Menolak Shalat Istisqa, Malu Tidak Turun Hujan

Meluruskan Seorang Dai yang Tidak Mau Sholat Istisqa Karena Malu Tidak Turun Hujan

Alhamdulillah ‘ala kulli haal, saat ini kemarau panjang dan banyak terjadi kebakaran hutan. Nah beberapa kaum muslimin sudah melakukan shalat istisqa’. Namun sayangnya ada seorang dai mempropagandakan menolak jadi imam shalat istisqa’ karena alasannya bisa bikin malu jika ternyata setelah shalat tidak turun hujan, dan menganggap doa tidak terkabul. Mohon tanggapannya, syukron.

Abu Azzam

Jawaban:

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah.

Membaca statemen seperti itu keluar dari seorang da’i, kita masyarakat yang pembaca lebih merasa malu melihat tingkah malu-maluin dari seorang yang diustadzkan. Tidak seyogyanya komentar semacam itu muncul dari seorang yang dianggap berilmu. Karena tindak tanduknya ditiru lan digugu (diikuti dan ditaati, jawa). Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.

Isi dan tujuan dari sholat istisqa, adalah doa meminta hujan. Karena Istisqa’ / استسقاء sendiri memiliki makna, meminta hujan. Setiap kata kerja bahasa Arab, yang didahului huruf alif (ا), sin (س) dan ta’ ( ت), memiliki arti permintaan.

– Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan umatnya untuk optimis dalam berdoa. Apakah kemudian ada da’i di tengah umatnya, yang tega menghancurkan karakter optimis yang telah lama beliau perjuangkan pada umatnya ini?!

Beliau berpesan,

ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه

“Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai, dan lengah (dengan doanya).” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)

– Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya, untuk merasa butuh dan miskin di hadapan Allah. Kemudian ada da’i di tengah umatnya yang tega menggugurkan sifat yang mulia ini?!

Saat perang Badar sedang berkecamuk, Nabi shalallahu alaihi wa sallam mengangkat tangan beliau tinggi-tinggi, seraya menengadah ke arah langit. Dengan penuh rasa harap dan teramat butuh kepada Allah, beliau mengucapkan doa,

اللهم أنجز لي ما وعدتني، اللهم آت ما وعدتني، اللهم إن تهلك هذه العصابة (الجماعة من الناس) من أهل الإسلام لا تُعْبد في الأرض

“Ya Allah mohon tunaikan apa yang telah Engkah janjikan kepada kami, ya Allah datangkan apa yang Engkau janjikan kepada kami, jika pasukan muslim yang sedikit ini kalah, Engkau tak akan lagi disembah di muka bumi”

Kata Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, yang melihat langsung kejadian itu,

فما زال يهتف بربه ماداً يديه، مستقبل القبلة، حتى سقط رداؤه عن منكبيه، فأتاه أبو بكر، فأخذ رداءه فألقاه على منكبيه، ثم التزمه من ورائه، وقال يا نبي الله! كفاك مناشدتك ربك، فإنه سينجز لك ما وعدك الحديث.

“Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terus bermunajat kepada Allah, seraya menengadahkan tangan, dalam posisi menghadap kiblat, sampai selendang dipundak beliau, jatuh.

Kemudian Abu Bakar mengambilkan selendang dan menempatkannya kembali di pundak Nabi.

Lalu Abu Bakar diam sejenak di belakang Nabi. Sampai Abu Bakar berkata kepada Nabi,

“Duhai Nabi Allah, cukup doa engkau kepada Allah.. cukup. Allah pasti menunaikan apa yang dijangjikanNya kepada engkau.” (HR. Muslim)

Siapa kita dibandingkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam?! Manusia yang paling bertakwa yang telah dijamin surga pun, ternyata bersikap demikian butuh, merasa fakirnya kepada Allah?! Apakah Anda tega wahai dai, mensia-siakan keteladanan jujur dari manusia paling jujur ini?!

Allah itu semakin cinta, saat ada hambaNya sedikit-sedikit minta sama Allah. Semakin besar rasa miskinnya di hadapan Allah, semakin cinta Allah sama dia. Di situlah sumber ketundukan, kekhuyuan dan ketawaduan kepada Allah.

Dan sebaliknya, semakin seorang itu merasa kaya, merasa cukup kepada Allah, semakin besar murka Allah kepadanya. Di situlah sumber kesombongan, kepongahan dan pembangkangan.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir : 60)

– Nabi itu, sampai urusan tali sendal putus saja minta sama Allah. Anda soal urusan hujan malah membuat umat pesimis untuk minta sama Allah?!

ليسأل أحدكم ربه حاجته كلها حتى شسع نعله إذا انقطع

Hendaklah setiap kalian meminta kepada Rabbnya semua kebutuhan, sampai-sampai ketika tali sandalnya lepas’.”

Mari pembaca, kita melihat keteladanan dari orang-orang yang benar-benar berilmu. Ulama sejati yang bukan sekedar diulamakan. Atau dalam bahasa kita; Ustadz sejati yang bukan sekedar diustadzkan. Kita simak paparan dari Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah,

وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته ، وفي الإسرائيليات : أن موسى عليه الصلاة والسلام قال : يا رب ! إنه ليعرض لي الحاجة من الدنيا فأستحي أن أسألك . قال : سلني حتى ملح عجينك وعلف حمارك

“Sebagian ulama salaf dahulu, meminta kepada Allah dalam sholat mereka, semua kebutuhan mereka. Sampai ada yang meminta kepada Allah garam dapurnya atau pakan (makanan) kambingnya. Disebutkan dalam riwayat Israiliyat : Bahwa Musa -alaihis sholaatu wassalam-, pernah berdoa,

“Ya Tuhanku… Sungguh ada kebutuhan duniawi yang aku butuhkan, namun aku malu meminta kepadaMu.”

Allah ta’ala menjawab keluhan Musa,

“Mintalah kepada-Ku, sampaipun garam dapurmu atau pakan keledaimu.”

Ibnu Rajab melanjutkan,

فإنَّ كلَّ ما يحتاج العبد إليه إذا سأله من الله فقد أظهر حاجته فيه وافتقاره إلى الله ، وذاك يحبه الله

Hamba yang meminta semua kebutuhannya kepada Allah, dia telah menampakkan rasa butuh dan fakirnya kepada Allah. Sifat seperti itu, dicintai oleh Allah.

(Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, 2/662)

– Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya, untuk mantap / percaya sepenuhnya, saat meminta dan bergantung kepada Allah. Lalu akankah ada dai di tengah umatnya yang begitu tega melenyapkan perasaan itu dari umatnya?!

Beliau bersabda,

لا يقل أحدكم إذا دعا اللهم اغفر لي إن شئت اللهم ارحمني إن شئت ليعزم المسألة فإنه لا مُكرِه له

“Janganlah kalian ketika berdoa dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ampuni aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah aku, jika Engkau mau’. Hendaknya dia memantapkan keinginannya, karena tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di hadis yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…..Karena Allah tidak keberatan dan kesulitan untuk mewujudkan sesuatu.” (HR. Ibn Hibban dan dishahihkan Syua’ib Al-Arnauth)

Rasul shallallahu’alaihi wasallam melarang menyertakan kalimat

“Jika Engkau mau ya Allah…”

karena ungkapan ini bertentangan dengan prinsip merasa miskin di hadapan Allah. Padahal Allah tegas berfirman,

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ

Hai manusia! Kalian itulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak butuh sesuatu apapun), dan Dia Maha Terpuji. (QS. Fathir : 15)

Wajarnya, permintaan yang disertai ungkapan tawar seperti itu, ditujukan kepada orang tidak terlalu dia pertimbangkan, tidak terlalu dia harapkan karena khawatir jika memantapkan harapan akan kecewa, tidak terlalu dia butuhkan.

(Lihat : Syarah Kitab At Tauhid min Shahih al-Bukhari, 2/256. Syekh Abdullah Al Ghunaiman)

Kasarnya, semakna dengan ucapan seorang, “Kalau mau yang silahkan kalau enggak yang ga papa, emang gue pikirin.”

Atau ungkapan lain, “Kalau sudah jadi imam shalat istisqa’ ternyata gak turun hujan, mejret deh lu…… Malu banget, ngimamin istisqa’ tapi nggak juga turun hujan. Berarti doa lu kagak mempan.”

Subhanallah, jelas ini sebuah kelancangan dan tidak ada kesopanan sama sekali kepada Allah !!

Setidaknya, pernyataan seperti di atas mengandung 5 kemungkaran berikut :

[1] Indikasi kurangnya tawakkal kepada Allah.

[2] Merendahkan ibadah sholat istisqa’ dan menjadi imam sholat istisqa’.

Kemudian berbuntut perendahan kepada semua orang yang beramar ma’ruf mengajak masyarakat untuk menghidupkan sunah sholat istisqa’. Bisa dibayangkan betapa banyak orang yang terdzolimi oleh ucapan semacam ini?!

[3] Merendahkan saudaranya sesama muslim yang sedang berdoa.

Padahal mereka telah berupaya melaksanakan perintah Allah,

ٱدۡعُواْ رَبَّكُمۡ تَضَرُّعٗا وَخُفۡيَةًۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِين

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. ( QS. Al-A’raf : 55)

[4] Indikasi kesombongan.

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,

الكبر بطر الحق وغمط الناس

Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR. Muslim)

[5] Prasangka buruk kepada Allah.

Seakan berat bagi Allah untuk mengabulkan doa hamba-hambaNya meminta hujan. Ini prasangka menghina Allah! Menyerupai prinsip orang-orang musyrik Jahiliah dan orang orang munafik.

Allah ta’ala mengatakan,

وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرٗا

Dia mengazab kaum munafik laki maupun perempuan, juga kaum musyrik laki maupun perempuan, yang berprasangka buruk kepada Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan neraka Jahanam bagi mereka. Dan (neraka Jahanam) itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. Al-Fath : 6)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sampai menyimpulkan,

أعظم الذنوب عند الله إساءة الظن به

Dosa terbesar di sisi Allah adalah, berprasangka buruk kepadaNya. (Ad-Daa’ wad Dawaa’, hal. 318)

Baca juga : Shalat Istisqo, Tak Turun Hujan?

Maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah dalam berucap. Karena akibat buruk dari ucapan amat menyesalkan dan menyesakkan. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam mengingatkan,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ

Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Mari kita tiru diantara seorang yang paling jujur menghamba kepada Allah. Beliau teladan dalam berdoa dan bertawakkal kepada Allah, sahabat yang mulia; Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, beliau pernah berpesan,

أنا لا أحمل همَّ الإجابة ولكن أحمل همَّ الدعاء، فإذا ألهمت الدعاء فإن معه الإجابة

“Dalam berdoa, aku tidaklah fokus pada urusan dikabulkannya doa. Yang aku fokusi adalah hasrat untuk selalu berdoa. Jika aku diilhamkan untuk berdoa, maka pengkabulan akan menyertainya”.

Teruslah berdoa, dengan memperhatikan adab dan sebab mustajabnya doa, tanpa kenal bosan dan lelah insyaallah akan terkabul. Di samping doa itu sendiri adalah ibadah, sumber pahala.

Semoga Allah memberi hidayah kepada seluruh kaum muslimin.

Wallahua’lam bis showab.

***

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35572-menolak-shalat-istisqa-malu-tidak-turun-hujan.html

Diet atau Pola Makan Sehat ala Rasulullah? (Bag. 2)

Bolehkah Mengamalkan Puasa Wishol?

Di antara kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau boleh melakukan puasa wishal

Puasa wishal adalah puasa tanpa berbuka dan tanpa sahur. Puasa dengan model semacam ini, hanya dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ، فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ

”Janganlah kalian melakukan puasa wishal! Jika salah seorang di antara kalian ingin melakukan puasa wishal, maka wishal-lah sampai waktu sahur”. 

Sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Engkau sendiri melakukan puasa wishal.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِ

”Keadaanku tidak sama dengan kalian. Saat aku berada di waktu malam, Allah memberi aku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1967)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saat aku berada di waktu malam, Allah memberi aku makan dan minum.” Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya, Nabi mendapatkan kiriman makanan (konkret) dari Allah Ta’ala. Pemahaman ini kurang tepat, karena kalau yang dikirimkan adalah makanan yang sesungguhnya, maka sama saja artinya Nabi tidak bisa dikatakan melakukan puasa, termasuk puasa wishal. 

Sehingga yang lebih kuat adalah pendapat sebagian ulama lainnya bahwa “makanan” yang dimaksud adalah makanan yang bersifat abstrak. Maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sibuk beribadah kepada Allah Ta’ala di waktu malam sebagai santapan ruhaninya, sibuk menyendiri dan bermunajat kepada Allah Ta’ala, sehingga beliau melupakan makan minum yang sesungguhnya dan tidak merasa lapar. (Lihat Lathaa’iful Ma’aarif, hal. 207)

Anjuran Menyegerakan Buka Puasa

Adapun untuk umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang paling afdhal adalah segera berbuka puasa ketika matahari sudah tenggelam. Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ

”Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Inilah yang lebih utama bagi kita, yaitu segera berbuka puasa. Yang kurang afdhal adalah menyatukan berbuka dengan sahur, artinya menunda buka puasa sampai waktu sahur sebagaimana hadis di atas. Adapun tidak buka dan tidak sahur sama sekali, ini tidak boleh karena menjadi kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Lalu jika kita cermati semua kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dimana beliau lebih sering lapar daripada kenyang, bahkan terkadang hanya makan kurma dan minum air, dan beliau juga puasa wishal tidak sahur dan tidak berbuka, maka kondisi-kondisi ini sebetulnya bukanlah pola makan yang ideal menurut ilmu kesehatan saat ini, apalagi untuk orang-orang yang memiliki penyakit tertentu di saluran pencernaan atau penyakit sistemik lainnya. 

Berpuasa Demi Diet dan Menurunkan Kolesterol

Puasa adalah di antara contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau maksudkan untuk berbibadah (ta’abbudiyyah). Oleh karena itu, kita dapati perintah dan motivasi berpuasa baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah motivasi akhirat. Berkaitan dengan puasa Ramadhan, maka disebutkan hikmahnya agar kita menjadi hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Sedangkan untuk puasa sunnah, disebutkan di antara motivatornya adalah agar dosa-dosa diampuni. 

Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ قَالَ: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa pada hari Arafah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan yang akan datang.” 

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menghapus dosa dosa yang telah lewat.” (HR. Muslim no. 1162)

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، وَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّ أَعْمَالَ الْعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ

”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari Senin dan Kamis. Ketika Nabi ditanya tentang hal tersebut, beliau berkata, “Sesungguhnya amal seseorang itu dihadapkan pada Allah ketika hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Dawud no. 2436, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Demikian pula untuk puasa-puasa sunnah yang lain. Motivator utamanya adalah ibadah, bisa karena itulah puasa yang paling dicintai Allah, atau ada pahala yang besar, atau menghapus dosa, dan seterusnya. Oleh karena itu, kami terheran-heran dengan perkataan sebagian orang yang memotivasi kaum muslimin untuk puasa ini dan puasa itu agar sehat dan bisa menurunkan kolesterol, misalnya. Padahal, hadits yang menyebutkan hal itu derajatnya lemah (dha’if) sehingga tidak bisa digunakan sebagai sandaran dalil.

Hadits yang kami maksud adalah,

صوموا تصحوا

“Berpuasalah kalian, agar kalian menjadi sehat.” 

Hadits ini lemah (dha’if) sebagaimana penjelasan para ulama ahli hadits dalam hal ini. Sayangnya, hadits ini dikenal luas sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan populer disebutkan oleh para penceramah di bulan Ramadhan. (Lihat Silsilah Al-Ahaadits Ash-Dha’ifah, 1: 420)

Menyikapi Manfaat Kesehatan dari Puasa

Taruhlah memang ada manfaat kesehatan tertentu dari berpuasa dengan dilandasi oleh bukti ilmiah yang valid. Meskipun demikian, manfaat kesehatan ini tidak boleh disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya puasa agar berpuasa demi meraih manfaat kesehatan tersebut. Sekali lagi, ini termasuk dusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang  telah kami bahas di bab persalinan.

Selain itu, ada bahaya tersendiri dari motivasi semacam ini, yaitu mendorong kaum muslimin agar berpuasa murni demi diet, niatnya murni demi menurunkan kolesterol, dan manfaat duniawi lainnya. Atau, shalat demi olahraga melancarkan peredaran darah. Padahal, ini adalah perbuatan tercela dan terlarang. Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang hanya meminta kepada-Nya tentang urusan-urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman,

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

”Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, ’Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia’, dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (QS. Al Baqarah [2]: 200)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Dan Kami tentukan baginya neraka jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 18)

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ؛ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia serta sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud [11]: 15-16)

Al-Qurthubi mengatakan,

أي من أراد بعمله ثواب الدنيا عجل له الثواب ولم ينقص شيئاً في الدنيا، وله في الآخرة العذاب لأنه جرد قصده إلى الدنيا

“Maksudnya, siapa yang beramal karena menghendaki pahala dunia, maka Allah akan segerakan harapannya (di dunia), dan Allah tidak mengurangi bagiannya sedikit pun di dunia. Sementara di akhirat, dia mendapatkan siksaan karena dia memurnikan semua tujuannya untuk dunia.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9: 14)

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah berkata,

“Orang-orang yang semata-mata niat, tujuan, dan perbuatannya hanyalah demi dunia adalah orang-orang kafir saja. Oleh karena itu, ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafadz ayat ini juga mencakup orang-orang yang beramal untuk meraih keuntungan duniawi (sebagaimana orang-orang kafir).” (At-Tamhiid li Syarhi Kitaab Tauhiid, hal. 424)

Niat Puasa untuk Ibadah dan Kesehatan

Bagaimana jika niatnya digabungkan, untuk ibadah sekaligus memperoleh manfaat kesehatan?

Yang kami bahas sebelumnya adalah jika seseorang berpuasa dengan 100% niat untuk diet dan menurunkan kolesterol, tidak ada niat untuk akhirat sama sekali. Lalu, jika niatnya digabungkan, untuk ibadah sekaligus memperoleh manfaat kesehatan, bolehkah hal ini?

Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan masalah ini, ada dua jenis ibadah. 

Amal yang Disebutkan Balasannya di Dunia

Amal ibadah yang dikaitkan oleh syariat dengan pahala di dunia. Allah Ta’ala atau Rasul-Nya juga memotivasi hamba-Nya dengan menyebutkan pahala yang akan diperoleh di dunia. Seperti ketika Rasulullah memotivasi umatnya untuk bersilaturahmi agar mendapatkan kelapangan rizki dan memperpanjang umur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik setelah kematiannya, hendaklah dia menyambung silaturrahim.” (HR. Bukhari no. 2067)

Maka, jika dia meniatkan untuk mendapatkan pahala di akhirat dan dunia sekaligus ketika silaturahmi, hal ini tidak mengapa. Karena tidaklah syariat menyebutkan pahala di dunia kecuali untuk mendorong melakukan amal tersebut. 

Contoh lain adalah motivasi untuk jihad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَلَهُ سَلَبُهُ

“Siapa saja yang berhasil membunuh musuh, dan dia memiliki bukti (kalau dia yang berhasil membunuhnya, pent.), maka dia berhak mendapatkan salab (harta rampasan).” (HR. Bukhari no. 3142 dan Muslim no. 2)

“Salab” adalah harta yang melekat di badan orang kafir yang terbunuh di medan jihad. Harta salab ini menjadi milik kaum muslimin yang berhasil membunuh orang kafir tersebut. 

Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ؛ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3) 

Dalam ayat ini Allah menjanjikan dunia dengan ibadah yang dilakukan oleh manusia dan ini pun dengan syarat niat utamanya adalah untuk beribadah. Karena pada asalnya, kita hendaknya tidak beribadah untuk meraih manfaat duniawi. Adapun hasil dari dunia hanyalah buah dari keutamaan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. 

Namun perlu diperhatikan, syariat memang memperbolehkan bagi seseorang untuk berniat mencari pahala dunia di samping juga untuk mencari pahala akhirat bagi amal ibadah yang dikaitkan dengan balasan di dunia. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa hal itu akan mengurangi kesempurnaan pahala yang akan dia raih di akhirat. Karena seseorang yang masih meniatkan untuk dunia ketika beribadah menunjukkan kurangnya kesempurnaan ikhlas dan tauhid yang ada dalam hatinya. Seharusnya, dia memurnikan niatnya hanya untuk meraih balasan di akhirat, dan tidak meniatkan untuk dunia. Hal ini justru merupakan sebab kemudahan untuk mendapatkan dunia sesuai dengan janji Allah dalam surat Ath-Thalaq di atas. Dan kelak di akhirat dia akan mendapatkan balasan yang sempurna. 

Akan tetapi, kalau dia berniat untuk meraih dunia semata, maka dia akan mendapatkan dunia sebatas pada apa yang dia inginkan dan sebatas yang telah Allah takdirkan. Sedangkan di akhirat, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali siksa yang pedih di neraka. Artinya, jika niat untuk akhirat dihilangkan, dia terkena ancaman dalam surat Huud di atas.

Amal yang Tidak Disebutkan Balasannya di Dunia

Ke dua, amal ibadah yang tidak dikaitkan oleh syariat dengan pahala atau balasan di dunia. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya juga tidak mendorong umatnya untuk melakukan ibadah tersebut dengan menyebutkan balasan di dunia. Seperi shalat untuk melancarkan peredaran darah atau puasa untuk menurunkan kolesterol. Maka jika dia shalat atau puasa untuk meraih hal tersebut, hal ini tidak diperbolehkan, dan bisa jadi dia terjatuh ke dalam kemusyrikan. (Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitaab Tauhiid, hal. 424-426 dan Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitabit Tauhiid, 2: 138-139)

Kesimpulan

Petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah makanan bersifat global saja, tidak disebutkan secara rinci harus makan dengan metode diet tertentu dan sejenisnya. Berkaitan dengan pola makan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita jumpai hadits-hadits yang menerangkan kondisi sulit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau sedikit makan, sering kelaparan, dan jarang kenyang. Kondisi ini bukan beliau maksudkan demi diet, namun yang lebih mendekati adalah karena sederhananya rizki dari Allah Ta’ala kepada beliau dalam masalah makanan dan minuman ketika itu. Demikian pula berkaitan dengan puasa, motivasi utama yang selalu beliau sebutkan adalah pahala akhirat, bukan manfaat duniawi. Sehingga siapa saja yang menyandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya manfaat puasa terkait kesehatan sebagai motivator ibadah puasa, maka sama saja dengan berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Oleh karena itu, sekali lagi kami tekankan, istilah “diet sehat ala Rasulullah” atau “pola makan sehat ala Rasulullah” atau yang sejenis dengan itu, bukanlah bahasa atau istilah yang dipakai oleh para ulama. Hal ini karena termasuk menisbatkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dalil. Dan tentu saja, tidak boleh disebut sebagai thibb  nabawi. [1]

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52420-diet-sehat-ala-rasulullah-2.html

Riya’ di Media Sosial

“Alhamdulillah. Memulai hari ini dengan muraja’ah 2 juz setelah shalat subuh, disusul dengan 2 rakaat shalat sunnah syuruq, dan mari kita lanjut dengan menyedekahkan anggota tubuh kita dengan 2 rakaat shalat dhuha.” Tak jarang kita melihat update status dari beberapa akun di media sosial dengan kalimat seperti ilustrasi tersebut.

Tabiat manusia perlahan berubah seiring dengan majunya teknologi. Hadirnya media sosial di tengah-tengah masyarakat disusul dengan maraknya ponsel pintar, secara signifikan membantu kita dalam menjalankan aktivitas keseharian kita; mendengar radio dan musik, menonton televisi, berselancar internet, bahkan urusan transaksi jual-beli dapat dilakukan dalam satu genggaman. Tak terkecuali munculnya fenomena media sosial. Awal booming-nya media sosial terjadi sekitar satu dekade yang lalu, ketika situs jejaring sosial friendster yang berhasil mencuri perhatian para pengguna internet. Kemudian muncul jejaring sosial baru bernama facebook yang mengancam eksistensi friendster. Nama friendster pun semakin terperosok ketika bermunculan situs-situs media sosial baru. Twitter, hello, path, instagram, dan lainnya menyerbu dunia maya, serta merta mengakhiri riwayat friendster di dunia maya. Semua terjadi berkat karunia Allah berupa akal kepada manusia yang dapat melakukan inovasi-inovasi baru.

Indonesia yang notabene negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, adalah negara terbesar pengguna facebook di kawasan Asia Tenggara. Uniknya, walaupun koneksi internet di Indonesia terbilang lambat, namun pengguna facebook di Indonesia sudah menembus angka 50 juta. Sebagaimana hal apapun di dunia ini yang memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif, pun halnya dengan media sosial yang ada sekarang. Jejaring sosial semodel facebook, twitter dan yang lainnya, dapat digunakan untuk berbagi artikel-artikel bermanfaat, video atau audio inspiratif, atau dimanfaatkan sebagai media dakwah. Singkatnya, media sosial dapat memberikan pahala tambahan bagi kita yang mengejar surga. Akan tetapi, jejaring sosial juga dapat menjerumuskan kita ke neraka, disebabkan pada hal yang kita lakukan di dunia maya.

Riya’, adalah hal yang paling mencolok dari berbagai kegiatan yang kita lakukan di media sosial. Sebab biasanya orang-orang yang memiliki akun media sosial memang menggunakannya untuk menampilkan apa yang mereka lakukan ke hadapan publik. Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga diri dihujani dengan pujian dan ketenaran. Riya’ dan kawan-kawannya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik. Ilustrasi yang ditampilkan sebagai pembuka tulisan ini dapat pula dikatakan dengan riya’.

Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang tenar. Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.

Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar (besar). Hal ini terjadi jika seseorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap keridhaan dari Allah.

Orang dengan riya’ jenis ini bermaksud bisa bebas hidup di tengah-tengah kaum muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisaa’:142).

Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisaa’:142).

Sedangkan jenis riya’ yang kedua adalah riya’ yang bisa menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik asghar (kecil).

Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seorang muslim akan sia-sia bak debu tertiup angin. Setan tidak pernah lelah dalam usahanya memalingkan manusia agar menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya ialah melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari kaum muslimin.

Dengan dalih berbagi inspirasi kepada sesama, seseorang dengan mudahnya terjebak dalam riya’. Memasang foto profil sedang membaca Al-Quran, update status tentang amalan keseharian pribadi, sampai kepada hal-hal seharusnya tidak disebarkan ke publik, tanpa disadari membuat amalan seorang muslim menjadi sia-sia belaka. Ini bukan sedang mencela salah satu pihak, namun ini adalah PR bagi kaum muslimin yang aktif di media sosial, agar setiap amalan yang telah dilakukannya tidak sia-sia atau parahnya justru berujung dosa.

Biarlah ibadah yang kita laksanakan setiap waktu menjadi catatan amalan pribadi kita. Evaluasi diri bukanlah memajangnya di hadapan publik untuk kemudian mendapat komentar-komentar yang beragam dari orang lain. Tidakkah cukup curahan hati kita kepada Yang Maha Kuasa serta curahan hati kita kepada orang-orang yang kita sayangi? Relakah kita, apabila kita telah berlelah-lelah beribadah, tetapi tidak dinilai ibadah oleh Allah, bahkan dicap dosa oleh-Nya? Tutuplah kebaikan diri kita, sebagaimana kita menutup aib-aib kita di hadapan orang lain. Hal ini adalah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabad-abad silam. Beliau bersabda, “Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’.” (HR. Ahmad).

Gunakanlah media sosial yang ada dengan sebaik-baiknya. Senantiasa perbaiki niat agar jangan terjerumus ke dalam jurang riya’, yang dapat menghapus amalan-amalan yang telah kita lakukan. Niatkan hati kita aktif di media sosial untuk memberi manfaat kepada yang lain, dengan saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang. Bukan dengan menghina kekurangan ibadah orang lain, atau memamerkan ibadah-ibadah kita. Semoga kita terbebas dari sifat riya’ dan munafik.

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/08/25/56195/riya-di-media-sosial-2/#ixzz644KX1GWd

Apa Pentingnya Pamer Kekayaan?

Sahabat Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Pada zaman dahulu ada seorang lelaki memakai pakaian hingga menyentuh tanah dan berjalan sambil menarik- narik pakaiannya dengan penuh rasa bangga. Lalu orang tersebut ditenggelamkan ke bumi hingga hari kiamat nanti,” (HR. Bukhari dan Nasai).

SETIAP manusia memiliki sifat buruknya masing-masing yang bisa sama dan bisa juga berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Salah satu sifat buruk manusia adalah gemar memamerkan hal-hal yang berharga miliknya kepada orang lain.

Orang yang memiliki sifat suka pamer atau riya biasanya juga memiliki sifat gengsian. Sifat gengsi adalah sifat di mana seseorang merasa bangga apabila memiliki atau menggunakan hal-hal yang dianggap berharga atau bagus di mata orang lain serta akan merasa rendah diri atau malu ketika tidak mempunyai atau tidak memakai hal-hal yang bagus atau berharga di mata orang banyak.

Sahabat Iyadh bin Hamar ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Allah swt telah memberikan wahyu kepadaku agar supaya kamu sekalian bersifat lawadhu’ (merenda-hkan diri), sehingga di antara sesama manusia tidak ada lagi saling hina menghina serta saling membanggakan diri,” (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Dalam kehidupan kita sehari-hari kita terbiasa melihat orang-orang saling iri hati melihat sesuatu hal baik yang ada pada orang lain dan ada pula orang-orang yang senang memperlihatkan benda-benda berharganya pada orang lain. Sifat baik dan sifat buruk muncul silih berganti saling melengkapi satu sama lain mewarnai kehidupan kita di dunia ini.

Walaupun agama sudah memperingatkan dan mengancam orang-orang yang memiliki sifat buruk, namun tetap saja dunia ini dipenuhi oleh berbagai hal buruk yang salah satunya adalah sifat suka pamer alias riya.

Mari kita lihat dalam hal apa saja yang biasanya orang pamerkan kepada orang-orang.

Benda-Benda yang Dijadikan Ajang Pamer Harta Kekayaan Pada Seseorang yang Suka Pamer / Riya :

1. Tempat Tinggal
Contoh : Rumah, Apartemen, Rumah Susun, Villa, dsdan sebagainya.

2. Properti Non Tempat Tinggal
Contoh : Tanah, Toko, Ruko, Kebun, Sawah, Kantor, dan sebagainya.

3. Kendaraan
Contoh : Mobil, Sepeda Motor, Sepeda, Helikopter, Skuter, Pesawat Terbang, Angkutan Umum, dan sebagainya.

4. Perhiasan
Contoh : Cincin, Gelang, Kalung, Anting-Anting, Mahkota, Gigi Palsu, dan sebagainya.

5. Pakaian
Contoh : Pakaian, Aksesoris, Tas, Sepatu, Sendal, sebagainya.

6. Alat Elektronik Portabel
Contoh : Handphone, Komputer Tablet, Laptop, Handycam, Kamera Digital, dan sebagainya.

7. Barang Rumahan
Contoh : Furniture, Perangkat Elektronik, Lukisan, Pajangan / Hiasan, dan sebagainya.

Dan masih banyak lagi benda-benda rawan dipamerkan lainnya.

Sahabat Abi Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Ada tiga orang yang kelak di hari kiamat Allah tidak akan berbicara dengannya, tidak akan memuliakannya, serta tidak akan memandangnya, dan bagi mereka siksa yang sangat menyakitkan. Mereka adalah orang tua yang berzina, pemimpin yang berkhianat, dan orang fakir yang takabur,” (HR. Muslim dan Nasai).

Sebagai orang yang baik seharusnya kita berusaha menghilangkan sifat riya (suka pamer), iri hati, gengsi, pelit, dan lain sebagainya. Sifat-sifat buruk yang merupakan penyakit hati harus kita buang jauh-jauh. Dengan hilangnya berbagai penyakit hati, maka kita akan hidup dengan tenang, tentram, damai, aman dan sejahtera lahir batin. []

Sumber: http://www.organisasi.org/1970/01/barang-benda-yang-suka-dipamerkan-oleh-tukang-pamer-riya-pada-orang-lain.html

ISLAMPOS

Diet atau Pola Makan Sehat ala Rasulullah? (Bag. 1)

Menisbatkan Metode Diet dengan Islam

Sebagian orang ingin memiliki badan yang ideal atau ingin menurunkan berat badan. Karena keinginan itu, banyak di antara mereka yang menempuh berbagai metode diet, menjaga aktivitas dan latihan fisik, serta menjaga pola tidur yang cukup dan tidak stres. Sebagian yang lain melakukan diet khusus karena memang ingin menjaga diri dari penyakit. 

Jika hal itu tidak disangkut-pautkan dengan syariat atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu tidak masalah. Dengan catatan bahwa pola diet tersebut tidak justru membahayakan tubuh. Hanya saja sebagian pihak bersikap lancang dengan menisbatkan pola makan atau pola diet tertentu sebagai ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, menisbatkan sesuatu sebagai sunnah atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang berat dan berbahaya. Oleh karena itu, dalam bab ini akan kami sampaikan hadits-hadits atau petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah ini dan bagaimanakah penjelasan ulama tentangnya.

Berbagai Dalil yang Berkaitan dengan Makanan

Di dalam Al-Qur’an kita dapati petunjuk dari Allah Ta’ala agar makan makanan yang halal dan thayyib, serta menjauhkan diri dari makanan haram. Selain itu, kita diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan ketika makan, meskipun makanan halal. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168) 

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

“Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf  [7]: 31)

Larangan sikap berlebih-lebihan juga ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، حَسْبُ الْآدَمِيِّ، لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ غَلَبَتِ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ، فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ، وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ، وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

“Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR Ibnu Majah no. 3349, dinilai shahih oleh Al-Albani) 

Penjelasan Ulama Tentang Pokok Kesehatan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala– berkata,

“Pokok (inti) kesehatan ada tiga. 

Pertama, menjaga kesehatan dengan memanfaatkan (melakukan) berbagai hal yang bermanfaat. 

Ke dua, menjaga diri dari berbagai hal yang membahayakan kesehatan.

Ke tiga, menghilangkan (membuang) kotoran atau penyakit yang masuk ke badan.

Semua permasalahan kesehatan kembali kepada tiga inti pokok tersebut. Dan sungguh Al-Qur’an telah mengingatkan dalam firman-Nya tentang menjaga kesehatan dan membuang kotoran (penyakit) (yang artinya), “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf  [7]: 31).” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Kemudian beliau –rahimahullahu Ta’ala- menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan untuk makan dan minum, dua aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh badan (poin pertama). Perintah tersebut bersifat mutlak, yang menunjukkan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi hendaklah sesuatu yang baik dan bermanfat untuk manusia di setiap waktu dan keadaan.

Dan Allah Ta’ala melarang dari sikap berlebih-lebihan, misalnya dengan terlalu banyak makan dan minum. Ini adalah bentuk penjagaan dari segala sesuatu yang berpotensi membahayakan badan manusia. Jika makanan pokok yang sangat dibutuhkan saja tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi ketika ada potensi membahayakan kesehatan badan, maka bagaimana lagi dengan yang selain makanan pokok?

Diperbolehkan bagi orang yang sakit untuk tayammum, sebagai pengganti berwudhu dengan air, jika menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya. Hal ini sebagai bentuk penjagaan dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan (poin ke dua). Demikian pula diperbolehkan bagi orang yang sedang berihram jika ada penyakit di kepalanya untuk mencukurnya. Ini termasuk dalam bentuk menghilangkan penyakit yang ada di badan (poin ke tiga). Lalu bagaimana lagi jika ada hal-hal yang lebih berbahaya dari itu semua? (Lihat Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan secara global petunjuk syariat dalam urusan makanan. Allah Ta’ala tidak merinci makanan apa saja yang baik dimakan, karena tentunya sangat banyak makanan halal di dunia ini yang Allah Ta’ala sediakan. 

Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah Makanan

Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan makanan, kita dapati potret kesederhanaan yang luar biasa dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dalam urusan makanan, beliau tidaklah berlebih-lebihan dan hanya meminta rizki makanan secukupnya. Hal ini sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا

“Ya Allah, jadikan rizki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim no. 1055)

Berbeda dengan kita umumnya yang makan 2-3 kali sehari sampai kenyang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru merasakan kenyang tiap 2-3 hari sekali. Kondisi ini diceritakan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan mengatakan,

ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Muslim no. 2970)

Dalam riwayat yang lain, kondisi tidak kenyang tersebut berlangsung sampai tiga hari, 

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ، مِنْ طَعَامِ بُرٍّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا، حَتَّى قُبِضَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan burr (gandum kasar) dalam tiga hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970)

Terkadang, makanan berupa roti gandum tersebut dicampur dengan semacam kuah. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan,

ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai dia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423)

Adapun yang dimaksud idam, dijelaskan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith,

ما يُسْتَمْرَأُ به الخبز

“sesuatu (makanan atau kuah) yang biasa digunakan untuk membantu menelan roti.”

Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sama sekali karena memang tidak punya makanan. Dan pada kondisi semacam itu, beliau pun kemudian berpuasa sunnah. 

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan sedikit pun (untuk dimakan).” Beliau lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan puasa hari ini.” (HR. Muslim no. 1154)

Kondisi semacam ini bisa berlangsung berhari-hari hingga sebulan. Hal ini sebagaimana penuturan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَأْتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ

“Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanyalah kurma dan air, kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan.” (HR. Bukhari no. 6458)

Kemungkinan yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit makan bukan karena sengaja ingin diet, akan tetapi karena memang demikian sederhananya rizki yang Allah Ta’ala karuniakan kepada beliau yang banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari hal ini. Di antara indikasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah ada makanan? Artinya, kalau ada makanan, tentu akan Nabi makan. 

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan akan berpuasa, tidak lama kemudian, ‘Aisyah diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi ‘Aisyah-.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.” 

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?” 

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata, 

قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا

“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Dalam lanjutan hadits di atas, jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya ketika ada makanan. Kalau maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk diet, tentu Nabi tetap melanjutkan puasa meskipun ada makanan. Sehingga sekali lagi, makna yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang makan karena keterbatasan dan kondisi ekonomi yang sederhana yang Allah tetapkan untuk beliau, bukan karena sengaja ingin diet demi kesehatan tubuh.

Demikian juga jika kita melihat keterangan para sahabat Nabi yang mereka sangat memahami kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana atsar dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,

ألَسْتُم في طعامٍ وشرابٍ ما شِئْتُم ؟ لقد رأَيْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما يجِدُ مِن الدَّقَلِ ما يملَأُ به بطنَه

“Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian? Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak mendapati sekedar daql (kurma yang buruk kualitasnya) untuk memenuhi perutnya.” (HR. Muslim no. 2977)

Di sini An-Nu’man bin Basyir menasihati para sahabat untuk senantiasa bersyukur atas kecukupan rizki berupa makanan dan minuman, dengan mengambil ibrah dari kehidupan  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jelas sekali dari hadits ini bahwa para sahabat memahami bahwa keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang tidak mendapati makanan atau jarang sekali mendapati perutnya kenyang oleh makanan ini bukan karena beliau bersengaja atau untuk melakukan metode diet atau untuk mempraktekkan gaya hidup sehat tertentu. Andaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersengaja melakukan itu karena mempraktekkan metode diet atau semisalnya, tentu An-Nu’man bin Basyir tidak akan menjadikannya sebagai ibrah.

Dan dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ini juga, kita memahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu semua bukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan beliau tidak mengajarkan para sahabatnya untuk memiliki pola makan yang sama seperti beliau. Nyatanya, An-Nu’man bin Basyir mengatakan kepada para sahabat,  “Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian?” 

Artinya, umumnya para sahabat berkecukupan dalam masalah makanan dan minuman, bahkan mereka makan setiap hari. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam rangka qurbah dan bernilai ibadah atau merupakan pola maka terbaik, maka tentunya para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in sudah berlomba-lomba untuk menirunya.

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52404-diet-sehat-ala-rasulullah-1.html

Antara Taqlid Dan Ittiba’

Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Alloh jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.

Tidak ada yang membangkang kepada perintah Alloh tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIoh. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.

Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul. IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka.

Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama. Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’.

Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!”

Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.

Dengan memhon Taufiq dari Alloh pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

DEFINISI TAQLID
Taqlid secara bahasa adalah meletakkan “al-qiladatun” (kalung) ke leher. Dipakai juga dalam hal menyerahkan perkara kepada seseorang seakan-. akan perkara tersebut diletakkan di lehernya seperti kalung. [Lisanul Arab 3/367 dan Mudzakkirah Ushul Fiqh hal.3 14]

Adapun taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993 dan l’lamul Muwaqqi’in 2/178]

Ada juga yang mengatakan bahwa taqlid adalah mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Mudzakkirah Ushul Fiqh hal. 3 14]

CELAAN TERHADAP TAQLID
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah/9 :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَكَذَٰلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَىٰ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَىٰ آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ﴿٢٣﴾قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَىٰ مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ ۖ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf/43 : 23-24]

Al-Imam lbnu Abdil Barr rahimahullahu berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]

Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الصُّمُّ الْبُكْمُ الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal /8: 22]إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah/2 : 166]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Para ulama berargumen dengan ayat-ayat mi untuk membatalkan taqlid” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/978]

WAJIBNYA ITTIBA’
Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan. [I’Iamul Muwaqqi’in 2/171]

Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di antaranya firman Alloh.قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” [Ali lmran/3 : 32]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Hujurat/49 : 1]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hal orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepoda Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisa/4 :59].قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Ali lmran/3 :31]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ , لَوْ أَنَّ مُوسَى كَانَ حَيًّا , مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]

Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (Ali lmran : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya” [Muqaddimah Bidayatus Sul fi Tafdhili Rasul hal.5-6]

Demikian juga Alloh memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [An-Nisa’/4: 115]

Pengertian lain dari ittiba’ adalah jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya sebagaimana diktakan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/787.

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya” [Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam oleh Al-’Izz bin Abdis Salam 2/I 36]

TAQLID BUKANLAH ITTIBA’
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/787]

Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya”.

Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang” [Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam kmtabnya Jami’ Bayanil Ilmi waAhlihi 2/993]

PARA IMAM MELARANG TAQLID DAN MEWAJIBKAN ITTIBA’
Diantara hal lain yang menunjukkan perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ adalah larangan para imam kepada para pengikutnya dan taqlid dan perintah mereka kepada para pengikutnya agar selalu ittiba’:

Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku” [Dinukil oleh Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya atas Bahru Raiq 6/293 dan Sya’ rany dalam Al-Mizan 1/55]

Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/32]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya” [Masa’iI Al-Imam Ahmad oleh Abu Dawud hal.276- 277]

ITTIBA ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang ta’ ashub kepada seseorang, dia kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada salah seorang sahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. ini adalah jalan ahli bid’ ah dan ahwa’ yang mereka keluar dan syari’at dengan kesepakatan umat dan menurut Kitab dan Sunnah … yang wajib kepada semua makhluk adalah ittiba’ kepada seorang yang ma’shum (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) yang tidak mengucap dan hawa nafsunya, yang dia ucapkan adalah wahyu yang diturunkan kepadanya” [Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal.46-47]

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID
Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَٰذَا

“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus/10 : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari.gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

HUKUM TAQLID
Taqlid terbagi menjadi tiga macam sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim dalam kitabnya i’lamul Muwaqqi’in 2/187: (1) Taqlid yang diharamkan, (2) Taqlid yang diwajibkan, dan (3) Taqlid yang dibolehkan.

Macam yang pertama yaitu taqlid yang diharamkan terbagi menjadi tiga jenis:

a. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Alloh.
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
c. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala‘telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.

Macam yang kedua yaitu taqlid yang diwajibkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “SesungguhnyaAlloh telah memerintahkan agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Alloh perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam finman-Nya :وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Alloh dan hikmah (Sunnah Nabimu)”[Al-Ahzab/33:34]

lnilah Adz-Dzikr yang Alloh penintahkan agar kita selalu ittiba’ kepadanya, dan Alloh perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu tentang Adz-Dzikr yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya” [l’lamul Muwaqqi’in 2/241]

Macam yang ketiga yaitu taqlid yang dibolehkan adalah yang dikatakan oleh Al-Imam lbnul Qayyim, “Adapun taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan Alloh. Hanya saja sebagian darinya tensembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia mendapat pahala dan tidak berdosa….” [I’lamul Muwaqqi’ in 2/169]

Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak dalil baginya” [Majmu’ Fatawa 20/203-204]

MENGIKUTI MANHAJ PARA ULAMA BUKAN BERARTI TAKLID KEPADA MEREKA
Al-Imam lbnul Qayyim berkata, “Jika ada yang mengatakan: Kalian semua mengakui bahwa para imam yang ditaqlidi dalam agama mereka berada di atas petunjuk, karena itu maka orang-orang yang taqlid kepada mereka pasti di atas petunjuk juga, karena mereka mengikuti langkah para imam tersebut.

Dikatakan kepadanya, “Mengikuti langkah para imam ini secara otomatis membatalkan sikap taqlid kepada mereka, karena jalan para imam ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka sebagaimana akan kami sebutkan hal ini dan mereka lnsya Alloh . Maka barangsiapa yang meninggalkan hujjah dan melanggar larangan para imam ini (dan sikap taqlid) yang juga dilarang oleh Alloh dan Rasul-Nya, maka jelas orang ini tidak berada di atas jalan para imam ini, bahkan termasuk orang-orang yang menyelisihi mereka.

Yang menempuh jalan para imam ini adalah orang yang mengikuti hujjah, tunduk kepada dalil, dan tidak menjadikan seorang pun yang dijadikan perkataannya sebagal timbangan terhadap Kitab dan Sunnah kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama.

Karena sesungguhnya ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/170-l71]

(Pembabasan ini banyak mengambil faedah dan risalah Syaikhuna Al-Fadhil Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly yang berjudul Al Iqna’ bi Maja’a ‘an A’immati Da ‘wah minal Aqwal fil Ittiba’)

KESIMPULAN
Taqlid menurut istilah adalah mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya atau mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Taqlid terbagi menjadi tiga macam.
1. Taqlid yang diharamkan, yaitu taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dan apa yang diturunkan oleh Alloh, taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya, dan taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang menyelisihi perkataannya. lnilah taqlid yang dicela Alloh dalam Kitab-Nya.

2.Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada ahlinya tentang Adz-Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada Rasul-Nya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.

3.Taqlid yang dibolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang diturunkan oleh Alloh dalam suatu permasalahan. Hanya saja sebagian dari hujjahnya tersembunyi bagi orang tersebut sehingga dia taqlid kepada orang yang lebih berilmu darinya dalam permasalahan tersebut.

Ittiba’ adalah menempuh jalan orang yang (wajib) diikuti dan melakukan apa yang dia lakukan atau jika engkau mengikuti suatu perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihannya.

Taqlid bukanlah ittiba’, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dari makna penkataannya.

Para imam melarang para pengikutnya dan taqlid dan memerintahkan mereka agar selalu ittiba’.

Ittiba’ adalah jalan Ahlu Sunnah dan taqlid adalah jalan ahli bid’ah.

Mengikuti manhaj para ulama bukanlah taqlid kepada mereka, karena manhaj para ulama ini adalah ittiba’ kepada hujjah dan melarang umat dan taqlid kepada mereka, maka orang yang menempuh manhaj mereka juga ittiba’ sebagaimana mereka.

Oleh Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

Read more https://almanhaj.or.id/2194-antara-taqlid-dan-ittiba.html

Ensiklopedi Hukum Islam: Ittiba’ (Mengikuti)

Definisi Ittiba’ (mengikuti):
Dari segi bahasa, ittiba’ berarti berjalan di belakang orang lain, mengikuti perkataan dan perbuatan orang lain, atau tuntutan untuk mengikuti orang lain.

Dalam segi istilah, ittiba’ berarti kembali kepada kata-kata yang telah terbukti menjadi hujjah (argumen), sebagaimana ditetapkan para ulama bahasa (linguistik) dalam beberapa bab dan telah menjadi suatu ketetapan.

Kata-kata yang relevan:

Kata yang serupa dengan ittiba’ adalah taklid (tradisi). Taklid adalah adalah melakukan suatu perbuatan berdasarkan perkataan orang lain tanpa argumen (hujjah)

Dalam perbuatan, taklid adalah melakukan sesuatu sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah resep (dokter atau lainnya). Dalam perkataan, taklid adalah memenuhi kehendak orang yang menuntut dilakukannya suatu perbuatan.

Kata lain yang sama dengan ittiba’ adalah iftida’ (meniru). Iftida’ adalah mengikuti jejak seseorang. Ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana yang dicontohkan orang lain.

Selain itu, kata yang sama maknanya dengan ittiba’ adalah qudwah (teladan). Qudwah adalah asal (pokok) yang menciptakan sejumlah cabang.

Hukum umum:

Terdapat perbedaan hukum dalam taklif (pembebanan) ittiba’. Kadangkala ia menjadi wajib, jika itu menyangkut ketaatan kepada Allah SWT, menegakkan syariat-Nya, dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw dalam urusan agama. Tidak ada perbedaan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan ini bagi seluruh umat.

Adapun perbuatan-perbuatan Nabi Saw yang dilakukan berdasarkan tabiat (watak) beliau, maka para ulama sepakat bahwa hukum mengikutinya adalah mubah (boleh). Sedangkan apa yang dijelaskan Rasulullah dan menjadi hukum (yang tegas), jika itu wajib maka hukumnya wajib, jika itu anjuran maka hukumnya anjuran (sunnah).

Adapun jika hukum perbuatan Rasulullah tersebut tidak diketahui, maka jika ia mendekati kesengajaan, maka hukumnya bersifat anjuran. Dan jika tidak, maka hukum ittiba’ perbuatan itu ada beberapa pendapat: Mazhab Maliki mengatakan wajib, Syafi’i mengatakan anjuran (sunnah), sedangkan kebanyakan pengikut mazhab Hanafi mengatakan mubah (boleh).

Demikian pula, wajib ittiba’ pada penguasa atau para pemimpin. Dan tidak ada perselisihan (ikhtilaf) dalam menaati mereka, selama mereka tidak bermaksiat kepada Allah. Demikian pula, seorang makmum wajib mengikuti (ittiba’) imam dalam shalat. Ittiba’ kadang menjadi sunnah (anjuran), seperti dalam kasus mengantarkan jenazah. Namun ittiba’ bisa juga menjadi haram, seperti mengikuti hawa nafsu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Memilih Ittiba’ atau Taklid?

Syariat Islam yang telah diturunkan Allah SWT melalui nabinya sudah sempurna seutuhnya. Umat Islam tidak diperkenankan lagi membuat-buat syariat baru (bid’ah). Membuat bid’ah sama artinya meragukan kesempurnaan Islam dari Allah sehingga butuh penambahan atau penyempurnaan dari manusia.

Umat Islam hanya diperbolehkan mengikut aturan-aturan syariat yang telah ada. Syariat Islam yang sudah sempurna tersebut sudah cukup sebagai sumber hukum dan aturan bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Namun, dalam mengikuti syariat tersebut juga dipahami dengan cerdas.

Dalam mengikuti syariat, ada dua kelompok yang dikenal, yaitu taklid dan ittiba’. Secara bahasa, taklid diambil dari kata-kata qiladah (kalung), yaitu sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain.

Contoh penggunaannya dalam bahasa Arab yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan kurban). Seseorang yang bertaklid dengan taklidnya itu seolah-olah menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid. Demikian seperti diterangkan Syekh Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya,  Kaifa Nata‘amal Ma‘a al-Turath wa al-Tamazhub wa al-Ikhtilaf.

Jadi, taklid artinya mengikut tanpa alasan atau meniru dan menurut tanpa dalil. Menurut istilah agama yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta memegang suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqallid.

Mengenai hukum taklid ini, Khairul Umam dan A Achyar Aminudin dalam buku Ushul Fiqih II membaginya kepada dua macam, yaitu taklid yang diperbolehkan dan taklid yang dilarang atau haram.

Khairul Umam menerangkan, hukum taklid bisa dipandang mubah (boleh) bagi orang-orang awam yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Pendapat ini juga diamini oleh Imam Hasan al-Banna yang membolehkan taklid bagi orang awam.

Namun, hukum taklid yang mubah tidak berlaku bagi Muslim yang sampai pada tingkatan an-nazhr atau memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat. Jadi, hanya diperuntukkan bagi mereka yang awam sekali yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Alquran dan sunah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.

Taklid buta diharamkan dalam syariat, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlak dan membabi buta tanpa memperhatikan ajaran Alquran dan hadis. Terkadang, orang taklid buta tidak memperhatikan lagi apa yang diikutinya walau sudah bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Hal ini serupa dengan Firman Allah SWT, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al-Baqarah [2]: 170).

Para ulama mensyaratkan, orang awam yang ingin bertaklid kepada suatu pendapat harus melihat betul pendapat siapa yang akan ia ikuti. Taklid hanya dibolehkan kepada para mujtahid yang benar-benar mengerti hukum-hukum Islam. Demikian juga perkara yang boleh ditaklidi hanya hal-hal yang berhubungan dengan syara (hukum). Adapun dalam hukum akal tidak boleh bertaklid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

Adapun ittiba‘ pada dasarnya sama dengan taklid karena sama-sama mengikut. Menurut Nazar Bakry dalam bukunya Fiqh dan Ushul Fiqhittiba‘ adalah menerima ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil itu Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujah.

Definisi ini sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, ittiba’ berarti mengikuti pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari tabiin yang mendatangkan kebajikan.

Di sinilah perbedaan antara taklid dengan ittiba’. Ittiba’ mengikuti dengan ilmu, sedangkan taklid mengikuti tanpa ilmu. Dede Rosyada dalam buku Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis menyimpulkan, dalam taklid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan dalam ittiba’ ada unsur kreativitas. Kreativitas yang dimaksudkan adalah studi dan pengkajian terhadap dalil yang menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

Ittiba‘ didapatkan dengan mengkaji nas-nas kemudian meng-istinbat-kan hukum darinya. seorang tabi’ (orang yang ber-ittiba‘) dapat mengemukakan dalil beserta hujah (alasan) mengapa ia memilih pendapat tersebut. Inilah yang diajarkan dalam Islam agar umatnya mengikuti suatu pendapat dengan mempunyai argumentasi-argumentasi. Islam mencela orang yang sanggup ber-ittiba‘ namun memilih untuk taklid. Orang seperti ini adalah orang pemalas yang tak mau mengkaji agamanya.

Allah SWT berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl[16]: 43). 

REPUBLIKA

Tempat-Tempat Wajib dalam Ibadah Haji

Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dikerjakan bagi setiap muslim yang mampu dan telah memenuhi syarat. Pada 2019 ini, Indonesia mendapatkan kuota sebanyak 231 ribu jemaah. Rinciannya adalah haji reguler 214 ribu dan haji khusus 17 ribu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada 8 Zulhijah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Zulhijah.

Pemerintah Arab Saudi, Jumat (2/8), menetapkan pelaksanaan wukuf di Arafah akan dilaksanakan pada 10 Agustus 2019, waktu setempat.  Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Dalam definisi tersebut, selain Kakbah dan Mas’a (tempat sai), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. 

Berikut tempat-tempat yang diwajibkan dalam proses ibadah haji, seperti dikutip dari berbagai sumber.

Makkah Al Mukaromah 

Makkah. Sumber: Fahmina Institute

Di kota inilah berdiri pusat ibadah umat Islam sedunia, Kakbah, yang berada di pusat Masjidil Haram. Dalam ritual haji, Mekkah menjadi tempat pembuka dan penutup ibadah ini ketika jemaah diwajibkan melaksanakan niat dan tawaf haji.

Arafah 

Arafah. Sumber: Dream

Kota di sebelah timur Mekkah ini juga dikenal sebagai tempat pusatnya haji. Yakni tempat wukuf yang dilaksanakan pada 9 Zulhijah tiap tahunnya.

Daerah berbentuk padang luas ini adalah tempat berkumpulnya sekitar dua juta jemaah haji dari seluruh dunia dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di luar musim haji, daerah ini tidak dipakai.

Muzdalifah

Muzdalifah. Sumber: Islamic Landmarks

Tempat di dekat Mina dan Arafah  ini dikenal sebagai tempat jemaah haji melakukan Mabit (bermalam) dan mengumpulkan bebatuan untuk melaksanakan ibadah jumrah di Mina.

Mina 

Mina. Sumber: TSN World

Tempat berdirinya tugu jumrah, yaitu tempat pelaksanaan kegiatan melontarkan batu ke tugu jumrah sebagai simbolisasi tindakan nabi Ibrahim ketika mengusir setan. Di masing-maising tempat itu berdiri tugu yang digunakan untuk pelaksanaan: Jumrah Aqabah, Jumrah Ula, dan Jumrah Wustha. Di tempat ini jemaah juga diwajibkan untuk menginap selama satu malam.

Madinah

Adalah kota suci kedua umat Islam. Di tempat inilah panutan umat Islam, Nabi Muhammad dimakamkan di Masjid Nabawi. 

Madinah. Sumber: Medium

Tempat ini sebenarnya tidak masuk ke dalam ritual ibadah haji, namun jemaah haji dari seluruh dunia biasanya menyempatkan diri berkunjung Madinah, untuk berziarah dan melaksanakan salat di Masjid An-Nabawi.

Haji Arbain 

Haji Arbain (artinya “empat puluh”) adalah ibadah haji yang disertai dengan salat fardu sebanyak 40 kali di Masjid An-Nabawi Madinah tanpa terputus. Ibadah ini sering dikerjakan oleh jemaah haji dari Indonesia. 

Arbain. Sumber: Tribun

Dalam pelaksanaannya, mereka setidak tinggal di Madinah saat haji selama delapan atau sembilan hari. Dengan perhitungan sehari salat wajib lima kali. Dengan demikian, selama delapan atau sembilan hari akan tercukupi jumlah 40 kali salat wajib tanpa terputus.

Dengan mengenali tempat-tempat utama dalam pelaksanaan ibadah haji, moga-moga para jemaah makin semangat dalam menjalankan rukun kelima di Tanah Suci. 

Selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi Haji Mabrur. 

IHRAM REPUBLIKA

Keutamaan Shaf Pertama

Alhamdulillah, segala puji hanya tertuju kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah memberikan berbagai keutamaan di dalam shalat berjamaah bagi seorang muslim. Di antaranya dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Ganjaran 27 Kali Lipat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah (di masjid) lebih utama 27 derajat dibanding shalat sendirian (di rumah)” (HR. Bukhari no. 609)

Anggaplah ada orang yang akan memberi Anda Rp 1.000.000 jika shalat di rumah, dan Rp 27.000.000 dengan syarat Anda mau pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Hal apakah yang pertama kali Anda lakukan? Berangkat ke masjid? Jelas. Namun kira-kira, Anda akan berangkat dengan bersegera, atau dengan santai, menunggu sampai iqamat dikumandangkan (sebagaimana kebiasaan sebagian besar kaum muslimin, Allahul musta’an!). Ini baru permisalan dunia, belum ganjaran akhirat yang tentunya jauh lebih besar daripada itu. Sedangkan Allah sungguh telah memperingatkan, tentang apa yang akan kita bawa esok di hari akhir.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ()وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنسَاهُمْ أَنفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Wahai orang-orang yang ber­iman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah se­tiap diri merenungkan, apalah yang telah diper­buatnya untuk hari esok (yaitu hari akhir). Dan bertakwalah kepada Allah! Sesung­guhnya Allah Maha Menge­tahui apapun yang kamu kerjakan. Dan janganlah keadaan kamu seperti orang-orang yang me­lupakan Allah, lalu Allah pun membuatnya lupa kepada dirinya sendiri; itulah orang-orang yang fasik.” (Al Hasyr : 18-19)

Kebiasaan Nabi Ketika Mendengar Adzan

Itulah sikap yang Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam contohkan. Apapun kesibukan beliau, ketika adzan telah berkumandang, maka beliau bergegas menuju masjid dan shalat berjamaah dengan kaum muslimin. Perhatikan kesaksian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang beliau,

كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ

Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan istrinya, dan jika beliau mendengar adzan, beliau segera keluar (untuk pergi menuju masjid)” (HR. Bukhari 4944)

Kesibukan yang mulia, yaitu membantu pekerjaan istri beliau. Akan tetapi ketika adzan, beliau langsung bergegas menuju masjid. Apatah lagi dengan kita yang hanya disibukkan dengan perkara duniawi, terkadang bercanda, menonton televisi, bola, namun ketika adzan sungguh panggilan itu kita abaikan.Nas’alullaha salamah wal ‘afiyah!

Andai Shaf Awal Harus Diundi, Sungguh Akan Diundi!

Maka bersegeralah menuju masjid, dan carilah shaf pertama. Sungguh, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا

Seandainya manusia mengetahui apa yang ada (yaitu keutamaan) di dalam seruan (adzan) dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkan shaf tersebut kecuali dengan undian, sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya.” (HR. Bukhari 580).

Allah dan Para Malaikat Bershalawat Kepada Orang-Orang Di Shaf Awal(!)

Dan tidakkah Anda ingin shalat bersama dengan para malaikat?! Diriwayatkan dari Al Barra’ bin ‘Adzib bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إن الله وملائكته يصلون على الصف المقدم، والمؤذن يغفر له مدى صوته ويصدقه من سمعه من رطب ويابس وله مثل أجر من صلى معه”

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf awal, dan muadzin itu akan diampuni dosanya sepanjang radius suaranya, dan dia akan dibenarkan oleh segala sesuatu yang mendengarkannya, baik benda basah maupun benda kering, dan dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang shalat bersamanya” (HR. Ahmad dan An Nasa’i dengan sanad yang jayyid)

Dalam hadits lain dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Aku mendengar Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن الله وملائكته يصلون على الصف الأول أو الصفوف الأول

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang di shaf pertama, atau di beberapa shaf yang awal” (HR. Ahmad dengan sanad yang jayyid, diperoleh dari fatwa Syaikh Sulaiman Al Majid di http://www.salmajed.com/node/6237)

Ancaman Bagi Mereka yang Mengakhirkan Berangkat Jama’ah

Maka, wahai saudaraku seiman, bergegaslah menuju masjid jika adzan telah dikumandangkan. Segera tinggalkan segala keperluan duniawimu, segeralah mengambil air wudhu’, sebab Allah dan Rasul-nya telah mengancam dengan tegas lewat sabda Nabi-Nya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat diantara shahabat ada yang mengakhirkan berangkat ke masjid, maka beliau bersabda :

  لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

Tidaklah suatu kaum mengakhirkan (yaitu menuju masjid) hingga Allah akan mengakhirkan mereka

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata,

وعلى هذا فيخشى على الإنسان إذا عود نفسه التأخر في العبادة أن يبتلى بأن يؤخره الله عز وجل في جميع مواطن الخير اهـ

“Oleh karena itu hendaklah orang-orang merasa takut apabila mereka mengakhirkan suatu ibadah, mereka akan diuji dalam bentuk Allah ‘azza wa jalla akhirkan dalam segala bentuk kebaikan” (Ikhtishar Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 13/54)

Sebagai penutup, hendaklah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala,

 سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاء وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid : 21)

(diringkas dari khutbah Dr ‘Isham bin Hasyim Al Jufri di http://www.saaid.net/Doat/aljefri/153.htm).

Tambahan : Bagaimana Jika di Masjid Hanya Ada Satu Shaf Saja?

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mendefinisikan apa yang dimaksud dengan shaf awal, ketika beliau ditanya hal serupa.

 والصف الأول : المراد به ما يلي الإمام مطلقا ، سواء تخلله شيء كمقصورة أو لا . وقيل : هو أول صف تام يلي الإمام ، وقيل : المراد به من سبق إلى الصلاة ولو صلى آخر الصفوف .

قال النووي رحمه الله : ” القول الأول هو الصحيح المختار ، وبه صرح المحققون ، والقولان الآخران غلط صريح ” انتهى نقلا عن “فتح الباري” (2/244) .

ولا فرق بين أن يكون في المسجد صف واحد أو صفوف ، فما يلي الإمام هو الصف الأول ، الموعود أهله بذلك الفضل ، إن شاء الله ، لعموم الأحاديث .

والله أعلم

“Yang dimaksud dengan shaf awal ialah shaf yang berada pertama di belakang imam, sama saja apakah itu untuk masjid besar maupun kecil. Pendapat lain mengatakan : satu shaf penuh yang berada di belakang imam. Pendapat lain : siapa saja yang lebih dulu berada di masjid meskipun ia di akhir shaf.

An Nawawi rahimahullah berkata : ‘Pendapat pertamalah yang shahih dan kami pilih, dan dua pendapat terakhir telah jelas tidak tepat. -sekian perkataan beliau dalam Fathul Bari 2/244-

Sehingga tidak ada perbedaan antara masjid yang shafnya hanya satu saja, atau yang shafnya banyak (yaitu jamaah shalatnya hingga bershaf-shaf -pent).Siapa saja yang berada di barisan tepat di belakang imam, itulah shaf awal, dan itulah yang dijanjikan keutamaan, insya Allah, berdasarkan keumuman hadits. Wallahu a’lam.” (sumber: http://www.islamqa.com/ar/ref/67797)

Penulis: Yhouga Pratama, ST.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/7492-keutamaan-shaf-pertama.html