Perbedaan Pendapat Ulama tentang Selamat Natal

MENJELANG perayaan Natal seperti ini, biasanya muncul perdebatan di tengah masyarakat tentang hukum seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani atau siapa saja yang memperingatinya. Tidak jarang, perdebatan itu menimbulkan percekcokan, bahkan vonis kafir (takfr). Untuk menjawab hukumnya, penulis akan mengupasnya dalam beberapa poin.

Pertama, tidak ada ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan keharaman atau kebolehan mengucapkan selamat Natal. Padahal, kondisi sosial saat nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam hidup mengharuskannya mengeluarkan fatwa tentang hukum ucapan tersebut, mengingat Nabi dan para Sahabat hidup berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani (Kristiani).

Kedua, karena tidak ada ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang secara jelas dan tegas menerangkan hukumnya, maka masalah ini masuk dalam kategori permasalahan ijtihadi yang berlaku kaidah:

Permasalahan yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari (ditolak), sedangkan permasalahan yang sudah disepakati boleh diingkari.

Ketiga, dengan demikian, baik ulama yang mengharamkannya maupun membolehkannya, sama-sama hanya berpegangan pada generalitas (keumuman) ayat atau hadits yang mereka sinyalir terkait dengan hukum permasalahan ini. Karenanya, mereka berbeda pendapat.

Pertama, sebagian ulama, meliputi Syekh Bin Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, Syekh Ibrahim bin Jafar, Syekh Jafar At-Thalhawi dan sebagainya, mengharamkan seorang Muslim mengucapkan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya.

Mereka berpedoman pada beberapa dalil, di antaranya: Firman Allah subhanahu wa taala dalam surat Al-Furqan ayat 72:

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa taala menyebutkan ciri orang yang akan mendapat martabat yang tinggi di surga, yaitu orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. Sedangkan, seorang Muslim yang mengucapkan selamat Natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Kristiani tentang hari Natal. Akibatnya, dia tidak akan mendapat martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat Natal hukumnya haram.

Di samping itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, nomor 4031).

Orang Islam yang mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai tradisi kaum Kristiani, maka ia dianggap bagian dari mereka. Dengan demikian, hukum ucapan dimaksud adalah haram.

Kedua, sebagian ulama, meliputi Syekh Yusuf Qaradhawi, Syekh Ali Jumah, Syekh Musthafa Zarqa, Syekh Nasr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, Syekh Ishom Talimah, Majelis Fatwa Eropa, Majelis Fatwa Mesir, dan sebagainya membolehkan ucapan selamat Natal kepada orang yang memperingatinya. Mereka berlandaskan pada firman Allah subhanahu wa taala dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 8:

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa taala tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada siapa saja yang tidak memeranginya dan tidak mengusirnya dari negerinya. Sedangkan, mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang non Muslim yang tidak memerangi dan mengusir, sehingga diperbolehkan.

Selain itu, mereka juga berpegangan kepada hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam riwayat Anas bin Malik:

“Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata:

“Masuk Islam-lah!” Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata:Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam).”

Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar seraya bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Bukhari, No. 1356, 5657)

Menanggapi hadis tersebut, ibnu Hajar berkata: “Hadis ini menjelaskan bolehnya menjadikan non-Muslim sebagai pembantu, dan menjenguknya jika ia sakit”. (A-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 3, halaman 586).

Pada hadis di atas, Nabi mencontohkan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada non-Muslim yang tidak menyakiti mereka. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka, sehingga diperbolehkan. Dari pemaparan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, dan ada yang membolehkan. Umat Islam diberi keleluasaan untuk memilih pendapat yang benar menurut keyakinannya. Maka, perbedaan semacam ini tidak boleh menjadi konflik dan menimbulkan perpecahan. Jika mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, maka menjaga keberlangsungan hari raya Natal, sebagaimana sering dilakukan Banser, juga diperbolehkan.

Dalilnya, sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu anhu menjamin keberlangsungan ibadah dan perayaan kaum Nasrani Iliya (Quds/Palestina):

“Ini merupakan pemberian hamba Allah, Umar, pemimpin kaum Mukminin kepada penduduk Iliya berupa jaminan keamanan: Beliau memberikan jaminan keamanan kepada mereka atas jiwa, harta, gereja, salib, dan juga agama-agama lain di sana. Gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dihancurkan.” (Lihat: Tarikh At-Thabary, Juz 3, halaman 609) [nuol]

*Ustaz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Wakil Ketua Forum Kandidat Doktor NU Malaysia.

INILAH MOZAIK

Memurnikan Amal Semata-Mata Karena Allah

SEBENARNYA jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saja. Ingatlah ini…

Semoga sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)

Marilah saudaraku-, kita ikhlaskan selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini!

Semoga Allah selalu memperbaiki aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.

[Muhammad Abduh Tuasikal]

INILAH MOZAIK

Yang Manakah Niat Kita saat Beramal?

NIAT seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)

INILAH MOZAIK

Jika Amalan Semata-Mata Karena Dunia

ADAPUN amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.

Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syariat telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

INILAH MOZAIK

Amalan yang Berujung Kerugian

SYAIKH Muhammad At Tamimi rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya. Kenapa demikian?

Riya dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Taala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar).

Keduanya memiliki perbedaan. Riya adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.

Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa.

Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Taala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.

INILAH MOZAIK

Manusia Diciptakan Untuk Saling Mengenal, Bukan Saling Bangga Diri!

Saudaraku para pecinta Al-Qur’an. Kali ini kita akan mengutip sebuah ayat yang sangat menarik dan menjadi jawaban atas berbagai masalah akhir-akhir ini.

Allah swt berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS.Al-Hujurat:13)

Secara umum ayat ini berbicara tentang permulaan penciptaan manusia dan tujuan mereka diciptakan.

Salah satu tujuan penciptaan yang dikabarkan oleh ayat ini adalah :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Ya, manusia diciptakan untuk saling mengenal bukan salinh berbangga diri. Saling menghargai kelebihan orang lain, bukan mencaci kekurangan.

Dengan kata lain, manusia terlahir dari dua manusia yang berbeda. Manusia diciptakan dengan beragam suku, ras dan warna kulit bukan untuk meninggikan satu golongan dan merendahkan yang lainnya namun agar mereka bisa saling mengenal dan saling bekerja sama. Karena setiap orang pasti memiliki kelebihannya masing-masing. Dan tugas kita adalah mengenali potensi-potensi tersebut untuk bersatu dan bekerja sama dalam membangun peradaban yang maju.

Lanjutan dari potongan ayat diatas adalah :

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat ini mempertegas bahwa perbedaan ras, suku, keturunan atau warna kulit bukanlah ukuran kemuliaan seseorang. Kemuliaan manusia hanya bisa diukur dengan seberapa besar ketakwaannya dihadapan Allah swt. Ketampanan wajah dan kemuliaan nasab adalah sebuah karunia yang diberikan seseorang tanpa usaha dari dirinya, semua itu memang harus di syukuri, namun tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk seseorang dikatakan mulia.

Sedangkan nilai yang sebenarnya dari seorang manusia adalah hasil jerih payahnya. Sayyidina Ali bin Abi tholib pernah berkata,

قِيمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحسِنُه

“Nilai dari seseorang adalah perbuatan baik yang ia lakukan.”

Dan tidak ada kebaikan yang lebih tinggi dari ketakwaan. Maka bila kita simpulkan, ayat ini menyebutkan dua tujuan penciptaan manusia.

(1). Untuk saling mengenal. Dan hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan sikap rendah hati dan mau menerima kelebihan orang lain.

(2). Agar manusia meraih takwa. Karena takwa adalah kunci dan tolok ukur kemuliaan manusia.

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

4 Golongan Manusia yang Tertipu Menurut Imam Ghazali

Manusia yang tertipu dari golongan ulama hingga ahli tasawuf.

Tidak selamanya hamba Allah SWT akan selamat dari godaan setan. Dalam kitabnya, al-Kasf wa Al-Tibyan fi Ghurur al-Khalq Ajma’in (Menyingkap Aspek-aspek Ketertipuan Seluruh Makhluk), Al-Ghazali menyebutkan empat kelompok manusia yang tertipu. 

Keempat kelompok manusia itu adalah ulama atau cendikiawan, ahli ibadah, hartawan, dan golongan ahli tasawuf. Mereka itu tertipu karena ibadahnya.

1. Ulama atau Cendekiawan

Menurut al-Ghazali, banyak sekali golongan ulama atau cendekiawan yang tertipu. Di antaranya, mereka yang merasa ilmu-ilmu syariah dan aqliyah yang dimiliki telah mapan (cukup). ”Mereka mendalaminya dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu-ilmu tersebut, namun mereka lupa pada dirinya sendiri sehingga tidak menjaga dan mengontrol anggota tubuh mereka dari perbuatan maksiat.”

Selain itu, ketertipuan para ulama atau cendekiawan ini juga dikarenakan kelalaian mereka untuk senantiasa melakukan amal saleh. Mereka ini, kata al-Ghazali, tertipu dan teperdaya oleh ilmu yang mereka miliki. Mereka mengira bahwa dirinya telah mendapatkan kedudukan di sisi Allah. Mereka mengira bahwa dengan ilmu itu telah mencapai tingkatan tertinggi 

Lebih lanjut al-Ghazali dalam kitabnya menjelaskan, orang-orang yang masuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang dihinggapi perasaan cinta dunia dan diri mereka sendiri serta mencari kesenangan yang semu.

Selain itu, mereka yang tertipu adalah orang yang merasa ilmu dan amal lahiriahnya telah mapan, lalu meninggalkan bentuk kemaksiatan lahir, namun mereka lupa akan batin dan hatinya. Mereka tidak menghapuskan sifat tercela dan tidak terpuji dari dalam hatinya, seperti sombong, ria (pamer), dengki, gila pangkat, gila jabatan, gila kehormatan, suka popularitas, dan menjelek-jelekkan kelompok lain.  

2. Golongan Ahli Ibadah

Golongan berikutnya yang tertipu, kata al-Ghazali, adalah golongan ahli ibadah. Mereka tertipu karena shalatnya, bacaan Alqurannya, hajinya, jihadnya, kezuhudannya, amal ibadah sunnahnya, dan lain sebagainya.

Dalam kelompok ini, lanjut al-Ghazali, terdapat pula mereka yang terlalu berlebih-lebihan dalam hal ibadah hingga melewati pemborosan. Misalnya, ragu-ragu dalam berwudu, ragu akan kebersihan air yang digunakan, berpandangan air yang digunakan sudah bercampur dengan air yang tidak suci, banyak najis atau hadas, dan lainnya. Mereka memperberat urusan dalam hal ibadah. Tetapi, meringankan dalam hal yang haram. Misalnya, menggunakan barang yang jelas keharamannya, namun enggan meninggalkannya. 

3. Golongan Hartawan

Dalam kelompok hartawan, ada beberapa kelompok yang tertipu. Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang yang giat membangun masjid, membangun sekolah, tempat penampungan fakir miskin, panti jompo dan anak yatim, jembatan, tangki air, dan semua amalan yang tampak bagi orang banyak. Mereka dengan bangga mencatatkan diri mereka di batu-batu prasasti agar nama mereka dikenang dan peninggalannya dikenang walau sudah meninggal dunia.

Selanjutnya, kelompok hartawan yang tertipu adalah mereka yang memperoleh harta dengan halal, lalu menghindarkan diri dari perbuatan yang haram, kemudian menafkahkannya untuk pembangunan masjid. Padahal, tujuannya adalah untuk pamer (ria) dan sum’ah (mencari perhatian) serta pujian.

Lalu, mereka yang tertipu dalam kelompok ini adalah mereka yang menafkahkan hartanya untuk fakir miskin, penampungan anak yatim, dan panti jompo dengan mengadakan perayaan. 

4. Golongan Ahli Tasawuf

Golongan selanjutnya yang tertipu, kata Imam al-Ghazali, adalah golongan ahli tasawuf. Dan, kebanyakan mereka muncul pada zaman ini. Mereka yang tertipu adalah yang menyerupakan diri mereka dengan cara berpakaian para ahli tasawuf, cara berpikir dan penampilan, perkataan, sopan santun, gaya bahasa, dan tutur kata. Mereka juga tertipu dengan cara bersikap, mendengar, bersuci, shalat, duduk di atas sajadah sambil menundukkan kepala, bersuara rendah ketika berbicara, dan lain sebagainya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kuncinya Hanya Fastabiqul Khoirot !

Kita sering mendengar kajian tentang Fastabiqul Khoirot dalam Al-Qur’an. Kalimat ini adalah slogan Al-Qur’an untuk mengajak umat agar selalu berlomba dalam kebaikan. Tapi tahukah kita, berkenaan dengan apa ayat ini diturunkan? Mari kita simak penjelasan berikut ini !

Kalimat Fastabiqul Khoirot muncul dua kali didalam Al-Qur’an.

Pertama : Ketika menjawab sanggahan-sanggahan yang dibuat oleh kaum Yahudi dan Nasrani berkenaan dengan perubahan kiblat umat Islam.

Allah swt berfirman :

وَلِكُلّٖ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS.Al-Baqarah:148)

Kedua : Ayat ini muncul ditengah perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani tentang posisi Al-Qur’an di antara kitab-kitab sebelumnya.

Allah swt berfirman :
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِۖ فَٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّۚ لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.” (QS.Al-Ma’idah:48)

Dari dua ayat ini dan melihat pada waktu diturunkannya, Allah swt ingin mengisyaratkan agar kaum muslimin menjauhi perdebatan-perdebatan semacam ini dan jangan menghabiskan waktu untuk mengurusi syubhat-syubhat dan fitnah yang dibuat oleh musuh.

Lalu dalam kondisi ini, apa yang dianjurkan oleh Al-Qur’an?

Nah, dalam kondisi semacam ini Al-Qur’an menganjurkan kita untuk Fastabiqul Khoirot (berlomba dalam kebaikan). Jangan terlalu larut dalam perdebatan yang tiada habisnya, tapi tunjukkan keindahan Islam dengan tindakan yang nyata. Kebanyakan manusia tidak melihat salah benarnya suatu keyakinan, tapi yang mereka nilai adalah kebaikan yang dihasilkan oleh keyakinan tersebut.

Ketika kita memberi, berbagi dan berbuat baik, kita tidak akan ditanya apa agama kita. Namun dengan kebaikan itu orang akan penasaran, “Apa yang dia yakini sehingga menjadi pribadi yang baik semacam ini?”

Karena itu jangan sibukkan diri kita untuk melayani perdebatan yang tak ada habisnya. Cukup ikuti saran Al-Qur’an dengan Fastabiqul Khoirot !

Semoga bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Pandangan Imam Syafii tentang Orang Buta Jadi Imam Shalat

Orang buta yang menjadi imam shalat memiliki beberapa kelebihan.

Dalam kitab Al Umm yang membahas tentang bagian shalat, Imam Syafi’i mengutarakan pandangannya tentang seorang buta yang menjadi imam shalat. Bahkan menurutnya, hal tersebut lebih ia sukai karena orang yang buta akan lebih khusyuk dibanding orang yang normal saat shalat.

“Saya (Imam Syafi’i) cenderung menyukai keimaman seorang yang buta. Jika ia telah diarahkan ke kiblat dengan benar, maka ia bisa lebih khusyu’ dibanding orang yang normal, karena ia tidak akan terganggu oleh pemandangan apapun,” kata Imam Syafi’i.

Dalam kitab itu, Imam Syafi’i menyebutkan beberapa kisah yang dijadikan dalil tentang bolehnya imam shalat dari kalangan orang buta. Di antaranya yaitu, tentang kisah sahabat nabi yang buta bernama Utban bin Malik, di mana dia biasa menjadi imam shalat bagi kaumnya.

Suatu hari, Utban berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Rasulullah, belakangan ini sering terjadi gelap, hujan, dan banjir, sedangkan aku orang yang buta. Aku mohon engkau mau shalat di rumahku, agar aku bisa menjadikannya sebagai tempat shalat (mushala),” pinta Utban,

Nabi kemudian mendatangi Utban dan beliau bersabda,” Di bagian mana kamu ingin aku shalat?”. Utban lalu menunjukkan sebuah tempat dan Nabi pun menunaikan shalat di tempat itu.

Imam Syafi’i juga menyebut bahwa sejumlah ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad beberapa kali menunjuk Ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta untuk menggantikannya sebagai imam shalat. Karena, Nabi harus berangkat perang.

KHAZANAH REPUBLIKA

Antara Pakaian Adat dan Pakaian Sunnah

Definisi Pakaian Sunah

Alhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Dalam Syarah Nazom Al Waroqot, Syekh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menejelaskan definisi pakaian Sunah :

وأما ما فعله على سبيل العادة فكلام المؤلف رحمه الله يقتضي أنه مباح، لكن ينبغي ألا نقتصر على الإباحة، فنقول : ما فعله على سبيل العادة، ففعله مستحب، لكن لا بالعين، بل بالجنس .

Perbuatan yang Nabi shallallahu’alaihi wasallam lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka berdasarkan penjelasan penulis (Nazom Al Waroqot), hukumnya mubah.

Namun, baiknya kita tidak membatasi pada hukum mubah saja. Kita katakan, “Perbuatan yang beliau lakukan sebagai adat/kebiasaan, maka melakukannya dianjurkan. Namun, anjuran ini bukan berkaitan dengan bentuk spesifiknya (‘ain), tapi pada jenisnya.”

مثال ذلك: في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام اعتاد الناس أن يلبسوا إزارا ورداء وعمامة في الغالب، فنقول: كون الناس في ذلك الوقت يلبسون هذا اللباس أفضل وأحسن؛ لئلا يشذ الإنسان عن
الناس، ولئلا يكون لباسه شهرة.

Contohnya: Di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, umumnya masyarakat di kala itu biasa memakai sarung, selendang dan imamah (lilitan kain penutup kepala). Maka kita katakan, “Memakai pakaian seperti itu di zaman itu, adalah model pakaian yang paling afdhol dan baik.”

– Supaya orang tidak terlihat kampungan (pent, karena pakaiannya yang tidak seperti lumrahnya masyarakat).

– Dan supaya pakaiannya tidak tergolong pakaian syuhroh (tenar).

لكن لو أردنا أن نطبق ذلك في عهدنا الآن، ونأتي إلى الصلاة، كل واحد منا لابس إزارا ورداء
وعمامة، نقول : هذا شهرة، ليس مستحبا،

Akan tetapi, jika kita ingin menerapkan model pakaian seperti itu, di zaman kita sekarang. Kemudian kita pakai untuk sholat, setiap kita memakai sarung, selendang dan imamah. Kita katakan bahwa ini adalah pakaian syuhroh. Tidak dianjurkan.

فالمستحب أن تلبس ما اعتاده الناس عندنا ، ولهذا كان الصحابة رضي الله عنهم لما فتحوا
البلاد صاروا يلبسون لباس الناس؛ لئلا يكون الإنسان متميزة يشتهر في المجالس، يقولون : فلان كذا.

Yang disunahkan adalah, Anda memakai pakaian yang lumrah dipakai masyarakat di daerah yang kita tinggali. Oleh karena itu, para sahabat Nabi -semoga Allah meridhoi mereka-, ketika berhasil menaklukkan banyak negeri, mereka berpakaian sebagaimana pakaian masyarakat setempat. Supaya seorang tidak tampak menonjol, sehingga membuatnya jadi bahan omongan. Orang-orangpun membicarakannya, “Itu lho si anu…..

ولهذا نهى النبي عن لباس الشهرة, إذا ما فعله على سبيل التعبد فقد تبين حكمه. وما فعله على سبيل الجبلة قلنا: لا حكم له، وما فعله على سبيل العادة قلنا: إنه مستحب، لكن بالجنس، لا بالعين

Oleh karenanya, Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarang memakai pakaian syuhroh.

Jadi kesimpulannya tentang hukum perbuatan Nabi, perbuatan Nabi yang:

– Dilakukan sebagai jibilah / tabi’at (pent, yang dilakukan Nabi dalam kapasitas beliau sebagai manusia, seperti duduk, tidur, berbaring dan berdiri). Dan kita katakan, tidak ada hukumnya.

– Dilakukan sebagai adat/kebiasaan. Kita katakan, hukum meneladaninya sunnah, tapi sunnah yang dimaksud, meneladani pada jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.

(Lihat : Syarah Nazom Al Waroqot, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 149 – 150)
_______

Catatan :

Disebut berpakaian Sunnah, adalah berpakaian mengikuti umumnya pakaian masyarakat yang kita tinggali. Karena:

[1] Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau.

[2] Menghindari pakaian syuhroh.

Pakaian syuhroh adalah, pakaian yang dipandang asing oleh masyarakat di daerah yang kita tinggali. Sehingga dengan memakainya, seorang tampak beda dan menjadi buah bibir masyarakat.

Dalam kamus bahasa Arab Lisanul Arob dijelaskan,

الشهرة ظهور الشيء في شنعة حتى يشهره الناس

Pengertian syuhroh adalah, menonjol dalam kesan yang negatif. Sehingga hal tersebut membuatnya tenar di tengah masyarakat. (Lisanul Arob, 4/498)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhroh. Dijelaskan dalam hadis Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

« من لبس ثوب شهرة ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة »

“Siapa saja yang memakai pakaian syuhroh maka Allah akan memberinya pakaian kehinaan pada hari Kiamat” (HR Abu Daud, dinilai hasan oleh al Mundziri dalam at Targhib).

[3] Definisi pakaian sunnah adalah jenisnya, bukan bentuk spesifiknya.

Jadi yang disunahkan adalah meneladani pada jenis pakaian beliau shallallahu’alaihi wasallam.

Apa jenisnya ?

Jawab: Pakaian sesuai adat masyarakat yang beliau tinggali.

Cara mengetahuinya dengan melihat, motivasi apa Nabi mengenakan pakaian itu. Terjawab bahwa motivasi beliau adalah, mengikuti lumrahnya pakaian di daerah yang beliau tinggali. Ini terbukti dengan larangan beliau memakai pakaian syuhroh.

Bukan pada bentuk spesifiknya (‘ainnya). Sehingga keliru jika dipandang pakaian sunah adalah, memakai imamah, jubah/qomis dll.

Berdasarkan definisi ini, bentuk pakaian sunah itu fleksibel, longgar dan bisa selaras dengan daerah yang kita tinggali dan zaman di mana kita berada.

Demikian…

Wallahua’lam bis showab.

***

Ditulis oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/35790-antara-pakaian-adat-dan-pakaian-sunnah.html