Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidak akan Bernilai

Tauhid Cabang Keimanan Paling Tinggi

Tauhid merupakan cabang keimanan yang paling tinggi. Adapun cabang-cabang keimanan yang lainnya tidak akan diterima kecuali setelah sahnya cabang keimanan yang paling tinggi tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ 

“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan ‘laa ilaaha illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah]. Sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah salah satu cabang dari iman.” (HR. Muslim no. 162)

An-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits tersebut,

وَقَدْ نَبَّهَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّ أَفْضَلهَا التَّوْحِيد الْمُتَعَيِّن عَلَى كُلّ أَحَد ، وَاَلَّذِي لَا يَصِحّ شَيْء مِنْ الشُّعَب إِلَّا بَعْد صِحَّتِهِ .

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahwa cabang keimanan yang paling utama adalah tauhid, yang merupakan kewajiban bagi setiap orang. Sedangkan cabang keimanan yang lain tidak akan sah kecuali setelah sahnya cabang tauhid tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 1: 112)

Ibadah Tidak Diterima Tanpa Tauhid

Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama, yaitu tauhid. Sebagaimana yang dikatakan oleh beliau di dalam kitabnya yang berjudul AlQawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata,

فاعلم: أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة

”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tadi dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” 

Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu seperti ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Karena tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian pula ibadah kita tidak akan sah kecuali disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kesyirikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya. 

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ؛ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para Nabi) yang sebelummu,  ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur’.” (QS. Az-Zumar [39]: 65-66)

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir,

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan [25]: 23)

Oleh karena itu, betapa pun agungnya jenis ibadah yang kita lakukan dan sebanyak apa pun kita mengerjakan ibadah tersebut, namun apabila tidak disertai dengan tauhid, maka ibadah tersebut tidak akan diterima. Sebagaimana seseorang yang tidak dalam keadaan berwudhu, lalu dia melakukan shalat dengan paling sempurna, dia memperlama berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat bahwa shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat sah shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari no. 6954)

Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 559) dengan lafadz,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ 

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak diterima apabila berhadats sampai dia berwudhu.”

Ilustrasi ini hanyalah untuk memberikan gambaran secara mudah tentang kedudukan tauhid. Karena hakikat yang sebenarnya, syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja lebih agung dan jauh berbeda jika dibandingkan dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Karena apabila seseorang menunaikan shalat dengan sengaja dalam keadaan hadats, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, apabila seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berbuat syirik kepada-Nya, maka para ulama tidak pernah berselisih pendapat bahwa ibadahnya tidak akan diterima. Para ulama juga bersepakat bahwa orang tersebut telah kafir, karena dia telah terjerumus dalam syirik akbar, sehingga amal ibadahnya tidak ada satu pun yang diterima. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’ oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 4-5)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51538-tanpa-tauhid-amal-ibadah-tidak-akan-bernilai.html

Cara Mengatasi Uang yang Cepat Sekali Habis

SUATU hari istri seorang ustaz yang begitu saleh mengeluhkan persediaan uang untuk kebutuhan rumah tangga yang tinggal sedikit. Ustaz ini pun menjawabnya dengan tenang.

“Santai aja ibu, duit kalo tinggal dikit artinya mau datang lagi,” ujarnya.

Subhanallah. Ungkapan yang sangat singkat, namun padat. Begitulah kelebihan yang Allah berikan kepada para ulama, sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair,

“Sebaik-baik perkataan adalah yang sedikit dan argumentatif”

Ungkapan di atas mengajarkan kita bahwa uang itu mengisi tempat yang kosong. Oleh karenanya, jika Allah ingin kembali mengisi dompet kita, kosongkanlah sebagiannya untuk membantu sesama.

Uang itu bagaikan air yang di dalam gelas. Jika belum kita minum, maka air di dalam botol tak akan bisa mengisinya.

Uang itu bagaikan air. Jika ditahan, ia kotor. Adapun jika kita melepasnya, maka ia akan bersih.

Uang itu bagaikan air. Jika ditahan, ia akan mencari jalan keluarnya sendiri. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam berujar;

“Tidaklah sedekah bercampur dengan harta, melainkan ia akan merusak harta tersebut”

Harta akan mencari jalan keluarnya sendiri melalui berbagai macam cara, seperti anak kita yang sakit sehingga harus ke dokter, handphone kita yang hilang, mobil kita yang rusak dan lain-lain yang menguras harta kita.

Uang itu seperti udara, ia selalu mengisi ruang yang kosong. Oleh karena itu, berbagi dan kosongkanlah ia, biarlah Allah dengan cara-Nya mengisi kehampaan itu.

Semoga harta kita semua dimiliki oleh hamba-hamba yang saleh. Sebab, sebaik-baik harta ialah yang dimiliki oleh hamba yang saleh. Barakallah fikum. [Ustaz Oemar Mita, Lc]

INILAH MOZAIK

Sibukkanlah Dirimu dalam Amal Shalih

Para salaf rahimahumullahu Ta’ala banyak menyampaikan perkataan dan nasihat untuk orang-orang yang tidak menyibukkan dirinya dalam berbagai macam amal ketaatan atau amal ibadah. Juga tidak memiliki perhatian dalam beramal kebaikan.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

مثل علم لايعمل به كمثل كنز لاينفق منه في سبيل الله عز و جل

“Permisalan ilmu (agama) yang tidak diamalkan itu seperti tabungan harta yang tidak dibelanjakan di jalan Allah.” [1]

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah ditanya tentang seseorang yang memperbanyak menulis hadits, beliau berkata,

“Sepatutnya dia memperbanyak amal dengan hadits sekadar dengan peningkatan (tambahan) hadits yang dia dapatkan.”

Kemudian beliau berkata lagi,

سبل العلم مثل سبل المال، إن المال إذا ازداد ازدادت زكاته

“Jalan (untuk mendapatkan) ilmu itu seperti jalan (untuk mendapatkan) harta. Jika harta bertambah, bertambah pula zakatnya.” [2]

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata,

“Sebagaimana harta itu tidak bermanfaat kecuali dengan dibelanjakan, demikian pula ilmu itu tidaklah bermanfaat kecuali bagi orang yang mengamalkannya, dan memperhatikan kewajibannya. Maka hendaklah seseorang itu memperhatikan dirinya sendiri dan memanfaatkan waktunya. Karena sesungguhnya tempat tinggal kita di dunia hanyalah sebentar, kematian kita sudah dekat dan jalan itu sungguh menakutkan. Mayoritas manusia tertipu dengan dunia dan masalah (nasib di akhirat) adalah masalah yang besar. Adapun yang mengawasi kita adalah Dzat Yang maha melihat, Allah Ta’ala senantiasa mengawasi kita, dan kepada Allah-lah tempat kembali.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Barangsiapa yang beramal seberat semut kecil berupa kebaikan, dia pun akan melihat hasilnya. Dan barangsiapa yang beramal seberat semut kecil berupa keburukan, dia pun akan melihat hasilnya.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7-8) [3]

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

أنزل القرآن ليعمل به؛ فاتخذ الناس تلاوته عملا

“Al-Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan. Sedangkan manusia menjadikan membaca Al-Qur’an sebagai amalnya.”

Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan perkataan Hasan Al-Bashri di atas dengan mengatakan, “Maksudnya, sesungguhnya manusia hanya mencukupkan diri dengan membaca Al-Qur’an dan meninggalkan beramal dengan Al-Qur’an.” [4]

Seseorang berkata kepada Ibrahim bin Adham, “Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.’ (QS. Ghafir [40]: 60)

Apa pendapatmu ketika kami berdoa namun tidak dikabulkan?”

Ibrahim pun berkata kepada orang tersebut, “Ini disebabkan oleh lima perkara.”

Orang tersebut bertanya, “Apa itu?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “(1) Engkau mengenal Allah, namun Engkau tidak menunaikan hak Allah (yaitu ibadah, pen.). (2) Engkau membaca Al-Qur’an, namun Engkau tidak mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an. (3) Kalian mengatakan, ‘Kami mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam’, namun kalian tinggalkan sunnah-sunnah beliau. (4) Kalian mengatakan, ‘Kami melaknat iblis’, namun kalian justru mentaatinya. (5) Kalian tinggalkan aib-aib (kekurangan) kalian, dan kalian sibuk dengan aib orang lain.” [5]

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hazim [6] yang mengatakan,

رضي الناس اليوم بالعلم و تركوا العمل

“Hari ini manusia puas dengan ilmu dan mereka meninggalkan amal.” [7]

Malik bin Dinar rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya seorang hamba jika mencari ilmu untuk mengamalkannya, maka ilmu akan masuk ke dalam hatinya (sehingga membuahkan amal, pen.). Jika dia menuntut ilmu untuk selain tujuan tersebut, maka dia akan semakin bertambah maksiat atau semakin sombong (dengan ilmunya).” [8]

Termasuk perkataan yang paling indah dalam masalah ini adalah perkataan Sufyan rahimahullah ketika ditanya, “Dikatakan kepada beliau, manakah yang lebih Engkau cintai, menuntut ilmu ataukah beramal?”

Sufyan menjawab,

إنما يراد العلم للعمل، فلا تدع طلب العلم للعمل، ولا تدع العمل لطلب العلم

“Sesungguhnya ilmu itu hanyalah dimaksudkan untuk diamalkan. Maka janganlah Engkau meninggalkan menuntut ilmu dengan alasan sibuk beramal. Namun janganlah Engkau meninggalkan beramal dengan alasan sibuk menuntut ilmu.” [9]

Artinya, dua hal ini (menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu), haruslah dilaksanakan secara seimbang.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan. [10]

[Selesai]

***

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/41889-sibukkanlah-dirimu-dalam-amal-shalih.html

Raih Rezeki dari Doa Orangtua

SAHABAT sekalian yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, apa yang kiranya sahabat rasakan ketika sahabat berhubungan jarak jauh dengan sang pendamping hidup? Saya yakin, seperti ada yang kurang dalam hidup. Mengapa bisa demikian? Boleh jadi dikarenakan adanya cinta dalam hati yang menjadikan diri selalu ingin dekat bersamanya.

Di kala menjelang malam, di mana seluruh pekerjaan sudah diselesaikan, dalam suasana hati yang relaks, sahabat pasti ingin menghubungi sekadar berbicara yang mungkin kurang penting, dan lebih condong kepada berbagai hal ke seharian yang sederhana, namun terasa luar biasa.

Nah, bagaimana kiranya kepada kedua orangtua yang telah membesarkan kita, sahabat? Masih adakah tambatan hati kita kepada mereka yang membuat hati kita tergerak untuk menjaga komunikasi dengan keduanya? Wah, bahaya jika sudah tidak ada. Rupanya kita telah lupa atas jasa mereka yang telah menghantarkan kita menjadi pribadi yang ada saat ini.

Tahukah sahabat, ini sebuah kisah nyata yang tidak etis jika saya sebutkan namanya. Di suatu saat, saya sedang makan siang dengan beberapa orang kawan. Tiba-tiba ponsel salah seorang dari kami berdering dengan nomor yang tidak dikenal, dan setelah diangkat, ternyata dari bapaknya di kampung. Tiba-tiba kawan saya menitikan air mata, tentu kami pun langsung bertanya, apakah yang sebenarnya terjadi?

Ternyata kawan saya diberi satu pertanyaan yang sangat menohok, pertanyaan tersebut “LE, apa harus kamu mendengar kabar bahwa bapak mu sudah mati, baru kamu ingat bapak? Bapak ini masih hidup LE, bapak gak butuh apa-apa dari kamu, bapak dengar kami sehat saja, bapak sudah sangat senang”.

Saya rasa siapa pun hatinya akan tertusuk mendengar pertanyaan dan statement sang bapak kepada anaknya tersebut. Cerita ini dapat menjadi sebuah pelajaran, bahwa terkadang kita lebih mencintai pasangan, profesi pekerjaan, komunitas dan lainnya, dibandingkan kedua orangtua yang telah berjasa dalam hidup kita. Padahal mereka adalah manusia yang paling tulus bersama kita, melebihi tulusnya pasangan hidup, apalagi teman sejawat yang mungkin karena kepentingan, dan teman komunitas yang berkumpul mungkin hanya satu pemikiran, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, kapankah terakhir sahabat berkomunikasi dengan orangtua? Sudahkah di minggu ini menghubungi orangtua walau hanya bertanya kabar mereka dan memberikan kabar kita? Jika belum. Lakukan segera dan dapatkan doa dari mereka yang boleh jadi penyebab turunnya rezeki dari Allah Ta’ala. Saran saya, masukkanlah berkomunikasi dengan orangtua menjadi agenda mingguan yang tak terlepas dari catatan agenda sahabat sekailan, dan rasakan bedanya.

Ini pernyataan saya pribadi yang boleh jadi terdapat kesalahan, namun merupakan ungkapan hati yang jujur bahwa “boleh jadi ada bagian rezeki kita yang masih menggantung di langit dan baru dapat diturunkan melalui doa orangtua kita”.

Coba perhatikan bahwa mereka yang menjaga tali hubungan yang erat dengan kedua orangtuanya adalah orang yang memiliki kecenderungan mencapai tingkat kesuksesan dan prestasi tertinggi. SubhanaLLah. Apakah sahabat mengetahui mengapa demikian? Ya. Jawabannya adalah karena “RIDA Allah ta’ala terletak pada RIDA kedua orangtua”.

Wallahu a’lam. [Maulana ishak, S.Pi alumni MSP IPB angkatan 43, Relationship Management Rumah Zakat, Ex Staff Khusus Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS]

INILAH MOZAIK

Awas, Belajar Agama tanpa Guru Bisa Konslet!

Ajakan kembali kepada Al Qur’an dan Hadist tanpa diikuti pemahaman yang memadai bisa menjadi blunder. Ibarat listrik rumahan yang disambungkan langsung ke saluran bertegangan tinggi, seseorang yang belajar agama tanpa perantara guru, bisa konslet.

Menurut Mahbub Zaki, Wasekjen PB Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW), dalam mempelajari agama seseorang memerlukan perantara guru. Lebih tegas lagi, guru itu haruslah memiliki pemahaman yang mumpuni dan silsilah keilmuan yang jelas rujukannya.

“Diriwayatkan dalam hadist bahwa sanad itu sebagian dari agama. Maka, tanpa wasilah, tanpa perantara guru yang sanadnya jelas, belajar langsung dari Al Qur’an dan Hadist itu seperti listrik di rumah kita yang disambungkan langsung ke Sutet. Listrik konslet dan rumah kita bisa terbakar,” terang Mahbub Zaki yang akrab disapa Gus Boby.

Dikatakan Gus Boby, sanad dalam belajar agama itu penting. Tanpa silsilah dan rujukan keilmuan yang jelas, siapapun bisa mengajarkan sesuka hati. Menurut mantan ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Tengah ini, banyak orang merasa sudah cukup ilmu agamanya hanya bermodal belajar dari internet.

“Kalau dulu orang belajar agama dari kiai, dibela-bela mondok selama bertahun-tahun di pondok pesantren, sekarang orang belajar dari internet. Sementara di internet siapapun bisa omong. Tak perlu repot-repot mondok, bikin video ceramah agama, dijulukilah ustad. Ustad Youtube dan Santri Mbah Google lagi jadi fenomena baru. Islam di sosial media isinya marah-marah dan menerbar permusuhan,” terang Gus Boby.

Pernyataan itu disampaikan Gus Boby ketika memberikan sambutan dalam Haflah Khotmil Qur’an dan Wisuda Santri Tahfidz angkatan ke-6 Ponpes Tahfidzul Qur’an Al Istiqomah Desa Penaruban, Weleri, Kendal, baru-baru ini. Sebanyak 35 santri putra dan putri yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan juga provinsi lain diwisuda dari ponpes asuhan Kiai Ali Shodiqun.

Gus Boby yang juga menjabat sebagai wakil sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Tengah ini mengatakan, para wali murid santri tidak perlu khawatir mendidik anaknya di pondok pesantren NU yang jelas-jelas berhaluan ahlussunah wal jamaah.

“Tadi sama-sama kita dengar, para santri memimpin menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Syubbanul Wathon. Jadi bapak-ibu tidak perlu khawatir, di sini santri dididik untuk mencintai tanah airnya. Santri tenanan tidak akan jadi teroris,” terangnya.

Belajar di pondok pesantren, katanya, para santri tidak hanya diajari cara membaca kitab tapi juga diajari cara berperilaku. Pengasuh ponpes setiap habis sholat akan mendoakan para guru-guru dan juga para santrinya.

“Di Ponpes para santri tidak hanya ditadris, tapi juga mendapatkan tarbiyah. Insya Allah setiap bakda sholat, para santri akan didoakan. Ketika para santri tertidur, pengasuh pondok akan menyambangi para santrinya, membenarkan letak tidurnya yang mungkin kurang pas. Ini yang tidak didapatkan di sekolah-sekolah umum,” pungkasnya.

ISLAMPOS

Fatwa Ulama : Masih Pantaskah Aku Untuk Mulai Belajar di Usia Senja?

Fatwa Syaikh Sulaiman Al Majid

Soal :

Wahai Syaikh, umurku telah mencapai hampir 32 tahun, setiap aku hendak menuntut ilmu muncul kegundahan dalam diriku bahwa fase menuntut ilmu di usia seperti ini telah lewat. Benarkah hal ini? Dan apa nasihatmu?

Jawab :

Alhamdulillah, amma ba’du. Tidaklah diragukan lagi bahwa menuntut ilmu yang dimulai sejak kecil memiliki keutamaan tersendiri yang tidak didapati apabila dibandingkan dengan ketika telah dewasa. Akan tetapi tidak ada larangan bagi mereka yang memulai menuntut ilmu di usia dewasa. Dalam Kitabul ‘Ilmi Shahih Al Bukhari (1/129) disebutkan “Bab Al Ightibath fil ‘Ilmi wal Hikmah”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tafaqquhlah kalian (yaitu dalamilah oleh kalian ilmu agama –pent) sebelum kalian tusawwadu (diberi banyak tanggung jawab untuk memimpin, yaitu ketika berusia dewasa –pent)”. Abu Abdillah –yaitu Al Bukhari berkata, “Adapun mengenai masa tusawwad, adalah beberapa shahabat Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ada yang memulai belajar di usia senja”.

Dalam “Al ‘Aqd Al Farid” (1/157) disebutkan, “Dikatakan kepada Amr ibn Al Alaa’, ‘Apakah syaikh sudah membolehkanmu untuk ikut belajar?’. Kemudian beliau menjawab “Kalau beliau membolehkanku untuk hidup maka beliau pasti membolehkanku pula untuk belajar”. Selesai nukilan dari Al ‘Aqd Al Farid.

Kemudian apabila engkau mencermati perjalanan para ahli ilmu di kitab-kitab biografi dan sejarah, niscaya akan kau dapati banyak dari mereka yang memulai belajar di usia tua. Adalah Imam Ibn Hazm beliau tidaklah menuntut ilmu melainkan setelah berusia 40 tahun. Al Qaffal Asy Syaasiy tidaklah menuntut ilmu melainkan setelah berumur 30 tahun. Dan selain dari mereka juga banyak.

Nasihatku : minta tolonglah kepada Allah Ta’ala, bersungguh-sungguhlah dalam belajar. Diiringi dengan semangat, niat yang baik, dan lurusnya manhaj. Kemudian bertanya kepada ahli ilmu tentang cara termudah dan terdekat untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, diantaranya memulai dari perkara yang paling penting terlebih dahulu, dan tidak beralasan dengan banyaknya kebodohan yang ada pada manusia. Semoga Allah senantiasa melindungimu. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.salmajed.com/node/106333

Penerjemah: Yhouga Pratama A.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/23418-fatwa-ulama-masih-pantaskah-aku-untuk-mulai-belajar-di-usia-senja.html

Bolehkah Belajar Dari Kitab Saja Ketika Sulit Berguru Pada Ulama?

Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bolehkah belajar suatu ilmu dari buku atau kitab saja tanpa panduan ulama? Khususnya dalam keadaaan langkanya ulama di suatu tempat sehingga sulit ditemui? Apa pendapat Anda tentang ungkapan, ‘Siapa yang gurunya adalah buku salahnya akan lebih banyak dari benarnya’?”

Beliau menjawab:

لا شك أن العلم يحصل بطلبه عند العلماء وبطلبه في الكتب؛ لأن كتاب العالم هو العالم نفسه، فهو يحدثك من خلال كتابه، فإذا تعذر الطلب على أهل العلم، فإنه يطلب العلم من الكتب، ولكن تحصيل العلم عن طريق العلماء أقرب من تحصيله عن طريق الكتب؛ لأن الذي يحصل عن طريق الكتب يتعب أكثر ويحتاج إلى جهد كبير جدًّا، ومع ذلك فإنه قد تخفى عليه بعض الأمور كما في القواعد الشرعية التي قعَّدها أهل العلم والضوابط، فلا بد أن يكون له مرجع من أهل العلم بقدر الإمكان.

وأما قوله: “من كان دليله كتابه فخطؤه أكثر من صوابه”، فهذا ليس صحيحًا على إطلاقه ولا فاسدًا على إطلاقه، أما الإنسان الذي يأخذ العلم من أيّ كتاب يراه فلا شك أنه يخطئ كثيرًا، وأما الذي يعتمد في تعلُّمه على كتب رجال معروفين بالثقة والأمانة والعلم فإن هذا لا يكثر خطؤه بل قد يكون مصيبًا في أكثر ما يقول

“Tidak diragukan lagi bahwasanya ilmu akan didapat dengan belajar pada ulama, dan (juga) dari kitab. Karena kitabnya para ulama sejatinya adalah ulama itu sendiri. Pada hakikatnya itu adalah kumpulan perkataan ulama yang tertulis. Apabila seorang pelajar terhalang dari menjumpai ulama, maka hendaknya ia belajar dari kitab ulama tersebut.

Akan tetapi memperoleh ilmu lewat jalur bertemu dengan ulama langsung akan lebih memudahkan dalam memperoleh ilmu (dan pemahaman –pent) daripada belajar lewat metode kitab saja. Karena mereka yang memperoleh ilmu lewat metode kitab akan lebih susah dan membutuhkan upaya sungguh-sungguh agar bisa paham. Padahal ada beberapa hal seperti kaidah-kaidah syar’i dan batasan yang telah ditetapkan oleh para ulama yang butuh penjelasan lanjut, dan harus dipelajari dengan merujuk dan bertanya langsung pada para ulama sebisa mungkin.

Adapun ungkapan, “Siapa yang penunjuknya adalah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak daripada benarnya”, maka ungkapan ini tidak benar mutlak, juga tidak salah mutlak.

Seorang yang mengambil ilmu dari kitab apapun yang ia lihat maka pastilah salahnya akan lebih banyak.

Adapun seorang yang berpedoman pada kitab-kitab para ulama yang telah diakui keilmuannya, tsiqah, amanah dalam ilmu, maka kesalahannya tidak akan banyak, bahkan akan lebih banyak benarnya”.

(Dinukil dari Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad ibn Shalih Al Utsaimin rahimahullah hal. 103 versi Islamhouse).

***

Penerjemah: Yhougha Pratama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29010-bolehkah-belajar-dari-kitab-saja-ketika-sulit-berguru-pada-ulama.html

Tiga Kiat Penting Dalam Belajar Agama

Menuntut Ilmu Agama adalah Ibadah yang Mulia

Tidak diragukan lagi bahwa menuntut ilmu agama adalah ibadah yang mulia. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menuntut ilmu dan orang yang berilmu. Allah Ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu di antara kalian” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Namun perlu diketahui bahwa dalam menuntut ilmu, diperlukan manhaj (metode) yang benar agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu syar’i dan akan menguatkan keistiqamahan seorang penuntut ilmu untuk terus menuntut ilmu syar’i. Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh mengatakan, “Kami melihat banyak pemuda yang mulai semangat dan gemar untuk menuntut ilmu. Namun banyak di antara mereka yang tidak paham bagaimana cara yang benar dalam menuntut ilmu. Di antara mereka ada yang sudah melalui waktu yang lama atau bertahun-tahun dalam menuntut ilmu namun tidak meraihnya kecuali sedikit saja, yang kadar itu bisa didapatkan oleh orang lain dengan waktu yang singkat. Sebabnya adalah karena mereka tidak menjalani manhaj (metode) yang benar dalam menuntut ilmu” (Ath-hariq ila Nubughil Ilmi, 13).

Metode yang Benar Dalam Menuntut Ilmu Agama

Hendaknya para penuntut ilmu syar’i dalam mempelajari agama mereka menerapkan metode yang benar sebagaimana yang digariskan oleh para ulama. Bukan menuntut ilmu sekenanya atau tanpa arah.

Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh memberikan tiga poin garis besar metode menuntut ilmu yang benar:

1. Ikhlas kepada Allah

Beliau mengatakan, “Menuntut ilmu syar’i adalah ibadah, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الملائكةَ تضَعُ أجنحتَها لطالبِ العِلمِ رضًا بما يصنَعُ

Sesungguhnya para Malaikat mereka melebarkan sayap-sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan” (HR. Ibnu Hibban no. 1321, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6297).

Dan ibadah ini agar diterima dan diberi taufik oleh Allah wajib untuk ikhlas kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Yaitu hendaknya ia tidak menuntut ilmu karena untuk meraih suatu kedudukan duniawi, atau karena sum’ah (ingin dipuji), atau karena ingin menjadi pengajar, atau karena ingin menjadi dosen, atau karena ingin terkenal, atau karena ingin menjadi orang yang sering mengisi pengajian, atau semacamnya. Hendaknya ia dalam menuntut ilmu meniatkannya dalam rangka ibadah kepada Allah Ta’ala dan untuk menghilangkan kejahilan dari dirinya sehingga ia beribadah kepada Allah di atas ilmu” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 17).

Imam Ahmad bin Hambal ditanya: “bagaimanakah bentuk ikhlas dalam menuntut ilmu”. Beliau menjawab:,

الإخلاص فيه أن ينوي رفع الجهالة عن نفسه لأنّه لا يستوي عالم وجهول قال جلّ وعلا: {أمن هو قانت لله ساجدا وقائما يحذر الآخرة ويرجو رحمة ربّه قل هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون} وقال جلّ وعلا في آية المجادلة: {يرفع الله الذين آمنوا والذين أوتوا العلم درجات}

“Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah seseorang menuntut ilmu untuk mengangkat kejahilan dari dirinya. Karena tidak sama antara orang yang alim (berilmu) dengan orang jahil. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman (yang artinya): “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az Zumar: 9). Ia juga berfirman (yang artinya): ‘Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu di antara kalian’ (QS. Al Mujadalah: 11)” (dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 17)

2. Menuntut ilmu dengan perlahan dan bertahap

Imam Ibnu Syihab Az Zuhri, seorang ulama kibar tabi’in, berkata kepada muridnya yaitu Yunus bin Yazid,

يا يونس, لا تكابر العلم فإن العلم أودية ، فأيها أخذت فيها قطع بك قبل أن تبلغه ، ولكن خذه مع الأيام والليالي، ولا تأخذ العلم جملة ، فإن من رام اخذه جملة ذهب عنه جملة ، ولكن الشيء بعد الشيء مع الأيام والليالي

“Wahai Yunus janganlah engkau sombong di hadapan ilmu. Karena ilmu itu bagaikan lembah-lembah. Jika engkau berusaha melaluinya sekaligus, engkau akan terhenti sebelum mencapainya. Namun laluilah ia berhari-hari. Janganlah mengambil ilmu dengan sekaligus, karena barangsiapa yang mengambil ilmu dengan sekaligus, maka akan hilang darinya sekaligus. Namun ambilah sedikit-demi-sedikit, bersamaan dengan hari-hari dan malam-malammu” (Jami Bayanil Ilmi wa Fadhilih, 1/104, dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 18-19).

Dan sikap demikian disebut juga taraffuq bil ilmi, bersikap lembut dan perlahan dalam menuntut ilmu.Di antara bentuk sikap yang tidak taraffuq bil ilmi misalnya seseorang pemula dalam menuntu ilmu, ketika ia ingin belajar ilmu tafsir ia lalu membuka Tafsir Ath-Thabari. Kitab Tafsir Ath-Thabari adalah kitab tafsir yang besar yang di dalamnya memuat hampir semua nukilan tafsir. Hasilnya, ketika orang ini ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, tidak ada yang terlintas dalam benaknya melainkan hanya sedikit saja. Ia tidak bisa menjelaskan dan mendudukan tasfirnya dengan benar dan tepat.

Di antara bentuk sikap yang tidak taraffuq bil ilmi juga seorang pemula dalam ilmu fiqih langsung belajar kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, atau Al-Majmu karya An-Nawawi. Atau seorang pemula dalam ilmu hadits, langsung belajar kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani atau kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh menjelaskan, “kitab-kitab besar seperti ini yang bisa memahami pembahasan di dalamnya adalah para ulama. Adapun penuntut ilmu pemula, hendaknya tidak membacanya dari awal hingga akhir. Karena tidak diragukan lagi bahwa dalam memahami kitab-kitab ini perlu penelaahan yang perlu merujuk pada kitab-kitab yang besar lainnya, maka hendaknya penuntut ilmu pemula tidak melakukan qira’ah sardan (sekedar membaca dengan cepat dari awal hingga akhir). Demikian juga penuntut ilmu pemula jangan menyibukkan diri dengan tafshilaat (rincian masalah secara mendalam). Karena jika ia sibuk dengan tafshilaat, ia akan melupakannya dan tidak membuahkan ilmu. Karena ia belum memiliki dasarnya” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 20-21).

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbaniyyun, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. Al Imran: 79).

Imam Al Bukhari menjelaskan makna rabbaniyyun,

الرباني هو الذي يربي الناس بصغار العلم قبل كباره، هذا الرباني في العلم والتدريس

“Orang yang Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu tingkat lanjut. Inilah orang yang Rabbani dalam menuntut ilmu dan dalam mengajarkan ilmu” (lihat dalam Shahih Al-Bukhari Bab “Al-Ilmu Qablal Qaul Wal ‘Amal” no. 10, dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 21).

3. Hendaknya terus-menerus dalam menuntut ilmu dan menyediakan waktu khusus untuk menuntut ilmu

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan, “hendaknya seorang penuntut ilmu menyediakan waktu khusus untuk menuntut ilmu dengan waktu-waktu yang paling berharga yang ia miliki dan bukan waktu-waktu sisa yang ketika itu pikirannya sudah lelah dan pemahamannya sudah lemah. Maka, berikanlah waktu terbaik untuk menuntut ilmu, yang ketika itu pikiran masih cemerlang. Dan hendaknya seorang penuntut ilmu itu senantiasa terngiang perkara ilmu dalam pikirannya, baik siang maupun malam. Pikirannya disibukkan dengan ilmu, ambisinya pun terhadap ilmu. Jika ia ingin tidur ia berbaring dan di sampingnya ada kitab yang sedang ia ingin pelajari pembahasannya. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan,

إذا رأيت كتب طالب العلم مرتبة فاعلم أنه هاجر له

“Jika engkau melihat seorang penuntut ilmu selalu bersama dengan kitab-kitabnya, ketahuilah ia adalah orang yang sedang berhijrah menuju ilmu” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 22).

Dalam hal ini Syaikh Shalih membagi waktu menjadi tiga macam,

  1. Awqat jalilah (waktu yang paling cemerlang), yang ketika itu pikiran seseorang berada dalam kondisi paling prima. Maka di waktu ini seorang penuntut ilmu hendaknya memilih untuk belajar pelajaran yang butuh pemikiran yang pelik, seperti ilmu akidah, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, ilmu nahwu.
  2. Awqat mutawashithah (waktu yang pertengahan), yang ketika itu pikiran seseorang tidak paling cemerlang, namun juga tidak lemah dan lelah. Maka di waktu ini seorang penuntut ilmu hendaknya memilih untuk belajar pelajaran yang tidak membutuhkan pemikiran yang pelik seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ilmu musthalah hadits.
  3. Awqat dha’ifah (waktu lemah), yang ketika itu pikiran seseorang dalam kondisi lemah dan lelah. Maka di waktu ini hendaknya ia belajar kitab-kitab adab (akhlak), tarajim (biografi), tarikh (sejarah), sirah Nabawiyah, dan wawasan umum.

Dengan demikian seluruh waktu akan penuh dengan ilmu.

Beliau menjelaskan, “Dengan demikian, ciri sifat penuntut ilmu adalah ia senantiasa memikirkan ilmu. Ia tidak memberikan sebagian waktunya saja untuk ilmu, namun ia memberikan seluruh waktunya atau mayoritas waktunya untuk ilmu, di masa mudanya. Yang masa muda ini adalah masa-masa dihasilkannya banyak ilmu. Oleh karena itu para ulama mengatakan,

اعط العلم كلك و يعطيك بعضه

“Berikanlah lelahmu pada ilmu, maka ilmu akan memberikan sebagian dari dirinya”

Karena ilmu itu luas, pembahasan dalam ilmu syar’i itu banyak. Sampai-sampai sebagian ahli hadits masih menyampaikan hadits ketika ia sudah terbaring sakaratul maut” (Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 24).

Imam Ahmad ketika beliau sakit di masa-masa menjelang wafatnya, beliau terkadang merasakan rasa sakit yang hebat sehingga beliau terkadang mengaduh-aduh. Lalu ketika datang sebagian muridnya mereka meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu

كان يكره الأنين

bahwasanya beliau (Anas bin Malik) tidak menyukai al-aniin (mengaduh-aduh ketika sakit)

Imam Ahmad belum pernah mendengar hadits itu sebelumnya, kecuali ketika beliau hendak wafat” (lihat Shifatus Shafwah, 2/357, dan Al-Minhaj Al-Ahmad, 1/95, dinukil dari Ath-Thariq ila Nubughil Ilmi, 25).

Inilah tiga kiat penting yang hendaknya diperhatikan oleh para penuntut ilmu agar ia sukses dalam meraih ilmu syar’i.

Semoga bermanfaat, wa billahi at taufiq was sadaad.

***

Diringkas dari kitab  Ath-Thariq ilan Nubughil Ilmi karya Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alu Asy Syaikh

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/29932-tiga-kiat-penting-dalam-belajar-agama.html

Hajar Aswad, Hanyalah Batu dan Tak Bisa Beri Manfaat

JIKA kita perhatikan, bagian kabah yang paling mulia dan paling istimewa adalah hajar aswad. Disebut mulia, karena batu ini turun dari surga. Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Hajar aswad turun dari surga. Dulu batu ini lebih putih dari pada susu. Kemudian menjadi hitam karena dosa-dosa bani Adam.” (HR. Ahmad 2795, Turmudzi 877, Ibnu Khuzaimah 2733, dan sanadnya dinilai hasan oleh al-Adzami).

Meskipun benda mulia, para sahabat tidak berebut mengambil serpihannya untuk dijadikan obat. Amalan yang mereka lakukan untuk hajar aswad hanya menciumnya atau menyentuhnya. Itupun hanya dilakukan ketika thawaf. Di luar kegiatan thawaf, mereka sama sekali tidak menyentuh hajar aswad maupun menciumnya.

Bahkan Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, ketika beliau hendak mencium hajar aswad, beliau yakinkan bahwa batu ini sama sekali tidak bisa memberi manfaat mauapun memberi madharat. Dari Abis bin Rabiah, dari Umar bin Khatab radhiyallahu anhu, bahwa beliau mendekati hajar aswad ketika hendak thawaf, lalu beliau menciumnya. Lalu Umar mengatakan,

“Saya tahu, kamu hanyalah sebuah batu, tidak bisa memberi manfaat dan madharat. Andai bukan karena saya pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. as-Syafii dalam musnadnya no 881, Bukhari no. 1597, dan yang lainnya). Anda bisa perhatikan pernyataan Umar, “Andai bukan karena saya pernah melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

Artinya, beliau mencium hajar aswad bukan karena untuk ngalap berkah, bukan karena penasaran dengan baunya, bukan pula karena memuliakannya. Para sahabat mencium hajar aswad, karena menngikuti praktek Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Artinya, mereka lakukan itu, dalam rangka mengamalkan sunah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dengan mengamalkan sunah nabi, umatnya akan mendapatkan pahala di akhirat. Itulah keberkahan bagi mukmin yang sejatinya.

Seperti itu yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sekalipun berupa batu dari surga, mereka tidak menyikapinya melebihi yang diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Benda lain yang ada di kabah, jelas tidak bisa dibandingkan dengan hajar aswad. Karena benda-benda itu, ada di muka bumi. Bebatuan penyusun kabah, adalah bebatuan yang ada di sekitar masjidil haram. Demikian pula kayu-kayunya. Termasuk juga kain kiswah. Itu semua buatan manusia. Bahkan terdapat informasi bahwa benang kiswah diimpor dari Italia, untuk mendapatkan bahan terbaik. Kemudian dengan alasan apa kita ngalap berkah dengan kiswah atau bebatuan kabah.

utamaan Belajar Ilmu Agama (Bag. 1)

Di antara faktor pendorong agar seseorang bersemangat mempelajari sesuatu adalah pengetahuannya bahwa sesuatu tersebut memiliki banyak keutamaan. Semakin banyak keutamaan yang akan dia dapatkan, maka semakin besar pula semangat untuk mempelajarinya. Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah berkata,

”Jiwa itu mempunyai sifat tertarik untuk mendengar dan mengetahui keutamaan sesuatu. Karena terkadang dia menyangka bahwa keutamaan dari sesuatu itu hanya satu dan tidak berbilang. Ketika keutamaannya banyak, maka akan semakin banyak pula sisi ketertarikannya terhadap sesuatu tersebut. Dia akan perhatian kepadanya, bersemangat mendapatkannya, dan menjelaskan kepada manusia tentang keutamaan yang akan mereka dapatkan kalau memegang teguh tauhid ini.” 

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan penulis sampaikan tentang beberapa keutamaan menuntut ilmu agamaSetelah mengetahui keutamaan-keutamaannya, semoga hal itu dapat mendorong kita semua untuk giat dan terus-menerus mempelajarinya serta tidak meremehkannya.

Pahala yang Agung bagi Orang-Orang yang Menuntut Ilmu Agama

Pahala yang besar itu sekadar dengan besarnya kedudukan. Ketika menuntut ilmu agama (ilmu syar’i) memiliki kedudukan yang besar di dalam agama ini, maka Allah Ta’ala pun telah mempersiapkan bagi para penuntut ilmu syar’i pahala yang sangat besar dan agung. Sehingga apabila hati-hati orang beriman mendengarnya, maka dia akan senang dan gembira serta akan berusaha untuk meraihnya. 

Pahala yang besar yang telah dipersiapkan oleh Allah Ta’ala kepada para penuntut ilmu syar’i tersebut adalah surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 7028) 

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa jalan yang ditempuh untuk menuntut ilmu itu ada dua macam, yaitu jalan yang konkret (hissiyyah) dan jalan yang abstrak (ma’nawiyyah). 

Yang dimaksud dengan jalan yang konkret adalah jalan yang ditempuh seseorang menuju majelis ilmu, baik ke masjid atau tempat-tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan jalan yang abstrak adalah seseorang berjalan dengan fikirannya untuk memikirkan atau merenungkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik dengan mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara langsung dengan mempelajari ilmu tafsir dan mempelajari syarah (penjelasan) hadits, atau mengkaji Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah secara terpisah dengan mempelajari kitab-kitab fiqih, aqidah, tauhid, dan sebagainya. Atau seseorang menelaah dan mengkaji kitab-kitab para ulama, karena para ulama telah mencurahkan usaha yang besar untuk menyebarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar. [2]

Pahala yang agung bagi seorang yang berilmu juga dapat dilihat dari pahala yang mereka dapatkan ketika mereka dapat memberikan petunjuk bagi orang lain dengan ilmu yang mereka miliki. Dan seseorang tidaklah mungkin dapat memberikan petunjuk kebenaran kepada orang lain kecuali dengan ilmu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.).” (HR. Bukhari no. 3009, 3701, 4210 dan Muslim no. 6376)

Menutut Ilmu Syar’i Merupakan Tanda Kebaikan Seseorang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa orang yang menuntut ilmu syar’i merupakan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknya baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ يُرِدْ اللَّه بِهِ خَيْرًا يُفَقِّههُ فِي الدِّين

“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436) 

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu yang paling agung. Yaitu ilmu yang bermanfaat merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan untuknyaDan sebaliknya, hadits ini mengisyaratkan bahwa barangsiapa yang berpaling dari mempelajari ilmu agama, maka berarti Allah Ta’ala tidak menghendaki kebaikan untuknya. Karena dia terhalang dari melakukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan. [3]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

”Yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ (memahami agama) bukanlah terbatas pada memahami hukum-hukum amaliyyah tertentu yang disebut oleh para ulama dengan ilmu fiqih. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ‘fiqh fi ad-din’ tersebut adalah memahami ilmu tauhid, ushuluddin (pokok-pokok agama), dan yang terkait dengan syari’at Allah. Seandainya tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As-Sunnah tentang keutamaan ilmu kecuali hadits ini saja, niscaya sudah mencukupi dalam memberikan motivasi agar menuntut ilmu syar’i dan memahaminya.” (Kitaabul ‘Ilmi, hal. 21) 

Orang yang Berilmu adalah Pewaris para Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita bahwa para ulama memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah Ta’ala yang tidak diraih oleh seorang pun selain mereka. Yaitu bahwa mereka adalah pewaris para Nabi dalam membawa agama dan menyebarkannya di dunia ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar”. (HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud  no. 3641)

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah menceritakan bahwa pada suatu hari, ada seorang Arab Badui lewat ketika Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelilingnya. Maka orang Arab Badui tersebut berkata, ”Untuk apa mereka berkumpul?”  Maka Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

« على ميراث محمد ، صلى الله عليه وسلم يقتسمونه »

“Untuk membagi-bagi warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarfu Ash-haabil Hadits, 1 : 102) 

Segala Sesuatu di Langit dan di Bumi Memintakan Ampun untuk para Penuntut Ilmu

Karena kedudukan dan pahala yang besar bagi para penuntut ilmu, sampai-sampai  segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi memintakan ampun untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صاحب العلم يستغفر له كل شيء حتى الحوت في البحر

“Segala sesuatu memintakan ampun bagi ahlul ilmi, sampai-sampai ikan di lautan.” (HR. Abu Ya’laDinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir  no. 7201)

Malaikat pun Bershalawat kepada Ahlul ‘Ilmi

Allah Ta’ala telah memuliakan para ulama dan para penuntut ilmu sehingga Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya bershalawat untuknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا، وَحَتَّى الْحُوتَ فِي الْبَحْرِ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ

“Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikatNya, sampai semut di sarangnya, dan ikan di lautan bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. ThabraniDinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jaami’ Ash-Shaghir no. 2719)

Yang dimaksud dengan shalawat Allah Ta’ala kepada hamba-hambaNya adalah sanjungan Allah Ta’ala di depan para malaikat. Adapun maksud shalawat para malaikat kepada seorang hamba  adalah mendoakan dan memohonkan ampun atas dosa-dosanya.

Berjalan Menuntut Ilmu Sama dengan Jihad fii sabilillah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barangsiapa yang berjalan untuk menghadiri majelis ilmu, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ جَاءَ مَسْجِدِى هَذَا لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ 

“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, tidaklah ia mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkaannya, maka dia setara dengan kedudukan mujahid fii sabiilillah.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 227)

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/51513-keutamaan-belajar-ilmu-agama-bag-1.html