. Amal yang mudah tapi memberikan manfaat dan pahala besar bagi pelakunya. Melihat pantat itu ibadah, mengelus pantat ibadah, menciumnya ibadah, menyetubuhinya ibadah, melihat dubur ibadah, mengarah ke dubur ibadah, membayangkan pantat dan dubur juga ibadah.

Laa haula wa laa quwwata illaa billaah…

Lalu dia mulai membawakan riwayat dusta dari imam mereka – ahlul bait –,

عن جدنا الإمام موسى الكاظم عليه السلام قال: لا يبلغ عبد درجة الإيمان حتى يُضرَب أو يَضرب الحلَق “

Dari kakek kami, Imam Musa al-Kadzim – ‘alaihis salam – bahwa seorang hamba tidak akan sampai pada derajat iman, sampai dia disetubuhi atau menyetubuhi di lingkar dubur.

ورويت بإسناد موثق عن الإمام جعفر الصادق عليه السلام قال: من سعادة المؤمن أن يكون مكثاراً لوطء الأدبار متقرباً بذلك إلى العزيز الغفار”

Dan diriwayatkan dengan sanad yang dipercaya, dari Imam Ja’far as-Shadiq – ‘alaihis salam –, “Bagian dari kebahagiaan seorang mukmin, dia banyak melakukan homo di dubur, dalam rangka beribadah kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

وعنه عليه السلام قال: وطء الفرج بثواب عمرة، ووطء الدبر بثواب حجة تامة

Dan juga dari Ja’far – ‘alaihis salam –, “Bersenggama di farji, pahalanya seperti umrah. Dan bersenggama di dubur, pahalanya seperti haji, sempurna.”

Tafsir firman Allah,

فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

“Datangilah sawah kalian, dengan cara apa saja yang kalian inginkan.” (QS. al-Baqarah: 223)

Menurut syiah, ayat ini adalah dalil bolehnya mensodomi.

Kata Zadah Ridha,

وحدثني آية الله العظمى ميرزا جعفر بن السيد رضا القمي قدس سره في تفسير هذه الآية قال: الآية تفيد أن وطء الدبر حلال, ويلحق

بذلك دبر الرجل لأن الأحاديث عن آل البيت صحت بذلك عبر طرق صحيحة, ولا تعارض بين القرآن وأقوال المعصومين سلام الله عليهم

Saya mendengar dari Mirza Ja’far bin Sayid Ridha al-Qumi, tentang tafsir ayat di atas,

Ayat ini menunjukkan bahwa bersetubuh di dubur halal. Termasuk dubur lelaki. Karena hadis-hadis dari Ahlul Bait statusnya shahih dari jalur yang shahih. Dan tidak ada pertentangan antara al-Quran dengan perkataan para imam yang maksum.

Di bagian akhir risalah, Zadah Ridha menyatakan dengan tegas,

لما كانت عبادة وطء الأدبار من الأعمال المباركة, وكان ثوابها مضاعفا, وعدت من علامات الإيمان, سيّما وقد صح عن الرسول الأكرم أنه قال” رحم الله من عمل عمَل قوم لوط ,وكررها ثلاثا”وقد حرّف أهل السنة الملاعين قوله”رحم الله” إلى “لعن الله” وتلك جرأة ما بعدها جرأة وكفر وزندقة

Karena ibadah dengan menyetubuhi dubur diberkahi, pahalanya berlipat, dan bagian dari tanda iman, terlebih terdapat riwayat yang shahih dari Rasul yang mulia, beliau bersabda,

رحم الله من عمل عمَل قوم لوط

“Semoga Allah merahmati orang yang melakukan perbuatan seperti kaumnya Luth.”

Beliau ulangi 3 kali.

Namun hadis ini telah diselewengkan oleh ahlus sunah – yang terlaknat –. Sabda beliau, “Semoga Allah merahmati” diganti dengan “Semoga Allah melaknat.” Dan itu tindakan lancang dan kekufuran.

Dan masih banyak pernyataan Zadah Ridha yang lebih ngeres dibandingkan ini…

Sumber: http://www.forsanhaq.com/showthread.php?t=111060

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/26479-syiah-homoseks-dan-sodomi-itu-ibadah.html

Terorisme dan Pengeboman

“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa beberapa waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional sebelumnya dikejutkan dengan munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas tentang sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata salah penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan berdampak buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai terorisme dalam Islam dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan harus diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau bahkan merasa simpati dan ikut tertarik dengan pemikiran mereka.

Awas Bahaya Laten Khowarij !!!

Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini bukanlah pemahaman baru yang dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak dulu dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula oleh orang-orang jahil yang sebetulnya punya semangat tinggi, tapi salah jalan.

Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghonimah (harta rampasan perang). Dalam pembagian tersebut ada yang mendapat bagian banyak adapula yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi. Kemudian muncullah seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak terima dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi dan mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad, karena sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil jika saya saja sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.” Tatkala itu Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta izin pada Nabi untuk memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian dibanding sholat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka (Mereka adalah ahli ibadah, -ed). Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan mereka. Mereka telah keluar dari batas-batas agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan Muslim 1064)

Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya kedua kholifah tersebut. Pada masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah, maka mereka berdua mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap beliau dan memisahkan diri, dan menetap di Haruro’ sehingga mereka dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.

Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan mereka. Diantara isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini berdalil dengan firman Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik Allah.” (QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah kalian kembali?” Mereka menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35). Akhirnya dua ribu orang sadar dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu.

Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin beliau bersabda, ‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan nama tidak merubah hakekat dan wajah asli.

Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!

Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri itu adalah:

1. Mengkafirkan pelaku dosa besar

Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka (khowarij) terhadap Al Quran meski mereka tidak bermaksud menentang Al Quran, mereka memahami wajibnya mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa orang mukmin itu hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa tidak baik lagi bertaqwa dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)

Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus dikembalikan kepada pada Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana penghalalan, pengharaman. Kita tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab dan sunnah atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah cukup dengan semata-mata didasari prasangka, karena akan menimbulkan akibat-akibat yang berbahaya, seperti penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi, pernikahannya menjadi batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat murtadnya seseorang. Karena itulah Nabi memperingatkan dari hukum pengkafiran terhadap seseorang yang bukan kafir, beliau bersabda: “Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka sungguh akan kembali kalimat itu pada salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan itu (maka kalimat itu tidak akan mengenainya) dan jika tidak, maka akan kembali kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)

Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan mengampuni dosa lain di bawah syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila seseorang berbuat kesyirikan dan belum bertaubat sampai ia meninggal maka Allah tidak akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik seperti judi, minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi mengampuninya.

Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang ulama, bukan orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika melihat ada orang lain yang melakukan perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan meriam takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini harus melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang (seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat mengerti, mengapa dengan mudahnya mereka membom dan menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka halal untuk ditumpahkan.

2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang sah

Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak pada pemerintah yang sah seperti kita lihat pada kisah di atas. Mereka telah memberontak kepada Ali bin Abi Tholib dan kholifah selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan hukum Islam namun karena satu kesalahan dalam berhukum -menurut paham mereka- mereka berontak, apalagi apalagi penguasa yang jelas-jelas menerapkan hukum thogut.

Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan dengan pemahaman Ahlus Sunnah yang mengharuskan untuk tetap mendengar dan taat kepada mereka selama tidak bertentangan dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat zholim kepada rakyatnya. Bahkan Nabi melarang untuk menentang kepada para penguasa kecuali bila melihat ada kekufuran yang sangat jelas dengan sabdanya, “Kecuali engkau melihat kufur yang nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari Allah.” (Mutafaqun’alaih). Maksud dari “Kecuali Engkau melihat!” yaitu tidaklah cukup berdasar pada persangkaan dan kabar angin semata. Maksud dari “… kekufuran” yaitu tidak cukup adanya kefasikan meskipun besar seperti kezholiman, minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan monopoli yang diharamkan. “yang nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup kekufuran yang tidak nyata, tidak jelas, lagi tidak tampak. Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya yaitu harus ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya dan gamblang penunjukannya. Maka tidak cukup jika dalil itu sanadnya lemah dan samar penunjukannya. Serta sabda Nabi “Dari Allah”, maksudnya yaitu didukung oleh dalil yang benar dari Al Quran dan As Sunnah.

3. Menghalalkan darah kaum muslimin

Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang Khowarij, “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala.” (HR. Bukhori, Muslim). Sehingga pada kenyataannya kita saksikan mereka tidak merasa berdosa telah membunuh kaum muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa bangga dengan aksinya itu.

Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan haram untuk diterjang, yaitu: agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Tidak ada perselisihan diantara kaum muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia memikul dosa yang besar.

Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93). Begitu juga sabda Nabi dalam sunan Nasa’i dari Abdulloh bin Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.”

Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli dzimmah (orang bukan islam yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam). Nabi bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya bisa dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhori)

4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)

Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya. Dan demikianlah syiar khowarij dari masa ke masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan ayat di atas minimalnya mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini. Mereka memahami makna kafir secara tekstual dan tanpa perincian. Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum dengan selain hukum Allah merupakan kekufuran yang mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu makna saja seperti juga dzolim dan fasik. Kata dzolim dan fasik tidak mesti pelakunya keluar dari Islam.

Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak seperti pendapat mereka, ini bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok 2/212, shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu bahwa seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah, terkecuali apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau meyakini bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang hukum Allah.

5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka

Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam tidak ikhlas dalam pembagiannya, demikian juga khowarj dimasa Ali bin Abi Tholib dengan beraninya mereka menyelisihi paham para sahabat yang notabene adalah ulama umat ketika itu. Dan tentunya para sahabat lebih paham tentang maksud ayat daripada mereka. Demikian pula keadaan khowarij masa kini. Mereka menutup telinga terhadap nasehat para ulama bahkan menuduh para ulama sebagai ulama “piring” atau ulama pemerintah. Mereka maksudkan dengan tuduhan tersebut bahwa para ulama berfatwa demi kepentingan piring atau pemerintah semata.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia. Namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorangpun ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai tokoh. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.”

Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah meninggalkn fatwa ulama. Imam Ath Thurhusi berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa atass dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”

Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?

Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah, bahkan jihad fisik adalah salah satu dari dua penopang Islam selain tiang bayan (ilmu), yang merupakan jihad lisan. Penyebaran ilmu syar’i merupakan jihad yang lebih utama dari jihad fisik, apalagi ketika meratanya kebodohan terhadap ilmu syar’i pada masyarakat. Dengan jihad maka tegaklah kemuliaan kaum muslimin. Sebaliknya jika kaum muslimin melalaikan jihad maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad termasuk ibadah, dan ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal itu ikhlash dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka harus diserahkan kepada ulama senior. Merekalah yang berhak mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi wewenang orang bodoh lagi masih ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat. Dan para ruwaibidhoh mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berkomentar tentang urusan rakyat banyak.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)

Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa bahan peledak di tubuhnya lalu meledakkan dirinya, maka perbuatan ini termasuk bunuh diri, merupakan perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana sabda Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan ditangannya, ditusukkan keperutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” (Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini disebabkan orang ini membunuh dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan Islam, bahkan malah sebaliknya. Mungkin mereka dapat membunuh sepuluh orang kafir akan tetapi orang kafir membalasnya dengan membantai ratusan kaum muslimin dengan cara-cara yang biadab.

Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim sendiri, padahal Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisa: 93) Di sisi lain perbuatan ini semakin membuat ruang gerak kaum muslimin makin sempit dan menyebabkan nama Islam tercoreng. Akibatnya dakwah Islam menjadi lebih sulit tersampaikan.

Penutup

Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat dari bahaya pemahaman khowarij. Hal ini mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu ada sampai hari kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya dengan menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga jalan paling baik ialah membekali kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang benar dan memperingatkan mereka dari setiap jalan kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu mengembalikan urusan besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat bahwa kesesatan khowarij timbul karena mereka tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih alim dalam agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.

Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-gesa dan dengan mudahnya menghukumi setiap orang yang berpenampilan fisik sama dengan para pelaku teroris kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris! Karena hal itu merupakan tindakan yang tidak didasari dengan ilmu, serta berasal dari rasa emosi belaka.

Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa istiqomah dijaman yang penuh dengan fitnah ini. Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat dengan jujur terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

***

Penulis: Abu Abdirrohman Bambang Wahono

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/434-terorisme-pengeboman.html