Sudah Doakan Saudaramu di Saat Ia Tidak di Hadapanmu?

Doa bi zhahril ghaib, ini punya keutamaan luar biasa. Coba Anda amalkan dan tahu khasiatnya seperti apa.

Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Ad-Da’awaaat (16. Kitab Kumpulan Doa)

بَابُ فَضْلِ الدُّعَاءِ بِظَهْرِ الغَيْبِ

Bab 251. Keutamaan doa bi zhahril ghaib

Ayat #01

قَالَ تَعَالَى : { والَّذِينَ جَاءوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ولإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بالإيمَانِ } [ الحشر:10]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)

Ayat #02

، وقال تَعَالَى: { واسْتَغْفِرْ لِذنْبِكَ وَلِلْمُؤمِنِينَ والمؤْمِنَاتِ } [ محمد:19 ]

Dan Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Ayat #03

، وقال تَعَالَى إخْبَاراً عَن إبْرَاهِيمَ – صلى الله عليه وسلم – : { رَبَّنا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤمِنِينَ يَومَ يَقُومُ الحِسَابُ } [ إبراهيم : 41

] .

Dan Allah Ta’ala mengabarkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (yang artinya), “Wahai Rabb kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrahim: 41)

Hadits #1494

وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُوْلُ : (( مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ إِلاَّ قَالَ المَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ )) . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba muslim yang berdoa untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya, melainkan malaikat berkata, ‘Dan untukmu seperti doamu.’” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 7231]

Hadits #1495

وَعَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقُوْلُ : (( دَعْوَةُ المَرْءِ المُسْلِمِ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ المَلَكُ المُوَكَّلُ بِهِ : آمِينَ ، وَلَكَ بِمِثْلٍ )) . رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Dari Abu Darda’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak ada di hadapannya pasti dikabulkan. Di dekat kepala orang tersebut ada malaikat yang diberi tugas untuk itu. Setiap kali seorang muslim berdoa kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat yang diberi tugas itu berkata, “Aamiin, dan untukmu seperti doa itu.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 2733]

Faedah ayat dan hadits

  1. Doa bi zhahril ghaib adalah doa ketika yang didoakan tidak hadir atau diam-diam mendoakannya. Hadits ini menunjukkan keutamaannya.
  2. Li akhi-hi dalam hadits yang dimaksud adalah saudaranya seislam yang didoakan. Islam selalu ingin menguatkan persaudaraan di antara sesama orang beriman dalam setiap keadaan dan setiap waktu.
  3. Mustajaabah (terkabul), di situ ada huruf siin, menunjukkan makna mubaalaghoh, artinya doa tersebut benar-benar diijabahi. Berarti doa bi zhahril ghaib tidak tertolak.
  4. Islam menganjurkan untuk mendoakan diri sendiri dan mendoakan saudaranya baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
  5. Seseorang yang mendoakan saudaranya akan mendapatkan seperti yang ia doakan.
  6. Ada malaikat yang bertugas hanya untuk mendengar doa bi zhahril ghaib.
  7. Malaikat hanyalah diperintahkan untuk amalan baik.
  8. Doa bi zhahril ghaib dikhususkan dalam hadits karena lebih menunjukkan keikhlasan dan hadirnya hati (besarnya harapan).

Sebagian salaf ketika ingin berdoa untuk dirinya sendiri, ia mendoakan saudaranya dengan doa tersebut karena doa untuk saudaranya itu mustajabah (terkabulkan), dan ia akan dapat kembali semisal itu pula. Allah-lah yang pantas disanjung dan kita semua patut bersyukur kepada-Nya.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10) (Lihat Bahjah An-Nazhirin, 2:586)

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23044-sudah-doakan-saudaramu-di-saat-ia-tidak-di-hadapanmu.html

Umur Umat Islam Hanya 1500 Tahun?

Apakah benar umur umat Islam tidak melebihi 1500 tahun? Benarkah itu sebagaimana berbagai isu yang disebar saat ini?

Syubhat ini muncul dari Imam As-Suyuthi rahimahullah

Berikut nukilan dari Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:

Imam As-Suyuthi (hidup dari 1445 – 1505 M, 849 – 911 H) menyebutkan dalam kitabnya Al-Hawi (2:239-256):

أَنَّ مُدَّةَ الدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ فِي أَوَاخِرِ الأَلِفِ السَّادِسَةِ .

Umur dunia itu hanya 7.000 tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri diutus pada akhir-akhir seribu yang keenam. [Maksudnya berarti separuh kedua darinya, sekitar tahun ke-5.500. Berarti umur umat Islam ini lebih dari 1.000 tahun dan kurang dari 1.500 tahun].

Imam As-Suyuthi menegaskan,

لاَ يَمْكِنُ أَنْ تَكُوْنَ المُدَّةُ أَلْفاً وَخَمْسَمِائَةٍ أَصْلاً

“Tidak mungkin umur umat Islam lebih dari 1.500 tahun.”

Pemahaman hadits umur umat Islam

Pertama:

Dalam Shahih–nya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi Al–Qur’an, dan kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi pahala dua qirat-dua qirat. Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) bertanya, ‘Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin) pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih banyak amalnya?’ ‘Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi kalian?’ tanya Allah. ‘Tidak,’ jawab mereka. ‘Itulah keutamaan yang kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah.”

Kedua:

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al–Asy’ari, bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga tengah hari dan mengatakan, ‘Kami tak butuh kepada upahmu.’ Lalu, orang tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, ‘Lanjutkanlah waktu yang tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan.’ Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata, ‘Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah).’ Kemudian, orang tersebut menyewa kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari itu hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah kedua kaum sebelumnya.”

Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.

Ketiga:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُكُمْ وَمَثَلُ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اسْتَأْجَرَ أُجَرَاءَ فَقَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِى مِنْ غُدْوَةَ إِلَى نِصْفِ النَّهَارِ عَلَى قِيرَاطٍ فَعَمِلَتِ الْيَهُودُ ، ثُمَّ قَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِى مِنْ نِصْفِ النَّهَارِ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ عَلَى قِيرَاطٍ فَعَمِلَتِ النَّصَارَى ثُمَّ ، قَالَ مَنْ يَعْمَلُ لِى مِنَ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ عَلَى قِيرَاطَيْنِ فَأَنْتُمْ هُمْ ، فَغَضِبَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ، فَقَالُوا مَا لَنَا أَكْثَرَ عَمَلاً ، وَأَقَلَّ عَطَاءً قَالَ هَلْ نَقَصْتُكُمْ مِنْ حَقِّكُمْ قَالُوا لاَ . قَالَ فَذَلِكَ فَضْلِى أُوتِيهِ مَنْ أَشَاءُ

“Permisalan kalian dengan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) seperti permisalan seseorang yang diberi upah. Ditanya, “Siapa yang mau bekerja dari pagi hingga pertengahan siang (waktu zawal atau waktu Zhuhur, pen.) lalu mendapat upah satu qirath?” Lalu yang bekerja ketika itu adalah orang Yahudi.

Kemudian ditanya lagi, “Siapa yang mau bekerja dari pertengahan siang hingga waktu ‘Ashar dengan mendapat upah satu qirath?” Lantas yang bekerja adalah Nashrani.

Lalu ditanya lagi, “Siapa yang mau bekerja dari ‘Ashar hingga matahari tenggelam, upahnya dua qirath?” Itulah kalian umat Islam.

Yahudi dan Nashrani lantas marah. Mereka katakan, “Kami lebih banyak bekerja, namun kenapa kami diberi sedikit?” Dijawab, “Apakah upah kalian dikurangi?” Mereka jawab, “Tidak.” Lalu dijawab, “Itulah keutamaanku dan keutamaan yang diberi pada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah.” (HR. Bukhari, no. 2268)

Upah bagi Yahudi dan Nashrani tetap ada. Mereka tidak setuju lantaran mereka sudah bekerja lebih lama namun kenapa hanya mendapatkan satu qirath. Sedangkan umat Islam yang bekerja dalam waktu yang lebih singkat malah mendapatkan upah lebih besar yaitu dua qirath.

Satu qirath adalah ukuran 1/12 dirham atau 1/20 dinar. Dua ratus dirham itu sama dengan nisab perak yaitu 5 juta rupiah. Berarti 1 dirham sama dengan 25.000, 1/12 dirham sama dengan 2.083 rupiah. Gambarannya upah dengan qirath adalah upah yang sedikit.

Terbukti kalau amalan ringan dalam agama Islam bisa berpahala besar di sisi Allah.

Faedah dari Syaikh ‘Abdul Hadi Al-Umari dalam Daurah Makassar membahas kitab Fadhlul Islam

Penjelasan Imam Ibnu Hajar

Dalam syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub Al–Ilmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: “Hadits ini dijadikan dalil bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari seribu tahun, sebab konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi Yahudi setara dengan gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin. Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun, sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600 tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.”

Ini berarti bahwa Ibnu Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.

Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: “Hadits ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa. Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun lebih sedikit.”

Imam As-Suyuthi kembali menjelaskan dalam kitabnya Al-Kasyf

Sementara itu, As–Suyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف) mengatakan: “Berdasarkan sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini (islam) adalah lebih dari seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin lebih dari 500 tahun (Al-Kasyf hlm. 206). Artinya, maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun.”

Dari kedua pendapat inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar antara 1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437 H. Sebagaimana dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah sejak masa kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam), berarti umur umat Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang tersisa sehingga umat ini punah ialah 50 tahun saja. Dan bila kita tinjau dari hadits shahih tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat, kita dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi sebelum akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan H.R. Abu Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa Al-Masih tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya Isa Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.

Sanggahan pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan perumpamaan bukan memastikan umur umat islam

Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits ini disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fath Al-Bari, 4:341)

Dengan demikian, ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat sebelumnya ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga terbenam matahari, maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah (majas hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat. Dan hal ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari sini, jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.

Sanggahan kedua: Hadits membicarakan banyak sedikitnya amal

Alasan lain yang menguatkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini ialah sebatas banyak sedikitnya amal tanpa dikaitkan dengan panjang pendeknya tempo masing-masing umat adalah bahwa mayoritas ahli sejarah menyebutkan selang waktu antara Nabi Isa ‘alaihissalaam dengan Nabi kita shallallaahu’alaihi wa sallam adalah 600 tahun, dan ini merupakan pendapat Salman Al Farisi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Meski demikian, ada pula yang berpendapat bahwa temponya kurang dari itu, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa selang waktunya hanya 125 tahun!

Padahal, kita menyaksikan bahwa selang waktu yang telah dilalui oleh umat Islam sejauh ini adalah lebih dari 600 tahun.

Dengan demikian, bila kita berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud adalah perumpamaan panjang pendeknya tempo masing-masing umat (alias bukan banyak sedikitnya amal mereka), maka konsekuensinya waktu asar harus lebih panjang daripada waktu zuhur, padahal tidak ada seorang alim pun yang berpendapat demikian. Ini berarti bahwa yang dimaksud lewat perumpamaan tersebut sebenarnya ialah banyak-sedikitnya amalan. Wallaahu Ta’ala a’lam. (Fath Al-Bari, Ibnu Hajar, 2:50-51, Cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyyah).

Sanggahan ketiga: Hanya Allah yang mengetahui kapan terjadinya kiamat

Ibnu Rajab mengatakan, “Menentukan sisa waktu (umur) dunia dengan bersandar kepada hadits-hadits seperti ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan terjadinya kiamat, dan tidak seorang pun yang diberitahu tentang waktunya. Oleh karenanya, Nabi ketika ditanya tentang kapan terjadinya kiamat telah menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya’.” Jadi, maksud dari perumpamaan Nabi dalam hadits ini ialah sekedar mendekatkan waktu terjadinya hari kiamat, tanpa menentukan waktunya. (Fathul Baari, Ibnu Rajab, 4:338).

Allah Ta’ala berfirman,

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Azhab: 63)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

يقول تعالى مخبراً لرسوله صلوات الله وسلامه عليه أنه لا علم له بالساعة وإن سأله الناس عن ذلك، وأرشده أن يردّ علمها إلى الله عز وجل اهـ .

“Allah mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau tidak ada pengetahuan tentang hari kiamat, di mana orang-orang bertanya tentang hal itu. Namun ilmu tentang hari kiamat dikembalikan kepada Allah.”

Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan,

ومعلوم أن (إنما) صيغة حصر ، فمعنى الآية : أن الساعة لا يعلمها إلا الله وحده اهـ .

“Innama (sesungguhnya) dalam ayat ini bermakna hasyr (pembatasan, yang berarti hanya). Sesungguhnya kiamat tidak diketahui kecuali hanya Allah saja.” (6:64)

Dalam hadits Jibril disebutkan,

قَالَ , فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ , قَالَ ” مَا المَسْئُوْلُ بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” (HR. Muslim, no. 8)

Sanggahan keempat: Riwayat yang digunakan As-Suyuthi itu dhaif

هذه الآثار التي استدل بها السيوطي رحمه الله قد ضعفها أهل العلم بل حكموا عليها بأنها كذب .

قال ابن القيم في “المنار المنيف” (1/80) وهو يذكر الطرق التي يعرف بها أن الحديث موضوع ، قال :

“ومنها : مخالفة الحديث لصريح القرآن ، كحديث مقدار الدنيا وأنها سبعة آلاف سنة ونحن الآن في الألف السابعة . وهذا من أبين الكذب ، لأنه لو كان صحيحا لكان كل أحد علم أنه قد بقي للقيامة من وقتنا هذا مئتان وإحدى وخمسون سنة ، والله تعالى يقول : ( يسألونك عن الساعة أيان مرساها قل إنما علمها عند ربي لا يجليها لوقتها إلا هو ثقلت في السموات والأرض لا تأتيكم إلا بغتة يسألونك كأنك حفي عنها قل إنما علمها عند الله ) الأعراف /187” اهـ .

وقال ابن كثير في “النهاية في الفتن والملاحم” (1/25) :

لم يثبت في حديث عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه حدد وقت الساعة بمدة محصورة ، وإنما ذكر شيئاً من أشراطها وأماراتها وعلاماتها اهـ .

وقال أيضاً (2/28) :

والذي في كتب الإسرائيليين وأهل الكتاب من تحديد ما سلف بألوف ومائتين من السنين قد نص غير واحد من العلماء على تخطئتهم فيه وتغليطهم ، وهم جديرون بذلك حقيقيون به ، وقد ورد في حديث : “الدنيا جمعة من جمع الآخرة” ولا يصح إسناده أيضاً ، وكذا كل حديث ورد فيه تحديد لوقت يوم القيامة على التعيين لا يثبت إسناده اهـ .

وقال السخاوي في “‏المقاصد الحسنة” (ص : 444) :

كل ما ورد مما فيه تحديدٌ لوقت يوم القيامة على التعيين ، فإما أن يكون لا أصل له ، أو لا يثبت إسناده اهـ .

Sanggahan kelima: Kiamat harusnya terjadi 1237 H menurut Imam As-Suyuthi

Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.

Oleh karenanya, pendapat As-Suyuthi tersebut dibantah oleh As-Shan’ani dalam risalahnya yang berjudul كم الباقي من عمر الدنيا؟ (Berapa Sisa Umur Dunia?). As-Shan’ani menyebutkan atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti, yaitu:

  1. Atsar Abdullah bin Amru bin Ash yang berbunyi:

يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغرهبا مائة وعشرين سنة

“Setelah matahari terbit dari Barat, manusia akan tetap eksis selama 120 tahun“.

  1. Bahwasanya Isa Al-Masih akan tetap hidup selama 40 tahun setelah membunuh Dajjal.
  2. Kemudian setelah itu Isa akan menggantikan kepemimpinan seorang lelaki dari Bani Tamim selama 3 tahun.
  3. Dan bahwasanya manusia akan tetap hidup 100 tahun setelah Allah mengirim angin baik yang mencabut ruh setiap mukmin, akan tetapi mereka yang masih hidup tersebut tidak mengenal agama apa pun.

Setelah menyebutkan atsar-atsar tadi, As-Shan’ani lantas berkata:

فهذه مئتان وثلاث وستون سنة، ونحن الآن في قرن الثاني عشر، ويضاف إليه مئتان وثلاث وستون سنة، فيكون الجميع أربعة عشر مئاة وثلاث وستون، وعلى قوله إنه لا يبلغ خمسمئة سنة بعد الألف، يكون منتهى بقاء الأمة بعد الألف: أربعمئة وثلاث وستين سنة، يتخرج منه أن خروج الدجال –أعاذنا الله من فتنته– قبل انخرام هذه المئة التي نحن فيها!

“Berarti, total temponya ialah 263 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada abad ke-12 hijriyah, yang bila ditambah 263 tahun, berarti totalnya 1463 tahun. Dan menurut pendapat As-Suyuti yang mengatakan, ‘Bahwa penangguhan umur umat islam tidak lebih dari 500 tahun setelah berlalu seribu tahun,’ berarti batas akhir eksistensi umat Islam setelah melalui 1000 tahun, adalah 463 tahun. Kesimpulannya, keluarnya Dajjal –semoga Allah melindungi kita darinya– adalah sebelum abad ke-12 H ini berakhir!”1

Jadi, ternyata atsar-atsar yang dijadikan pijakan oleh As-Suyuti untuk menentukan batas umur umat Islam maksimal adalah 1500 tahun itu memiliki kalkulasi yang berbeda. Sebabnya, 1500 tahun itu masih dikurangi peristiwa-peristiwa berikut:

  1. Tempo 120 tahun setelah matahari terbit dari barat.
  2. Tempo 40 tahun dari keberadaan Isa Al-Masih setelah terbunuhnya Dajjal.
  3. Tempo 3 tahun ketika Isa menggantikan kepemimpinan seorang lelaki Bani Tamim.
  4. Tempo 100 tahun setelah semua orang beriman diwafatkan melalui berhembusnya angin baik.

Totalnya dari data di atas ialah 120 + 40 + 3 + 100 = 263 tahun. Kesimpulannya, umur umat Islam harus berakhir setelah melalui (1500 – 263 =) 1237 tahun. Dengan kata lain, semua peristiwa besar tadi mestinya telah muncul pada tahun 1237 H menurut kalkulasi As-Suyuti (yang ternyata tidak terjadi)!

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membatah perkataan Imam As-Suyuthi:

  • Imam Suyuthi menyebutkan bahwa Imam Mahdi muncuk setelah 1200 H. Sekarang kita sudah menginjak 1400-an Hijriyah, Imam Mahdi pun belum muncul.
  • Imam Suyuthi katakan bahwa manusia akan tinggal ketika matahari terbit dari arah tenggelamnya selama 120 tahun, lalu kiamat terjadi. Berarti kalau sekarang 1400 H, berarti harusnya matahari sudah terbit dari arah tenggelamnya selama 20 tahun.
  • Dajjal muncul pada kepala seratus tahun, lalu Isa bin Maryam akan membunuhnya. Isa akan hidup setelah itu empat puluh tahun. Padahal kita berada pada 100 tahun terakhir menurut perhitungan Imam Suyuthi. Namun sampai saat ini Dajjal belum keluar dan Isa bin Maryam juga belum turun.

Yang Ada Umur Umat Islam Terbatas 60 Tahun

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidzi, no. 3550; Ibnu Majah, no. 4236. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Ibnu Batthal rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa umur umat Islam tidaklah panjang dibanding dengan umur umat sebelumnya, supaya umat Islam saat ini gemar beramal.” Lihat Syarh Shahih Al-Bukhari, 2:224.


Masjid Agung Trans Studio, 2 Jumadal Ula 1441 H (29-12-2019)

Muhammad Abduh Tuasikal 

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23085-umur-umat-islam-hanya-1500-tahun.html

Buah Kemaksiatan dan Kelalaian

Kemaksiatan dan kelalaian, dua hal yang melahirkan berbagai jenis penderitaan di dalam diri manusia. Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan Nabi Adam ‘alahis salam tatkala menyadari kesalahannya setelah mendurhakai Rabb-nya? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan orang-orang kafir di akhirat yang mengandaikan kalau saja ketika di dunia mereka hanya menjadi sebongkah tanah saja? Tidakkah anda ingat bagaimana penyesalan dan hukuman yang harus dirasakan oleh Ka’ab bin Malik bersama dua orang sahabatnya yang sama-sama tidak ikut perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang lainnya? Lihatlah pada diri mereka; betapa kemaksiatan dan kelalaian telah menjauhkan mereka dari ketenteraman dan kebahagiaan. Aduhai, adakah manusia yang sudi hidup dirundung rasa takut, tersiksa, dan larut dalam kesedihan demi kesedihan.

Saudaraku, semoga Allah memberikan taufik kepada aku dan kamu, ingatlah bahwa hakikat kehidupan kita di dunia ini adalah demi menjalankan sebuah misi yang sangat agung yaitu beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Dan sesungguhnya beribadah kepada Allah Ta’ala itu adalah dengan melakukan apa yang Allah Ta’ala cintai dan meninggalkan apa yang Allah Ta’ala benci.

Sekarang Saatnya Menanam Pohon Ketaatan

Saudaraku, maka dari itu kehidupan ini adalah ladang amal bagi kita. Apabila kita menanam kebaikan-kebaikan di dunia ini, niscaya kita akan menuai hasil yang menggembirakan di hari kemudian. Namun sebaliknya, apabila ternyata yang kita tanam justru perbuatan dosa dan kemaksiatan, maka jangan salahkan siapa-siapa jika buah yang nantinya kita rasakan di hari kemudian adalah buah Zaqqum dan minuman mendidih yang menjijikkan dan menghancurkan saluran pencernaan.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tahun ibarat sebatang pohon sedangkan bulan-bulan adalah cabang-cabangnya, jam-jam adalah daun-daunnya dan hembusan nafas adalah buah-buahannya. Barang siapa yang pohonnya tumbuh di atas kemaksiatan maka buah yang dihasilkannya adalah hanzhal (buah yang pahit dan tidak enak dipandang, pent) sedangkan masa untuk memanen itu semua adalah ketika datangnya Yaumul Ma’aad (kari kiamat). Ketika dipanen barulah akan tampak dengan jelas buah yang manis dengan buah yang pahit. Ikhlas dan tauhid adalah ‘sebatang pohon’ di dalam hati yang cabang-cabangnya adalah amal-amal sedangkan buah-buahannya adalah baiknya kehidupan dunia dan surga yang penuh dengan kenikmatan di akhirat. Sebagaimana buah-buahan di surga tidak akan akan habis dan tidak terlarang untuk dipetik maka buah dari tauhid dan keikhlasan di dunia pun seperti itu. Adapun syirik, kedustaan, dan riya’ adalah pohon yang tertanam di dalam hati yang buahnya di dunia adalah berupa rasa takut, kesedihan, gundah gulana, rasa sempit di dalam dada, dan gelapnya hati, dan buahnya di akhirat nanti adalah berupa buah Zaqqum dan siksaan yang terus menerus…” (Al Fawa’id, hal. 158).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberikan nasihat yang sangat berharga kepada setiap kita,

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيل. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang yang asing atau orang yang sedang mengadakan perjalanan.” Ibnu ‘Umar mengatakan, ‘Apabila kamu berada di waktu sore, janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore. Manfaatkanlah saat sehatmu sebelum datang saat sakitmu, dan gunakan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.’.” (HR. Bukhari no. 6416).

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Janganlah kamu terlalu menggantungkan hati kepada dunia, dan jangan jadikan ia sebagai tempat tinggal, janganlah kamu katakan kepada dirimu bahwa kamu selamanya akan tinggal di sana. Janganlah bergantung kepadanya kecuali sekedar seperti orang asing yang membutuhkan sesuatu hal ketika berada di suatu tempat di luar daerah asalnya yang tetap memendam rasa rindu untuk kembali kepada keluarganya.” (Durrah Salafyah, hal. 276).

Beliau juga menandaskan bahwa di dalam hadits ini kita diajari untuk memendekkan angan-angan yang tidak sepantasnya, menyegerakan bertaubat, dan bersiap-siap untuk menghadapi kematian (Durrah Salafyah, hal. 276).

Siapakah di antara kita yang bisa menjamin bahwa besok pagi kita masih hidup? Oleh sebab itu manfaatkanlah waktu yang masih ada ini dengan sebaik-baiknya untuk berbuat ketaatan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma telah berpesan kepada kita, “Apabila kamu berada di waktu sore janganlah menunggu datangnya waktu pagi. Dan apabila kamu berada di waktu pagi janganlah menunggu datangnya waktu sore.” Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Artinya apabila kamu berada di waktu sore jangan kamu katakan: Aku pasti masih akan hidup hingga pagi besok. Betapa banyak orang yang memasuki waktu sore namun ternyata tidak sempat menikmati waktu pagi di keesokan harinya…” (Durrah Salafiyah, hal. 279).

Kematian pasti datang dan tidak dapat dielakkan. Kalau ia telah datang menjemput maka amal telah terputus. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seorang manusia meninggal maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara : sedekah yang terus mengalir (pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan orang lain, atau anak saleh yang mendoakan kebaikan bagi orang tuanya.” (HR. Muslim no 1631).

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang berakal yang masih hidup serta berada dalam kondisi sehat dan segar bugar untuk bersemangat mengerjakan amal sebelum dia meninggal dan ketika itulah amalnya menjadi terputus.” (Durrah Salafiyah, hal. 280).

Seorang khalifah yang lurus dan mendapatkan bimbingan hidayah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Bersikap pelan-pelan dalam segala hal itu adalah baik kecuali dalam mengerjakan berbagai kebajikan demi meraih kebahagiaan di akhirat kelak.” Hasan Al Bashri juga menasihatkan, “Bersegeralah, bersegeralah! Karena hidup kita ini sebenarnya adalah tarikan nafas demi tarikan nafas. Seandainya tarikan-tarikan itu dihentikan dari diri kalian niscaya akan terputuslah amal-amal yang sedang kalian kerjakan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Semoga Allah merahmati seorang manusia yang memperhatikan dirinya sendiri dan menangisi sekian banyak jumlah dosa yang telah dia lakukan…” (Durrah Salafiyah, hal. 280).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga menasihati kita dengan sebuah nasihat yang sangat menyentuh, “Sesungguhnya dunia pasti akan lenyap dan pergi tunggang-langgang. Sedangkan akhirat pasti akan datang dan menghadang. Dan masing-masing di antara keduanya mempunyai anak-anak yang mengejarnya. Maka jadilah kalian sebagai ‘anak-anak akhirat’. Dan janganlah kalian termasuk ‘anak-anak dunia’. Karena sesungguhnya masa sekarang ini (kehidupan dunia) adalah masa untuk beramal serta belum ada hisab (perhitungan). Adapun esok (hari akhirat) adalah perhitungan yang tidak ada lagi kesempatan untuk beramal. ” (lihat Durrah Salafiyah, hal. 280).

Pahitnya Buah Kemaksiatan dan Kelalaian

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Sedikitnya taufik (pertolongan dari Allah), rusaknya pemikiran, tersamarnya kebenaran, rusaknya isi hati, tidak membekasnya bacaan zikir yang dibaca, perjalanan waktu yang tersia-siakan, ketidaksukaan dan kepergian teman, perasaan hampa dan sempit pada diri seorang hamba di hadapan Rabb-nya, terhambatnya pengabulan doa, hati yang keras, tercabutnya keberkahan dalam urusan rezeki dan umur, terhalang mendapatkan ilmu, terselimuti dengan kehinaan dan kerendahan karena tekanan musuh, perasaan sempit dada, tertimpa musibah berupa dikelilingi oleh teman-teman dekat yang jelek sehingga merusakkan isi hati dan membuang-buang waktu, kesedihan dan gundah gulana yang berkepanjangan, penghidupan yang sempit dan tertutupnya kemampuan untuk memperbaiki keadaan diri, itu semua terlahir dari kemaksiatan dan kelalaian untuk mengingat Allah. [Itulah dampak kemaksiatan] Sebagaimana halnya tanaman yang tumbuh dari dalam genangan air, atau seperti panas yang membakar dari sebuah nyala api. Sedangkan hal-hal yang menjadi lawan dari itu semua akan muncul dari ketaatan.” (Al Fawa’id, hal. 35-36).

Pada suatu saat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِي فِى أُمَّتِى عَمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْ عِنْدِهِ

“Apabila kemaksiatan telah merajalela di kalangan umatku maka Allah meratakan azab kepada mereka semua dari sisi-Nya” (HR. Ahmad, dinilai sahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ [5231] dan Sahih Sunan Abu Dawud [4347]. Lihat Ad Daa’ wa Ad Dawaa’, hal. 51).

Allah Ta’ala berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ . كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Telah dilaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan Daud dan ‘Isa bin Maryam, hal itu dikarenakan perbuatan maksiat yang mereka lakukan dan mereka senantiasa melampaui batas. Mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang dilakukan di antara mereka. Sungguh jelek apa yang telah mereka kerjakan itu.” (QS. Al Ma’idah: 78)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala mengabarkan kepada kita bahwa Bani Isra’il mendapatkan laknat dari Allah Ta’ala karena kemaksiatan yang mereka lakukan, sikap mereka yang melampai batas, dan mereka tidak menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Artinya (mereka dilaknat) karena kemaksiatan mereka kepada Allah dan kezaliman mereka terhadap hamba-hamba Allah. Itulah yang menjadi sebab kekafiran mereka dan jauhnya mereka dari rahmat Allah. Karena sesungguhnya perbuatan-perbuatan dosa dan kezaliman itu pasti membuahkan hukuman-hukuman…” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 241).

Saudaraku, ingatlah bahwa segala macam bentuk kemaksiatan dan kelalaian adalah termasuk tindak kezaliman. Sebab hak Allah Ta’ala atas hamba-Nya adalah untuk ditaati bukan didurhakai, diingat dan bukan dilalaikan. Kezaliman ada tiga macam: kezaliman manusia terhadap hak Allah yaitu syirik, kezaliman manusia kepada dirinya sendiri itulah yang biasa disebut dengan maksiat, serta kezaliman terhadap sesama. Ketiga hal ini adalah kezaliman dan juga sekaligus kemaksiatan. Kalau kezaliman seorang hamba kepada dirinya adalah maksiat, maka bagaimana lagi kezalimannya kepada orang lain, dan bagaimanakah lagi jika yang dizaliminya adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang telah menciptakan dirinya?

Apakah sebab timbulnya berbagai macam kerusakan di atas muka bumi ini kalau bukan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh umat manusia? Allah Ta’ala berfirman,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

“Telah tampak kerusakan di atas daratan dan juga di lautan dikarenakan apa yang telah diperbuat oleh tangan-tangan manusia…” (QS. Ar Ruum: 41)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Tindakan merusak bumi itu terdiri dari dua bentuk: Pertama, perusakan secara fisik yang bisa dilihat dengan indera, yaitu seperti dengan cara merobohkan rumah-rumah, merusak jalan-jalan, dan kejahatan lain semacamnya. Yang kedua adalah perusakan secara maknawi, yaitu dengan melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. Pada hakekatnya maksiat itulah sebesar-besar tindak perusakan yang terjadi di atas muka bumi.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas (Al Qaul Al Mufid, II/77).

Dan karena kezaliman pulalah umat-umat terdahulu yang durhaka dihancurkan oleh Allah dengan berbagai macam bentuk siksaan dan bencana yang mengerikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ

“Dan tidaklah Kami akan menghancurkan negeri-negeri itu kecuali karena para penduduknya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Qashash: 59)

Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang yang gemar berbuat zalim berupa kekafiran atau maksiat memang berhak untuk menerima hukuman dari Allah. Karena Allah tidak akan menghukum siapa pun kecuali karena kezaliman yang dilakukannya dan setelah hujjah ditegakkan kepadanya (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 621).

Oleh sebab itu Allah ta’ala melarang keras tindak perusakan di atas muka bumi ini dengan segala jenisnya. Allah ta’ala berfirman,

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

“Dan janganlah kalian melakukan perusakan di atas muka bumi setelah sebelumnya ia diperbaiki…” (QS. Al A’raaf: 56)

Sembari menukil ayat, Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi” Artinya adalah (jangan berbuat kerusakan, pent) dengan melakukan berbagai perbuatan maksiat. “Sesudah dia diperbaiki.” Artinya adalah (sebelumnya bumi itu telah baik, pent) dengan amal-amal ketaatan. Karena sesungguhnya berbagai perbuatan maksiat itu menjadi sebab rusaknya akhlak, rusaknya amalan dan carut marut rezeki. Ini serupa dengan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan dengan sebab ulah tangan-tangan manusia.” Sebagaimana halnya berbagai perbuatan ketaatan menjadi sebab baiknya akhlak, bagusnya amalan, dan kelancaran rezeki serta kebaikan kondisi di dunia maupun di akhiat.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 292).

Belum lagi, kalau kita mengetahui bahwasanya kezaliman yang kita lakukan itu ternyata akan menghalangi kita dari mendapatkan manisnya hidayah. Tentunya setelah menyadari hal ini kita akan berusaha untuk menjauhkan diri darinya sejauh-jauhnya. Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka apabila mereka tidak memenuhi seruanmu (wahai Muhammad), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al Qashash: 50)

Orang-orang yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang yang kezaliman telah menjadi karakter hidupnya dan suka menentang (kebenaran) telah melekat dalam perangainya. Ketika hidayah menyapa, mereka justru menolaknya. Mereka lebih senang menuruti kemauan hawa nafsunya. Mereka sendirilah yang menutup pintu-pintu dan jalan menuju hidayah. Mereka justru membuka pintu-pintu kesesatan dan jalan menuju ke sana. Mereka menutup mata dan tidak mau tahu, padahal mereka telah tenggelam dalam kesesatan dan penyimpangan. Mereka terombang-ambing, hidup di ambang kehancuran (lihat Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 618).

Ayat ini juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa semua orang yang tidak mau memenuhi seruan Rasul dan justru menganut pendapat yang menyelisihi ucapan Rasul maka dia tidaklah bermazhabkan bimbingan hidayah akan tetapi mazhabnya adalah hawa nafsu (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 618).

Padahal kita sudah sama-sama tahu bahwa hidayah adalah perkara yang sangat kita butuhkan, lebih daripada kebutuhan kita kepada makanan dan minuman. Tidakkah kita ingat sebuah doa nan indah yang selalu terucap dari lisan orang yang melakukan shalat lima waktu yang dilakukannya setiap hari? ‘Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus’. Bukankah itu doa yang terus kita panjatkan di setiap rakaat shalat yang kita lakukan? Apakah itu artinya? Apakah itu berarti kita mengucapkan sesuatu yang sia-sia dan tanpa makna? Apakah itu artinya kita bisa hidup tenteram dan bahagia tanpa bimbingan dan petunjuk dari Allah Ta’ala? Tidakkah kita sadar bahwa hal itu menunjukkan bahwa hidayah itu lebih penting dari segala kebutuhan dunia; yang primer, sekunder, apalagi tersiernya? Lalu apalah artinya kita hidup jika tanpa bimbingan dan pertolongan dari-Nya? Lihatlah betapa pahit akibat yang harus dirasakan oleh orang yang bermaksiat kepadanya; kehilangan sesuatu yang paling berharga dan menjadi ruh kehidupannya yaitu hidayah dari Allah Ta’alala haula wa la quwwata illa billah

Penyebab Terjadinya Maksiat

Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan, “Tidaklah seorang hamba menerjang sesuatu yang diharamkan oleh Allah melainkan disebabkan oleh [salah satu di antara] dua kemungkinan:

Pertama: Karena persangkaan buruknya kepada Rabbnya. Dia mengira kalau dia tetap taat kepada Allah serta lebih mengutamakan keinginan-Nya maka Allah tidak akan memberikan ganti lebih baik darinya yang halal untuk dinikmati.

Kedua: Dia telah menyadari hal itu, dan dia pun tahu bahwa orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya. Akan tetapi hawa nafsunya telah menguasai dirinya sehingga dia tidak lagi bersabar dan dia pun telah mencampakkan akal sehatnya.

Yang pertama terjadi karena lemahnya ilmu yang dia punyai. Sedangkan yang kedua terjadi karena lemahnya akal dan kejernihan mata hati yang dia miliki…” (Al Fawa’id, hal. 46).

Wahai saudaraku, marilah kita cermati diri kita masing-masing. Tidakkah kita ingat, dahulu kita ini bukan apa-apa. Kita dulu belum terlahir ke alam dunia, kita dulu tidak mengetahui apa-apa, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa melakukan apa-apa. Lantas Allah menciptakan kita dengan rupa dan bentuk yang amat sempurna. Dan Allah mengaruniakan akal, penglihatan, pendengaran, dan hati kepada kita. Allah juga yang menciptakan berbagai macam binatang ternak, tanaman, dan buah-buahan sehingga bisa dinikmati oleh manusia. Allah juga yang memberikan akal dan kecerdasan kepada umat manusia sehingga mereka bisa mengembangkan teknologi canggih di mana-mana. Apakah yang telah membuat kita lalai dan larut dalam kemaksiatan kepada-Nya?

Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kita menyangka Allah tidak melihat perbuatan kita? Apakah dengan melakukan maksiat itu berarti kebahagiaan yang hakiki akan kita raih, atau justru sebaliknya; perasaan sedih, menyesal, bersalah, dan gundah gulana yang akan mengisi relung-relung hati kita? Tidakkah orang yang miskin menyadari bahwa dengan mencuri dia tidak akan menjadi kaya, bahkan bisa jadi dia akan dijebloskan ke dalam penjara? Tidakkah orang yang kehausan sadar bahwa dengan meminum khamr maka rasa hausnya justru tidak akan terobati dan bahkan dirinya akan semakin tersiksa? Tidakkah para koruptor sadar bahwa uang haram yang dia masukkan ke dalam rekeningnya justru akan mencabut keberkahan hartanya serta menyiksa hati dan pikirannya, dan bisa jadi menjatuhkan kedudukannya di hadapan masyarakat, atau paling tidak mereka akan dimurkai oleh Allah Ta’ala? Apakah setelah menyadari ini semua -wahai insan- kamu akan tetap bersikeras bermaksiat dan lalai dari mengingat keagungan-Nya?

Allah ta’ala berfirman,

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka dengan mengingat Allah dan kebenaran yang diturunkan. Dan janganlah mereka menjadi seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan Al Kitab, masa yang panjang mereka lalui (dengan kelalaian) sehingga hati mereka pun mengeras, dan banyak sekali di antara mereka yang menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al Hadid: 16)

Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk mengisi hari-hari kita dengan bacaan Al-Qur’an dan mentadabburinya? Apakah belum tiba waktunya bagi kita untuk tunduk secara total mengikuti keindahan ajaran syari’at-Nya? Ataukah kita akan membiarkan hati ini mengeras tanpa siraman ayat-ayat-Nya dan panduan ajaran Nabi-Nya? Wahai manusia, sesungguhnya Allah sangat menyayangi diri kalian, oleh sebab itu Allah turunkan Al-Qur’an bagi kalian untuk dipelajari bukan untuk dicampakkan. Allah utus Nabi-Nya kepada kalian untuk kalian ikuti bukan untuk ditinggalkan. Maka alangkah meruginya kalian jika kalian justru menyia-nyiakan bimbingan ilahi ini. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati-hati manusia sangat butuh untuk berzikir dan mengingat wahyu yang diturunkan oleh Allah serta mengisi ucapan-ucapannya dengan hikmah. Tidak semestinya hal itu dilalaikan. Karena kelalaian adalah penyebab keras dan membekunya hati.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 840).

Kita memohon kepada Allah dengan keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat, kekhusyu’an dalam beribadah, dan rasa takut kepada-Nya baik di saat bersama manusia maupun tidak bersama mereka. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada kita taubatan nasuha sehingga Allah Ta’ala mengampuni dosa dan kesalahan-kesalahan kita. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

Yogyakarta, 19 Shafar 1429/ 27 Februari 2008

Saudaramu di jalan Allah,

Abu Mushlih Ari Wahyudi

Semoga Allah menerima taubatnya,
Dan juga kaum muslimin semuanya

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/230-buah-kemaksiatan-dan-kelalaian.html

Kematian Anak Rasulullah dan Gerhana Matahari

KETIKA gerhana matahari terjadi di masa Rasul shallallahu alaihi wa sallam-, beliau ingatkan bahwa peristiwa itu bukan karena ada yang meninggal dunia. Saat terjadi gerhana memang pas bertepatan dengan kematian putera beliau yang bernama Ibrahim.

Al-Mughirah bin Syubah mengatakan,

“Pernah terjadi gerhana di masa Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- saat kematian Ibrahim. Orang-orang beranggapan bahwa gerhana matahari itu terjadi karena kematian Ibrahim.” (HR. Bukhari, no. 1043)

Lantas Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata dalam khutbah beliau,

“Sesungguhnya ketika tertutup cahaya matahari dan bulan (gerhana) bukanlah sebab karena ada yang mati atau karena ada yang hidup, namun itu adalah tanda kuasa Allah untuk menakut-nakuti hamba-Nya dengan terjadi gerhana tersebut.” (HR. Muslim, no. 901)

Oleh karenanya, setiap pemahaman keliru di tengah masyarakat apalagi berkenaan dengan akidah perlu diingatkan. Seperti ada yang menyatakan wanita hamil saat terjadi gerhana hendaklah bersembunyi di bawah kolong tempat tidur, ini tidaklah ada dasarnya dalam agama kita.

[Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Allah tak Melarang Berbuat Baik Pada Non Muslim

LIHATLAH kisah teladan berikut ini sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab sahihnya dari Mushab bin Saad dari ayahnya (yaitu Saad) bahwa beberapa ayat Alquran turun padanya. Dia berkata,

Ummu Saad (Ibunya Saad) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selamanya sampai dia kafir (murtad) dari agamanya, dan dia juga tidak akan makan dan minum. Ibunya mengatakan, Sesungguhnya Allah mewasiatkan padamu untuk berbakti pada kedua orang tuamu, dan aku adalah ibumu. Saya perintahkan padamu untuk berbuat itu (memerintahkan untuk murtad, pen). Saad mengatakan, “Lalu Ummu Saad diam selama tiga hari kemudian jatuh pingsan karena kecapekan. Kemudian datanglah anaknya yang bernama Amaroh, lantas memberi minum padanya, namun ibunya lantas mendoakan (kejelekan) pada Saad. Lalu Allah menurunkan ayat,

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya” (QS. Al Ankabut: 8). Dan juga ayat, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku” (QS. Lukman: 15), yang di dalamnya terdapat firman Allah, “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik” (QS. Lukman: 15) (HR. Muslim no. 1748).

Hal di atas tidaklah menafikan bahwa kita tetap berbuat baik pada non muslim yang penting tidak berkaitan dengan ritual ibadah dan perayaan mereka. Allah Taala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 7: 247). Mengenai surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhuma-, di mana ibundanya Qotilah binti Abdil Uzza- yang musyrik dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. (Lihat Zaadul Masiir, 8: 236-237).

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma mengatakan, “Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.”

Sufyan bin Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)” (HR. Bukhari no. 5978). Semoga Allah memberi kita petunjuk pada akidah yang lurus. [Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Pesan Alquran Jika Saudara Atau Orangtua Natalan

BOLEHKAH mengucapkan selamat natal pada kerabat? Karena barangkali di antara kerabat ada yang non muslim, bisa jadi orang tua, saudara atau yang masih punya hubungan dekat seperti hubungan mahram.

Allah Taala berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).

Ayat ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari hamba yang beriman adalah mencintai orang yang beriman dan loyal padanya, serta benci pada orang yang tidak beriman dan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya walau itu adalah kerabat dekat. Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 848.

Berarti dukungan apa pun pada agama dan perayaan kerabat yang non muslim tidak dibolehkan. Termasuk bentuk dukungan yang tidak boleh adalah menghadiri perayaan non muslim seperti perayaan natal. Ibnul Qayyim menuturkan bahwa Allah telah menyebut perayaan non muslim dengan istilah “az zuur”. Inilah yang dimaksudkan dari ayat, “Dan orang-orang yang tidak menghadiri az zuur” (QS. Al Furqan: 72). Adh Dhahak menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah perayaan orang-orang musyrik. (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 492)

Ibnul Qayyim menerangkan, “Sebagaimana mereka tidak boleh menampakkan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin, kaum muslimin pun tidak boleh turut serta, membantu dan hadir dalam perayaan mereka tersebut. Hal ini telah disepakati oleh para ahli ilmu (para ulama) dan telah dinyatakan oleh para ulama empat mazhab di kitab-kitab mereka.” (Idem)

Untuk menghadiri perayaan tersebut saja tidak boleh, apalagi sampai kaum muslimin yang merayakan atau membuat acaranya. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kaum muslimin telah memiliki kata sepakat akan tidak bolehnya orang kafir menampakkan perayaan hari raya mereka di tengah-tengah kaum muslimin. Maka bagaimana mungkin kaum muslimin yang dibolehkan merayakannya? Atau mau dikata kalau muslim tidaklah masalah dari merayakannya daripada kafir yang merayakannya terang-terangan?!” (Iqtidha Ash Shirothil Mustaqim, 1: 510).

Bentuk dukungan yang tidak boleh ada pula adalah mengucapkan selamat natal. Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma (kesepakatan) para ulama.” (Ahkam Ahli Adz Dzimmah, hal. 154). []

INILAH MOZAIK

Empat Nasihat Imam Ahmad Bin Hanbal Agar Kita Selamat

Empat nasihat Imam Ahmad bin Hanbal diyakini bisa membuat kita selamat.

Imam Ahmad bin Hanbal atau yang juga dikenal dengan nama Imam Hambali merupakan salah satu imam mazhab dalam fikih Islam. Mazhabnya dikenal dengan nama mazhab Ahmad bin Hanbal atau mazhab Hambali.

Imam yang dikenal sebagai pakar fikih, hadis, dan teologi dalam Islam itu lahir di Mary, Turkmenistan pada 780 M dan meninggal di Baghad pada 855 M. Imam Ahmad bin Hanbal pernah menyampaikan nasihatnya tentang bagaimana caranya agar manusia diberi keselamatan oleh Allah.

Adapun nasihat Imam Ahmad bin Hanbal tersebut berbunyi, “Allah mewahyukan kepada Isa AS, ‘jika kau seorang diri jagalah hatimu, jika kau bersama orang jagalah lisanmu, jika kau berada di meja makan jagalah perutmu, dan jika kau berada di jalan jagalah matamu. Itu akan memberikanmu keselamatan,” kata Imam Ahmad bin Hanbal seperti dikutip dalam buku Biografi Empat Imam Mazhab karangan Syeh Abdul Aziz Asy-Syinawi terbitan Beirut Publishing.

KHAZANAH REPUBLIKA

Mereguk Hikmah dari Musibah

Musibah meruntuhkan kesombongan dan keangkuhan manusia.

Allah telah berjanji bahwa setiap kesulitan ataupun musibah yang diberikan kepada seorang hamba, tak akan melebihi kapasitas kemampuan dari hamba yang bersangkutan tersebut. Bahkan ada kalanya, dari musibah muncul hikmah dan faedah yang dapat dipetik oleh setiap pribadi.

Syaikh Aidh Al-Qarni dalam kitabnya La Tahzan jilid 1 menjabarkan, sejatinya sebuah musibah mampu mengeluarkan nilai-nilai ubudiyah doa yang selama ini terpendam. Beliau menyebut, sesungguhnya Allah menurunkan ujian kepada seorang hamba yang saleh dari hamba-hambaNya. Dan kepada Malaikat, Allah berkata bahwa diturunkannya musibah serta ujian tersebut agar Allah mendengar suara doa dan permintaan dari manusia.

Di sisi lain, menurut beliau, diturunkannya musibah serta ujian dari Allah kepada manusia agar kesombongan dan keangkuhan yang kerap terpatri di jiwa manusia itu runtuh. Sebab, musibah dapat menggugah empati sesama manusia untuk saling merekatkan rasa cinta terhadap sesama. Tak hanya itu, manusia juga kerap kali saling mendoakan kepada yang sedang tertimpa musibah.

Sejatinya, musibah dapat membukakan mata mereka kepada hal yang lebih besar. Selama ini, menurut beliau, manusia hanya melihat hal-hal kecil jika dibandingkan dengan musibah lain yang lebih besar. Umumnya manusia menerima bahwa itu semua merupakan penebusan dosa dan kesalahan, sekaligus pahala dan ganjaran di sisi Allah.

Maka, beliau berpendapat, apabila setiap manusia menyadari bahwa semua musibah dan ujian adalah buat yang dapat dipetik dan dinikmati, maka sudah pasti manusia akan menghadapi musibah tersebut dengan senang dan tenang. Bukankah ketenangan merupakan representasi dari keimanan? Maka, mereguk hikmah dari musibah merupakan hal yang patut menjadi sikap yang perlu dilakukan setiap Muslim.

KHAZANAH REPUBLIKA


Menemukan Jati Diri Yang Hilang; Sebuah Refleksi dari Perayaan Tahun Baru Masehi

Mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah muslim. Para pejuang yang dahulu memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah bagi bangsa ini pun adalah para ulama Islam dan kaum muslimin. Mereka membangkitkan semangat juang rakyat ini dengan ajaran tauhid dan pekikan “Allahu Akbar!”. Namun ironis, pemikiran, tradisi, dan perilaku bangsa ini, belum benar-benar mencerminkan ajaran Islam seutuhnya. Banyak yang mengaku muslim, tapi pemikirannya kebarat-baratan, tradisi yang dianutnya mengimpor dari luar Islam dan perilakunya malah tidak Islami. Islam di satu kutub, sementara kaum muslimnya seolah di kutub yang lain.

Sebentar lagi, perhelatan besar tahunan akan digelar. Seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan menyambut tahun baru, yang walaupun sama sekali bukan berasal dari tradisi Islam, selalu sukses menyedot antusiasme kaum muslim di negeri ini. Kemeriahan perayaan yang biasanya digelar pada malam hari tanggal 31 Desember dengan puncak acara tepat pada pukul 00.00 ini tak ayal melibatkan banyak kaum muslim, dari kalangan muda-mudi sampai dewasa.

Konon, 1 Januari ditetapkan sebagai awal tahun oleh orang-orang Romawi pada tahun 45 SM. Hari itu didekasikan oleh mereka untuk mengagungkan Janus, dewa pintu gerbang dan permulaan, dimana bulan pertama dalam kalender masehi (Januari) terambil darinya. Hal ini menunjukkan, bahwa perayaan tahun baru sebetulnya berasal dari tradisi kaum pagan (penyembah berhala). Pada waktu berikutnya, tanggal 1 Januari ditetapkan oleh orang-orang Kristen sebagai hari khitanan Yesus, hari kedelapan setelah kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember. Hal ini masih berlaku di beberapa Gereja, seperti Gereja Angkilan dan Lutheran.  Kemudian pada tahun 1582, Paus Gregorius XIII juga menetapkan 1 Januari sebagai permulaan tahun, bertepatan dengan pesta kehitanan Yesus tersebut. (http://en.wikipedia.org/wiki/New_Year’s_Day).

Dari sejarahnya, jelas bahwa perayaan tahun baru masehi sangat kental dengan tradisi kaum pagan dan umat Kristiani. Namun apa lacur, setiap tahunnya kaum muslim di negeri ini seolah berlomba-lomba memeriahkan acara pergantian tahun tersebut, berpesta pora layaknya hari kemenangan bagi mereka. Hal ini seolah menggambarkan, bahwa jati diri kaum muslim sebagai umat terbaik, telah luntur dalam dada-dada mereka. Tradisi non-muslim yang seharusnya dijauhi, sebagai bagian dari sikap baro` (berlepas diri), malah dengan suka cita dan kekhusuan mereka ramaikan. Padahal Nabi Islam, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti, agar umatnya tidak melakukan imitasi terhadap tradisi dan kebiasaan kaum mana pun. Beliau menyatakan dengan keras, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR Ahmad dan Abu Dawud, dinilai shahih oleh Al Albani)

Fenomena yang terjadi pada diri kaum muslim seperti ini, telah diproyeksi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 14 abad silam, “Sungguh kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, hingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu pun akan mengikutinya.” Mereka bertanya, “Apakah Yahudi dan Nashrani?” beliau bersabda, “Siapa lagi?” (HR Muslim).

Dalam hadis yang lain, “Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengikuti kebiasaan orang-orang terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah seperti orang-orang Persia dan Romawi?” beliau menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR Bukhari).

Melalui fenomena perayaan tahun baru, kita bisa menyimpulkan, bahwa banyak kaum muslim di negeri ini sepertinya kehilangan jati diri mereka sebagai umat Islam. Untuk itu, perlu diupayakan dengan serius oleh para da’i dan tokoh Islam di negeri ini, untuk membangun kembali jati diri mereka sebagai muslim. Berikut adalah diantara cara membangun kembali  jati diri muslim tersebut:

Pertama: menyadarkan kembali kaum muslim tentang arti hidup mereka di dunia ini, yaitu untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla (QS. Adz- Dzariyat: 56). Sebagai makhluk yang dicipta dan dikarunia rupa-rupa nikmat di dunia ini oleh Allah, sudah seharusnya mereka hidup di jalan-Nya, mengikuti pedoman-Nya dan berbuat semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya.

Kedua: menjelaskan kembali arti penting keimanan dan keyakinan mereka sebagai muslim. Kaum muslim harus benar-benar faham, bahwa iman dan keyakinan itulah yang kelak akan menyelamatkan mereka di hari kemudian. Dari sini akan muncul kecintaan kepada iman itu sendiri, yang konsekwensinya adalah kebencian terhadap segala yang bertentangan dengan keimanan itu.

Ketiga: membangkitkan kembali ghairah Islam pada diri mereka. Kaum muslim harus memiliki kecemburuan (ghairah) pada hal-hal yang tidak sejalan dengan agamanya. Kaum muslim harus memiliki semacam sinyal pengingkar, terhadap segala fenomena yang bertentangan dengan ajaran agamanya yang ia saksikan dihadapannya, walau pun hanya sebatas dalam hati.

Keempat: menguatkan kembali kepercayaan mereka terhadap ajaran Islam yang paripurna. Kaum muslim harus percaya dengan sepenuhnya, bahwa agama ini telah sempurna (QS. Al Maidah: 3). Agama ini bukan sekedar ritual-ritual ibadah yang bersifat privat, namun juga mengandung nilai-nilai dan sejumlah aturan dalam aspek-aspek hidup manusia yang bersifat umum. Ajaran Islam ini cukup sempurna untuk membangun peradaban manusia yang maju dan menjamin kebaikan hidup mereka di dunia ini, sebelum di akhirat kelak.

Kelima: menjelaskan kembali kepada mereka ancaman-ancaman yang dihadapi kaum muslim di seluruh dunia saat ini. Terutama yang datang dari orang-orang kafir, khususnya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Hal ini seperti yang telah Allah peringatkan dalam al Qur`an (QS. Al Baqarah: 120), juga Rasulullah peringatkan seperti dalam hadis diatas.

Keenam: meyakinkan kembali kaum muslim tentang janji kemenangan yang Allah janjikan, jika mereka benar-benar beriman dan berpegang teguh terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya mereka tidak berputus asa dan merasa kerdil dihadapan orang-orang kafir yang saat ini memang lebih dominan dibandingkan kaum muslim. Kejayaan mereka seharusnya tidak menyilaukan kaum muslim dan merontokkan keyakinan mereka terhadap janji-janji Allah.

Ketujuh: menampilkan secara intens kepada mereka contoh dan prototype kehidupan yang seharusnya mereka teladani dalam kehidupan ini, utamanya sosok Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, Nabi pemilik akhlak yang agung dan pemimpin dunia yang tegas. Setelah itu para sahabat beliau ridhwanullah ‘alaihim, generasi istimewa yang terdidik dalam asuhan nubuwwah, tempaan jihad dan pengajaran iman secara langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu para salaf shaleh setelah mereka, kemudian para ulama rabbani yang sungguh-sungguh dalam keislaman mereka hingga saat ini.

Cara-cara diatas tentu akan tidak mudah dijalani, namun begitulah garis perjuangan, selalu membutuhkan upaya dan kerja keras, serta doa yang tak putus-putus untuk tetap dipanjatkan kepada Pemilik hidayah. Wallahu a’lam.

Penulis: Ust. Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24045-menemukan-jati-diri-yang-hilang-sebuah-refleksi-dari-perayaan-tahun-baru-masehi.html

Museum Rasulullah Diproyeksikan Jadi Destinasi Wisata Religi

Museum Rasulullah nantinya diharapkan mampu menggaet wisatawan mancanegara.

Di tengah perencanaan pembangunan Museum Rasulullah di wilayah Cimanggis, Jawa Barat, pemerintah memproyeksi museum tersebut akan menjadi salah satu destinasi wisata halal dan wisata religi global. Pembangunan pun rencananya akan dimulai pada 2020 mendatang.

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruquthni mengatakan, Museum Rasulullah yang ada di Indonesia nantinya diproyeksi dapat menjadi magnet wisata religi global. Museum Rasulullah nantinya diharapkan mampu menggaet wisatawan mancanegara.

“Kami berharap bisa menggaet wisatawan di kawasan Asia, tapi bisa juga dari wisatawan mancanegara lain, global,” kata Imam saat dihubungi Republika, Kamis (26/12).

Seperti diketahui, Indonesia terpilih menjadi lokasi pertama di luar Arab Saudi yang berhak untuk melakukan pembangunan Museum Rasulullah. Museum di Indonesia ini dibangun bersamaan dengan Museum As-Salamu Alayka Ayyuha An-Nabiyy di Makkah dan Museum Shirah Nabawiyah di Madinah, Arab Saudi.

Pihaknya menegaskan, dalam Museum Rasulullah nantinya dipastikan tidak ada bentuk penggambaran atau visualiasi apapun yang menyangkut fisik Rasulullah. Museum tersebut secara lebih kolaboratif akan menonjolkan aspek kinerja Rasulullah sebagai hamba terbaik di sisi Allah.

Misalnya, dengan menonjolkan perangai Rasul, yakni pembangunan moral dakwah yang kerap beliau lakukan semasa hidup. Tak hanya itu, sebagai salah satu target destinasi wisata religi global, Museum Rasulullah nantinya juga akan dilengkapi dengan area berbelanja.

Sebab, di dalam museum pun rencananya akan dibangun ruangan khusus kuliner yang mendeskripsikan tuntunan adab dari Rasulullah SAW mengenai cara memilih makanan yang baik, cara makan yang baik, serta aspek-aspek adab yang meliputinya. Sehingga kebutuhan berbelanja tak lepas dari aktivitas wisata religi.

“Orang nanti bisa shopping juga, misalnya beli kurma kan ada macam jenis kurma. Nanti sambil juga ada penjelasannya, Rasulullah dulu kalau makan, makanannya yang seperti apa,” ungkapnya.

KHAZANAH REPUBLIKA