Musuh Kita Adalah Penyakit Bukan Penderitanya

ISLAM rahmatan lil alamin atau Islam rahmat bagi seluruh alam. Adalah Islam yang bisa merangkul semuanya. Memberikan sinarnya bagi setiap umat manusia. Dan muslim adalah penganutnya.

Senantiasa berakhlak karimah dan dekat kepada sesama. Maka yang utama adalah berbagi kebaikan dan bukan menebar kebencian. Mengajak kepada kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Yang menolak kepada kemaksiatan dan bukan menghindar kepada si pelaku perbuatan.

Karena Islam untuk kita semua dan bukan hanya untuk sebagian. Bagaimana bisa orang mengerti indahnya Islam, jika kita tolak mereka sebelum masuk ke dalam?

Terinspirasi dari perkataan Ustadz Salim A, Fillah bahwa,

“Bencilah maksiat, tapi sayangi pendosanya. Kritiklah pernyataan, tapi muliakan penyampainya. Musuh kita adalah penyakit, dan bukan penderitanya.”

Sehingga inilah akhlak muslim seharusnya. Mengetahui mana yang lebih utama. Walau sampai hari ini dari kita masih banyak yang lupa, akan tetapi tetaplah berusaha untuk memperbaikinya. Menjadi muslim yang lebih baik serta peduli kepada manusia yang lainnya. [inspirasi-islami]

INILAH MOZAIK

Nasehat Guru: Apa yang Harus Dijaga di Bulan Rajab

SEJAK hari kemarin kita memasuki bulan Rajab, bulan penuh kemuliaan dan keistimewaan. Apa yang harus kita lakukan? Banyak sudah bahasan menjawab pertanyaan itu. Kali ini saya ingin berbagi dawuh guru hati saya, Habib Umar bin Hafidz Yaman.

Beliau berkata begini: “Hati-hatilah kalian jangan sampai masuk bulan Rajab dalam keadaan sementara silaturrahim kita dengan keluarga ada yang terputus…”

“Hati-hatilah kalian jangan sampai kalian menjalani malam-malam di bulan Rajab ini, sementara salah seorang diantara kalian membuat sedih hati kedua orang tuanya, setelah tahu wasiat Allah Pencipta Alam menyuruh kita berkenaan dengan kedua orang tua dengan firmanNya: “agar bersyukur kepadaKu dan kedua orang tuamu.”

Singkat taushiyah di atas, namun dalam maknanya. Memperbaiki hati kita memasuki bulan baik adalah kebaikan yang akan berbuah kebaikan yang lain. Hati-hati dengan hati kita, karena dari hati itulah sikap dan ucapan kita lahir ke permukaan. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Tak Ada yang Terlalu Buruk untuk Memulai Hal Baik

KEBAIKAN bisa dilakukan oleh siapa saja. Tanpa memandang orang itu bagaimana. Kebaikan bisa dilakukan kapan saja. Tanpa khawatir akan waktu yang tepat untuk melakukannya. Kebaikan bisa dilakukan di mana saja. Tanpa bimbang akan tempat yang bagus untuk mempertahankannya.

Tidak ada yang terlalu buruk tuk memulai hal baik. Sehingga seburuk apapun manusia, tetap berhak untuk melakukan perintah-Nya. Yaitu melakukan hal baik kepada sesama. Seburuk apapun keadaan, tetap berusaha untuk terus melakukan kebaikan. Karena sekecil apapun kebaikan, Allah pasti memberi ganjaran.

Tidak ada yang terlalu baik tuk berhenti dari berkebaikan. Karena kebaikan itu mulia. Dampaknya bisa selamanya. Membuat pelaku dan sekitarnya bahagia. Lalu mengapa berhenti darinya?

Jangan sampai pikiran ini terlintas pada kita. Semoga dalam hal kebaikan, kita senantiasa diberi semangat untuk berusaha. Karena kebaikan pula, berkah dan rahmat Allah turun tak terhingga.

[inspirasi-islami]

INILAH MOZAIK

Jika Azan dan Iqamah Salah, Bagaimana Salatnya?

KETIKA adzan salah, hingga bernilai batal sebagai adzan, bagaimana dengan shalat wajib yang dikerjakan?

Diantara syarat sah shalat adalah masuknya waktu shalat. Sementara adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Adzan dikumandangkan sebagai pengumuman masuknya waktu shalat, dan bukan batas masuknya waktu shalat. Misalnya,

Terbitnya fajar shadiq adalah tanda masuknya waktu shalat subuh. Ketika itu, disyariatkan melakukan adzan subuh sebagai pengumuman akan masuknya waktu subuh. Karena itu, adzan bukan termasuk syarat sah shalat. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mengenai hukum adzan sebelum shalat wajib.

Ini sebagaimana hubungan antara jumatan dengan mandi jumat. Mandi jumat hukumnya wajib menurut sebagian ulama. Namun jumatan tetap sah, meskipun belum mandi wajib.

Ibnu Qudamah mengatakan,

“Jika ada orang yang shalat tanpa adzan dan iqamah, shalatnya sah, baik menurut pendapat yang mengatakan adzan itu wajib atau adzan itu sunah. Berdasarkan riwayat dari Alqamah dan al-Aswad, bahwa mereka pernah bercerita, Kami pernah menemui Abdullah bin Masud. Lalu beliau mengimami kami, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Diriwayatkan al-Atsram. Dan saya tidak mengetahui adanya seorangpun ulama yang berbeda pendapatnya dalam masalah ini, selain Atha.” (al-Mughni, 1/250).

Kesimpulannya, boleh shalat wajib tanpa adzan.

Demikian, Allahu alam. [Ustadz Ammi Nur Baits]

Larangan Keluar dari Masjid setelah Adzan Dikumandangkan

Salah Satu Adab Ketika di Masjid

Salah satu adab yang perlu diperhatikan ketika di masjid adalah tidak keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan, kecuali jika ada udzur. Hal ini karena tindakan keluar dari masjid itu bertentangan dengan seruan adzan untuk mendatangi masjid dalam rangka mendirikan shalat berjamaah. Selain itu, keluar dari masjid juga akan menyebabkan lalai dan terlambat dari shalat jamaah,

Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا سَمِعَ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ أَحَالَ لَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ صَوْتَهُ. فَإِذَا سَكَتَ رَجَعَ فَوَسْوَسَ فَإِذَا سَمِعَ الْإِقَامَةَ ذَهَبَ حَتَّى لَا يَسْمَعَ صَوْتَهُ فَإِذَا سَكَتَ رَجَعَ فَوَسْوَسَ

“Sesungguhnya setan, apabila mendengar adzan untuk shalat, dia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengar adzan lagi. Ketika adzan telah berhenti, dia kembali dan mengganggu. Apabila mendengar iqamat, dia pergi sampai tidak mendengarnya. Ketika iqamat telah berhenti, dia kembali dan mengganggu.” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 389. Lafadz hadits di atas milik Muslim.)

Ibnu Bathal rahimahullah berkata,

“Larangan agar seseorang tidak keluar dari masjid setelah muadzin mengumandangkan adzan itu mirip dengan masalah ini. Yaitu, agar seseorang tidak menyerupai (tasyabbuh) dengan setan yang lari ketika mendengar adzan. Wallahu a’lam.” (Syarh Ibnu Bathal, 2: 235)

Diriwayatkan dari Abu Sya’tsa’, beliau berkata,

كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «أَمَّا هَذَا، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Kami tengah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Ketika seorang mu’adzin mengumandangkan adzan, seseorang berdiri meninggalkan masjid sambil berjalan. Abu Hurairah terus mengawasinya hingga laki-laki tersebut keluar dari masjid. Abu Hurairah lalu berkata, “Orang ini telah membangkang (durhaka) kepada Abul Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 655)

Perkataan di atas, meskipun diucapkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, namun status hukumnya adalah berasal dari syariat (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Hal ini karena para sahabat Nabi tidak akan berani menegaskan suatu perbuatan itu bernilai ketaatan atau kemaksiatan (kedurhakaan), kecuali jika memang sahabat tersebut memiliki ilmu yang didapatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Keluar Masjid saat Adzan, Ciri Orang Munafik

Diriwayatkan juga dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَسْمَعُ النِّدَاءَ فِي مَسْجِدِي هَذَا ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْهُ، إِلَّا لِحَاجَةٍ، ثُمَّ لَا يَرْجِعُ إِلَيْهِ إِلَّا مُنَافِقٌ

“Tidaklah seseorang mendengar adzan di masjidku ini, kemudian keluar dari masjid kecuali ada hajat (kebutuhan), kemudian dia tidak kembali, melainkan dia adalah seorang munafik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Ausath 4: 149. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhiib, 1: 179)

Juga diriwayatkan dari sahabt ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَهُ الْأَذَانُ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ خَرَجَ، لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ، وَهُوَ لَا يُرِيدُ الرَّجْعَةَ، فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Siapa saja yang menjumpai (mendengar) adzan di masjid, kemudian dia keluar. Dia tidak keluar karena ada hajat dan juga tidak berniat kembali, maka dia adalah seorang munafik.” (HR. Ibnu Majah no. 734, shahih)

Maksudnya, perbuatan tersebut adalah perbuatan orang munafik. Karena orang mukmin tulen, tidak selayaknya berbuat demikian. Kemunafikan di sini adalah nifaq ‘amali yang tidak menyebabkan batalnya iman, dan bukan nifaq i’tiqadi. 

Boleh Keluar Masjid Jika Ada Hajat

At-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits dari Abu Hurairah di atas,

وَعَلَى هَذَا العَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ: أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنَ المَسْجِدِ بَعْدَ الأَذَانِ، إِلَّا مِنْ عُذْرٍ: أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ، أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

“Inilah yang diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sesudah mereka. Yaitu agar seseorang tidak keluar dari masjid setelah adzan, kecuali karena ada udzur. Misalnya karena dia belum berwudhu atau adanya perkara yang harus dia kerjakan.” (Jaami’ At-Tirmidzi, 1: 398)

Jika ada hajat (kebutuhan), maka diperbolehkan keluar dari masjid

Adapun jika hajat (kebutuhan) untuk keluar dari masjid, misalnya untuk mengambil air wudhu, maka diperbolehkan. Dalil dalam masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَقُمْنَا، فَعَدَّلْنَا الصُّفُوفَ، قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ” فَأَتَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا قَامَ فِي مُصَلَّاهُ قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ، ذَكَرَ فَانْصَرَفَ، وَقَالَ لَنَا: مَكَانَكُمْ، فَلَمْ نَزَلْ قِيَامًا نَنْتَظِرُهُ حَتَّى خَرَجَ إِلَيْنَا، وَقَدِ اغْتَسَلَ يَنْطُفُ رَأْسُهُ مَاءً، فَكَبَّرَ فَصَلَّى بِنَا

“Ketika iqamat dikumandangkan, maka kami berdiri dan meluruskan shaff sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Tidak lama kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, hingga beliau berdiri di tempat shalatnya. Sebelum bertakbir, beliau ingat sesuatu, lalu beliau pergi seraya berujar, “Tetaplah kalian berada di posisi kalian.” 

Maka kami terus berdiri menunggu beliau hingga beliau muncul kembali. Rupanya beliau mandi dan masih terlihat di kepalanya meneteskan air. Beliau pun bertakbir dan mengimami shalat.” (HR. Bukhari no. 639 dan Muslim no. 605)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52129-keluar-masjid-setelah-adzan.html

Membawa Anak ke Masjid

Tugas orangtua mengenalkan anak ke masjid.

Saat melaksanakan ibadah shalat di masjid, sering diawali dengan imbauan mematikan alat komunikasi atau mengondisikan bagi jamaah yang membawa anak. Harapannya agar pelaksanaan ibadah shalat bisa khusyuk tanpa terganggu suara-suara dari alat komunikasi atau anak-anak. 

Bahkan, tak jarang beberapa pengurus masjid memarahi anak-anak yang masih gaduh dan membuat ramai jelang pelaksanaan shalat. Yang lebih mengagetkan lagi ada beberapa masjid yang secara terang melarang jamaah membawa anak-anak saat ibadah shalat. Lalu, apakah anak-anak tidak boleh dibawa ke masjid? Apa manfaat dan mudharat jika mereka yang belum baligh turut serta dibawa ke masjid?

Secara syara tidak ada larangan membawa anak kecil ke masjid, bahkan hal itu dianjurkan jika usia mereka mencapai mumayyiz.

Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah mengatakan meski shalat belum diwajibkan bagi anak-anak namun walinya harus mengenalkan shalat kepada mereka. Terlebih, jika usia mereka mencapai tujuh tahun. Dalam beberapa riwayat, jika mencapai sepuluh tahun dan tidak shalat, anak-anak boleh dipukul. Tujuannya, ujar Sayyid Sabiq, agar ia terlatih beribadah dan sudah terbiasa saat baligh nanti.

Dalam sebuah hadis dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda. “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah dia jika usianya mencapai sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka saat tidur.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Hakim)

Bahkan dalam kitabnya, Sayyid Sabiq mengetengahkan hadis yang membolehkannya menggendong anak kecil saat shalat. Seperti, saat Rasulullah SAW menggendong cucunya, Umamah binti Zainab, saat shalat Subuh dan meletakkan cucunya itu kala rukuk dan sujud. Ibnu Hajar dalam Fatul Bari menegaskan bahwa hadis tersebut menjadi dalil diperbolehkannya anak-anak ikut shalat di masjid.

Anjuran membiasakan shalat bagi anak-anak disunahkan dalam shalat jamaah, termasuk di masjid. Hal ini didasarkan pada hadis tentang letak saf shalat bagi anak-anak. Dalam hadis tersebut Rasulullah SAW melakukan shalat di rumah Abu Thalhah dengan memosisikan Anas (yang saat itu masih kecil) dan seorang anak yatim di belakang beliau. Sedangkan, Ummu Sulaim di belakang kedua anak tersebut. 

Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah SAW shalat dengan Anas dan menempatkannya di sebelah kanan Beliau. Beliau juga shalat dengan Ibnu Abbas dan menempatkannya di sebelah kanan. Berdasarkan hadis ini, Syekh al-Albani membolehkan saf anak-anak seperti halnya saf orang dewasa jika tempatnya mencukupi.

Saat mengimami para sahabat, Rasulullah pun membawa cucunya yang kala itu masih kecil, Hasan dan Husein. Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Syaddad dari ayahnya dia berkata, “Pada suatu shalat Rasulullah keluar. Beliau membawa Hasan atau Husein, kemudian meletakkan anak itu di depan saat akan shalat kemudian bertakbir. Namun, saat sujud, beliau cukup lama. Lalu, aku mengangkat kepala dan melihat anak itu di atas punggung Rasulullah SAW.” Selesai shalat, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang menyebabkan engkau sujud begitu lama, kami menyangka engka menerima wahyu.”

Rasulullah SAW bersabda, “Bukan, hanya saja cucuku ini naik ke punggungku. Dan aku tidak menurunkannya dengan segera hingga dia merasa puas. (HR Ahmad, Nasai, dan Hakim).

Anak-anak jika sudah berada di masjid dan mengisi saf terdepan juga tidak boleh dilarang. Hadis “Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang-orang dewasa dan berilmu di antara kalian,” menurut penjelasan Syekh Shalih al-Utsaimin, adalah anjuran agar orang dewasa dan berilmu maju mendekati Rasulullah (imam). Hadis tersebut juga bukan larangan, melainkan hanya anjuran. 

Bahkan, jika anak-anak dikumpulkan dalam saf tersendiri di paling belakang, mereka akan membuat keributan dan mengganggu jalannya shalat. Jika kehadiran anak tersebut membuat ribut, Syekh Utsaimin melarang membawa anak-anak ke masjid. Wali atau orang tua yang anak-anaknya ribut di masjid hendaknya membawa anak tersebut pulang. Jika orang tuanya tidak mengetahui anak-anaknya berbuat ribut, hendaknya anak tersebut dikeluarkan dan dinasihati dengan halus dan tidak menghardik.

KHAZANAH REPUBLIKA

Fikih Ringkas Membawa Anak Ke Masjid

Setiap orang tua, tentunya menginginkan anaknya menjadi anak yang shalih dan penyejuk pandangan orang tuanya. Diantara upaya yang mereka lakukan adalah mengajarkan ibadah shalat kepada anaknya. Termasuk mengajarkan anak-anak untuk shalat di masjid. Namun perlu di ketahui bahwa membawa anak-anak ke masjid pun ada fikih yang perlu dipahami. Silakan simak paparan singkat ini.

1.Membawa Anak ke Masjid Hukum Asalnya Dibolehkan

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam, anak-anak hadir di masjid.

Dari Abdullah bin Buraidah radhiallahu ’anhu, ia berkata:

: خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأقبل الحسن والحسين رضي الله عنهما عليهما قميصان أحمران يعثران ويقومان، فنزل فأخذهما فصعد بهما المنبر، ثم قال: “صدق الله، إنما أموالكم وأولادكم فتنة، رأيت هذين فلم أصبر”، ثم أخذ في الخطبة

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Lalu Hasan dan Husain radhiallahu ’anhuma datang ke masjid dengan memakai gamis berwarna merah, berjalan dengan sempoyongan jatuh bangun (karena masih kecil). Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar masjid dan menggendong kedua cucu tersebut, dan membawanya naik ke mimbar. Lalu beliau bersabda, “Maha Benar Allah, bahwa harta dan anak-anak itu adalah fitnah (ujian), aku melihat kedua cucuku ini aku tidak bisa bersabar”. Lalu Rasulullah kembali melanjutkan khutbahnya” (HR. Abu Daud no. 1109, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Dari Abu Qatadah radhiallahu ’anhu, ia berkata:

رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمامة بنت العاص -ابنة زينب بنت الرسول صلى الله عليه وسلم- على عاتقه، فإذا ركع وضعها وإذا رفع من السجود أعادها

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah bintu al Ash, putrinya Zainab bintu Rasulullah, di pundak beliau. Apabila beliau shalat maka ketika rukuk, Rasulullah meletakkan Umamah di lantai, dan apabila bangun dari sujud maka beliau kembali menggendong Umamah” (HR. Bukhari no. 516, Muslim no. 543).

Dan dalil-dalil yang lain.

2.Membawa Anak ke Masjid Hendaknya Diniatkan untuk Melatih Shalat

Dari kakeknya Amr bin Syu’aib, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika usianya 7 tahun. Dan pukullah mereka ketika usianya 10 tahun. Dan pisahkanlah tempat tidurnya” (HR. Abu Daud no. 495, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan:

يستحب بل يشرع الذهاب بالأولاد إلى المساجد إذا بلغ الولد سبعًا فأعلى، ويضرب عليها إذا بلغ عشرًا؛ لأنه بذلك يتأهل للصلاة ويعلم الصلاة حتى إذا بلغ فإذا هو قد عرف الصلاة واعتادها مع إخوانه المسلمين

“Dianjurkan bahkan disyariatkan untuk membawa anak-anak ke masjid, jiak usia mereka 7 tahun atau lebih. Dan boleh dipukul jika usianya 10 tahun. Karena dengan membawanya ke masjid, ia akan terbiasa shalat dan mengetahui cara shalat. Sehingga ketika ia baligh, ia sudah paham cara shalat dan terbiasa shalat bersama saudaranya dari kaum Muslimin” (https://binbaz.org.sa/fatwas/12952).

3.Membawa Anak ke Masjid Tidak Diperbolehkan Jika Bisa Menimbulkan Gangguan

Semua bentuk gangguan terhadap shalat harus dihilangkan dan dihindari. Karena itu berasal dari setan. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat” (QS. Al Maidah: 91).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُصُّوا صُفُوفَكُمْ ، وَقَارِبُوا بَيْنَهَا ، وَحَاذُوا بِالأعْنَاقِ؛ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ ، كَأَنَّهَا الحَذَفُ

“Rapatkanlah shaf-shaf kalian! Dekatkanlah di antara shaf-shaf tersebut! Sejajarkan leher-leher. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat setan masuk dari celah shaf, seakan-akan setan itu anak-anak kambing” (HR. Abu Daud no. 667, An Nasa-i no. 815, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Maka termasuk juga gangguan dari anak-anak, harus dihindari dan dihilangkan. 

Para ulama mengatakan, anak-anak yang memiliki sifat-sifat berikut ini tidak boleh di bawa ke masjid:

  • Belum bisa diatur dan dipahamkan
  • Melakuan al ‘abats (bermain-main) ketika shalat
  • Bersuara dan menimbulkan tasywisy (kebisingan)
  • Terlalu kecil, semisal masih balita

Imam Malik rahimahullah ditanya tentang membawa anak ke masjid, beliau menjawab:

إن كان لا يعبث لصغره ويكف إذا نُهي فلا أرى بهذا بأسا , قال : وإن كان يعبث لصغره فلا أرى أن يؤتى به إلى المسجد

“Jika ia tidak melakukan al ‘abats (main-main) karena masih kecil, dan jika dilarang ia akan berhenti, maka tidak mengapa di bawa ke masjid. Namun jika melakukan al ‘abats (main-main) karena masih terlalu kecil, maka menurut saya tidak boleh di bawa ke masjid” (Al Mudawwanah, 1/195).

Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

وإذا كانوا هؤلاء الأطفال الذين في الرابعة لا يحسنون الصلاة فلا ينبغي له أن يأتي بهم في المسجد اللهم إلا عند الضرورة

“Jika anak-anak tersebut baru 4 tahun (atau kurang) dan mereka tidak bisa shalat dengan baik, maka hendaknya jangan di bawa ke masjid. Kecuali ketika darurat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan:

أما الأطفال الذين دون السبع فالأولى ألا يذهب بهم؛ لأنهم قد يضايقون الجماعة ويشوشون على الجماعة ويلعبون فالأولى عدم الذهاب بهم إلى المسجد؛ لأنه لا تشرع لهم الصلاة

“Adapun anak-anak yang di bawah 7 tahun maka lebih utama tidak di bawa ke masjid, karena mereka bisa mengganggu jama’ah dan membuat kebisingan terhadap jama’ah, serta main-main. Lebih utama tidak membawa mereka ke masjid. Karena mereka pun belum disyariatkan untuk ke masjid” (https://binbaz.org.sa/fatwas/12952).

4.Ketika Anak-Anak Belum Layak di Bawa ke Masjid, Silakan Ajarkan Shalat di Rumah

Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:

وإذا كان يحدث من الأطفال صياح وركض في المسجد، وحركات تشوش على المصلين، فإنه لا يحل لأوليائهم إحضارهم في المساجد، فإن أحضروهم في هذه الحال أمروا بالخروج بهم، وتبقى أمهاتهم معهم في البيوت وبيت المرأة خير لها من حضورها إلى المسجد

“Jika anak-anak teriak-teriak di masjid, atau banyak bergerak yang membuat bising orang-orang yang shalat, maka tidak halal bagi para walinya untuk membawa mereka ke masjid. Jika ini terjadi, maka mereka (para wali) diperintahkan untuk mengeluarkan anak-anak mereka dari masjid (dengan membatalkan shalat) dan menyerahkan anak-anak mereka kepada ibunya untuk shalat di rumah bersama ibunya. Dan wanita lebih utama shalat di rumah” (Majmu’ Al Fatawa war Rasail, 13/18).

5.Jika Membawa Anak-Anak ke Masjid, Posisikan di Sebelah Anda Ketika Shalat

Tujuannya agar anda bisa memberikan peringatan kepada anak-anak ketika mereka berulah. Yaitu dengan isyarat tangan atau gerakan-gerakan yang sedikit sehingga mereka paham bahwa mereka diminta untuk tenang. Gerakan-gerakan ini tidak membatalkan shalat.

Syaikh Abdul Mushin Al Abbad mengatakan: “Gerakan yang memang dibutuhkan itu tidak mengapa. Semisal yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menggeser Jabir dari sisi kiri ke sisi kanan (ketika shalat jama’ah), lalu mengeser orang yang datang berikutnya hingga persis di belakang beliau. Ini gerakan yang beliau lakukan ketika shalat, dan tidak mengapa melakukannya.

Dan tidak ada batasan tertentu dalam hal ini, semisal perkataan seseorang: ‘jika melakukan hal begini atau begitu maka shalat batal’. Akan tetapi kaidahnya adalah gerakan yang banyak sekali dan membuat ia tidak fokus dalam shalatnya, maka inilah yang membatalkan shalat. Karena jika ini terjadi maknanya orang yang shalat tadi tidaklah tenang dalam shalatnya. Adapun pembatasan dengan 3 gerakan, sebagaimana dikatakan sebagian ulama, maka ini tidak didasari dalil” (Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33069).

6.Anak-Anak Boleh di Shaf Depan, dan Tidak Boleh Sembarang Memundurkannya

Jika anak-anak diposisikan di sebelah orang tuanya, maka apakah berarti orangtuanya tersebut tidak bisa mendapat shaf terdepan?

Yang rajih –wallahu a’lam– , siapa yang pertama mendapatkan saf terdepan, dialah yang berhak. Maka jika anak-anak sudah mendapatkan shaf pertama, tidak boleh memindahkannya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan:

إنَّ الصِّبْيَانَ إِذَا تَقَدَّمُوْا إِلَى مَكَانٍ ، فَهُمْ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ؛ لِعُمُوْمِ الْأَدِلَّةِ

“Anak kecil jika ia mendapatkan tempat paling depan, maka ia yang lebih berhak dari yang lainnya, berdasarkan keumuman dalil-dalil.” (Asy-Syarhul Mumthi’, 3/4)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz mengatakan:

الْأَصَحُّ أَنهُمْ – أَيْ الصِّبْيَانِ – إِذَا تَقَدَّمُوْا لَا يَجُوْزُ تَأْخِيْرُهُمْ

“Yang rajih, anak kecil jika mendapatkan tempat terdepan maka tidak boleh memundurkannya.”

Beliau juga mengatakan:

وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لِيَلِنِيْ مِنْكُمْ أُوْلُوْا الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ) ، فَالْمُرَادُ بِهِ التَّحْرِيْضُ عَلَى الْمُسَارِعَةِ إِلَى الصَّلَاة ِمِنْ ذَوِي الْأَحْلَام ِوَالنُّهَى وَأَنْ يَكُوْنُوْا فِيْ مُقَدِّمِ النَّاسِ ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ تَأْخِيْرَ مَنْ سَبَقَهُمْ مِنْ أَجْلِهِمْ

“Adapun sabda Nabi [Hendaknya yang ada di sekitarku (ketika shalat) adalah orang yang sudah dewasa dan memiliki kepandaian] maksudnya motivasi kepada orang yang dewasa dan memiliki ilmu agama untuk bersegera menempati saf terdepan. Namun, bukan berarti boleh memindahkan orang yang sudah mendahului mereka.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/400)

7.Keberadaan Anak Kecil Tidak Memutus Shaf

Syaikh Ibnu Baz mengatakan:

فلو وجد مع أبيه لا يقطع الصف لا حرج إن شاء الله كاللبنة بين الصفين أو العمود بين الصفين لا يضر

“Andaikan anak-anak bersama ayahnya di shaf, maka ia tidak memutus shaf, dan tidak mengapa insyaAllah. Ini seperti ada penghalang antara dua shaf atau adanya tiang di antara dua shaf, ini tidak merusak (keabsahan shalat)” (https://binbaz.org.sa/old/38848).

Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54818-fikih-ringkas-membawa-anak-ke-masjid.html

Bolehkan Membawa Anak Kecil Ke Masjid?

Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)

PertamaAnak yang sudah mencapai usia tamyiz

Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya untuk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan untuk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين. وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها

“Perintahkanlah anak untuk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, dan jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tidak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dinilai shahih al-Albani)

Hadis ini menunjukkan dua hal penting:

a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat untuk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat untuk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, dan mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat dan rukun shalat. Ini berlaku, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.

b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak untuk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut untuk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah dan ketergantungan hati pada masjid.

Keduaanak yang belum tamyiz

Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah

1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن ربيعة بن عبد شمس، فإذا سجد وضعها وإذا قام حملها

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”

Dalam lafadz yang lain:

رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يؤم الناس، وأمامة بنت أبي العاص على عاتقه

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting

a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, dan boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.

b. Pakaian bayi dan badannya itu suci, selama tidak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tidak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tidak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tidak meyakinkan.

2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:

نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ

Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)

Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:

a. Bolehnya mengajak anak ke masjid dan mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita dan anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dengan makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tidak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita dan anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… dan keterlibatan mereka dalam shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, dan shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.

b. Lafadz ‘shibyan’ (arab: الصبيان ) pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.

Catatan:

Pertama, tidak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf

Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tidak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah

a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:

نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يقيم الرجل أخاه من مقعده ويجلس فيه

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini merupakan larangan tegas untuk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dalam hukum ini.

Al-Qurthubi mengatakan:

Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak untuk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak untuk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tidak boleh menghalangi dirinya untuk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)

b. Mengizinkan mereka untuk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka untuk tetap shalat dan datang ke masjid.

Berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tidak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat dan menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim untuk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)

Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dengan dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tidak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)

Bagaimana dengan hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

ليلني منكم أولو الأحلام والنهى، ثم الذين يلونـهم، ثم الذين يلونـهم

“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)

Hadis ini tidaklah melarang untuk menempati shaf pertama dan memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) untuk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil untuk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)

Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid

Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh masuk masjid, berdalil dengan hadis:

جنبوا مساجدكم صبيانكم

“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”

Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah dan at-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:

Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”

Nasa’i dan Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”

Ibnu Main memberikan komentar untuk orang ini dengan mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tidak ditulis.”

Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dalam al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tidak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).

Ketiga, dibolehkan membuat shaf dengan anak kecil

Seseorang tidak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya untuk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud dan dinilai shahih al-Albani)

Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan untuk membuat shaf dengan anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

أن جدته مليكة – رضي الله عنها – دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته، فأكل منه، فقال: قوموا فلأصل بكم ، فقمت إلى حصير لنا قد اسودّ من طول ما لبث فنضحته بماء، فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم واليتيم معي، والعجوز من ورائنا، فصلى بنا ركعتين

Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian untuk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, dan aku perciki dengan air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), dan wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dengan anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya dan dia belum baligh.

Allahu a’lam

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/2489-bolehkan-membawa-anak-kecil-ke-masjid.html

Ikhlaskan Niat Selamatkan Diri

IBARAT perjalanan, tidak selamanya yang dilewati itu jalan yang lurus. Di tengah jalan kadang ada belokan atau menanjak dan sedikit terjal.

Bahkan mungkin adakalanya  melewati tikungan tajam yang butuh konsentrasi dan kehati-hatian dalam berkendara.

Demikian pula seorang Mukmin dalam meniti satu kebaikan. Orang itu dituntut mampu mengemudi dan menata hatinya. Ada rambu-rambu yang harus awas diperhatikan mulai dari awal hingga akhir perbuatan. Apakah sudah sejalan dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya?

Bagaimana menata hati agar tidak mengembang sembari menganggap orang lain lebih kecil hanya karena ia sudah  berprestasi.

Karena amal yang diterima Allah sejatinya hanya yang memang diperuntukkan untuk-Nya semata.

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh serta kemolekan wajahmu, tetapi Allah melihat keikhlasan hatimu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Rasa bangga dan senang ketika bertabur pujian adalah rasa manusiawi yang kadang hadir dan dianggap wajar, tetapi menjaga hati adalah sesuatu yang mutlak.

Bercermin pada orang-orang shaleh terdahulu, sebisa mungkin mereka menyembunyikan amalan-amalan baiknya dari pandangan manusia agar terjaga keikhlasannya.

Jakfar ash-Shadiq berkata:  Mereka yang menyembunyikan amalan baiknya sebagaimana dia bersemangat menyembunyikan aib dan kekurangannya.

Jakfar juga pernah berpesan, tidak sempurna suatu amal baik kecuali dengan tiga perkara. Yakni menyegerakan, menganggapnya kecil dan menyembunyikannya.

Ikhlas adalah amalan yang diusahakan sekaligus pemberian dari Allah. Beruntunglah orang beriman yang setiap aktifitasnya bernilai ibadah dan bisa menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena disertai dengan niat ikhlas.

Tersebab niat itu pula Allah menimbang amalan manusia, diterima atau tertolak kelak.

Al-Baidhawi  berkata: Amal ibadah tidak akan sah kecuali diiringi dengan niat. Karena niat tanpa amal diberi pahala, sedangkan amal tanpa niat adalah sia-sia.

Perumpamaan niat bagi amal itu seperti ruh  bagi jasad. Jasad tidak akan berfungsi jika tidak ada ruh dan ruh pun tidak akan tampak tanpa jasad.

Lebih jauh, Ibnu Hajar al-Atsqalani  menyebutkan dalam kitabnya ”Nashaihul Ibad” bahwa amal itu harus disertai dengan niat yang ikhlas. Tanpa niat yang ikhlas, amal seseorang tidak akan diterima meskipun banyak. Tapi dengan ikhlash, kendatipun sedikit akan besar timbangannya dihadapan Allah.

Terkadang ada sebagian orang mengatakan akan berinfak atau mendermakan hartanya ketika sudah merasa ikhlas, menghitung dan mengurangi kembali karena merasa belum ikhlas.

Padahal ikhlas itu tidak hadir serta merta tetapi  karena diusahakan dari awal yang dimulai dengan niat di hati, ketika menjalani proses dan sesudahnya.

Meminjam perkataan Salim A Fillah, bahwa menjadi ikhlas itu adalah runtutan perjalanan yang tak kenal henti dan terus mengaca diri serta berbenah hingga maut menjemput.

Kekhawatiran akan rasa ketidakikhlasan itu mestinya menambah semangat untuk berbuat lebih dan lebih baik lagi, karena keikhlasan itu adalah refleksi dari bersitan niat yang dapat diusahakan.

Firman Allah:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka memurnikan peribadatan hanya kepada Allah semata, yaitu agamanya yang lurus. Supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, itulah agama yang lurus.” (QS: Al-Bayyinah: 5).

Terkait ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan wajibnya mengikhlaskan niat karena Allah dalam semua ibadah. Karena ini adalah amalan hati yang hanya ditujukan kepada Allah bukan kepada selainnya.

Pahalamu sesuai dengan kadar lelahmu. Demikian pesan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam kepada Ummu al-Mukminan, Aisyah.

Bahwa sebaik apa pun dan sebanyak apa pun amal shaleh yang kita lakukan bila tidak diniatkan karena Allah maka hanya kerugian saja yang didapatkan nanti.

Seperti halnya orang yang berpuasa bukan karena Allah maka lapar dan haus saja yang bakal diterima orang tersebut.

Alih-alih mendapat untung berupa pahala berlipat, ia justru bisa celaka karena perbuatannya sendiri. Hati yang ikhlas adalah sebab diri bisa selamat.

*/ SholehahPengajar STIS Balikpapan, anggota komunitas menulis PENA

HIDAYATULLAH



Beramal dengan Ikhlas Tanpa Syarat!

SETIAP amal perbuatan baik yang kita lakukan akan memperoleh imbalan sesuai dengan tingkat kesulitannya. Semakin berat amalan itu untuk dilakukan maka pahalanyapun semakin besar. Karena pada sejatinya, saat kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wata’ala, saat itu pulalah kita sedang melakukan pertempuran yang maha dahsyat dengan menghadapi hawa nafsu.

Hawa nafsu adalah musuh yang amat berbahaya, selain karena dia tidak tampak saat menyerang. Dan hawa nafsu memiliki ribuan cara untuk mengelabuhi kita agar terperosok dalam hasutannya, bahkan terkadang dia mengelabuhi kita dengan asupan pahala yang justru kemudian untuk menyesatkan kita.

Dalam menyikapi tentang bahaya hawa nafsu ini Amirul Mukminm Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah nya berkata: “Sesungguhnya yang paling aku kuatirkan pada kalian adalah dua hal, yaitu taat hawa nafsu dan angan-angan panjang.”

Dan Allah pun memberi peringatan bagi kita tentang bahaya hawa nafsu dan konsekuensi bagi mereka yang terjebak dalam perangkap. Allah berfirman;

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِي

“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS:Al-Qashas:50].

Melihat sifatnya seperti itu, maka tidak ada cara lain kecuali melawan dengan keras hawa nafsu.

Pertanyaannya, kenapa hawa nafsu harus dilawan?

Pertanyaan seperti ini memang jarang terdengar di telinga kita namun sesungguhnya amat penting untuk dijawab. Di antara alasannya adalah karena hawa nafsu itu datang dengan tujuan untuk menjauhkan hamba dengan Tuhannya, memisahkan perbuatan baik dari hakikatnya, menyamarkan sesuatu yang keji dengan topeng kebaikan, dan bahkan menyamarkan nurani dengana logika. Itulah alasannya, kenapa Allah selalu menyebut hawa nafsu sebagai suatu yang nista dalam Al-Quran.

Diakui atau tidak, melawan hawa nafsu memang amat berat, bahkabn lebih berat daripada berperang melawan orang kafir di medan laga, begitulah Rosulullah menyampaikan kepada salah satu sahabatnya.

Namun meski demikian, merupakan kewajiban kita sebagai seorang hamba untuk selalu waspada agar setiap amal baik kita diterima oleh Allah. Karena seperti apapun jenis amal baik kita jika didalam nya ada unsur nafsu yang terkadang merasuk dan bahkan mengganggu terhadap kemurnian ibadah kita maka amal baik itu tak ubahnya menulis diatas kertas hitam dengan menggunakan tinta yang berwarna hitam pula. Hawa nafsu datang dengan mengotori keikhlasan niat kita beramal baik, mengundang riya, sum’ah, takabbur dan seterusnya. Apa yang dihasilkan dari ibadah seperti itu? Tak ada lain terkecuali rasa capek.

Selanjutnya, dalam upaya melawan keberingasan nafsu ammaroh yang setiap kali datang mencampuri seriap perbuatan kita dalam segala aspek, kita dituntut untuk memurnikan niat kita dalam beribadah karena Allah, dalam Artian mengupayakan segala bentuk perbuatan sepnuh jiwa dan raga semata mata karena Allah. Dan inilah hakikat ibadah yang sebenarnya, yaitu saat seorang hamba mampu merefresentasikan amal baiknya dengan niat yang sebenarnya, sebagaimana Allah berfirman;

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus), dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus..” (QS Al-Bayyinah: 5).

Dan dari niat inilah ukuran keikhlasan seorang hamba bisa diketahui. Sebagaimana rosulullah bersabda “Sesungguhnya segala seuatu itu tergantung pada niatnya.” (HR. Muslim)

Beramal itu mudah, ikhlas itu Sulit

Banyak orang beranggapan bahwa shalat itu berat, tapi sebenarnya yang lebih berat itu bukan melakukan shalat, tapi mengikhlaskan niat dalam shalat. Kenapa ini bisa terjadi? Jawabannya adalah bahwa orang yang melaksanakan shalat secara ikhlas maka dia akan mampu menikmati indahnya shalat secara sempurna, karena dia melakukan shalat dengan khusyu’. Tidak hanya berbentuk amal jasadiyah tapi juga qolbiyah.
Allah berfirman dalam Al-Quran;

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلاَقُوا رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) berbakti, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqoroh : 44-46).

Begitulah Allah memberi tahukan kepada kita, bahwa berbuat baik itu memang mudah tapi memiliki niat yang baik karena Allah itulah yang amat sulit. Karena niat yang baik selalu dirongrongi oleh hawa nafsu, sehingga yang mulanya ikhlas kini menjadi riya. Dan ketahuilah bahwa riya’ adalah syirik kecil yang sangat ditakuti oleh Rosulullah.

Beramal baiklah sesuka hati, tapi ingatlah syaitan tidak akan menghalangi kita untuk melakukan kebaikan itu, justru dia datang dengan membawa rencana lain untuk kita lakukan.

Yang dia inginkan dari amal baik kita adalah terpisahnya antara amal baik itu dengan niat. Yang pada awalnya kita shalat karena Allah, kini berubah menjadi shalat karena orang lain. Bisa karena bos, karena martua, karena wanita dan karena karena yang lain.

Sekedar catatan, untuk meminum racun tidak selamanya dibutuhkan “racun”. Sebab, madupun bisa menjadi “racun”, dan begitulah muslihat syaitan. Semoga Allah menjadikan hambanya yang taat dan ihlas karena-Nya.*/Mohammad Khotibul Umam

HIDAYATULLAH