‘Menolak Jenazah Pasien Covid-19 Bukan Perilaku Islami’

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengimbau masyarakat hendaknya tidak berlebihan dalam menyikapi mereka yang terpapar virus corona baik yang masih dalam pantauan, sakit, maupun wafat. Dia mengatakan, mereka semua tetap harus diperlakukan secara manusiawi dengan penuh penerimaan dan kasih sayang.

“Jika mereka beragama Islam, hak mereka sebagai Muslim harus kita naikkan. Salah satunya apabila ada yang meninggal kita rawat sebagaimana tuntutan syariat,” kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (2/4).

Mulai dari memandikannya, mengkafaninya, menyalatkan hingga memakamkannya. Mu’ti menjelaskan, tentu tidak setiap orang harus melakukan itu karena kewajiban itu bersifat fardhu kifayah. Artinya cukup diwakili oleh petugas medis atau keluarga yang sangat dekat apabila sehat dan kuat.

“Menolak jenazah korban Covid-19 bukanlah perilaku islami. Tugas kita justru membangkitkan optimisme keluarga yang ditinggalkan dan menerima mereka sebagai bagian dari masyarakat. Mereka sudah berat menanggung musibah dan beban itu hendaknya kita ringankan dengan membantu dan menerima mereka dengan sepenuhnya,” ujar dia.

Belakangan muncul fenomena warga di beberapa daerah menolak pemakaman jenazah pasien positif Covid-19. Salah satunya yang terjadi di Kecamatan Telukbetung Barat, Bandar Lampung. Pemakaman jenazah pasien 02 Covid-19 di Pemakaman Batuputu pada Senin (30/3), sempat tidak berjalan mulus. Ada penolakan beberapa warga sekitar.

Penolakan warga juga sempat terjadi di Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Penolakan warga dikarenakan tidak adanya sosialisasi dan pemberitahuan pemakaman tersebut dijadikan pemakaman korban Covid-19. Puncaknya, warga Bedahan melakukan aksi penolakan jenazah diduga karena Covid-19 yang hendak dimakamkan pada Senin (30/3).

Namun, pemakaman dapat dilanjutkan setalah aparat terkait Pemerintah Kota (Pemkot) Depok dan kepolisian datang memberikan penjelasan mengenai pemakaman yang sudah sesuai prosedur penanganan jenazah Covid-19.

KHAZANAH REPUBLIKA

Apa yang Dilakukan di Bulan Syakban?

Pandemi virus corona menyita banyak perhatian kita beberapa waktu belakangan ini, sampai-sampai kita lupa bahwa bulan Ramadan akan segera tiba, padahal begitu banyak persiapan yang harus kita lakukan untuk menyambutnya, salah satunya adalah bekal ilmu.

Sebelum memasuki bulan Ramadan, ada satu bulan yang sering kita lalaikan, yakni bulan Syakban (bulan kedelapan). Bulan Syakban adalah bulan yang mulia, ia adalah bulan yang banyak dilalaikan orang, karena berada di antara dua bulan yang agung yaitu Rajab dan Ramadan, tidak ada yang memanfaatkan bulan Syakban sebaik mungkin dengan amal saleh selain orang yang diberikan taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berikut kami rangkum hal-hal yang diperintahkan untuk dilakukan di bulan Syakban:

Pertama, persiapan menyambut Ramadan.

Persiapan paling utama adalah ILMU DIIN, pengetahuan terkait amaliyah di bulan Ramadan.

Sebagian orang ada yang cuma tahu Ramadan adalah saatnya puasa, yang dilakukan adalah menahan lapar dari terbit fajar Shubuh sampai tenggelam matahari, cuma itu saja yang ia tahu. Saatnya sahur, berarti makan sahur, saatnya berbuka, pokoknya berbuka. Bertahun-tahun hanya diketahui seputar hal itu saja. Sampai-sampai ia hanya puasa namun tidak menjalankan shalat sama sekali di bulan Ramadan.

Selain puasa dari sisi rukun seperti tadi yang kita jalankan, ada juga amalan sunnah terkait puasa seperti mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka puasa. Juga ada amalan shalat tarawih, membaca Alquran, sedekah, dan hal lainnya.

Kedua, memperbanyak puasa sunnah di bulan Syakban.

Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ

Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Syakban.” (HR. Bukhari, no. 1969 dan Muslim, no. 1156).

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah dalam Lathaif Al-Ma’arif mengatakan, “Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Syakban karena puasa Syakban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Syakban. Karena puasa di bulan Syakban sangat dekat dengan puasa Ramadan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadan.”

Ketiga, membayar utang puasa sebelum masuk bulan Ramadan.

Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban.”  (HR. Bukhari, no. 1950 dan Muslim, no. 1146).

Keempat, ulama menganjurkan untuk memperbanyak membaca Alquran sejak bulan Syakban untuk lebih menyemangati membacanya di bulan Ramadan.

Salamah bin Kahiil berkata,

كَانَ يُقاَلُ شَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ القُرَّاءِ

“Dahulu bulan Syakban disebut pula dengan bulan para qurra’ (pembaca Alquran).”

Kelima, jauhi amalan yang tidak ada tuntunan di bulan Syakban atau menjelang Ramadan seperti:

  • mengkhususkan bulan Syakban untuk kirim doa pada leluhur.
  • mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Syakban sebelum masuk Ramadan.
  • padusan atau keramasan sebelum masuk Ramadan. Ini juga tidak perlu dilakukan karena tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mandi besar sebelum masuk Ramadan.

Ingatlah!

Abu Bakr Al-Balkhi berkata,

شَهْرُ رَجَبٍ شَهْرُ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ سَقِيِّ الزَّرْعِ ، وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حَصَادُ الزَّرْعِ .

“Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Syakban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadan saatnya menuai hasil.”

Semoga jadi amalan penuh berkah di bulan Syakban dan kita dimudahkan berjumpa dengan bulan penuh berkah, yakni bulan Ramadan.


Gunungkidul, 27 Rajab 1441 H, 22 Maret 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23687-apa-yang-dilakukan-di-bulan-syakban.html

Anda Akan Mengalami Ini Ketika Sakratul Maut

DI dalam Alquran Al-Karim, Allah Ta’ala telah menceritakan bagaimana malaikat didatangkan kepada orang yang akan dicabut nyawanya. Dan khusus orang yang zalim, perlakuan malaikat memang cukup kasar dan menciutkan nyali.

Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya,: “Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah yang tidak benar dan kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al-Anam: 93).

Sedangkan kepada orang yang beriman kepada Allah Ta’ala dan menjadi calon penghuni surga, perlakukan malaikat 180 derajat terbalik. Mereka demikian ramah dan baik hati. Kepada mereka Allah Ta’ala mengatakan: “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27 -30).

Sedangkan secara umum dan dari penampilan fisik, ada hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menceritakan bagaimana keadaan orang yang sedang dicabut nyawanya: “Sesungguhnya pandangan seorang mayit mengikuti ruhnya ketika dicabut.” (HR. Muslim 920).[]

Menyiram Kemaluan Usai Berwudhu, Apa Hukumnya?

Ada sebagian ulama lagi yang membedakan antara menyentuh dengan sengaja dengan lupa

Banyak hal yang membatalkan wudhu. Hal paling lumrah adalah bersentuhan antara orang yang bukan muhrim, kentut, hingga buang air kecil maupun besar. Lantas bagaimana hukum menyiram kemaluan usai mengambil wudhu?

Usamah bin Zaid meriwayatkan bahwa Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dan mengajarkan wudhu kepada beliau. Ketika telah selesai wudhu, Jibril mengambil sepenuh telapak tangan dan menyiramkannya pada kemaluan. Rasulullah pun menyiram kemaluan beliau setelah berwudhu. Hal ini bersumber dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad.

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan, menyentuh kemaluan usai berwudhu dilihat dari kadar kondisinya. Ulama membedakan sentuhan yang terasa nikmat dan tidak. Jika terasa nikmat maka sentuhan itu membatalkan wudhu, begitu pun sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh Madzhab Imam Malik.

Ada sebagian ulama lagi yang membedakan antara menyentuh dengan sengaja dengan lupa. Mereka mewajibkan wudhu kepada orang yang menyentuh kemaluan dengan sengaja, bukan kepada orang yang memang lupa. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Malik.

Adapun perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menyentuh kemaluan usai berwudhu sebab adanya hadis Rasulullah SAW. Hadisnya berupa hadis dengan jalur sanad Busrah yang menyatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Idza massa ahadukum dzakarahu, falyatawadha’,”. Yang artinya: “Apabila salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluan, hendaklah ia berwudhu,”.

Inilah hadis yang paling masyhur di antara hadis-hadis lain yang menerangkan kewajiban berwudhu bagi orang yang menyentuh kemaluan. Hadis ini ditakhrij oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha dan hadisnya dinilai shahih.

Dalam buku Panduan Shalat An-Nisaa karya Abdul Qadir Muhammad Manshur dijelaskan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum menyiram kemaluan dengan air setelah berwudhu. Meski demikian, ulama-ulama kalangan Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali sepakat bahwa tidak apa-apa mengeringkan dan mengusap air dengan sapu tangan atau sepotong kain setelah wudhu dan mandi.

Ibnu Mundzir meriwayatkan dibolehkannya pengeringan dari Utsman bin Affan, Husain bin Ali, Anas bin Malik, Bisyr bin Abu Mas’ud, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Alqamah, Aswad, Masruq, Dhahhak, Ats-Tsuri, dan Ishaq. Mereka yang membolehkan pengeringan ini bersandar pada hadis-hadis Rasulullah SAW.

Adapun hadis-hadis yang disandarkan adalah haid riwayat Tirmidzi berbunyi: “Aku melihat Nabi Muhammad SAW mengusap wajah beliau dengan ujung pakaian beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini menyebut mengeringkan air setelah wudhu dibolehkan, namun kadar hadisnya dhaif.

Sedangkan hadis lainnya riwayat Imam An-Nasa’i berbunyi: “Abu Maryam Iyas bin Ja’far meriwayatkan dari seorang sahabat bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sapu tangan atau sepotong kain untuk mengusap wajah beliau ketika berwudhu,”. Hadis ini memiliki kadar hadis yang shahih. Adapun kemakruhan mengeringkan air dalam wudhu (bukan dalam mandi) diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sedangkan Jabir bin Abdullah meriwayatkan larangan untuk mengeringkan itu.

Kemakruhan mengeringkan air didasarkan pada argumentasi-argumentasi beragam. Pertama, air wudhu akan ditimbang pada hari Kiamat sehingga dimakruhkan menghilangkannya dengan pengeringan. Hal ini juga disandarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri.

Namun demikian Abdul Qadir Muhammad Manshur berpendapat, yang dimaksud bahwa air yang digunakan dalam wudhu akan ditimbang itu bukan air yang tersisa pada anggota wudhu. Para ulama juga sepakat bahwa air wudhu merupakan cahaya pada hari Kiamat kelak.

Hukum makruh mengeringkan air wudhu disamakan sebagai menghilangkan sisa ibadah. Ulama yang sepakat menjatuhi makruh dalam perkara ini berpendapat, air bertasbih selama menempel pada anggota wudhu. Tetapi Al-Qari berkata bahwa tidak bertasbihnya air wudhu ketika dikeringkan membutuhkan dalil naqli yang sahih. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Aku mengulurkan kain kepada beliau, tetapi beliau tidak mengambilnya. Lalu beliau beranjak sambil mengibaskan kedua tangan beliau,”.

KHAZANAH REPUBLIKA

Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 9): Sabar Belajar, Sabar Mengajar

Baca pembahasan sebelumnya Agar Aku Sukses Menuntut Ilmu (Bag. 8): Jangan Terburu-Buru

Bismillah…

Menjadi orang berilmu adalah cita-cita mulia. Dan sudah menjadi sunatullah di dunia ini, tak ada satupun cita-cita mulia kecuali harus diraih dengan kesabaran. Oleh karennya, hanya ada satu solusi agar seorang dapat istiqomah menggapai cita-cita mulia, yaitu mensabarkan diri untuk terus berjuang. 

Di dalam Al-Quran, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk bersabar pada dua hal,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّـهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imran : 200)

Perintah sabar yang pertama, adalah sabar mewujudkan iman yang pokok. 

Kemudian sabar yang kedua, untuk mewujudkan penyempurna iman. 

Ini menunjukkan pentingnya sabar, dan kita diperintah sabar, sampai bertemu Allah. Karena memperjuangkan agar iman ini semakin dan semakin sempurna; diantara yang paling urgent berjuang melalui ilmu, adalah perjuangan sampai akhir hayat. Ini juga bukti bahwa sabar itu tidak ada batasnya. Karena pahalanya pun tak terbatas.

Setelah kita sadar dan menjalani bahwa belajar itu perlu sabar, fase setelahnya pada ayat yang lain, Allah mengajak kita untuk bersabar dalam menyampaikan ilmu/mengajar,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. (QS. Al-Kahfi : 28)

Ini menunjukkan bahwa, kesetiaan bersama ilmu itu meliputi dua fase sabar: 

  1. Sabar saat belajar.
  2. Sabar saat mengajar.

Saat belajar perlu sabar, karena menghafal ilmu harus sabar, memahami ilmu dan konsisten hadir di kajian, juga butuh sabar.

Saat mengajar juga perlu sabar, karena untuk betah duduk menyampaikan ilmu kepada masyarakat, perlu sabar, memahamkan mereka, perlu sabar, saat menjumpai kekurangan murid, juga harus bersabar.

Termasuk di dalam fase kedua ini adalah, mengamalkan ilmu. Karena diantara cara mengajar adalah, memberikan teladan yang baik.

Kesimpulannya, bersama ilmu, harus siap bersabar.

Syekh Sholih Al-‘Ushoimi menasehatkan,

وفوق هذين النوعين من صبر العلم, الصبر على الصبر فيهما و الثبات عليهما

“Kesabaran lebih tinggi dari dua fase sabar terhadap ilmu di atas adalah, sabar untuk bisa bersabar serta konsisten dalam sabar pada dua fase tersebut.” (Khulashoh Ta’dhimil Ilmi, hal. 29) 

Para ulama memberikan nasehat kepada kita tentang pentingnya sabar bersama ilmu :

Yahya bin Abi Katsir

Beliau menafsirkan yang dimaksud dalam surat Al-Kahfi ayat 28 di atas adalah, 

هي مجالس الفقه 

majelis-majelis fikih/ilmu.

Beliau juga mengatakan,

لا يستطاع العلم براحة الجسد

Ilmu ini tak akan bisa didapat dengan bersantai-santai.

Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55574-agar-aku-sukses-menuntut-ilmu-bag-9-sabar-belajar-sabar-mengajar.html

Meninggalkan Shalat Jumat Tiga Kali Tanda Munafik, Bagaimana Kalau Ada Wabah?

Benarkah meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali semasa wabah ini menyebar termasuk tanda munafik?

Dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, bahwa mereka berdua mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas tiang-tiang mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونَنَّ مِنَ الغَافِلِينَ

Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Jumat atau Allah pasti akan menutupi hati mereka kemudian mereka menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim, no. 865)

Dalam hadits lain disebutkan,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” (HR. Abu Daud, no. 1052; An-Nasai, no. 1369; dan Ahmad 3:424. Kata Syaikh Al-Albani hadits ini hasan sahih).

Dari Usamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ ثَلاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِينَ.

Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa ada uzur, maka dicatat sebagai golongan orang munafik.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, dari riwayat Jabir Al-Ja’fi, dan hadits ini punya penguat. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih lighairihi sebagaimana dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, 729).

Ibnu Majah, no. 1126 juga meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa kebutuhan darurat, Allah akan tutup hatinya.” (Dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan membatasi tiga kali dengan berturut-turut. Dalam musnad Thayalisi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ

Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa uzur, maka Allah akan tutup hatinya.”

Dalam hadits yang lain,

مَنْ تَرَكَ الجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ مِنْ غَيْرِ ضَرُوْرَةٍ طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ

Siapa yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa darurat, maka Allah akan tutup hatinya.” (Dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’).

Hadits-hadits di atas menunjukkan hukuman bagi orang yang meninggalkan shalat Jumat sebanyak tiga kali tanpa ada uzur, secara berturut-turut ataupun terpisah. Syaikh Abul Hasan Al-Mubarakfuri menukil perkataan Imam Asy-Syaukani seperti tadi dan Syaukani menyatakan pula bahwa termasuk jika meninggalkan shalat Jumat setiap tahun sebanyak sekali dan sudah ditinggalkan sebanyak tiga kali, Allah akan menutupi pintu hatinya. Lihat Mira’atul Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, 4:446, sebagaimana dinukil hal ini dari fatwa Islamqa.

Riwayat di atas juga menunjukkan bahwa meninggalkan shalat Jumat yang dihukumi tertutup hatinya adalah jika meninggalkannya tanpa uzur, dengan meremehkan, atau karena malas-malasan. Sedangkan meninggalkan shalat Jumat ketika darurat atau ada uzur seperti sakit, bersafar, atau tersebarnya wabah penyakit menular dan mudah menular saat bertemu kawanan orang banyak, ini semua termasuk uzur yang membolehkan meninggalkan shalat Jumat.

Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.” (HR. Abu Daud, no. 1067. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan bahwa shalat Jumat itu wajib. Akan tetapi, jika menghadiri shalat Jumat dan berkumpul saat itu dapat menimbulkan mudarat dan tersebarnya wabah penyakit, seorang muslim boleh meninggalkan shalat Jumat. Shalat Jumat tersebut disyariatkan ditiadakan. Kaum muslimin cukup melaksanakan shalat Zhuhur di rumah masing-masing. Lihat Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 17.

Semoga Allah memberi tambahan ilmu yang bermanfaat.

Referensi:

  1. Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
  2. https://islamqa.info/id/answers/186002/hukum-orang-yang-meninggalkan-shalat-jumat-sebanyak-tiga-kali-dengan-sengaja

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23849-meninggalkan-shalat-jumat-tiga-kali-tanda-munafik-bagaimana-kalau-ada-wabah.html

Belajar dari Puasa Nabi Adam, Nuh, dan Ibrahim AS

Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa

Allah SWT telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa. Dalam srah al-Baqarah ayat ke-183, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Jelas di sana bahwa puasa bukanlah kewajiban yang baru, melainkan sudah ada sebelum Alquran turun. Umat-umat pra-Islam yang bertauhid telah menjalankan puasa sebagai ritual pembersihan diri.

Nabi Adam AS, misalnya, melakukan puasa sebelum ia diturunkan dari surga ke muka bumi karena melanggar ketentuan Allah SWT. Bapak umat manusia itu merasa menyesal karena telah terbujuk rayu setan sehingga mendekati pohon terlarang. Di bumi, Nabi Adam sempat terpisah dengan istrinya, Hawa, kemudian keduanya kembali dipertemukan atas izin Allah SWT. 

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-Adhim, Nabi Adam AS berpuasa selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Riwayat lain mengatakan bahwa Nabi Adam berpuasa tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan syukur karena Allah mengizinkannya bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Sebuah pendapat menyebutkan, Nabi Adam berpuasa sehari semalam pada saat ia diturunkan dari surga oleh Allah SWT.

Ritual berpuasa juga diamalkan Nabi Nuh AS. Ibadah ini dilakukannya ketika sedang berada di atas perahu yang menampung manusia dan binatang atas izin Allah SWT. Bencana banjir besar menyapu bersih kaum yang dimurkai Allah, bahkan termasuk anak Nabi Nuh AS sendiri. Dengan penuh kesabaran, Nabi Nuh AS menjalankan perintah Allah. Dengan mengutip penjelasan Ibnu Majah, Ibnu Katsir menyebutkan, “Puasa Nabi Nuh itu setahun penuh, kecuali dua hari raya.”

Demikian pula dengan Nabi Ibrahim AS. Bapak bangsa Arab dan Yahudi itu berpuasa ketika Raja Namruz memerintahkan pengumpulan kayu bakar yang menggunung tinggi. Nabi Ibrahim AS dalam keadaan berpuasa ketika ia dilemparkan ke dalam api atas perintah penguasa lalim tersebut. Namun, Allah lebih berkuasa dan memerintahkan api agar menjadi dingin sehingga keselamatan bagi Sang Khalilullah.

Nabi Musa AS juga disebutkan pernah melakukan ritual puasa ketika sedang bermunajat di Gunung Tursina selama 40 hari. Begitu pula dengan Nabi Yusuf AS ketika sedang menjalani masa tahanan akibat difitnah telah berbuat tidak senonoh dengan Zulaikha. Nabi Yunus AS diketahui juga berpuasa ketika berada dalam perut ikan paus. Meskipun berusia tua, Nabi Syuaib merutinkan ritual puasa. Nabi Ayub yang diuji dengan banyak musibah menjadikan puasa sebagai wahana mendekatkan diri kepada Allah. 

Nabi Daud AS berpuasa secara tersistem, yakni selang satu hari berpuasa dan sehari kemudian tidak. Bahkan, kebiasaan dari bapak Nabi Sulaiman tersebut hingga kini masih dijalankan oleh kaum Muslim. Bagi umat yang beriman kepada Allah, puasa bertujuan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, dalam arti mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

KHAZANAH REPUBLIKA

8 Amalan pada Hari Jumat Walau Shalat Jumat Ditiadakan

Walau shalat Jumat ditiadakan karena wabah corona (diganti shalat Zhuhur di rumah), tetap ada amalan-amalan yang bisa dilakukan pada hari Jumat. Di antaranya sebagai berikut disertai dalil.

Pertama: Membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat dan hari Jumat

Dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ

Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi pada malam Jumat, dia akan disinari cahaya antara dia dan Kabah.” (HR. Ad-Darimi, 2:546. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’, no. 6471).

Juga dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

Barangsiapa yang membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat.” (HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, 3:249. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’, no. 6470).

Kedua: Membaca Surah As-Sajdah dan Surah Al-Insan pada shalat Shubuh hari Jumat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقْرَأُ فِى الصُّبْحِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِ (الم تَنْزِيلُ) فِى الرَّكْعَةِ الأُولَى وَفِى الثَّانِيَةِ ( هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh pada hari Jum’at “Alam Tanzil …” (surah As-Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkuro” (surat Al-Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim, no. 880)

Ketiga: Bersih-bersih diri pada hari Jumat seperti memotong kuku, memotong rambut, dan bersiwak

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Imam Syafii dan para ulama mazhab Syafiiyah rahimahumullah menegaskan dianjurkannya memotong kuku dan mencukur rambut-rambut di badan (kumis dan bulu kemaluan, pen.) pada hari Jumat.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 1:287)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah pernah memberikan keterangan, “Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang memotong kuku. Beliau menjawab, ‘Dianjurkan untuk dilakukan di hari Jumat, sebelum matahari tergelincir.’ Beliau juga mengatakan, ‘Dianjurkan di hari kamis.’ Beliau juga mengatakan, ‘Orang boleh milih waktu untuk memotong kuku.’” Setelah membawakan pendapat Imam Ahmad, kemudian Al-Hafizh memberikan komentar, “(Pendapat terakhir) adalah pendapat yang dijadikan pegangan, bahwa memotong kuku itu disesuaikan dengan kebutuhan.” (Dinukil dari Tuhfah Al-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi, 8:33).

Keempat: Bershalawat pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Umamah Al-Bahily radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثِرُوا عَلَىَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ فَإِنَّ صَلاَةَ أُمَّتِى تُعْرَضُ عَلَىَّ فِى كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّى مَنْزِلَةً

Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Al-Baihaqi 3:249 dalam Sunan Al-Kubra. Hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-).

Kelima: Melakukan shalat Dhuha

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ المُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِىءُ  مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada pagi hari, setiap ruas tulang salah seorang di antara kalian itu ada sedekahnya. Maka setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan laa ilaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu Akbar) adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah, dan yang mencukupkan dari semua itu adalah dua rakaat shalat Dhuha.” (HR. Muslim, no. 720)

Keenam: Melakukan shalat sunnah qabliyah dan bakdiyah Zhuhur

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَليِّ فِي بَيْتِي قَبْلَ الظُّهْر أَرْبَعاً، ثُمَّ يخْرُجُ فَيُصليِّ بِالنَّاسِ، ثُمَّ يدخُلُ فَيُصَليِّ رَكْعَتَينْ، وَكانَ يُصليِّ بِالنَّاسِ المَغْرِب، ثُمَّ يَدْخُلُ بيتي فَيُصليِّ رَكْعَتْينِ، وَيُصَليِّ بِالنَّاسِ العِشاءَ، وَيدْخُلُ بَيْتي فَيُصليِّ ركْعَتَيْنِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat qabliyah Zhuhur empat rakaat di rumahnya. Kemudian beliau keluar, lalu shalat mengimami orang-orang, lalu masuk ke rumahku, kemudian melakukan shalat dua rakaat bakdiyah. Beliau pun melakukan shalat Maghrib mengimami orang-orang, kemudian memasuki rumahku, lalu melakukan shalat dua rakaat. Dan beliau mengerjakan shalat Isya mengimami orang-orang dan masuk ke rumahku, kemudian melakukan shalat dua rakaat. (HR. Muslim, no. 730)

Ketujuh: Berdoa pada hari Jumat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat. Beliau bersabda,

فِيهَا سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْألُ اللهَ شَيْئاً ، إِلاَّ أعْطَاهُ إيّاهُ

Di dalamnya terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba yang muslim tepat pada saat itu berdiri shalat meminta sesuatu kepada Allah, melainkan Allah pasti memberikan kepadanya.” Beliau pun mengisyaratkan dengan tangannya untuk menggambarkan sedikitnya (sebentarnya) waktu tersebut.” (HR. Bukhari, no. 935 dan Muslim, no. 852)

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah berkata, “Sudah sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak doa di hari Jum’at di waktu-waktu yang ada secara umum.” Lihat bahasan dalam Fiqh Ad-Du’a’, terbitan Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H, hlm. 46-48.

Kedelapan: Mencurahkan waktu untuk ibadah pada hari Jumat

Amalan-amalan ini kami peroleh dari @zadtv di Instagram (binaan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid), lalu dikembangkan dengan dalil-dalil.

Semoga hari Jumat kita penuh berkah, walau hanya mengganti dengan shalat Zhuhur di rumah, tidak Jumatan di masjid karena sebab wabah yang semakin menyebar. 

Jangan lupakan doa-doa baik pada Allah pada hari Jumat, kita terus memohon semoga bala dan musibah ini segera terangkat.


Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23699-8-amalan-pada-hari-jumat-walau-shalat-jumat-ditiadakan.html

Qunut Nazilah untuk Cegah Corona?

Qunut Nazilah Untuk Cegah Corona?

Bismillah
Assalamu’alaikum ustadz
Afwan ustadz. Ini menyampaikan pertanyaan dari pengurus bidang dakwah.
Apakah disaat wabah ini perlu menambahkan doa qunut disholat subuh. Mohon penjelasan ustadz. Syukron. Baarokallahu fiik

Dari : Mas Udin, di Sleman Yoyakarta.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.

Bismillah walhamdulillah was sholaatu was salam ‘ala Rasulillah, waba’du.

Menurut pandangan syariat, corona tergolong wabah. Para ulama seperti Ibnu Hajar rahimahullah, menjelaskan definisi waba’ (atau wabah dalam bahasa kita),

اسم لكل مرض عام

Istilah untuk menyebut segala penyakit yang menyebar kepada umumnya masyarakat. (Ghomzu ‘Uyun Al-Basho-ir 4/136 & Roddul Mukhtar 3/69)

Setelah kita tahu bahwa corona adalah wabah menurut kacamata syariat, kemudian mari kita pelajari pendapat para ulama tentang hukum qunut Nazilah untuk mengusir wabah. Ada tiga pendapat ulama dalam hal ini :

[1] Qunut nazilah disyariatkan untuk mengusir wabah tho’un dan wabah lainnya. Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama mazhab Hanafi, menjadi pendapat resmi mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.

[2] Qunut nazilah disyariatkan hanya untuk mengusir wabah penyakit selain tho’un. Karena orang yang meninggal karena tho’un, diberi pahala syahid. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i.

[3] qunut nazilah tidak disyariatkan untuk tho’un dan wabah penyakit lainnya. Ulama yang memilih pendapat ini, beberapa ulama Hambali dan Hanafi.

Wabah tho’un pada tiga pendapat fikih di atas, disebutkan secara khusus. Padahal secara definisi, tho’un termasuk wabah. Hal ini karena penyakit tho’un terdapat hadis khusus yang menjelaskan ganjarannya serta pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam, dan wabah ini meluas di masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu.

Catatan tebal juga tentang pembahasan ini :

Tho’un tergolong wabah, namun tidak semua wabah itu disebut tho’un. Seperti wabah virus Corona, tidak bisa disebut tho’un. Karena tho’un nama penyakit tertentu.

Tentang wabah tho’un, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,

الشهداء خمسة المطعون والمبطون، والغريق، وصاحب الهدم، والشهيد في سبيل الله متفق عليه

Orang yang mati syahid ada lima macam, yaitu orang yang meninggal karena wabah tha’un, sakit perut, tenggelam, tertiban reruntuhan, dan orang syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat yang Kuat (Rojih)

Pendapat yang paling kuat dari tiga pendapat di atas adalah, pendapat pertama. Bahwa qunut nazilah disyariatkan untuk mengusir semua jenis wabah, termasuk di dalamnya tho’un. Sehingga wabah virus Corona, termasuk sebab disunahkan melakukan qunut Nazilah.

Dalilnya adalah sebagai berikut :

Pertama, wabah corona termasuk nazilah (musibah besar). Karena musibah ini telah dirasakan di banyak negeri kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,

القنوت مسنون عند النوازل، وهو قول فقهاء أهل الحديث، وهو المأثور عن الخلفاء الراشدين رضي الله عنهم

Melakukan qunut disunahkan di saat terjadi nazilah (musibah besar). Inilah pendapat para ahli fikih dari kalangan ahli hadis. Dan juga diriwayatkan dari para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu’anhu ‘anhum. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/108)

Kedua, qiyas dengan qunut nazilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam pernah terjadi musibah pemboikotan serta penyiksaan sejumlah sahabat yang masih tinggal di Makkah, dilarang untuk hijrah ke Madinah. Lalu kemudian Nabi melakukan qunut nazilah.

Demikian pula saat tujuh puluh sahabat Nabi gugur di tangan kabilah Ri’l, Dzakwan dan Bani Lihyan. Mari kita simak cerita dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنَ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمُ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ قَالَ أَنَسٌ فَقَرَأْنَا فِيهِمْ قُرْآنًا ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ رُفِعَ (بَلِّغُوا عَنَّا قَوْمَنَا أَنَّا لَقِينَا رَبَّنَا فَرَضِيَ عَنَّا وَأَرْضَانَا)

“Penduduk kabilah Ri’l, Dzakwan, Ushayyah, dan Bani Lihyan meminta bantuan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melawan musuh. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirimkan tujuh puluh orang sahabat dari kaum Anshor yang biasa kami sebut al-Qurra’ (para penghafal al-Qur’an).

Al-Qurra’ pada masa itu biasa mencari kayu bakar di siang hari (sebagai mata pencaharian mereka) dan di malam hari mereka tekun shalat malam.

Di saat rombongan Al-Qurra’ tiba di Bi’r Ma’unah, mereka dibunuh dan dikhianati oleh penduduk keempat kabilah tersebut.

Berita itu sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun melakukan qunut (qunut nazilah) selama satu bulan penuh di shalat Subuh. Beliau mendoakan kebinasaan penduduk beberapa kabilah Arab, yaitu marga Ri’l, Dzakwan, Ushayyah, dan Bani Lihyan (HR. Bukhari).

Sisi qiyasnya adalah, jika musibah yang dirasakan oleh sejumlah orang saja disunahkan qunut, maka wabah corona yang bahayanya dirasanya oleh mayoritas negeri kaum muslimin, tentu lebih disunahkan untuk berqunut.

Ketiga, fatwa ulama.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

والصحيح المشهور أنه إذا نزلت نازلة كعدو وقحط ووباء وعطش وضرر ظاهر بالمسلمين ونحو ذلك، قنتوا في جميع الصلوات المكتوبات

“Yang tepat dan merupakan pendapat terkenal di kalangan para ulama, apabila ada musibah seperti diserang musuh, kemarau panjang, wabah penyakit, kekeringan serta bahaya yang tampak membahayakan lain muslim dll, hendaknya melakukan qunut di semua sholat fardu.” (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim 5/176)

Fatwa Mufti Negeri Mesir, Syekh Dr Ibrahim Syauqi ‘Allam, secara spesifik membahas tentang qunut nazilah untuk wabah corona :

يجوز شرعًا القنوت في الصلاة لصرف مرض الكورونا؛ لِكونه نازلةً من النوازل، ومصيبة من المصائب حلَّت بكثير من بلدان العالم، سواء كان القنوت لرفعه أو دفعه

Secara syari’at, boleh melakukan qunut nazilah di dalam shalat fardhu, dalam rangka mengusir wabah virus corona. Mengingat wabah corona tergolong musibah besar (nazilah), yang telah menimpa mayoritas negeri di dunia ini. Boleh melakukan qunut nazilah, baik untuk mengusirnya atau mencegahnya.(dikutip dari laman resmi lembaga fatwa Mesir )

Kesimpulannya, qunut nazilah untuk mengusir wabah virus corona disunahkan.

Tatacara Qunut Nazilah

  • Qunut nazilah boleh dilaksanakan di seluruh sholat fardhu. Namun paling sering Nabi melakukannya di sholat subuh, kemudian di sholat maghrib, kemudian isya, kemudian duhur, kemudian asar.
  • Doa qunut nazilah diucapkan pada saat bangkit dari ruku’ di raka’at terakhir (I’tidal).
  • Tidak ada batasan waktu tertentu terkait pelaksaan qunut nazilah. Disunahkan sampai musibah (nazilah) nya hilang.
  • Doa qunut disunahkan singkat.
  • Tidak ada redaksi tertentu untuk doa qunut nazilah. Boleh berdoa denga redaksi apa saja, asalkan berbahasa arab dan isi doa sesuai dengan musibah yang sedang dialami.

Adapun doa qunut subuh atau qunut witir, tidak disunahkan untuk dipakai untuk qunut nazilah.

  • Imam dan makmum disunahkan mengangkat tangan saat berdoa qunut nazilah.
  • Mengeraskan suara doa, meskipun dilakukan pada sholat-sholat yang lirih (sir), seperti duhur dan ashar.
  • Makmum disunahkan mengamini.
  • Qunut nazilah boleh dilakukan oleh orang yang sholat sendirian (munfarid), tidak harus dilaksanakan dalam sholat berjama’ah, terlebih di kondisi darurat corona seperti saat ini.
  • Jika qunut dilakukan dalam sholat munfarid, tetap disunahkan mengeraskan suara.

(http://www.feqhweb.com/vb/showthread.php?t=12719&p=88844#post88844)

Wallahua’lam bis showab.

******

Dijawab oleh Ustadz Ahmad Anshori
(Alumni Universitas Islam Madinah, Pengajar di PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta)

Read more https://konsultasisyariah.com/36273-qunut-nazilah-untuk-cegah-corona.html

Wasiat Luqman (Bag.7) : Jangan Sombong!

Baca pembahasan sebelumnya  Wasiat Luqman (Bag. 6) : Tiga Nasihat Penting

QS. Luqman Ayat 18

Pelajaran sealnjutnya dalam kisah Luqman yang Allah abadikan dalam Al Qur’an adalah mengenai bagaimana berinteraksi kepada sesama manusia, yaitu jangan bersikap sombong. Allah Ta’ala brrfirman :

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.“ (Luqman : 18)

Hakikat Kesombongan 

Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam sabdanya : 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“ Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)

Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” (Syarh Shahih Muslim, Imam Nawawi)

Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap al haq dan sombong terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadist di atas dalam sabda beliau, “sombong adalah menolak kebenaran dan suka meremehkan orang lain”. Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain. (Syarh Riyadus Shaalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin)

Memalingkan Muka Termasuk Kesombongan 

Termasuk bentuk kesombongan adalah memalingkan muka di hadapan manusia. Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong).”

Maksud dari ayat ini adalah larangan memalingkan wajah dengan menoleh ke kanan atau ke kiri ketika melewati atau berbicara dengan orang lain karena ada rasa meremehkan dan merendahkan orang tersebut. Ini termasuk bentuk kesombongan yang terlarang. 

Yang benar tatkala berbicara dengan orang lain maka arahkanlah wajah kepada lawan bicara. Sebagaimana hal ini diterangkan dalam hadits berikut :

ولو أن تلقى أخاك ووجهك إليه مُنْبَسِط، وإياك وإسبال الإزار فإنها من المِخيلَة، والمخيلة لا يحبها الله

“ Jika engkau bertemu saudaramu, berwajahlah ceria di hadapannya. Waspadalah dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki karena perbuatan tersebut termasuk kesombongan. Segala bentuk kesombongan tidak dicintai oleh Allah. ” (HR. Ahmad, shahih)

Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa maksudnya janganlah memalingkan wajah atau bermuka cemberut ketika berbicara dengan orang lain karena merasa sombong dan angkuh.

Tidak termasuk larangan dalam ayat ini apabila seseorang berpaling dari hadapan manusia karena menghindari dari melihat perkara yang terlarang, semisal jika bertemu dengan wanita yang bukan mahram. 

Larangan Berjalan dengan Sombong 

Dalam lanjutan ayat Allah Ta’ala berfirman :

وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا

dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” 

Maksud ayat ini adalah janganlah bersikap sombong dan angkuh. Janganlah melakukan hal tersebut karena perbuatan tersebut dibenci oleh Allah. Oleh karenanya dalam lanjutan ayat Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud jangan bersikap sombong yaitu begitu berbangga dengan nikmat dan akhirnya lupa pada pemberi nikmat. Dan jangan pula merasa ujub terhadap diri sendiri.

Faidah Ayat 

  1. Terdapat celaan terhadap dua hal yang merupakan kesombongan : berpaling dari manusia karena sombong dan berjalan di muka bumi dengan angkuh. 
  2. Hendaknya ketika seseorang berbicara dengan orang lain maka melihat dan menghadap ke wajah lawan bicaranya. 
  3. Dalam ayat di atas terdapat penetapan bahwa Allah mencintai hamba-Nya, Allah berfirman :

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“ Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Adanya peniadaaan kecintaan Allah terhadap orang yang sombong menunjukkan adanya penetapan cinta Allah kepada orang yang tidak sombong. 

  1. Larangan dari bersikap sombong dan membanggakan diri baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Kata (مُخْتَالٍ) artinya sombong dengan perbuatan. Sedangkan  (فَخُورٍ) artinya sombong dengan perkataan. 

Semoga kita bisa mengambil faidah dari ayat di atas dan kita berharap agar selalu terhindar dari berbagai macam bentuk kesombongan dalam diri kita.

Baca Juga:

Penulis : Adika Mianoki

Referensi :

  1. Tafsiir Al Qur’an Al ‘Adzim Surat Luqman karya Imam Ibnu Katsir rahimaullah  
  2. Taisiir Al Kariimi Ar Rahman Surat Luqman karya Sayaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
  3. . Tafsiir Al Qur’an Al Kariim Surat Luqman, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
  4. . At Tashiil li Ta’wiil at Tanziil Surat Luqman karya Syaikh Musthofa al ‘Adawiy hafidzahullah

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khaira

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/55541-wasiat-luqman-bag-7-jangan-sombong.html