Menyemarakkan Membaca Alquran di Rumah

Adakah kebutuhan manusia yang melebihi kebutuhan makan dan minum? Jawabnya: ada, yaitu kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala (baca: al-Qur-an) untuk membaca, memahami dan mengamalkan kandungannya.

Al-Qur-an adalah pedoman hidup untuk kebahagiaan manusia dunia dan akhirat, petunjuk kepada jalan yang lurus, obat bagi penyakit hati manusia, penyubur keimanan dan fungsi-fungsi kebaikan lain yang dibutuhkan oleh manusia untuk kebahagiaan hidup mereka, dan ini jelas lebih dari fungsi makanan dan minuman bagi manusia.

Coba renungkan makna firman-firman Allah ‘Azza wa Jalla berikut ini:

{إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا}

“Sesungguhnya al-Qur-an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS al-Israa’).

{وَنُنزلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِين}

“Dan Kami turunkan di dalam al-Qur’an suatu yang menjadi obat (penyakit manusia) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS al-Israa’: 82).

{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an). Ingatlah, hanya dengan (membaca) petunjuk Allah (al-Qur-an) hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).

Artinya: dengan membaca dan merenungkan al-Qur-an  segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[1].

Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi bacaan al-Qur-an[2].

Dalam ayat lain, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

{قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}

“Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku (wahai manusia), lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka” (QS Thaahaa: 123).

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan jaminan bagi orang yang membaca al-Qur-an dan mengamalkan kandungannya bahwa dia tidak akan tersesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat (kelak)”[3].

Oleh karena itu, ketika menggambarkan besarnya kebutuhan manusia terhadap petunjuk Allah ‘Azza wa Jalla dalam al-Qur-an, yang ini melebihi kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Manusia butuh kepada ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) lebih dari kebutuhan mereka kepada makan dan minum, karena makan dan minum dibutuhkan (oleh manusia) dalam sehari sekali atau dua kali, sedangkan ilmu (petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an) dibutuhkan sesuai dengan hitungan (tarikan) nafas (dibutuhkan setiap saat)”[4].

Manfaat tilawah al-Qur-an bagi rumah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perumpamaan rumah yang disebut nama Allah[5] di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya adalah seperti perumpaan orang yang hidup dan orang yang mati”.

Imam an-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk (banyak) berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla (termasuk membaca al-Qur-an dan zikir-zikir lainnya) di rumah dan hendaknya rumah jangan dikosongkan dari berzikir (kepada-Nya)”[6].

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa rumah yang selalu disemarakkan dengan bacaan al-Qur-an dan zikir akan selalu hidup dan bercahaya, serta menjadi motivasi bagi para penghuninya untuk giat melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[7].

Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan fungsi diturunkannya al-Qur-an kepada manusia, yaitu sebagai pemberi kehidupan bagi hati manusia dan sumber cahaya yang menerangi hidupnya. Allah ‘Azza wa Jallaberfirman:

{وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا}

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu sebagai cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” (QS asy-Syuura: 52).

Ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di berkata: “Ini adalah (fungsi) al-Qur-an yang mulia, Allah menyebutnya sebagai ruh karena ruh yang menjadikan tubuh manusia hidup. (Demikian) pula al-Qur-an yang menjadikan hati dan jiwa manusia hidup, sehingga hiduplah (terwujudlah) dengan al-Qur-an semua kebaikan (dalam urusan) dunia dan agama, karena di dalamnya banyak kebaikan dan ilmu yang luas”[8].

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا}

“Dan apakah orang yang tadinya mati (kafir) kemudian dia Kami hidupkan (dengan petunjuk Kami) dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita dan sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS al-An’aam: 122).

Imam Ibnul Qayyim berklata: “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa kitab-Nya (al-Qur-an) yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung dua perkara (manfaat), yaitu (sebagai) ruh untuk menghidupkan hati manusia dan (sebagai) cahaya untuk menyinari dan menerangi (hidupnya)”[9].

Mengusir setan dari rumah

Di antara manfaat besar bacaan al-Qur-an di rumah adalah untuk mengusir setan, musuh utama yang selalu mengajak manusia berbuat buruk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir: 6).

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu menjadikan rumahmu (seperti) kuburan (dengan tidak pernah mengerjakan shalat dan membaca al-Qur’an di dalamnya), sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[10].

Dalam lafazh riwayat at-Tirmidzi: “…Sesungguhnya setan tidak akan masuk ke rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah”[11].

Manfaat ini tentu sangat besar, karena bagaimana mungkin akan terwujud kebaikan dan kebahagiaan dalam rumah yang dipenuhi setan, sebagai akibat tidak disemarakkan bacaan al-Qur-an di dalamnya, padahal sifat setan sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala gambarkan dalam firman-Nya:

{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ}

“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 169).

Imam al-Munawi menjelaskan bahwa termasuk makna hadits di atas adalah bahwa setan berputus asa dari upaya untuk menyesatkan para penghuni rumah yang dibaca di dalamnya surat al-Baqarah, karena dia melihat kesungguhan dan semangat mereka dalam melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla[12].

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan petunjuk kebaikan kepada umatnya yang berkenaan dengan rumah, selain membaca surat al-Baqarah, untuk mengusir setan darinya, karena keburukan yang timbul dari godaannya. Misalnya zikir ketika masuk rumah, Dari Jabir bin abdillah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[13].

Pemimpin keluarga memotivasi anggota keluarganya untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an

Seorang pemimpin keluarga berkewajiban untuk mengajak anggota keluarganya mengerjakan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama ketika mereka berada di rumah, termasuk yang paling utama di antaranya adalah memotivasi mereka untuk gemar dan tekun membaca al-Qur-an di rumah.

Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan kewajiban ini dalam firman-Nya:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[14].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[15].

Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu dan kaumnya mengunjungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah/al-Qur-an) kepada mereka”[16].

Sebagian di antara para ulama salaf ada yang mempraktekkan ini dengan mentalqinkan al-Qur-an (mendikte dan menuntun orang lain dengan membacakan al-Qur-an secara langsung lalu orang itu mengikutinya) kepada anaknya dari ayat pertama sampai terakhir, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Putra beliau yang bernama ‘Abdullah berkata: “Bapakku (Imam Ahmad) telah mentalqinkan al-Qur-an seluruhnya kepadaku dengan keinginan beliau sendiri”[17].

Beberapa cara praktis untuk mengajak anggota kelurga agar semangat membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an

1- Menjelaskan keutamaan membaca dan menghafal ayat-ayat al-Qur-an yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, karena sebaik-baik nasehat untuk memotivasi adalah nasehat dari al-Qur-an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang paling baik (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) di antara kamu adalah orang yang mempelajari dan mengajarkan al-Qur-an”[18].

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Pada hari kiamat nanti) dikatakan kepada orang yang tekun membaca al-Qur-an (sewaktu di dunia): Bacalah (al-Qur-an), naiklah (ke tingkatan surga yang lebih tinggi), dan bacalah dengan perlahan-lahan sebagaimana (dulu) kamu membacanya di dunia, karena sesungguhnya kedudukan/tempatmu (di surga nanti) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca (sewaktu di dunia)”[19].

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang yang ahli (membaca)al-Qur-an adalah orang yang terdekat dan istimewa (di sisi) Allah”[20].

2- Mentalqin/menuntun mereka secara langsung dengan membacakan ayat-ayat al-Qur-an kepada mereka kemudian mereka mengikutinya, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad. Cara ini sangat mudah dan disukai terutama oleh anak-anak.

3- Memotivasi dengan memberi hadiah bagi anggota keluarga yang rajin membaca atau menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Ini diperbolehkan[21] dan dilakukan oleh sebagian dari ulama salaf terhadap anak-anak mereka.

Imam al-Khathiib al-Bagdaadi menukil ucapan salah seorang ulama salaf dari generasi Atbaa’ut taabi’iin, Ibrahim bin Adham, beliau berkata: “Bapakku berkata kepadaku: “Wahai anakku, tuntutlah (ilmu) hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka untukmu (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut (ilmu) hadits karena motivasi tersebut”[22].

4- Mengadakan perlombaan di antara anggota keluarga untuk membaca/menghafal surat-surat tertentu dalam al-Qur-an dan memberi hadiah kepada anggota keluarga yang bacaan dan hafalannya benar[23].

Penutup

Termasuk sebab penting yang harus dilakukan pemimpin keluarga untuk menyemarakkan bacaan al-Qur-an di rumah, setelah banyak berdoa memohon taufik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah menjauhkan rumah dari perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar yang akan menjadikan Malaikat rahmat menjauh dari rumah, sehingga Setanlah yang akan  meramaikannya.

Misalnya nyanyian dan alat musik yang keduanya diharamkan dalam Islam[24], bahkan dalam hadits yang shahih[25] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan penamaan nyanyian dan alat musik sebagai “seruling setan”[26].

Demikian pula gambar atau patung makhluk yang bernyawa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat (rahmat) tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk hidup)”[27].

Juga perbuatan tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla ketika masuk rumah dan makan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seseorang masuk ke dalam rumahnya dan menyebut (nama) Allah ketika masuk dan ketika makan, (maka pada waktu itu) setan berkata (kapada teman-temannya): “Tidak ada tempat menginap dan makanan bagi kalian”. Tapi jika dia masuk (rumahnya) dan tidak menyebut (nama) Allah ketika masuk, maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap”. Dan jika dia tidak menyebut (nama) Allah ketika makan maka setan berkata: “Kalian mendapat tempat menginap dan makanan”[28].

Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat untuk kebaikan bagi keluarga muslim di dunia dan akhirat.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Ditulis oleh: Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Read more https://konsultasisyariah.com/35490-menyemarakkan-membaca-alquran-di-rumah.html

Haji Wada’, Perpisahan Rasulullah dengan Umatnya

Segala sesuatu akan ada akhirnya. Setiap kisah, ada penutupnya. Manusia datang, kemudian mereka pergi. Awalnya mereka mengucapkan salam pertemuan, lalu kemudian mereka berlalu dengan perpisahan. Hal demikian terjadi pada setiap orang, tidak terkecuali nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau datang dengan risalah dari sisi Rabnya, setelah sempurna apa yang diperintahkan kepada beliau. Saat itulah beliau kembali menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu momen besar yang menjadi perpisahan beliau dengan umatnya adalah peristiwa haji wada’, haji perpisahan.

Saat itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperlihatkan sebagian buah dari dakwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum beliau berpulang ke Rafiqul A’la, beliau diperlihatkan hampir semua wilayah di Jazirah Arab telah menerima cahaya Islam. Orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah. Agama Islam telah kokoh. Bendera-bendera tauhid telah berkibar di berbagai tempat. Dan Mekah telah kembali kepada hakikatnya, dimana Allah ditauhidkan dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun.

Tanda Wafat Nabi Sebagai Peringan Musibah

Pada akhir tahun 10 H, tampaklah beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Hal ini merupakan salah satu bentuk rahmat dan kasih sayang Allah kepada kaum muslimin. Dengan tanda-tanda tersebut mereka bisa mempersiapkan jiwa mereka untuk menerima suatu musibah berat yang akan menimpa mereka. Karena tidak ada musibah yang lebih berat bagi para sahabat melebihi musibah ditinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara tanda-tanda tersebut adalah ditaklukkannya Kota Mekah, masuk Islamnya tokoh-tokoh Bani Tsaqif di Thaif, kedatangan delegasi dan utusan negara-negara non-Islam menuju Madinah untuk memeluk Islam, dll. Ini beberapa tanda yang menunjukkan sudah dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu Abbas mengatakan tentang surat an-Nashr ini: “Ketika diturunkan, ia (surat an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat” (Tafsir an-Nasa-i).

Sebelumnya, pada bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selam 20 hari, padahal di tahun-tahun sebelumnya beliau hanya melakukannya 10 hari saja. Saat i’tikaf adalah saat dimana seseorang menyibukkan diri beribadah kepada Allah dan mengurangi interaksi dengan orang di sekitarnya. Ini merupakan pembelajaran dan persiapan bagi para sahabat. Beliau mengurangi dan sedikit berinteraksi dengan mereka, sebelum nanti beliau akan meninggalkan mereka selamanya.

Demikian juga di bulan Ramadhan di tahun tersebut, Jibril yang biasanya menyimak bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam satu kali khatam. Namun pada tahun itu Jibril menyimak dengan dua kali khatam.

Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Alquran yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘alaihi).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman. Beliau bersabda,

يَا مُعَاذُ، إِنَّكَ عَسَى أَنْ لا تَلْقَانِي بَعْدَ عَامِي هَذَا، أَوْ لَعَلَّكَ أَنْ تَمُرَّ بِمَسْجِدِي هَذَا أَوْ قَبْرِي

“Wahai Muadz sesungguhnya engkau mungkin tidak bertemu aku lagi setelah tahun ini, dan mungkin saja engkau akan melewati masjidku ini dan kuburanku ini.” Maka Mu’adz pun menangis takut berpisah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR. Ahmad).

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 10 H, mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan diri untuk menunaikan haji yang pertama sekaligus yang terakhir dalam kehidupan beliau. Yang kemudian dicatat sejarah dengan istilah haji wada’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kaum muslimin dari berebagai kabilah untuk menunaikan ibadah haji bersamanya. Diriwayatkan, jamaah haji pada tahun itu berjumlah lebih dari 100.000 orang bahkan lebih.

Haji Wada’

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Mekah saat bulan Dzul Qa’dah tersisa empat hari lagi. Beliau berangkat setelah menunaikan shalat zuhur dan sampai di Dzil Hulaifah sebelum ashar. Di tempat itu, beliau menunaikan shalat ashar dengan qashar, kemudian mengenakan pakaian ihram.

Setelah menempuh delapan hari perjalanan, sampailah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tanah kelahirannya, tanah suci Mekah al-Mukaramah. Beliau berthawaf di Ka’bah, setelah itu sa’i antara Shafa dan Marwa.

Pada tanggal 8 Dzul Hijjah 10 H, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju Mina. Beliau shalat zuhur, ashar, maghrib, dan isya di sana. Kemudian bermalam di Mina dan menunaikan shalat subuh juga di tempat itu.

Setelah matahari terbit, beliau berangkat menuju Arafah. Setelah matahari mulai bergeser, condong ke Barat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai memberikan khotbah. Dan tempat dimana beliau berkhothbah, dibangun sebuah masjid pada pertengahan abad ke-2 H oleh penguasa Abbasiyah dan diberi nama masjid Namirah. Di akhir khotbahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

Kalian akan ditanya tentangku, apakah yang akan kalian katakan? Jawab parahabat: kami bersaksi bahwa sesungguhnya engkau talah menyampaikan (risalah), telah menunaikan (amanah) dan telah menasehati. Maka ia berkata dengan mengangkat jari telunjuk kearah langit, lalu ia balikkan ke manusia: Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, sebanyak 3x” (HR. Muslim).

Setelah beliau berkhotbah, Allah Ta’ala menurunkan ayat:

اليَومَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al-Maidah: 3).

Pada saat turun ayat tersebut, Umar bin Khattab pun menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?”

Umar menjawab, “Sesungguhnya tidak ada setelah kesempurnaan kecuali kekurangan.”

Dari ayat tersebut, Umar merasakan bahwa ajal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Apabila syariat telah sempurna, amak wahyu pun akan terputus. Jika wahyu telah terputus, maka tiba saatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke haribaan Rabnya Jalla wa ‘Ala. Dan itulah kekurangan yang dimaksud Umar, yakni kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini juga kita mengetahui keagungan Kota Mekah; di sanalah syariat yang suci ini dimulai dan di sana pula syariat disempurnakan.

Dalam kesempatan lainnya, -di Mina- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali berkhotbah:

“Sesungguhnya setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari).

Kemudian beliau bersabda, “Bulan apa ini?” Kami (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama bulan ini.

Lalu beliau kembali bersabda, “Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?” Para sahabat menjawab, “Betul.”

Beliau melanjutkan, “Negeri apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama tempat ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini negeri al-haram?” Kami menjawab, “Iya, ini tanah haram.”

Beliau melanjutkan, “Lalu, hari apa ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau kembali diam sampai-sampai kami mengira beliau akan mengganti nama hari ini.

Lalu beliau bersabda, “Bukankah ini hari nahr (menyembelih kurban)?” Kami menjawab, “Iya, ini hari nahr.”

Kemudian beliau bersabda,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ، أَلا هَلْ بَلَّغْتَ؟

“Sesungguhnya darah dan harta kalian haram seperti sucinya hari kalian ini di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini sampai hari dimana kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Iya, Anda telah menyampaikan.”

فَلْيُبِلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ، فَلا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

“Maka, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari yang mendengar langsung. Janganlah kalian kembali kufur sepeninggalanku, sebagian kalian saling membunuh sebagaian lainnya.”

Setelah khotbah ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukur rambutnya kemudian menunggangi kendaraannya berangkat menuju Mekah untuk melakukan thawaf ifadhah dan shalat zuhur di Mekah. Di sana beliau meminum air zamzam. Setelah itu, kembali lagi ke Mina dan bermalam di sana.

Pada tanggal 11 Dzul Hijjah, saat matahari mulai tergelincir ke barat, beliau menuju jamarat untuk melempar jumrah. Dan di sana beliau kembali berkhotbah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Nadhrah, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاُس، إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ، وَلاَ لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلاَ لأَحْمَرَ عَلىَ أَسْوَدَ، وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

“Ingatlah bahwa Rabb kalian itu satu, dan bapak kalian juga satu. Dan ingatlah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ajam (non-Arab), tidak pula orang ajam atas orang Arab, tidak pula orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, dan tidak pula orang berkulit hitam di atas orang berkulit merah; kecuali atas dasar ketakwaan.”

Kemudian beliau bertanya, “Bukankah aku telah menyampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Rasulullah telah menyampaikan.”

Setelah itu beliau mengingatkan kembali tentang haramnya mengganggu harta, menumpahkan darah, dan menciderai kehormatan. Lalu memerintahkan para sahabat untuk menyampaikannya kepada yang tidak hadir.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mina di hari tasyrik yang ke-3. Setelah itu menuju ke Mekah untuk melaksanakan thawaf wada’. Kemudian beliau langsung berangkat menuju Madinah. Dan berakhirlah prosesi haji yang beliau lakukan.

Penutup

Inilah momen terbesar berkumpulnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan umatnya untuk terakhir kalinya. Beliau mengulang-ulang ucapan “bukankah aku telah menyampaikan?” persaksian dari umatnya sendiri bahwa beliau telah menyampaikan risalah yang telah Allah amanahkan kepada beliau. Sekaligus sebagai pertanda sudah dekatnya ajal beliau.

Kurang lebih tiga bulan kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia fana ini menuju Rabnya. Beliau berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah, menasihati umat, dan telah berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/4648-haji-wada-perpisahan-rasulullah-dengan-umatnya.html

Hukum Puasa 11 Muharram

Boleh saja dan sah puasa pada 11 Muharram dengan beberapa alasan.

Pertama:

Sebagian ulama menganggap tingkatan puasa yang paling tinggi dari puasa Asyura adalah berpuasa pada 9, 10, dan 11 Muharram (tiga hari sekaligus), di bawah itu adalah berpuasa 9 dan 10 Muharram, di bawah itu adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. Tiga tingkatan ini dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam Zaad Al-Ma’ad, 2:72.

Kedua:

Jika ragu menentukan awal bulan Muharram. Seperti di tahun 1439 H ini, ada yang mengatakan 10 Muharram itu jatuh pada hari Sabtu, ada yang mengatakan pada hari Ahad. Baiknya puasa saja tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram.

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, ”Jika ragu mengenai penentuan hilal awal  Muharram, maka boleh berpuasa pada tiga hari sekaligus (hari 9, 10, dan 11 Muharram) untuk kehati-hatian.” Ibnu Rajab menyatakan bahwa Ibnu Sirin juga berpendapat seperti itu. (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 99)

Ketiga:

Berpuasa 9, 10, dan 11 Muharram masuk dalam puasa tiga hari setiap bulannya.

Karena puasa tiga hari setiap bulan hijriyah itu bebas memilih hari apa saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

“Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: (1) berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) mengerjakan shalat Dhuha, (3) mengerjakan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari, no. 1178)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَوْمُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

Puasa pada tiga hari setiap bulannya adalah seperti puasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari, no. 1979)

Dari Mu’adzah Al-‘Adawiyyah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ قَالَتْ نَعَمْ. فَقُلْتُ لَهَا مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ يُبَالِى مِنْ أَىِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ

“Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan puasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya”. Ia pun bertanya pada ‘Aisyah, “Pada hari apa beliau berpuasa?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperhatikan pada hari apa beliau berpuasa dalam sebulan.” (HR. Muslim, no. 1160).

Ada juga puasa ayyamul bidh, yaitu tanggal 13, 14, 15 Hijriyah yang dianjurkan puasa. Di mana anjurannya seperti hadits berikut ini.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2425. Abu ‘Isa Tirmidzi mengatakan bahwa haditsnya hasan.).

Dari Ibnu Milhan Al-Qoisiy, dari ayahnya, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُنَا أَنْ نَصُومَ الْبِيضَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ . وَقَالَ « هُنَّ كَهَيْئَةِ الدَّهْرِ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan pada kami untuk berpuasa pada ayyamul bidh yaitu 13, 14 dan 15 (dari bulan Hijriyah).” Dan beliau bersabda, “Puasa ayyamul bidh itu seperti puasa setahun.” (HR. Abu Daud, no. 2449 dan An-Nasa’i, no. 2434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Kalau tidak sempat pada tiga hari tersebut bisa memilih di hari lainnya dari bulan hijriyah, bisa memilih 9, 10, dan 11.

Keempat:

Kalau tidak sempat berpuasa pada 9 dan 10 Muharram, bisa memilih berpuasa pada 10 dan 11 Muharram, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Umar Al-Muqbil hafizahullah.

Kelima:

Berpuasa 9, 10, dan 11 Muharram punya maksud untuk menyelisihi Yahudi.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam berkata, “Yang afdal adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz, http://www.binbaz.org.sa/noor/4898)

Di tempat lain, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan, “Berpuasa pada 9 dan 10 Muharram lebih utama. Adapun berpuasa 10 dan 11 Muharram, itu pun sudah mencapai maksud untuk menyelisihi Yahudi dalam berpuasa.” (Fatwa di web alifta.net)

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/16502-hukum-puasa-11-muharram.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 2)

Melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu larangan

Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimanakah status hukum melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarangnya shalat. Misalnya, seseorang masuk masjid setelah shalat subuh atau setelah shalat ashar. Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarang. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’iyyah, salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahumallah.

Ke dua, tidak disyariatkan melaksanakannya di waktu terlarangnya shalat. Inilah yang dipilih oleh madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali.

Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah karena pertentangan antara dua makna umum yang terdapat dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat tahiyyatul masjid setiap kali memasuki masjid, tanpa ada rincian. Sehingga dipahami secara umum, yaitu baik memasuki masjid di waktu terlarangnya shalat, ataukah tidak.

Makna umum dalam hadits di atas, tampaknya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yangd diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu,

لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah ‘ashar hingga matahari menghilang.” (HR. Bukhari no. 586 dan Muslim no. 827)

Hadits ke dua di atas juga mengandung makna umum, yaitu larangan untuk melaksanakan shalat apa saja, termasuk di dalamnya yaitu shalat tahiyyatul masjid, di dua waktu terlarangnya shalat tersebut (setelah subuh dan setelah ‘ashar).

Ulama yang berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid tetap disyariatkan, mereka mengatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu dikecualikan dari makna umum larangan hadits ke dua di atas. Oleh karena itu, jika seseorang masuk masjid setelah subuh atau ‘ashar, tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid.

Pendapat pertama di atas didukung oleh dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa hadits ke dua di atas juga banyak mendapatkan pengecualian.

Pengecualian pertama, yaitu melaksanakan shalat qadha’ di waktu terlarang. Misalnya, seseorang lupa shalat dzuhur, dan baru ingat setelah ‘ashar. Maka tetap disyariatkan untuk meng-qadha’ shalat dzuhur yang terlewat tersebut setelah shalat ‘ashar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}

“Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Karena tidak ada tebusannya kecuali itu. Allah berfirman, “(Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku).” (QS. Thaahaa: 14)” (HR. Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684)

Pengecualian ke dua, yaitu mengulangi shalat jama’ah di waktu terlarang. Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjamaah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda,

عَلَيَّ بِهِمَا

“Bawalah dua orang itu kemari!”

Maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi sedang urat mereka bergetar. Beliau bersabda,

مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا

“Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?”

Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami telah shalat (subuh) di tempat kami.”

Beliau bersabda,

فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Janganlah kalian lakukan. Jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala sunnah bagi kalian berdua.” (HR. Abu Dawud no. 575, Tirmidzi no. 219, dan lain-lain, hadits shahih)

Hadits ini tegas menunjukkan bolehnya mengulang jamaah bagi orang-orang yang datang ke masjid setelah mendirikan shalat subuh dan mendapati di masjid tersebut sedang dilaksanakan shalat jamaah subuh. Padahal, pada asalnya, waktu tersebut adalah waktu terlarangnya shalat untuk orang tersebut (karena sebelumnya sudah shalat subuh).

Pengecualian ke tiga, yaitu shalat dua raka’at setelah thawaf. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ

“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian mencegah seorang pun yang thawaf di ka’bah ini, dan siapa pun yang shalat kapan pun waktunya, baik waktu siang dan malam yang dia kehendaki.” (HR. Tirmidzi no. 868, An-Nasa’i no. 585, hadits shahih)

Hadits-hadits di atas memberikan pengecualian bagi hadits larangan shalat di waktu-waktu tertentu, sebagaimana dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat tahiyyatul masjid bagi siapa pun yang masuk masjid di waktu kapan pun, tidak mendapatkan pengecualian. Dan kaidah dalam ilmu ushul fiqh pun mengatakan bahwa hadits (dalil) umum yang tidak mendapatkan pengecualian itu lebih didahulukan daripada hadits atau dalil umum yang telah mendapatkan pengecualian.

Sehingga larangan shalat di waktu-waktu tertentu tersebut dimaknai sebagai larangan untuk mendirikan shalat sunnah mutlak. Yang dimaksud dengan shalat sunnah mutlak adalah seseorang melaksanakan shalat sunnah tanpa sebab tertentu, semata-mata ingin shalat. Adapun shalat sunnah karena sebab tertentu (disebut shalat dzawaatul asbaab), seperti shalat tahiyyatul masjid (disebabkan karena masuk masjid), shalat sunnah thawaf (disebabkan karena selesai thawaf), maka tidak termasuk dalam larangan di atas.

Sebagai kesimpulan, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarang. Wallahu Ta’ala a’lam. [1]

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50992-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-2.html

Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 1)

Disyariatkan bagi orang yang masuk masjid untuk mendirikan shalat dua raka’at. Shalat ini merupakan salah satu adab ketika seseorang memasuki masjid, untuk mengagungkan Allah Ta’ala, dan untuk memuliakan tempat pelaksanaan ibadah (makna dari “tahiyyah” adalah penghormatan).

Diriwayatkan dari Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714) [1]

Hukum shalat tahiyyatul masjid: wajib atau sunnah?

Sebagaimana kaidah yang populer dalam ilmu ushul fiqh, bahwa hukum asal perintah adalah wajib dilaksanakan, kecuali jika ada dalil lain yang memalingkannya dari hukum wajib. Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan kalimat perintah (“shalatlah”). Meskipun demikian, jumhur (mayoritas) ulama memahami bahwa hukum shalat tahiyyatul masjid itu sunnah, bukan wajib, karena dijumpai dalil-dalil lain yang memalingkan hukum perintah di atas dari wajib menjadi sunnah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama fatwa sepakat bahwa perintah dalam masalah ini menunjukkan hukum mustahab (sunnah).” (Fathul Baari, 1: 537)

Ibnu Daqiq Al-‘Iid rahimahullah berkata, “Jumhur ulama berpendapat tidak diwajibkannya dua raka’at shalat tahiyyatul masjid.” (Ihkaamul Ahkaam, 2: 467)

Sebagian ulama bahkan mengklaim bahwa ini adalah ijma’ ulama. Sebagaimana perkataan An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah, ”Sesungguhnya hal itu (disunnahkannya shalat tahiyyatul masjid) adalah ijma’ kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 233)

Akan tetapi, klaim ijma’ dalam masalah ini perlu ditinjau kembali karena sebagian ulama dari madzhab Dzahiriyyah berpendapat bahwa hukum shalat tahiyyatul masjid itu wajib. [2]

Dawud Adz-Dzahiri rahimahullah adalah ulama yang memunculkan pendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid itu wajib, meskipun pendapat tersebut tidak disetujui oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Setelah Dawud Adz-Dzahiri rahimahullah, pendapat wajib tersebut kemudian diikuti oleh Asy-Syaukani rahimahullah (dalam Nailul Authar, 3: 79)Ash-Shan’ani rahimahullah (dalam Subulus Salaam Syarh Bulughul Maraam) [3]Siddiq Hasan Khan rahimahullah (dalam Raudhah An-Nadhiyyah), dan ulama kontemporer yang juga berpendapat wajib adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (dalam Al-Ajwibah An-Naafi’ah). [4]

Di antara landasan (pegangan) jumhur ulama untuk memalingkan perintah hadits di atas menjadi sunnah adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Busr rahimahullah, beliau berkata,

جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

“Seseorang datang dengan melangkahi pundak orang-orang pada hari Jum’at, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berkhutbah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Duduklah, kamu benar-benar telah mengganggu (orang lain).” (HR. Abu Dawud no. 1121, An-Nasa’i no. 1399, dan lain-lain, hadits ini shahih)

Sisi pendalilan dari hadits tersebut adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk duduk, dan tidak memerintahkannya untuk shalat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Seandainya shalat tersebut wajib, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkannya untuk shalat terlebih dahulu sebelum duduk.

Adapun ulama yang mengatakan wajib, mereka pun berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu di atas, karena hukum asal perintah adalah wajib. Selain itu, mereka kuatkan pendapat mereka dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، إِذْ جَاءَ رَجُلٌ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَصَلَّيْتَ؟ يَا فُلَانُ قَالَ: لَا، قَالَ: قُمْ فَارْكَعْ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepadanya, “Apakah kamu telah menunaikan shalat (dua raka’at), wahai Fulan?” Laki-laki itu pun menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Bangun dan shalatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875)

Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk shalat tahiyyatul masjid setelah dia duduk, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghentikan khutbah untuk bertanya dan memerintahkannya shalat tahiyyatul masjid. Apalagi, jamaah diperintahkan (diwajibkan) untuk mendengarkan khutbah. Dan kewajiban ini tidaklah ditinggalkan kecuali dengan kewajiban yang semisal.

Wallahu Ta’ala a’lam, pendapat yang kami pegangi adalah pendapat jumhur ulama, yang menyatakan bahwa shalah tahiyyatul masjid hukumnya sunnah, tidak sampai derajat wajib. Meskipun demikian, argumentasi yang disampaikan oleh ulama yang mengatakan wajib juga argumentasi yang kuat, yang menunjukkan ditekankannya pelaksanaan shalat tahiyyatul masjid ini. Sehingga tidak selayaknya kita meremehkannya.

Setelah membawakan dalil masing-masing pihak dalam perbedaan pendapat ini, Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah cenderung memilih pendapat yang mengatakan wajib.

Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata,

“Yang benar bahwa pendapat yang mengatakan wajib adalah pendapat yang kuat, karena kuatnya sisi argumentasinya. Dan karena sebab diwajibkannya adalah karena memasuki masjid. Sehingga tidak ada pertentangan antara hal ini (wajibnya shalat tahiyyatul masjid, pent.) dan dengan hadits yang menunjukkan bahwa selain shalat lima waktu adalah sunnah. Akan tetapi jika dikatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu sunnah mu’akkad (sunnah yang ditekankan pelaksanaannya, pent.), pendapat ini pun tidak jauh (dari kebenaran). Dan ilmu itu hanyalah di sisi Allah Ta’ala.” (Ahkaam Khudhuuril Masaajid, hal. 105) [5]

[Bersambung]

***

@Rumah Lendah, 23 Dzulqa’dah 1440/20 Juli 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50988-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-1.html

Status Orang Yang Meninggalkan Shalat Fardhu

Ibadah shalat adalah ibadah yang agung. Ia juga merupakan ibadah yang urgen dan penting untuk senantiasa di jaga. Di sisi lain, banyak pula keutamaan-keutamaan dari ibadah shalat. Maka dengan begitu tingginya kedudukan shalat dalam Islam, meninggalkan ibadah ini pun berat konsekuensinya. Silakan simak penjelasan berikut.

Urgensi ibadah shalat

Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِين

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah: 43).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

“ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling” (QS. Al Baqarah: 83).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah” (QS. Al Baqarah: 110).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَأَنْ أَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَاتَّقُوهُ وَهُوَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“dan agar mereka mendirikan shalat serta bertakwa kepada-Nya”. Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan” (QS. An An’am: 72).

Maka mendirikan shalat adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala.

Shalat juga salah satu dari rukun Islam. Dari Ibnu Umar radhiallahu’amhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بُنِيَ الإسْلامُ علَى خَمْسٍ، شَهادَةِ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وأنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ ورَسولُهُ، وإقامِ الصَّلاةِ، وإيتاءِ الزَّكاةِ، وحَجِّ البَيْتِ، وصَوْمِ رَمَضانَ

“Islam dibangun di atas 5 perkara: bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari no.8, Muslim no. 16).

Tidak semua ibadah termasuk rukun Islam. Ini menunjukkan ibadah-ibadah yang termasuk rukun Islam adalah ibadah yang sangat penting dan urgen. Dan diantaranya adalah shalat.

Keutamaan shalat

  1. Shalat adalah perkara yang akan dihisab pertama kali di hari kiamat

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أولَ ما يُحاسَبُ به العبدُ يومَ القيامةِ من عملِه صلاتُه ، فإن صَلُحَتْ فقد أَفْلَحَ وأَنْجَح ، وإن فَسَدَتْ فقد خاب وخَسِرَ ، فإن انْتَقَص من فريضتِه شيئًا ، قال الربُّ تبارك وتعالى : انْظُروا هل لعَبْدِي من تَطَوُّعٍ فيُكَمِّلُ بها ما انتَقَص من الفريضةِ ، ثم يكونُ سائرُ عملِه على ذلك

“Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka ia akan beruntung dan selamat. Jika shalatnya rusak, maka ia akan merugi dan binasa. Jika ada shalat fardhunya yang kurang, maka Allah tabaraka wa ta’ala akan berkata: lihatlah apakah hamba-Ku ini memiliki amalan shalat sunnah? Kemudian disempurnakanlah yang kurang dari shalat fardhunya. Dan ini berlaku pada seluruh amalan lainnya” (HR. At Tirmidzi no. 413, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Allah perintahkan untuk menjaga shalat setiap waktu

Allah Ta’ala berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Jagalah shalat-shalat fardhu dan jagalah shalat wustha (shalat ashar) dan menghadaplah kepada Allah sebagai orang-orang yang taat” (QS. Al Baqarah: 238).

Bahkan ketika sedang sakit sekalipun tetap diperintahkan shalat sesuai kemampuan. Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كانتْ بي بَواسيرُ ، فسأَلتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عنِ الصلاةِ ، فقال : صَلِّ قائمًا ، فإن لم تستَطِع فقاعدًا ، فإن لم تستَطِعْ فعلى جَنبٍ

“Aku pernah menderita penyakit bawasir. Maka ku bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai bagaimana aku shalat. Beliau bersabda: shalatlah sambil berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah sambil duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring menyamping” (HR. Al Bukhari, no. 1117).

  1. Shalat adalah tiang agama

Dari Imran bin Hushain radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

رأسُ الأمرِ الإسلامُ، وعَمودُه الصَّلاةُ، وذِروةُ سَنامِهِ الجهادُ في سبيلِ اللهِ

“Pangkal dari semua perkara adalah Islam dan tiang Islam dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah” (HR. At Tirmidzi no. 2616, An Nasa-i no. 11330, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Shalat menghapuskan dosa-dosa

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصَّلاةُ الخمسُ والجمعةُ إلى الجمعةِ كفَّارةٌ لما بينَهنَّ ما لم تُغشَ الْكبائرُ

“Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at selanjutnya, ini semua menghapuskan dosa-dosa di antara keduanya, selama tidak melakukan dosa besar” (HR. Muslim no. 233).

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أرأيتُم لوْ أنَّ نَهرًا ببابِ أَحدِكم يَغتسِلُ منه كلَّ يومٍ خَمْسَ مرَّاتٍ؛ هلْ يَبقَى مِن دَرَنِه شيءٌ؟ قالوا: لا يَبقَى من دَرنِه شيءٌ، قال: فذلِك مَثَلُ الصَّلواتِ الخمسِ؛ يَمْحُو اللهُ بهنَّ الخَطايا

“Bagaimana menurut kalian jika di depan rumah kalian ada sungai lalu kalian mandi di sana lima kali sehari. Apakah ada kotoran di badan yang tersisa? Para sahabat menjawab: tentu tidak ada kotoran lagi yang tersisa. Nabi bersabda: Maka demikianlah shalat-shalat fardhu yang lima, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan manusia dengan shalat-shalat tersebut” (HR. Bukhari no. 528, Muslim no. 667).

Dari Utsman bin Affan radhiallahu’anhu, bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ما مِنِ امرئٍ مسلمٍ تَحضُرُه صلاةٌ مكتوبةٌ فيُحسِنُ وُضوءَها، وخُشوعَها، ورُكوعَها، إلَّا كانتْ كفَّارةً لِمَا قَبلَها من الذنوبِ ما لم تُؤتَ كبيرةٌ، وذلك الدَّهرَ كلَّه

“Tidaklah ada seorang Muslim pun yang menghadiri shalat wajib, ia membaguskan wudhunya, membaguskan khusyuknya dna rukuknya, kecuali shalat tersebut menjadi kafarah atas dosa-dosanya yang telah lalu, selama dijauhi dosa besar. Dan itu berlaku sepanjang waktu” (HR. Muslim no. 228).

  1. Shalat mencegah orang dari berbuat maksiat

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS. Al Ankabut: 45).

Hukum meninggalkan shalat

Dengan begitu tingginya dan utamanya kedudukan shalat dalam Islam, meninggalkan ibadah ini pun berat konsekuensinya. Orang yang meninggalkan shalat karena berkeyakinan shalat 5 waktu itu tidak wajib, maka ia keluar dari Islam. Ini adalah ijma ulama tidak ada khilafiyah di antara mereka. Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan:

إذا ترَك الصلاةَ جاحدًا لوجوبها، أو جَحَدَ وجوبَها ولم يتركْ فِعلَها في الصورة، فهو كافرٌ مرتدٌّ بإجماعِ المسلمين

“Jika seseorang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat, atau ia mengingkari wajibnya shalat walaupun tidak meninggalkan shalat, maka ia kafir murtad dari agama Islam berdasarkan ijma ulama kaum Muslimin” (Al Majmu’, 3/14).

Sedangkan orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari wajibnya, namun karena malas dan meremehkan, statusnya diperselisihkan oleh ulama:

  • Madzhab Hambali berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Demikian juga salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Maliki. Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.
  • Pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, namun mereka dihukum oleh ulil amri dengan hukuman mati.
  • Pendapat madzhab Hanafi mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, namun mereka dipenjara sampai kembali shalat.

Pendapat yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir keluar dari Islam. Karena didukung oleh dalil-dalil yang kuat. Ini yang dikuatkan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Muhammad bin Ibrahim, dan para ulama besar lainnya.

Dalil Al Qur’an

Allah Ta’ala berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah menjadi orang-orang yang Musyrik” (QS. Ar Rum: 31).

Allah menyebutkan dalam ayat ini, diantara tanda orang-orang yang menjadi musyrik adalah meninggalkan shalat. Allah Ta’ala juga berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (QS. Maryam: 59).

Pada ayat-ayat selanjutnya Allah Ta’ala menyebutkan tentang keadaan kaum Mukmin beserta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Lalu di ayat ini Allah menyebutkan kaum yang lain yang bukan kaum Mukminin. Dan salah satu ciri mereka adalah menyia-nyiakan shalat.

Dalil As Sunnah

Disebutkan juga dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بَيْن الرَّجل وَبَيْن الشِّرْكِ وَالكُفر ترْكُ الصَّلاةِ

“Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim no. 82).

Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ العَهدَ الذي بيننا وبينهم الصَّلاةُ، فمَن تَرَكها فقدْ كَفَرَ

“Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir” (HR. At Tirmidzi no. 2621, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا غزَا بِنا قومًا، لم يكُن يَغزو بنا حتى يُصبِحَ ويَنظُرَ، فإنْ سمِعَ أذانًا كفَّ عنهم، وإنْ لم يَسمعْ أذانًا أغارَ عليهم

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika beliau memimpin kami untuk memerangi suatu kaum, maka beliau tidak menyerang hingga waktu subuh. Beliau menunggu terlebih dahulu. Jika terdengar suara adzan, maka kami menahan diri (tidak menyerang). Namun jika tidak terdengar adzan maka baru kami serang” (HR. Bukhari no. 610, Muslim no. 1365).

Hadits ini menunjukkan bahwa kaum yang masih menegakkan shalat maka dihukumi sebagai kaum Muslimin dan tidak boleh diperangi. Sedangkan jika tidak menegakkan shalat maka dihukumi sebagai orang kafir dan diperangi (bersama ulil amri).

Kemudian perhatikan dua hadits berikut. Dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 2155).

Dari Ubadah bin Shamit radhiallahu’anhu, ia berkata:

دعانا النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فبايعناه، فقال فيما أخذ علينا : أن بايعنا على السمعِ والطاعةِ، في منشطِنا ومكرهِنا، وعسرِنا ويسرِنا وأثرةٍ علينا، وأن لا ننازعَ الأمرَ أهلَه، إلا أن تروا كُفرًا بَواحًا، عندكم من اللهِ فيه برهانٌ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memanggil kami, kemudian membaiat kami. Ketika membaiat kami beliau mengucapkan poin-poin baiat yaitu: taat dan patuh kepada pemimpin, baik dalam perkara yang kami sukai ataupun perkara yang tidak kami sukai, baik dalam keadaan sulit maupun keadaan lapang, dan tidak melepaskan ketaatan dari orang yang berhak ditaati (pemimpin). Kecuali ketika kalian melihat kekufuran yang jelas, yang kalian punya buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari no. 7056, Muslim no. 1709).

Hadits Ubadah bin Shamit menyatakan bahwa pemimpin yang melakukan kekufuran yang nyata bisa diperangi. Sedangkan dalam hadits Auf bin Malik, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang memerangi pemimpin selama masih shalat. Ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekufuran yang nyata.

Dalil Ijma Sahabat

Dan para sahabat Nabi ijma’ (bersepakat) bahwa orang yang meninggalkan shalat 5 waktu maka dia keluar dari Islam. Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili mengatakan:

لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

“Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dari Musawwar bin Makhramah radhiallahu’anhu:

أنَّه دخَلَ مع ابنِ عبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهما على عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه حين طُعِن، فقال ابنُ عبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهما: (يا أميرَ المؤمنين، الصَّلاةَ! فقال: أجَلْ! إنَّه لا حَظَّ في الإسلامِ لِمَنْ أضاعَ الصَّلاةَ)

“Ia masuk ke rumah Umar bin Khathab bersama Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma ketika Umar (pagi harinya) ditusuk (oleh Abu Lu’luah). Maka Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Wahai Amirul Mukminin, ayo shalat! Umar pun menjawab: betul, tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat” (HR. Malik dalam Al Muwatha, 1/39, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/225).

Demikian juga ternukil ijma dari kalangan tabi’in. Dari Ayyub bin Abi Tamimah As Sikhtiyani, beliau mengatakan:

ترك الصلاة كفر لا نختلف فيه

“Meninggalkan shalat dalah kekufuran, kami (para tabi’in) tidak berbeda pendapat dalam masalah tersebut” (HR. Al Marwadzi dalam Ta’zhim Qadris Shalah, no. 978).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

إذا كان مُقرًّا بالفريضة، ولكن نفسه تغلبه كسلًا وتهاونًا، فإنَّ أهل العلم مختلفون في كفره، فمنهم مَن يرى أنَّ مَن ترك صلاة مفروضة، حتى يخرج وقتُها فإنه يكفُر، ومن العلماء مَن يراه لا يَكفُر إلَّا إذا تركها نهائيًّا، وهذا هو الصحيحُ؛ إذا تركها تركًا مطلقًا، بحيث أنه لا يهتمُّ بالصلاة؛ ولذا قال صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((بين الرجلِ والشركِ تركُ الصَّلاةِ))، فظاهر الحديث هو الترك المطلَق، وكذلك حديثُ بُرَيدة: ((العهدُ الذي بيننا وبينهم الصلاةُ؛ فمَن ترَكَها فقدْ كفَرَ))، ولم يقُلْ: مَن ترك صلاةً، وعلى كلِّ حال؛ فالراجحُ عندي أنَّه لا يَكفُر إلَّا إذا تركها بالكليَّةِ

“Jika seseorang mengakui wajibnya shalat namun ia dikalahkan oleh rasa malas dan meremehkan shalat. Maka para ulama berbeda pendapat apakah ia kafir atau tidak. Sebagian ulama menyatakan bahwa orang yang meninggalkan satu shalat wajib saja hingga keluar waktunya maka dia kafir. Sebagian ulama berpendapat ia tidak kafir kecuali jika ia meninggalkan seluruh shalat. Inilah pendapat yang benar. Yaitu seseorang menjadi kafir jika meninggalkan shalat secara mutlak. Karena ini berarti ia tidak ada keinginan sama sekali untuk shalat. Oleh karena itulah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Pembatas bagi antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat”. Zhahir hadits ini menunjukkan yang dimaksud Nabi adalah jika meninggalkan shalat secara mutlak. Demikian juga hadits Buraidah: “Sesungguhnya perjanjian antara kita dan mereka (kaum musyrikin) adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir”. Nabi tidak bersabda: “barangsiapa yang meninggalkan satu shalat…”. Namun, ‘ala kulli haal, pendapat yang rajih ia tidak kafir kecuali jika meninggalkan shalat secara keseluruhan” (Majmu Fatawa war Rasail Ibnu Utsaimin, 12/51).

Cara taubat bagi orang yang meninggalkan shalat

Orang yang meninggalkan shalat wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dan kembali mendirikan shalat. Tidak ada kewajiban untuk mengulang syahadat kembali. Dengan ia bertaubat dan kembali mendirikan shalat, maka kembali pula status keislamannya.

Syaikh Shalih Al Fauzan ketika ditanya: “Selama hidup saya sebagian besarnya saja jalani tanpa pernah mengerjakan shalat, apa yang harus saya lakukan sekarang?”.

Beliau menjawab: ”Yang wajib bagi anda sekarang adalah bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menjaga shalat di sisa hidup anda. Dan hendaknya anda bersungguh-sungguh dalam bertaubat dengan menunaikan semua syarat-syaratnya, yaitu

  1. Menyesal atas dosa yang telah dilakukan
  2. Berhenti dari dosa yang dilakukan dan mewaspadainya
  3. Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut

Jika anda telah benar-benar bertaubat dan senantiasa melakukan ketaatan pada sisa hidup anda dan senantiasa melaksanakan shalat, maka itu cukup bagi anda insya Allah. Dan anda tidak perlu meng-qadha shalat-shalat yang terlewat karena anda meninggalkannya dengan sengaja. Dan ini sebenarnya sebuah kekufuran terhadap Allah ‘azza wa jalla. Karena menurut pendapat yang tepat dari perselisihan yang ada diantara para ulama, meninggalkan shalat dengan sengaja membuat pelakunya keluar dari Islam walaupun ia tidak menganggap meninggalkan shalat itu boleh”.

(Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/29838)

Beliau tidak mensyaratkan untuk mengulang syahadat.

Wahai kaum Muslimin, mari kita lebih serius lagi memperhatikan dan menjaga shalat kita dan juga orang-orang yang terdekat dengan kita. Jangan sampai kita dan orang-orang terdekat kita meninggalkan shalat yang diwajibkan Allah. Karena beratnya konsekuensi bagi orang yang meninggalkan shalat.

Semoga Allah memberi taufiq.

***

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50990-status-orang-yang-meninggalkan-shalat-fardhu.html

Sepanjang Doa Kita Tak Bertentangan dari Alquran

DALAM pandangan banyak orang, dalil itu harus Quran dan Sunnah saja. Padahal sebenarnya masih ada Ijma, Qiyas, Masalahat, Qaul Shahabi, dan lain-lain. bahkan dalil dalam Quran dan Sunnahpun tak selamanya harus eksplisit menyatakan hukum sesuatu.

Kadangkala ada lafadz umum yang mengakomodir sejumlah amaliyah yang banyak, kadangpula ada lafadz yang bisa difahami maknanya secara tersurat dinamakan dalalah mantuq, namun ada yang harus difahami makna tersiratnya dengan melihat konteks dan latar belakangnya yang dinamakan dalalah mafhum .

Pada amaliyah membaca doa khusus yang tidak ada landasannya secara eksplisit dalam Quran dan Sunnah, seperti halnya doa akhir tahun dan awal tahun ini, sebenarnya sah saja kita gunakan dalil umum anjuran berdoa.

Sepanjang doa yang kita lakukan tidak nyeleweng dari prinsip Quran dan sunnah itu sendiri maka beleum boleh dikategorikan bidah yang munkaroh apalagi sesat. Hal ini juga berlaku untuk doa lain sejenis doa khitanan, 17 agustusan, naik jabatan, sampai doa tasyakuran punya handphone baru yang second juga boleh.

Yang seperti ini pembahasannya ada di kitab-kitab ushul fiqh, di buku mari berhijrah tidak akan ditemukan.

[Firman Arifandi, Lc., MA]

INILAH MOZAIK

Doa Memasuki Bulan Baru dari Sahabat Nabi

ADA sebuah dalil yang diyakini merupakan amalan dari para sahabat Nabi melalui riwayat Abdullah bin Hisyam dalam al mujam al awsath imam Thabrani:

Dari Abdullah bin Hisyam, ia berkata bahwa para Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mempelajari doa berikut jika memasuki tahun atau bulan Ya Allah, masukan kami ke dalamnya dengan aman, iman, selamat dan Islam. Mendapatkan ridho Allah dan dijauhkan dari gangguan syetan (HR Thabrani, Al Hafizh Al Haitsamiy menilai Hasan)

Atsar ini tidak ada dalam riwayat lain kecuali dari Thabrani dan tidak ditemukan rantainya kecuali melalui sanad yang tersebut di atas dimana Risydin bin Saad menyendiri di jalur sanad tersebut. Sekalipun demikian Imam Ahmad mengatakan bahwa hadist ini dinilai hasan oleh Al Hafidz Al Haitsamiy. (1)

Dalam menetapkan status hadist ataupun atsar sahabat, kadang para ulama juga berselisih, inilah yang kerap menjadi bagian asbab ikhtilaf dalam kesimpulan hukum dalam fiqih.

Maka sekalipun seandainya hadist ini tidak diakui eksistensinya oleh golongan tertentu,toh masih banyak hadist lain yang shahih dan dalil al quran dengan konotasi umum yang menganjurkan muslimin untuk banyak berdoa. Termasuk berdoa kebaikan di awal ataupun akhir tahun. sebagaimana kita ketahui bahwa redaksi doa juga tidaklah selalu harus dari lafadz Rasulullah, ada juga yang merupakan warisan dari sahabat atau ulama-ulama yang shalih, maka yang seperti ini juga sah saja untuk kita lanjutkan.

[Lihat : musnad Ahmad, tahqiq arnauth. Muassasah risalah. 3/18, lihat juga: Al Haitsamiy, Majmau zawaid wa manbaul fawaid. Maktabah al qudsiy, kairo. 10/139]

INILAH MOZAIK

Amalan di Bulan Muharram

Adakah amalan khusus di bulan Muharram?

Mendapati bulan Muharram merupakan kenikmatan tersendiri bagi seorang mukmin. Karena bulan ini sarat dengan pahala dan ladang beramal bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan hari esoknya. Memulai awal tahun dengan ketaatan, agar pasti dalam melangkah dan menatap masa depan dengan optimis.

Abu Utsman an-Nahdi[1] mengatakan: “Adalah para salaf mengagungkan tiga waktu dari sepuluh hari yang utama: Sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram”.[2]

Berikut ini amalan-amalan sunnah yang dianjurkan pada bulan ini:

Pertama: Puasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

Puasa yang paling afdhol setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah al-Muharram.[3]

Hadits ini sangat jelas sekali bahwa puasa sunnah yang paling afdhol setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram. Maksud puasa disini adalah puasa secara mutlak. Memperbanyak puasa sunnah pada bulan ini, utamanya ketika hari ‘Asyura (10 Muharram) sebagaimana akan datang penjelasannya pada postingan berikutnya di Muslim.Or.Id.

Akan tetapi perlu diingat tidak boleh berpuasa pada seluruh hari bulan Muharram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada Ramadhan[4] saja.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah puasa yang paling afdhol bagi orang yang hanya berpuasa pada bulan ini saja, sedangkan bagi yang terbiasa berpuasa terus pada bulan lainnya yang afdhol adalah puasa Daud”.[6]

Kedua: Memperbanyak amalan shalih

Sebagaimana perbuatan dosa pada bulan ini akan dibalas dengan dosa yang besar maka begitu pula perbuatan baik. Bagi yang beramal shalih pada bulan ini ia akan menuai pahala yang besar sebagai kasih sayang dan kemurahan Allah kepada para hambanya.[7]

Ini adalah keutamaan yang besar, kebaikan yang banyak, tidak bisa dikiaskan. Sesungguhnya Allah adalah pemberi nikmat, pemberi keutamaan sesuai kehendaknya dan kepada siapa saja yang dikehendaki. Tidak ada yang dapat menentang hukumnya dan tidak ada yang yang dapat menolak keutamaanNya.[8]

Ketiga: Taubat

Taubat adalah kembali kepada Allah dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Taubat adalah tugas seumur hidup.[9]

Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar pula, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Maka bersegeralah bertaubat kepada Allah[10].

Masih berlanjut pada pembahasan puasa Asyura, puasa yang istimewa di bulan Muharram. Semoga Allah mudahkan.

[1] Lihat biografinya dalam Tahdzibut Tahdzib 6/249 oleh Ibnu Hajar.

[2] Lathoiful Ma’arif hal.80

[3] HR.Muslim: 1982

[4] HR.Bukhari: 1971, Muslim:1157

[5] Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi 8/303

[6] Kitab as-Siyam Min Syarhil U’mdah, Ibnu Taimiyyah 2/548

[7] Ketahuilah, bahwa seluruh hadits-hadits yang menerangkan keutamaan beramal amalan tertentu selain puasa pada bulan Muharram adalah hadits yang dusta dan dibuat-buat belaka!!. (al-Mauizhoh al-Hasanah Bima Yuhthobu Fi Syuhur as-Sanah, Sidiq Hasan Khon hal.180, Bida’ Wa Akhtho hal.226).

[8] at-Tamhid, Ibnu Abdil Barr 19/26, Fathul Bari, Ibnu Hajar 6/5

[9] Lihat hukum-hukum seputar taubat dalam risalah Hady ar-Ruuh Ila Ahkam at-Taubah an-Nasuh, Salim bin Ied al-Hilali.

[10] Lihat Majmu Fatawa 34/180 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Penulis: Ustadz Syahrul Fatwa bin Luqman (Penulis Majalah Al Furqon Gresik)

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23078-amalan-di-bulan-muharram.html

Haji dari Utang Bank

Utang Bank Buat Haji

Bagaimana hukum haji dari hasil utang bank? apakah hajinya sah?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah mewajibkan haji bagi yang mampu. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah…” (QS. Ali Imran: 97)

Yang dimaksud ‘sanggup mengadakan perjalanan’ dalam ayat di atas adalah perbekalan dan kendaraan. Artinya, harus terpenuhi biaya yang cukup untuk haji, termasuk nafkah yang cukup untuk anaknya dan semua orang yang wajib dia nafkahi, sampai dia kembali.

Bagi yang tidak mampu, islam tidak menganjurkan agar memaksakan diri untuk berangkat. Termasuk salah satunya dengan cara berutang.

Syaikh Dr. Soleh al-Fauzan menyatakan,

ليس من الشرع أن يستدين الإنسان ليحج

“Bukan termasuk ajaran syariat ketika seseorang berutang untuk haji.”

Meskipun andai ada orang berangkat haji dari hasil utang, hajinya tetap sah.

Dr. Soleh al-Fauzan mengatakan,

ولكن مادام أنه فعل هذا واستدان وحج، فإن حجته صحيحة ويجب عليه سداد الدين، والله سبحانه وتعالى يوفق الجميع لما فيه الخير والصلاح.

Akan tetapi, jika dia tetap melakukan hal ini, dia berutang dan melakukan haji, maka hajinya sah dan dia wajib melunasi utangnya. Semoga Allah ta’ala memberi taufiq bagi seluruh kaum muslimin untuk mendapatkan kebaikan.
[Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/11083]

Bagaimana jika Haji dari Utang Bank?

Keterangan di atas berlaku untuk merek yang melakukan haji dari hasil utang TANPA riba. Bagaimana jika ada orang berhaji dari hasil utang bank, yang bisa dipastikan ada ribanya. Tanpa memandang label, baik konven maupun syariah, produk dana talangan haji sangat merugikan masyarakat.

Mengenai hukum talangan haji bank syariah, bisa anda pelajari di: Dana Talangan Haji Haram?

Utang riba, sekalipun mengandung dosa, namun uang yang diterima menjadi hak milik penerima. Demikian menurut pendapat yang benar. Karena itu, uang ini bisa dia gunakan untuk keperluan apapun yang sifatnya mubah, termasuk untuk mendaftar haji.

Dalam Fatwa Islam dinyatakan,

والقرض الربوي – مع حرمته وشناعته – يفيد الملك على الصحيح ، فيكون المال المقترض ملكا لك ، تنتفع به فيما شئت من المباح كشراء سيارة وغيرها .

Utang riba – meskipun hukumnya haram dan kemaksiatan – namun uang yang diberikan menjadi hak milik yang sah, menurut pendapat yang benar. Sehingga uang yang anda utang, merupakan milik anda. Anda bisa manfaatkan untuk tujuan mubah apapun yang anda inginkan, seperti membeli mobil atau kebutuhan lainnya.

(Fatwa Islam no. 149111, menyimpulkan dari buku: al-Manfaah fi al-Qardh, Abdullah bin Muhammad al-Imrani, hlm. 245 – 254).

Mengenai penjelasan lebih detailnya, bisa anda pelajari artikel di situs pengusahamuslim.com: Pinjaman Bank Bukan Uang Haram?

Untuk itu, haji yang diselenggarakan dari hasil utang bank, termasuk haji dari uang halal. Hanya saja, dia punya kewajiban melunasi utang itu dan yang menjadi masalah besar adalah dia harus membayar riba saat pelunasan. Sementara memberi makan riba, termasuk dosa yang dilaknat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dia berkewajiban untuk bertaubat kepada Allah, atas kesalahannya melakukan transaksi dengan bank, yang mengharuskan dia untuk membayar riba ke bank.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/28285-haji-dari-utang-bank.html