Bisnis Ala Rasulullah SAW: Uang Bukan Modal Utama

Ada dua modal yang diajarkan dalam bisnis ala Rasulullah SAW.

Apakah modal utama memulai usaha? Jika Anda menjawab uang, mungkin benar, tapi tidak dalam bisnis ala Rasulullah SAW.  “Yang menjadi number one capital dalam bisnis ala Rasulullah adalah kepercayaan (trust) dan kompetensi,” kata pakar ekonomi syariah, Syafii Antonio.

Menurutnya, dalam trust itu ada integritas dan kemampuan melaksanakan usaha. “Beliau membangun usaha dari kecil, dari sekadar menjadi pekerja, kemudian dipercaya menjadi supervisor, manajer, dan kemudian menjadi investor,” ujarnya.

Perjalanan dari kuadran ke kuadran itu, katanya, menunjukkan bahwa Rasulullah adalah seorang entrepreneur yang memiliki strategi dalam mengembangkan usahanya dan karakteristik untuk mencapai sukses.

Sebagai pengusaha dan pemimpin, Rasulullah mempunyai sumber income yang sangat banyak. Namun Rasul  sangat ringan tangan memberi bantuan. “Beliau sangat tidak sabar melihat ada umat yang menderita dan tidak ridha melihat kemiskinan di sekitarnya atau kelaparan di depan matanya,” kata Syafii.

Itu sebabnya, kata Syafii, Rasulullah selalu berinfak dengan kecepatan yang luar biasa, yang digambarkan para sahabatnya sebagai “seperti hembusan angin”. “Ia menyedekahkan begitu banyak hartanya dan mengambil sedikit saja untuk diri dan keluarganya,” ujarnya.

Kepemimpinan dan manajemen ala Rasulullah ini akan dibedahnya dalam Eksiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager yang akan diluncurkan besok. Dalam buku itu, Syafii  merangkai dan menuangkan ketauladanan nabi Muhammad SAW dalam satu set ensiklopedia yang terdiri dari delapan buku.

Menurut Doktor Banking Micro Finance dari University of Melbourne itu, dalam diri Rasulullah banyak hikmah yang bisa dipetik mengangkut soal manajemen dan kepemimpinan.

Sayangnya, sangat terbatas literatur yang menggali dimensi leadership dan manajemen dengan kaca mata analisa tematis dan modern. “Dalam arti dipandang dari sudut ilmu manajemen modern dan suasana modern,” kata pimpinan Tazkia Group itu.

KHAZANAH REPUBLIKA

Sunnah Rasulullah: Jangan Biarkan Makanan Tersisa Terbuang

Rasulullah SAW memberikan sunnah tidak membiarkan makanan terbuang.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk hidup hemat, yaitu membelanjakan uangnya selaras dengan kebutuhan dan tidak (berlebihan) mengikuti ”selera” nafsunya. Hemat berarti tidak boros, irit, sangat hati-hati dalam mengeluarkan/membelanjakan uang. Dengan hidup hemat, seorang Muslim menjadi bersahaja dalam menjalani kehidupan karena merasa cukup dengan kenikmatan yang dimiliki, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang bersyukur dan tawadu.

Nabi SAW merupakan suri teladan bagi manusia (umat Islam). Dalam menjalani hidupnya, beliau sangat sederhana. Suatu ketika Nabi SAW datang bergilir kepada Aisyah. Beliau melihat sepotong pecahan kue lalu beliau mengambilnya, mengusapnya, dan memakannya. Kemudian, beliau bersabda, ”Berlaku baiklah kalian kepada serpihan nikmat-nikmat Allah. Jangan kalian menyia-nyiakannya. Jika ia hampir hilang dari suatu kaum, ia kembali kepada mereka.” (HR Al Baihaqi dari Anas bin Malik).

Hadis di atas menganjurkan agar kita berlaku baik terhadap serpihan nikmat-nikmat Allah dengan cara memeliharanya dan mensyukurinya. Sebagaimana firman Allah, ”Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Mensyukuri nikmat dengan cara berbuat baik kepada karib kerabat, kepada orang-orang yang membutuhkan, dan memelihara harta kekayaan untuk tidak digunakan terhadap hal-hal yang tidak ada faedahnya.

Al Ghazali berkata, ”Perkara yang sangat berat adalah menghina memuliakan, berpisah setelah bertemu, dan hilangnya nikmat dari suatu kaum lantaran mereka tidak berlaku baik terhadap serpihan nikmat kemudian mereka harapkan nikmat itu kembali kepada mereka.

KHAZANAH REPUBLIKA’


Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 8): Jangan Terburu-Buru

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 7) : Optimalkan Masa Muda untuk Belajar

Bismillah

Di serial tulisan bagian perdana Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag.1): Bersihkan Wadah Ilmu, Hati telah kita pelajari bahwa pemikul ilmu adalah hati. Dan hati adalah salah satu dari organ tubuh manusia. Layaknya tangan atau punggung, sama-sama organ tubuh kita, mengangkat tumpukan bata seberat 100 kg sekali angkat, dia pasti kesusahan, atau bahkan tidak kuat. Jika dipaksakan, bisa berakibat patah tulang atau cidera otot. Yang pasti, memikul beban di luar kemampuan akan membuat orang mudah patah arang. Berbeda jika bata-bata itu diangkat satu persatu, atau dua perdua, akan lebih ringan dipikul. Ia akan terus termotivasi untuk membuat tembok yang tinggi dan kokoh, dari bata-bata yang disusunnya. 

Mempelajari Ilmu Secara Bertahap

Sama halnya dengan hati, pemikul ilmu. Ketika seorang belajar di luar dosisnya, maka hati akan cepat lelah, putus asa. Proses belajar tidak akan berjalan lama, rawan berhenti di tengah jalan.

Allah telah mensifati, bahwa ilmu ini berat,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al-Muzammil: 5)

Belajar itu, sabar …

Belajar itu, bertahap …

Bisa anda bayangkan, seorang siswa kelas 3 SD, diajari materi kimia kelas 3 SMA, bisakah dia paham? Tentu tidak. Salah paham iya.

Oleh karena itu, mengapa ada orang yang sudah belajar Al-Qur’an, belajar hadis, tapi pemahamannya membuat kulit dahi berkerut, kepala bergeleng-geleng? Bisa jadi satu di antara sebabnya adalah karena belajar yang tidak bertahap. Semua dilahap tanpa melihat daya nalarnya. Ingin cepat jadi ulama dalam waktu yang singkat.

Benar apa kata seorang ulama di Damaskus, bernama Abdul Karim Ar-Rifa’ii,

طعام الكبار سم الصغار

“Makanan orang dewasa, bisa menjadi racun bila dimakan oleh anak balita.” (Khulashah Ta’dhimil ‘Ilmi, hal. 27)

Dalil Menuntut Ilmu Tidak Boleh Terburu-Buru

Kita perhatikan bagaimanakah proses Al-Qur’an diturunkan? Ayat per ayat. Bertahap sesuai peristiwa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Jadi bertahap tidak terburu-buru dalam belajar, itu adalalah metode robbani, seperti itulah Allah mengajarkan Al-Qur’an kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ

“Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja seluruhnya?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya.” (QS. Al-Furqan: 32)

Kita perhatikan ayat ini, ternyata tergesa-gesa itu karakternya orang-orang kafir. Mereka ingin Al-Qur’an diturunkan utuh secara instan. 

Adapun sabar, bertahap dalam belajar, adalah karakter Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan orang-orang beriman. Mereka sabar menerima ilmu dari Allah Ta’ala, ayat per ayat. Kemudian apa hasil dari belajar yang bertahap?  

كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ

“ … demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya.”

Agar ilmu menancap kuat di dalam hati …

Benar apa kata Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

الأناة من الله تعالى، والعجلة من الشيطان

“Sikap tenang itu dari Allah Ta’ala, adapun sikap tergesa-gesa itu dari setan.” (HR. Tirmidzi)

Jika hasil dari belajar bertahap itu adalah ilmu yang menancap kuat di hati, maka hasil dari sikap sebaliknya: gegabah, ceroboh, dan ergesa-gesa dalam menuntut ilmu; juga sebaliknya, yaitu keilmuan dan pemahaman yang rapuh.

Bagaimanakah Cara Belajar dengan Bertahap? 

Dijelaskan oleh Syekh Shalih Al-‘Ushaimi -hafidzahullah-,

ومقتضى لزوم التأني والتدرج : البداءة بالمتون القصار المصنفة في فنون العلم, حفظا واستشراحا, والميل عن مطالعة المطولات التي لم يرتفع الطالب بعد إليها

“Wujud dari tidak tergesa-gesa dalam belajar adalah: memulai belajar agama dengan mempelajari matan-matan ringkas pada setiap disiplin ilmu agama. Dengan menghafal dan juga mempelajari penjelasannya. Kemudian tidak terjun belajar pada kitab-kitab tebal, yang sama sekali tidak akan meng-upgrade kualitas keilmuan seorang pelajar. (Khulashah Ta’dhiimil ‘Ilmi, hal. 27)

Inilah dua metode bertahap dalam belajar:

  1. Menguasai matan-matan ringkas.
  2. Di awal belajar, jangan terjun mempelajari kitab-kitab tebal.

Jalanilah perjuangan menunut ilmu dengan bertahap. Dimulai dari kitab-kitab ringkas, kemudian berlanjut ke tahap menengah, lanjut ke tahap yang lebih tinggi, demikian seterusnya. Jalani belajarmu dengan rapi. Jangan terburu-buru ingin belajar pada kitab-kitab yang tebal dan rumit. Karena makanan orang dewasa, bisa menjadi racun bila dimakan anak kecil. Sehari dua hari mungkin si anak bisa bertahan. Tapi di hari-hari berikutnya bisa jadi dia mati karena makanan. 

Demikianlah perumpamaan orang yang tidak rapi dan terstruktur dalam belajar agama, satu dua hari, pekan, bulan … mungkin dia masih bisa bertahan. Namun setelah itu, dia akan ‘mati’ karena ilmu yang dia serap bukanlah santapannya. Matinya seorang karena ilmu adalah berhenti belajar. Makanya, mengapa orang tidak bisa istiqamah menunut ilmu agama? Padahal para ulama salaf  dahulu menjalani proses menuntut ilmu sampai akhir hayat?

Jawabannya, karena cara belajar yang tidak beraturan dan bertahap.

Maka mari kita perjuangkan status penuntut ilmu ini tetap melekat sampai ajal menjemput. Karena menuntut ilmu itu ibadah. Sedangkan ibadah tidak memiliki masa ujung kecuali satu, yaitu kematian …

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

“Beribadahlah kepada Tuhanmu, sampai bertemu kematian.” (QS. Al-Hijr: 99)

Bersahabatlah dengan ilmu sampai akhir hayat. Jangan sampai menjadi “mantan penuntut ilmu”.

Sekian..

Wallahu a’lam bis shawab.

__

Penulis: Ustadz Ahmad Anshori, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54914-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-8-jangan-terburu-buru.html

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 7) : Optimalkan Masa Muda untuk Belajar

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (bag. 6) : Berikan Perhatianmu Kepada Ilmu

Bismillah …

Fase Terbaik dalam Usia Manusia

Umur manusia berjalan pada tiga fase kehidupan: fase balita, fase muda, kemudian fase tua. Dua di antaranya (fase balita dan fase tua) adalah titik lemah manusia. Hanya satu fase saja manusia berada di titik terkuat dan puncak kesempurnaan akal dan fisiknya, yaitu masa muda. Sehingga kehidupan kita, diawali dengan kelemahan yaitu saat balita, dan berakhir dengan kelemahan, yaitu tua. Ibarat seorang yang menaiki gunung, dari lembah menuju puncak kemudian turun kembali ke ke lembah.

Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا ۚ وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبْلُ ۖ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُّسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”  (QS. Ghofir: 67)

Optimalkan Masa Muda kita

Jika diperhatikan perjalanan siklus kehidupan kita, kita berada di posisi sempurna kekuatan akal dan fisik, hanya di satu kesempatan saja, yaitu di masa muda. Masa yang sedikit, minoritas dari tiga fase hidup kita dan sangat sebentar. Sungguh merugi jika usia muda tersebut tidak kita manfaatkan untuk belajar.

Imam Ahmad pernah mengatakan,

ما شبهت الشاب إلا بشيء كان في كمي فسقط

“Tidak ada permisalan yang paling tepat untuk waktu muda, kecuali ibarat seorang yang memegang barang di genggamannya lalu terjatuh.” (Mukhtashor Ta’dhim Al-‘Ilmi, hal. 24)

Jangan sampai kita berprinsip, taubat di masa tua saja. Sekarang mumpung masih muda, kita nikmati dunia, foya-foya, dan bersenang-senang. Saat sudah tua, baru sadar akhirat, sadar belajar agama. Jangan sampai prinsip ini merasuki kita. Akankah kita persembahkan untuk Allah lemah-lemah kita?! Masa kuat saat muda, kita persembahkan untuk hawa nafsu?! Apakah kita berikan untuk Allah hanya sisa-sisa?! Di mana sikap pengagungan kepada Allah Tuhan Pencipta kita?! 

Maka mensyukuri masa muda, adalah dengan mengorbankannya untuk ibadah dan belajar tentang agama Allah Ta’ala.

Keutamaan Menuntut Ilmu di Usia Muda

Belajar di usia muda, akan lebih efektif. Ilmu mudah diserap dan dipahami. Karena akal dan pikiran, berada di puncak kekuatannya. Hasan Al-Basri rahimahullah memberikan testimoni,

العلم في الصغر كالنقش في الحجر

“Ilmu yang dipelajari saat masih muda, akan melekat seperti seorang yang memahat batu.” (Mukhtashor Ta’dhim Al-‘Ilmi, hal. 24)

Artinya, tulisan di pahatan batu, akan awet ada, tidak mudah terhapus.

Namun pesan ini bukan berarti menanamkan pesismisme kepada orang-orang tua untuk belajar. Mari terus belajar di usia apapun kita. Dan jangan malu belajar meski sudah berumur. Karena banyak pula di antara para sahabat Nabi shallallahu ’alahi wa sallam yang belajar, tak lagi di usia muda, mereka mulai belajar saat sudah menjadi ayah, bahkan ada yang sudah menjadi kakek untuk cucu-cucunya. Namun mereka tetap bisa menjadi yang terdepan dalam ilmu dan amal. Tidak da kata terlambat untuk belajar.

Wallahua’lam bis sholab.

Penulis: Ustadz Ahmad Anshori, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54491-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-7-optimalkan-masa-muda-untuk-belajar.html

Jangan Lewatkan Shalat Dhuha, Ini Hadis-Hadis Keutamaannya

Shalat Dhuha sangat dianjurkan Rasulullah SAW untuk umatnya.

Banyak sekali bimbingan Rasulullah SAW melalui hadis-hadisnya yang menerangkan bagaimana keutamaan shalat dhuha. Beberapa hadis tentang keutaman shalat dhluha adalah sebagai berikut:

1. Riwayat Abu Dzar RA. ”Rasulullah SAW bersabda: ”Hendaklah masing-masingmu setiap pagi bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka, tiap kali bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang keburukan adalah sedekah dan sebagai ganti dari semua itu, cukuplah mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Daud).

2. Hadis qudsi seperti diriwayatkan Hakim dan Thabrani yang semua perawinya dapat dipercaya, Allah SWT berfirman: ”Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada permulaan siang (yakni shalat dhuha), nanti akan Kucukupi kebutuhanmu pada sore harinya.”

3. Ahmad dan Abu Daud meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Dalam tubuh manusia itu tiga ratus enam puluh ruas tulang, ia diharuskan bersedekah untuk tiap ruas itu. Para sahabat bertanya: ”Siapa yang kuat melaksanakan itu ya Rasulullah? Beliau menjawab, ”Dahak yang ada di masjid lalu ditutupnya dengan tanah, atau menyingkirkan sesuatu gangguan dari tengah jalan itu berarti sedekah, atau sekiranya kuasa cukuplah diganti dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha.”

4. Rasulullah SAW bersabda: ”Hendaklah masing-masingmu setiap pagi bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka tiap kalai bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang keburukan adalah sedekah dan sebagai ganti dari semua itu, cukuplah mengerjakan dua rakaat shalat Dhuha.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud).

5. Dari Abdullah bin Amr katanya: ”Rasulullah SAW mengirimkan sepasukan tentara lalu banyak mendapatkan harta rampasan dan cepat pulang. Orang-orang mempercakapkan cepatnya perang itu dan banyaknya harta rampasan yang didapat. Maka Rasulullah SAW bersabda: ”Maukah kamu saya tunjukkan sesuatu yang lebih cepat dari peperangan semacam itu, lebih banyak pula rampasan yang diperoleh bahkan lebih cepat pulangnya dari itu? Yaitu seorang yang berwudlu lalu pergi ke masjid untuk bersembahyang sunnah dhuha. Orang itulah yang lebih cepat perangnya, lebih banyak rampasannya dan lebih segera pulangnya.” (HR Ahmad, Thabrani, Abu Ya’la)

6. Dari Abu Hurairah ra katanya: ”Nabi SAW yang tercinta memesankan kepadaku tiga hal yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, mengerjakan dua rakaat dhuha dan berwitir dulu sebelum tidur.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari Anas RA katanya, ”Saya melihat Rasulullah SAW di waktu bepergian, bersembahyang dhuha sebanyak delapan rakaat. Setelah selesai beliau bersabda: ”Saya tadi bersembahyang dengan penuh harapan dan diliputi kecemasan. Saya memohonkan kepada Tuhan tiga hal lalu diberi-Nya dua dan ditolak-Nya satu. Saya memohon supaya ummatku jangan diuji dengan musim paceklik dan itu dikabulkan, saya memohon pula agar ummatku tidak dapat dikalahkan musuhnya dan ini pun dikabulkan lalu saya memohon agar ummatku jangan sampai berpecah belah menjadi beberapa golongan dan ini ditolak-Nya.” (HR Ahmad, Nasai, Hakim, dan Ibnu Khuzaimah)

KHAZANAH REPUBLIKA

Mengapa Puasa Rajab?

Hukum Puasa Rajab

Telah menjadi tradisi, begitu masuk bulan rajab, keyword puasa rajab menjadi naik pesat. Google trends pekan inipun melaporkan, kata kunci puasa rajab naik tajam. Setidaknya ini bukti bagaimana perhatian kaum muslimin terhadap fadilah puasa rajab, meskipun kasus ini tidak kita jumpai untuk bulan-bulan lainnya.

Pertanyaan besar yang layak kita renungkan, mengapa hanya puasa rajab yang paling banyak dicari? Mengapa pencarian ini tidak gencar untuk puasa Sya’ban, Dzulqa’dah, Muharam, atau 9 hari pertama Dzulhijjah?

Tentu saja jawabannya adalah masalah motivasi (fadilah) puasa rajab. Mereka perhatian dengan puasa rajab, karena diyakini puasa ini memiliki fadilah yang amat besar. Semangat untuk mendapatkan fadilah ini yang mendorong orang secara semarak melakukan puasa rajab.

Ini berbeda dengan bulan-bulan selain rajab dan ramadhan. Pencarian orang tentang puasa Sya’ban, Dzulqa’dah, Muharam, atau Dzulhijjah tidak begitu gempar. Bisa jadi karena mereka beranggapan puasa di bulan-bulan tidak memiliki fadilah yang besar.

Alasan Utama Puasa Rajab

Setelah membaca situs besar yang paling getol memotivasi puasa rajab, alasan pokok untuk membela pendapat mereka adalah hadis tentang anjuran puasa di bulan haram. Sebelumnya perlu kita pahami, bulan haram ada 4: Dzul Qa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Rajab.

Kembali pada hadis anjuran puasa bulan haram. Hadis yang diisyaratkan tersebut adalah hadis dari Mujibah Al-Bahiliyah dari bapaknya atau pamannya, Abdullah bin Harits Al-Bahily. Sahabat ini mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah bertemu dan menyatakan masuk islam, beliau kemudian pulang kampungnya. Satu tahun kemudian, dia datang lagi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Ya Rasulullah, apakah anda masih mengenal saya.” Tanya Kahmas,

“Siapa anda?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Saya Al-Bahily, yang dulu pernah datang menemui anda setahun yang lalu.” Jawab sahabat

“Apa yang terjadi dengan anda, padahal dulu anda berbadan segar?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Saya tidak pernah makan, kecuali malam hari, sejak saya berpisah dengan anda.” Jawab sahabat.

Menyadari semangat sahabat ini untuk berpuasa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ، صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

Mengapa engkau menyiksa dirimu. Puasalah di bulan sabar (ramadhan), dan puasa sehari setiap bulan.

Namun Al-Bahily selalu meminta tambahan puasa sunah,

“Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Dua hari setiap bulan.” Orang ini mengatakan, “Saya masih kuat. Tambahkanlah!” “Tiga hari setiap bulan.” Orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Sampai akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kalimat pungkasan,

صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ، صُمْ مِنَ الحُرُمِ وَاتْرُكْ

“Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa (kecuali ramadhan)…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa…, Berpuasalah di bulan haram, lalu jangan puasa.”

Status Hadis:

Hadis ini diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, Al-Baihaqi dan yang lainnya. Hadis ini dinilai sahih oleh sebagian ulama dan dinilai dhaif oleh ulama lainnya, sebagaimana dijelaskan dalam Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dan As-Suyuthi dalam Syarh Sunan Ibn Majah. Salah satu diantara masalahnya adalah adanya perawi yang majhul (tidak diketahui statusnya), yang setidaknya membuat mereka meragukan keabsahan hadis ini.

Terlepas dari perdebatan status keshahihan hadis, jika kita perhatikan, dzahir hadis ini tidaklah menunjukkan adanya keutamaan KHUSUS untuk puasa rajab. Ada beberapa sisi untuk menjelaskan ini:

Dalam hadis tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menyarankan puasa di bulan haram sebagai alternatif terakhir, setelah sahabat tersebut berusaha mendesak agar bisa memperbanyak puasa sunah. Namanya alternatif terakhir, tentu fadilahnya tidak lebih besar dibandingkan alternatif pertama atau kedua.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan saran yang sama untuk sahabat yang lain. Artinya bisa jadi hadis ini bersifat kasuistik (qadhiyatul ‘ain). Jika tidak, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memotivasi sahabat lainnya untuk melakukan hal yang sama, berpuas di bulan haram.

Yang disarankan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa bulan haram, bukan puasa rajab SAJA. Ketika kita bersikap adil, seharusnya kita memiliki semangat yang sama untuk bulan Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam. Karena itulah, kami jadikan ini sebagai pertanyaan besar di awal artikel.

Pertanyaan ini mengundang dugaan, pasti ada keistimewaan dan fadhilah lain khusus untuk puasa rajab, yang menjadi motivasi mereka diluar anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk puasa di bulan haram.

Tidak Ada Anjuran Khusus Puasa Rajab

Sekalipun situs ormas besar itu sangat getol menganjurkan puasa rajab, namun dia tidak menyebutkan dalil shahih yang secara khusus menyebutkan keutamaan puasa rajab. Mereka sadar, semua hadis yang menyinggung fadilah puasa rajab statusnya hadis lemah, yang tidak bisa menjadi dalil. Dengan demikian, tameng utama mereka untuk menganjurkan puasa rajab adalah hadis Mujibah Al-Bahiliyah yang telah kita kupas sebelumnya. Selanjutnya mereka hanya sebutkan hadis-hadis yang lemah itu di bagian paling belakang artikel, yang diharapkan bisa memotivasi orang untuk melakukan puasa khusus di bulan rajab.

Diantara bukti bahwa hadis yang secara khusus menganjurkan puasa rajab merupakan hadis lemah, adalah keterangan beberapa ulama hadis, diantaranya,

Al-Hafidz Ibnu Hajar, dalam karyanya Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Fadli Rajab, menjelaskan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang sahih yang layak dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, tidak pula riwayat yang shahih tentang puasa rajab, atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab, atau shalat tahajud di malam tertentu bulan rajab. Keterangan saya ini telah didahului oleh keterangan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al-Harawi.” (Tabyinul Ajab bi Ma Warada fi Fadli Rajab, hlm. 6).

Keterangan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ibnu Rajab. Dalam karyanya yang mengupas tentang amalan sepanjang tahun, yang berjudul Lathaiful Ma’arif, beliau menegaskan tidak ada shalat sunah khusus untuk bulan rajab,

لم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang sahih tentang anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat Raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, batil, dan tidak sahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah, menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan,

لم يصح في فضل صوم رجب بخصوصه شيء عن النبي صلى الله عليه و سلم و لا عن أصحابه و لكن روي عن أبي قلابة قال : في الجنة قصر لصوام رجب قال البيهقي : أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ و إنما ورد في صيام الأشهر الحرم كلها

“Tidak ada satu pun hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan, ‘Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.’ Namun, riwayat ini bukan hadis. Imam Al-Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah, ‘Abu Qilabah termasuk tabi’in senior. Beliau tidak menyampaikan riwayat itu, melainkan hanya kabar tanpa sanad.’ Riwayat yang ada adalah riwayat yang menyebutkan anjuran puasa di bulan haram seluruhnya” (Lathaiful Ma’arif, hlm. 213)

Para Sahabat Melarang Mengkhususkan Rajab untuk Puasa

Kebiasaan mengkhususkan puasa di bulan rajab sejatinya telah ada di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Beberapa tabiin yang hidup di zaman Umar bahkan telah melakukannnya. Dengan demikian, kita bisa mengacu bagaimana sikap sahabat terhadap fenomena terkait kegiatan bulan rajab yang mereka jupai.

Berikut beberapa riwayat yang menyebutkan reaksi mereka terhadap puasa rajab. Riwayat ini kami ambil dari buku Lathaiful Ma’arif, satu buku khusus karya Ibnu Rajab, yang membahas tentang wadzifah (amalan sunah) sepanjang masa,

روي عن عمر رضي الله عنه : أنه كان يضرب أكف الرجال في صوم رجب حتى يضعوها في الطعام و يقول : ما رجب ؟ إن رجبا كان يعظمه أهل الجاهلية فلما كان الإسلام ترك

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau memukul telapak tangan beberapa orang yang melakukan puasa rajab, sampai mereka meletakkan tangannya di makanan. Umar mengatakan, “Apa rajab? Sesungguhnnya rajab adalah bulan yang dulu diagungkan masyarakat jahiliyah. Setelah islam datang, ditinggalkan.”

Dalam riwayat yang lain,

كرِهَ أن يَكونَ صِيامُه سُنَّة

“Beliau benci ketika puasa rajab dijadikan sunah (kebiasaan).”

(Lathaif Al-Ma’arif, 215).

Dalam riwayat yang lain, tentang sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu,

أنه رأى أهله قد اشتروا كيزانا للماء واستعدوا للصوم فقال : ما هذا ؟ فقالوا: رجب. فقال: أتريدون أن تشبهوه برمضان ؟ وكسر تلك الكيزان

Beliau melihat keluarganya telah membeli bejana untuk wadah air, yang mereka siapkan untuk puasa. Abu Bakrah bertanya: ‘Puasa apa ini?’ Mereka menjawab: ‘Puasa rajab’ Abu Bakrah menjawab, ‘Apakah kalian hendak menyamakan rajab dengan ramadhan?’ kemudian beliau memecah bejana-bejana itu. (Riwayat ini disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/107, Ibn Rajab dalam Lathaif hlm. 215, Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa 25/291, dan Al-Hafidz ibn Hajar dalam Tabyin Al-Ajabhlm. 35)

Ibnu Rajab juga menyebutkan beberapa riwayat lain dari beberapa sahabat lainnya, seperti Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka membenci seseorang yang melakukan puasa rajab sebulan penuh.

Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memahami bulan rajab bukan bulan yang dianjurkan untuk dijadikan waktu berpuasa secara khusus. Karena kebiasaan itu sangat mungkin, tidak mereka alami di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/17969-mengapa-puasa-rajab.html

Nabi Muhammad, Sahabat Dunia Akhirat

Suatu ketika datang kepada Rasulullah SAW, seorang (wanita) tua yang memohon agar didoakan masuk ke surga. Nabi SAW bersabda kepadanya, ”Di surga tak ada orang tua.”

Wanita itu menangis, lalu Rasul SAW sambil tersenyum melanjutkan, ”Di sana tak ada orang tua, karena wanita-wanita akan beralih menjadi wanita-wanita cantik dan muda belia.”

Rasul SAW kemudian membacakan firman Allah SWT, ”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka yakni para wanita Muslimah penghuni surga dengan penciptaan sempurna dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya.” (QS Alwaqiah [56]: 35-37). Wanita tua itu pun tersenyum setelah mendengarnya dan didoakan oleh Rasullullah SAW.

Selama ini, bagi umat Islam, sosok Muhammad SAW lebih dipandang sebagai seorang Nabi dan Rasul Allah. Yang dikedepankan adalah sebagai penerima wahyu.

Padahal, Rasulullah SAW berulang kali diperintahkan untuk menyatakan, ”Aku tidak lain dari manusia seperti kamu juga, hanya saja aku mendapat wahyu.”

Memang, mendapat wahyu itulah yang membedakan Muhammad SAW dengan manusia lain. Selain seorang Rasul, beliau adalah model ideal bagi siapa saja, termasuk orang yang ingin membina persahabatan.

”Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.” Demikian Allah SWT firmankan dalam surat Annajm [53] ayat 2.

Menurut cendekiawan Muslim, KH Quraish Shihab, Nabi SAW dipanggil dengan sapaan sahabat untuk mengingatkan kepada kita bahwa beliau adalah sahabat kita yang sejati. Yang di saat akhir sakaratul maut masih memikirkan nasib umatnya dengan bisikan, ”… ummati (umatku) … ummati … (umatku).”

Kendati mereka baru akan lahir di dunia ribuan tahun sesudahnya. Nabi SAW sangat peduli umatnya. Karenanya, kita harus mengenal beliau dengan dekat, lahir maupun batin. Muhammad SAW harus kita kenali sebagai sahabat yang selalu menyertai perjalanan hidup kita.

Sikap bersahabat dari Nabi SAW ditunjukkan lewat persahabatan beliau bersama sahabat-sahabatnya. Bukankah cukup contoh dalam sejarah dini Islam bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat membuka diri bukan hanya untuk bermusyawarah dengan para pengikutnya, yakni dalam hal yang tidak qath’i.

Bahkan, tak jarang sebagian di antara para pengikutnya itu mendebat, bercanda atau bergurau. Begitu besar kasih sayang Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya, ”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah mereka yang tegas terhadap orang-orang yang menolak kebenaran (kafir), tapi selalu menjalin kasih sayang (baca: membangun persahabatan) di antara sesama mereka.” (QS Alfath [48]: 29).

Oleh Masagus A Fauzan

KHAZANAH REPUBLIKA

Mahar Berlebihan dan Membebani akan Mengurangi Keberkahan Pernikahan

Mahar adalah kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri. Hal ini merupakan perintah Allah dalam Al-Quran. Allah berfirman,

وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)

Mahar wajib ditunaikan walaupun tidak memiliki harga yang tinggi. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai dan harga walaupun hanya cincin besi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat tersebut,

انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ

“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling ridha. An-Nawawi menjelaskan,

في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان، لأن خاتم الحديد في نهاية من القلة، وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف

“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah) dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari salaf dan khalaf.” (Syarh Shahih Muslim 9/190)

Akan tetapi hendaknya mahar itu adalah mahar yang mudah akan membuat pernikahan berkah. Berkah itu adalah bahagia dunia-akhirat baik kaya maupun miskin. Tidak sedikit orang kaya tetapi rumah tangga tidak bahagia dan tidak berkah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺧَﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜَـﺎﺡِ ﺃَﻳْﺴَـﺮُﻩُ

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’ (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat Ahmad,

ﺇِﻥَّ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜَـﺎﺡِ ﺑَﺮَﻛَﺔً ﺃَﻳَْﺴَﺮُﻩُ ﻣُﺆْﻧَﺔً

“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”

Amirul Mukminin, ‘Umar radhiallahu anhu pernah berkata,
“Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam paling pertama melaksanakannya.” (HR. At-Tirmidzi, shahih Ibni Majah)

Sebaliknya apabila mahar terlalu mahal dan membebankan bagi calon suami (apalagi sampai berhutang untuk menikah karena tabungan tidak cukup), tentu akan mengurangi keberkahan pernikahan. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan,

المغالاة في المهر مكروهة في النكاح وأنها من قلة بركته وعسره.

“Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini menunjukkan sedikitnya barakah dan sulitnya pernikahan tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 5/187)

Semoga kaum muslimin memudahkan dalam urusan mahar dan tidak mematok mahar yang tinggi yang menyusahkan dan membebani calon suami.

Penyusun: Raehanul Bahraen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38410-mahar-berlebihan-dan-membebani-akan-mengurangi-keberkahan-pernikahan.html

Akad Nikah Orang yang Bisu

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’

Soal:

Seorang lelaki diberi cobaan oleh Allah berupa kebisuan dan idiot, namun ia ingin menikah. Bagaimana ia melakukan akad nikah dengan akan yang diizinkan oleh syariat? Perlu diketahui orang ini tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis.

Jawab:

Orang bisu bisa menikah dengan isyarat yang dipahami, sebagaimana yang ia lakukan ketika ingin makan, ingin minum dan semua aktivitasnya, karena isyarat yang dipahami dalam berbagai aktivitas ini menduduki peran berbicara bagi dirinya.

Wabillahi at-taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’

Ketua: Abdul Aziz bin Baz

Anggota: Bakr Abu Zaid, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Shalih Al-Fauzan, Abdullah bin Ghuddayan

***

Sumber: Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah jilid 1, no. 15922, Asy-Syamilah.

Penerjemah: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/33070-akad-nikah-orang-yang-bisu.html

Apakah Wajib Mengadakan Walimatul Urs Ketika Menikah?

Walimatul urs adalah acara makan-makan yang diadakan karena adanya pernikahan. Apakah orang yang menikah wajib mengadakan walimatul ‘urs?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama:: Wajib

Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رأى على عبدِ الرَّحمنِ بنِ عوفٍ أثرَ صفرةٍ فقالَ: ما هذا ؟. فقالَ: إنِّي تزوَّجتُ امرأةً على وزنِ نواةٍ من ذَهبٍ . فقالَ: بارَكَ اللَّهُ لَكَ أولم ولو بشاةٍ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya: ada apa ini Abdurrahman? Abdurrahman menjawab: saya baru menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Nabi bersabda: baarakallahu laka (semoga Allah memberkahimu), kalau begitu adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Tirmidzi no. 1094, An Nasa-i no. 3372, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menggunakan kalimat perintah “adakanlah walimah…”, dan hukum asal perintah menunjukkan wajib.

Ini pendapat Zhahiriyyah, salah satu pendapat Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah, salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat Kedua: Mustahab

Berdasarkan hadits dari Shafiyyah bintu Syaibah radhiallahu’anha, ia berkata:

أولَمَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم على بَعضِ نسائِه بمُدَّينِ مِن شَعيرٍ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahan dengan sebagian istrinya dengan dua mud gandum” (HR. Bukhari no. 5172).

Di hadits Abdurrahman bin Auf Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan walimah dengan seekor kambing, di hadits Shafiyyah disebutkan beliau walimah dengan 2 mud gandung. Menunjukkan tidak ada kadar baku mengenai makanan walimah. Ibnu Abdil Barr dalam kitab at Tamhid mengatakan:

ولو كانت واجبة لكانت مقدرة معلوم مبلغها كسائر ما أوجب الله ورسوله من الطعام في الكفارات وغيرها. قالوا فلما لم يكن مقدار خرج من حد الوجوب إلى حد الندب

“Andaikan walimah itu wajib, tentu sudah ditetapkan kadar yang diketahui takarannya. Sebagaimana seluruh kewajiban yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah makanan kafarah, dan yang lainnya. Maka para ulama mengatakan: ketika tidak ditentukan kadar bakunya, maka hukumnya keluar dari pewajiban kepada penganjuran”.

Sedangkan kalimat perintah dalam hadits Abdurrahman bin Auf dimaknai sebagai amrun lil istihbab (perintah dalam rangka penganjuran).

Pendapat Jumhur Ulama

Wallahu a’lam, pendapat pertama lebih rajih dalam masalah ini. Bahwa walimatul ursy itu WAJIB. Karena hukum asal perintah adalah wajib, dan tidak ada dalil yang sharih yang menyimpangkan hukum wajib kepada yang lain.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan walimah dalam pernikahan-pernikahannya, baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Bahkan ketika menikah Shafiyyah ketika kondisi safar, beliau tetap mengadakan walimah. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ : أَوْلَمَ على صفيَّةَ بسَويقٍ وتمرٍ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan walimah pada pernikahannya dengan Shafiyyah dengan sekeranjang kurma” (HR. Abu Daud no.3744, Ibnu Majah no. 1563, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Hal ini memperkuat indikasi akan wajibnya walimah.

Demikian juga walimatul urs adalah upapa untuk mengumumkan pernikahan, padahal dalam hadits Abdullah bin Zubair radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan:

أَعلِنوا النِّكاحَ

“Umumkanlah pernikahan!” (HR. Ahmad no. 16175, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.1072).

Sampai-sampai ketika walimatul ‘urs dihalalkan nyanyian dan rebana yang dinyanyikan anak-anak perempuan. Dalam hadits dari Muhammad bin Hathib radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَصلُ ما بين الحلالِ والحرامِ الصَّوتُ، وضَربُ الدُّفِّ

“Pembeda antara halal dan haramnya (farji) adalah suara (nyanyian) dan tabuhan rebana” (HR. Ahmad no. 18279, An Nasa-i no. 3369, dihasankan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Padahal kita ketahui hukum asalnya bermain musik (termasuk rebana) itu terlarang. Namun dikecualikan permainan rebana yang dilakukan anak-anak di hari walimatul ‘urs. Ini menunjukkan bahwa sangat ditekankan untuk mengadakannya. Inilah yang dijelaskan dan dikuatkan oleh Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan Al Albani rahimahumullah.

Wallahu a’lam. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/54747-apakah-mengadakan-walimatul-urs-wajib.html