Belajar dari Puasanya Kupu-Kupu

Metamorfosisis kupu-kupu seperti proses manusia yang menjalani puasa.

Kupu-kupu adalah hewan yang sangat indah dan menarik. Sayapnya yang berwarna-warni dengan motif yang sangat rapi serta kelincahannya terbang dari satu bunga ke bunga yang lain, menjadi daya tarik bagi setiap orang untuk mengagumi makhluk ini.

Kupu-kupu tak hadir begitu saja ke muka bumi, tapi melalui proses metaformosis dari binatang yang bernama ulat. Menyebut namanya, mungkin ada sebagian orang yang jijik, geli, takut, penyebab kulit gatal, perusak tanaman, dan sebagainya. Ia begitu identik dengan sifat yang tidak baik. Hampir tak ada orang yang mau menyentuhnya.

Namun, ketika seekor ulat berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah, semua orang pun berusaha memilikinya dan bahkan mengaguminya. Mereka tak merasa takut dengan seekor kupu-kupu yang sesungguhnya berasal dari ulat. Itulah kupu-kupu. Hewan yang indah dan menarik. Makanannya pun bahan pilihan, dan selalu membantu proses penyerbukan tanaman.

Untuk menjadi kupu-kupu, ulat terlebih dahulu menjadi kepompong. Itulah sebuah metamorfosis, yang dalam bahasa manusianya sedang menjalani puasa, menjauhkan dari dari makan dan minum, menutup dirinya dari hiruk pikuk kehidupan dunia.

Ia begitu mirip dengan cara kita beriktikaf, yaitu merenung diri dan melakukan pertobatan, sehingga keluar menjadi kupu-kupu yang indah, disayang semua orang dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.

Itulah barangkali gambaran puasa Ramadhan yang diharapkan oleh Allah SWT terhadap orang-orang yang beriman. Kita, umat manusia yang banyak berbuat salah dan dosa, hendaknya biasa belajar dari ulat dan mengubah diri menjadi manusia yang bertakwa dan disayang Allah SWT.

Tipe manusia yang disayang Allah itu adalah; pertama, orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati (tidak sombong) dan apabila orang jahil menyapa, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. (QS Al-Furqan [25]: 63).

Demikianlah gambaran orang mukmin yang berpuasa, senantiasa menyebarkan kelembutan dan keindahan, serta tidak suka berbuat keonaran dan kerusakan, di manapun dia berada. Sebagaimana sifat kupu-kupu yang hinggap di sebuah dahan yang tak akan pernah ada yang patah sekecil apa pun dahan yang dihinggapinya.

Kedua, mereka yang senantiasa mendirikan shalat lima waktu dan shalat tahajjud di malam hari sebagai wujud syukur kepada Allah (Al-Furqan [25]: 64, 73). Seperti kupu-kupu, di manapun seorang mukmin berada, dia akan selalu melaksanakan perintah Allah, menebarkan kasih sayang, dan menolong orang lain. Sebab, ia menyadari bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah seorang hamba yang juga tidak memiliki kemampuan apa-apa tanpa anugerah dari Allah SWT.

Ketiga, orang yang berhasil dalam pusanya, ia akan memilih  makanannya dari yang halal dan yang baik-baik saja, layaknya kupu-kupu yang hanya memilih sari madu bunga sebagai makanannya. Orang yang berpuasa dan mukmin sejati, akan senantiasa menjauhkan diri dari yang haram, seperti korupsi, mencuri, menipu, dan lainnya. (QS Al-Baqarah [2]: 168).

(Artikel Hikmah ini dimuat pertama kali di Republika pada 25 Agustus 2010)

Oleh H Jatiman Karim

KHAZANAH REPUBLIKA

Fikih Ringkas Shalat Tarawih

Definisi Shalat Tarawih

Tarawih adalah bentuk jamak dari tarwihah, secara bahasa artinya istirahat sekali. Dinamakan demikian karena biasanya dahulu para sahabat ketika shalat tarawih mereka memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya. Maka ketika sudah mengerjakan empat rakaat, mereka istirahat, kemudian mengerjakan empat rakaat lagi, kemudian istirahat, kemudian mengerjakan tiga rakaat (lihat Lisanul Arab, 2/462, Mishbahul Munir, 1/244, Syarhul Mumthi, 4/10).

Secara istilah tarawih artinya qiyam Ramadhan, atau shalat di malam hari Ramadhan (lihat Al Mughni, 1/455, Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 6/39).

Keutamaan Shalat Tarawih

  1. Shalat tarawih merupakan sebab mendapatkan ampunan dosa-dosa yang telah lalu

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

  1. Orang yang tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, dicatat baginya shalat semalam suntuk

Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, ia berkata:

قلت: يا رسولَ اللهِ، لو نَفَّلْتَنا قيامَ هذه اللَّيلةِ؟ فقال: إنَّ الرَّجُلَ إذا صلَّى مع الإمامِ حتى ينصرفَ، حُسِبَ له قيامُ ليلةٍ

Aku pernah berkata: wahai Rasulullah, andaikan engkau menambah shalat sunnah bersama kami malam ini! Maka Nabi bersabda: “sesungguhnya seseorang yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

  1. Orang yang rutin mengerjakan shalat tarawih, jika wafat maka dicatat sebagai shiddiqin dan syuhada

Dari Amr bin Murrah Al Juhani radhiallahu’anhu, ia berkata:

جاءَ رجلٌ من قُضاعةَ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال: إنِّي شهدتُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأنَّكَ رسولُ اللهِ، وصليتُ الصلواتِ الخمسَ، وصُمتُ رَمضانَ وقُمتُه، وآتيتُ الزكاةَ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: مَن ماتَ على هذا كانَ من الصِّدِّيقينَ والشُّهداءِ

Datang seseorang dari gurun kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: aku bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya engkau adalah utusan Allah. Aku shalat 5 waktu, aku puasa Ramadhan dan mengerjakan qiyam Ramadhan, dan aku membayar zakat. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “orang yang mati di atas ini semua, maka ia termasuk shiddiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2212, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin no.2939, dishahihkan Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan, 18).

Hukum Shalat Tarawih

Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkadah. Diantara dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُرغِّبُ في قيامِ رمضانَ من غير أنْ يأمرَهم فيه بعزيمةٍ، فيقولُ: مَن قامَ رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ له ما تَقدَّمَ مِن ذَنبِه

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memotivasi orang-orang untuk mengerjakan qiyam Ramadhan, walaupun beliau tidak memerintahkannya dengan tegas. Beliau bersabda: “Orang yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 2009, Muslim no. 759).

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Kedua: Dalil ijma

Al Imam An Nawawi mengatakan:

فصلاة التراويحِ سُنَّة بإجماع العلماء

“Shalat tarawih hukumnya sunnah dengan ijma ulama” (Al Majmu, 4/37).

Ash Shan’ani mengatakan:

قيام رمضان سُنَّة بلا خلاف

Qiyam Ramadhan hukumnya sunnah tanpa ada khilaf” (Subulus Salam, 2/11).

Shalat Tarawih Di Masjid Jama’ah

Shalat tarawih lebih utama dikerjakan secara berjamaah dari pada sendirian. Dalilnya:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى في المسجدِ ذاتَ ليلةٍ، فصلَّى بصلاتِه ناسٌ، ثم صَلَّى من القابلةِ، فكثُرَ الناسُ ثم اجتَمَعوا من الليلةِ الثالثةِ، أو الرابعةِ، فلم يخرُجْ إليهم رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا أصبحَ قال: قد رأيتُ الذي صنعتُم، فلمْ يمنعْني من الخروجِ إليكم إلَّا أنِّي خَشيتُ أنْ تُفرَضَ عليكم قال: وذلِك في رمضانَ

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat di masjid suatu malam, maka orang-orang pun ikut shalat di belakang beliau. Kemudian beliau shalat lagi di malam berikutnya. Maka orang-orang yang ikut pun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul di masjid di malam yang ketiga atau keempat. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak keluar. Ketiga pagi hari beliau bersabda: aku melihat apa yang kalian lakukan semalam. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kecuali aku khawatir shalat tersebut diwajibkan atas kalian”. Perawi mengatakan: “itu di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 1129, Muslim no. 761).

Sisi pendalilan:

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat tarawih secara berjama’ah di masjid. Namun yang menahan beliau untuk merutinkannya adalah beliau khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada umat beliau. Maka ini menunjukkan bahwa melaksanakannya di masjid lebih utama.

Kedua: Dalil ijma

Ath Thahawi mengatakan:

قد أَجمعُوا أنه لا يجوزُ للنَّاس تعطيلُ المساجِد عن قيام رمضانَ وكانَ هذا   القيام واجِبًا على الكِفايَة، فمَن فعَلَه كانَ أفضلَ مِمَّن انفرد به

“Para ulama ijma bahwa tidak boleh orang-orang meninggalkan masjid-masjid untuk mengerjakan qiyam Ramadhan. Dan qiyam Ramadhan ini fardhu kifayah, barangsiapa mengerjakannya berjamaah maka itu lebih utama dari pada sendirian” (Mukhtashar Ikhtilaf Ulama, 1/315).

Ibnu Qudamah mengatakan:

وقال ابنُ   قُدامةَ: (الجماعةُ في التراويح أفضلُ، وإنْ كان رجلٌ يُقتدَى به، فصلَّاها في   بيته، خِفتُ أن يَقتديَ الناس به، وقد جاء عن النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((اقتدوا   بالخُلفاء))، وقد جاء عن عُمرَ أنه كان يُصلِّي في الجماعة… ولنا: إجماعُ الصَّحابة على ذلك

“Berjamaah dalam mengerjakan shalat tarawih itu lebih utama. Andai ada seorang yang meniru Rasulullah dengan shalat di rumah, aku khawatir orang-orang lain akan mengikutinya. Padahal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘ikutilah para khulafa (ar rasyidin)’. Dan terdapat riwayat bahwa Umar bin Khathab mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah. Dan kami menegaskan bahwa para sahabat ijma akan hal ini” (Al Mughni, 2/124).

Ketiga: Dalil atsar sahabat

Dari Abdurrahman bin Abdil Qari, ia berkata:

خرجتُ مع عُمرَ بنِ الخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْه ليلةً في رمضانَ إلى المسجدِ، فإذا الناسُ أوزاعٌ متفرِّقون يُصلِّي الرجلُ لنَفسِه، ويُصلِّي الرجلُ فيُصلِّي بصلاتِه الرهطُ، فقال عُمرُ رَضِيَ اللهُ عَنْه: إني أَرَى لو جمعتُ هؤلاءِ على قارئٍ واحدٍ، لكان أمثلَ، ثم عَزَمَ فجمَعَهم إلى أُبيِّ بنِ كعبٍ

Aku keluar bersama Umar radhiallahu’anhu pada suatu malam bulan Ramadan ke masjid. Ketika itu orang-orang di masjid shalat berkelompok-kelompok terpisah-pisah. Ada yang shalat sendiri-sendiri, ada juga yang membuat jamaah bersama beberapa orang. Umar berkata: ‘Menurutku jika aku satukan mereka ini untuk shalat bermakmum di belakang satu orang qari’ itu akan lebih baik’. Maka Umar pun bertekad untuk mewujudkannya, dan ia pun menyatukan orang-orang untuk shalat tarawih berjamaah bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab” (HR. Bukhari no. 2010).

Waktu Pelaksanaan Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan setelah shalat isya, dan yang utama adalah setelah waktu isya yang terakhir. Ibnu Taimiyah mengatakan:

فما كان الأئمَّة يُصلُّونها إلَّا بعد العِشاء على عهد النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، وعهدِ خلفائه الراشدين، وعلى ذلك أئمَّةُ المسلمين، لا   يُعرف عن أحدٍ أنه تعمَّد صلاتَها قبل العِشاء، فإنَّ هذه تُسمَّى قيام رمضان

“Para imam tidak melaksanakan shalat tarawih kecuali setelah shalat Isya sebagaimana di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan di masa para Khulafa Ar Rasyidin, dan juga di masa para imam kaum Muslimin. Tidak diketahui ada yang bersengaja melaksanakannya sebelum shalat Isya. Dan oleh karena itukah shalat ini disebut qiyam Ramadhan” (Majmu Al Fatawa, 23/120).

Beliau juga mengatakan:

السُّنة في التراويح أنْ تُصلَّى بعد العِشاء الآخِرةِ، كما اتَّفق على ذلك السَّلَف والأئمَّة

”Yang sunnah dalam melaksanakan melaksanakan shalat tarawih adalah setelah waktu isya yang terakhir. Sebagaimana ini telah disepakati oleh para salaf dan imam kaum Muslimin” (Majmu Al Fatawa, 23/119).

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Shalat tarawih dan shalat malam secara umum tidak memiliki batasan tertentu. Dalil akan hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Dalil As Sunnah

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata:

أنَّ رجلًا سألَ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن صلاةِ اللَّيل، فقال رسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: صلاةُ الليلِ مَثْنَى مثنَى، فإذا خشِيَ أحدُكم الصبحَ صلَّى ركعةً واحدةً، تُوتِر له ما قدْ صلَّى

Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai shalat malam. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

ما كان يَزيدُ في رمضانَ، ولا في غيرِه على إحْدى عَشرةَ ركعةً ؛ يُصلِّي أربعَ رَكَعاتٍ فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنَّ، ثم يُصلِّي أربعًا، فلا تسألْ عن حُسنهنَّ وطولهنِّ ، ثم يُصلِّي ثلاثًا

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya. Beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 rakaat, jangan tanya mengenai bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 3 rakaat” (HR. Bukhari no. 2013, Muslim no. 837).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma beliau berkata:

كان صلاةُ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ثلاثَ عَشرةَ ركعةً. يعني: باللَّيل

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah shalat 13 rakaat di malam hari” (HR. Bukhari no. 1138, Muslim no. 764).

Sisi pendalilan:

Dari hadits-hadits ini diketahui bahwa  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak membatasi jumlah rakaat shalat yang dikerjakan setelah Isya.

Kedua: Dalil ijma’

Ibnu Abdil Barr mengatakan:

وقد أجمَع العلماءُ على أنْ لا حدَّ ولا شيءَ مُقدَّرًا في صلاة الليل،   وأنَّها نافلة؛ فمَن شاء أطال فيها القيام وقلَّت ركعاته، ومَن شاء أكثر الركوع والسجود

“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan rakaat tertentu dalam shalat malam. Dan bahwasanya hukumnya adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin memanjangkan berdirinya dan menyedikitkan rakaatnya, silakan. Barangsiapa yang ingin memperbanyak rukuk dan sujud, silakan” (Al Istidzkar, 2/102).

Beliau juga mengatakan:

أكثرُ الآثار على أنَّ صلاته كانت إحدى عشرةَ ركعةً، وقد رُوي ثلاث عشرة ركعة، واحتجَّ العلماء على أنَّ صلاة الليل ليس فيها حدٌّ محدود، والصلاة خيرُ موضوع، فمَن شاء استقلَّ ومَن شاء استكثر

“Kebanyakan shalat malam Nabi itu 11 rakaat. Namun terdapat riwayat bahwasanya beliau pernah shalat 13 rakaat. Oleh karena itu para ulama berdalil dari sini bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya. Dan shalat adalah perkara yang paling baik. Siapa yang ingin mempersedikitnya silakan, yang ingin memperbanyaknya juga silakan” (Al Istidzkar, 2/98).

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan:

ولا خلافَ أنه ليس فى ذلك حدٌّ لا يُزاد عليه ولا يُنقص منه، وأنَّ صلاة الليل من   الفضائل والرغائب، التي كلَّما زِيد فيها زِيد فى الأجر والفضل، وإنما الخلافُ في فِعل النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما اختاره لنفْسه

“Tidak ada khilaf bahwa shalat malam itu tidak ada batasannya yang paten sehingga tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Shalat malam adalah keutamaan dan hal yang sangat dianjurkan, yang semakin banyak dikerjakan maka semakin banyak pahalanya. Yang diperselisihkan adalah mana jumlah rakaat yang sering dilakukan Nabi dan yang menjadi pilihan (kesukaan) Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk dirinya” (Ikmalul Mu’lim, 3/82).

Al ‘Iraqi mengatakan:

قد اتفق العلماء على أنه ليس له حدٌّ محصور

“Ulama sepakat bahwa shalat malam itu tidak ada batasan rakaatnya” (Tharhu At Tatsrib, 3/43).

Tata Cara Shalat Tarawih

Shalat tarawih dilaksanakan dua rakaat – dua rakaat. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, juga pendapat Abu Yusuf dari Hanafiyah. Dalilnya:

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

صلاةُ الليلِ مَثنَى مَثنى، فإذا رأيتَ أنَّ الصبحَ يُدركُك فأَوتِر بواحدةٍ .قال: فقيل لابن عُمر: ما مَثنَى مَثنَى؟ قال تُسلِّم في كلِّ ركعتينِ

Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika engkau melihat bahwa subuh akan datang, maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaat shalatnya menjadi ganjil”. Ibnu Umar ditanya: “apa maksudnya dua rakaat-dua rakaat?”. Ibnu Umar berkata: “maksudnya, setiap dua rakaat, salam” (HR. Bukhari no. 990, Muslim no. 749).

Dari Aisyah radhiallahu’anha beliau berkata:

كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي فيما بين أن يَفرغَ من صلاةِ العِشاءِ – وهي التي يدعو الناسُ العتمةَ – إلى الفجرِ إحْدى عشرةَ ركعةً، يُسلِّمُ بين كلِّ ركعتينِ، ويُوتِرُ بواحدةٍ

Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam antara setelah selesai shalat Isya, yaitu di waktu yang disebut orang sebagai atamah, sampai terbit fajar, beliau shalat 11 rakaat. Dengan salam di setiap dua rakaat kemudian, shalat witir satu rakaat” (HR. Muslim no. 736).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

والأفضل أن يُسلِّم من كل اثنتين ويوتر بواحدةٍ كما تقدَّم في حديث ابنِ عمر:   «صلاةُ الليل مَثْنى مثنى، فإذا خشِي أحدُكم الصبحَ صلَّى واحدةً تُوتِر له ما قد   صلَّى

“Shalat malam yang paling utama adalah salam di tiap dua rakaat, dan satu rakaat witir. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar: shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat” (Majmu Fatawa Ibnu Baz, 11/324).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:

وصلاة الليل تَشمل التطوُّعَ كلَّه والوترَ، فيصلي مَثْنَى مثنى، فإذا خشِي الصبح   صلَّى واحدة فأوتَرتْ ما صلى

“Shalat malam mencakup semua shalat sunnah di malam hari, caranya dengan dua rakaat-dua rakaat, jika khawatir masuk waktu subuh maka shalatlah satu rakaat untuk membuat rakaatnya ganjil” (Majmu Fatawa war Rasail, 20/412).

Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Tidak ada batasan tertentu mengenai bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Namun disunnahkan untuk membaca Al Qur’an 30 juz. Al Kasani mengatakan:

السُّنة أن يختمَ القرآن مرةً في التراويح، وذلك فيما قاله أبو حنيفة، وما أمر به عمرُ، فهو من باب الفضيلة، وهو أن يختمَ القرآن مرَّتين أو ثلاثًا، وهذا في زمانهم، وأمَّا في زماننا فالأفضل أن يقرأ الإمامُ على حسب حال القوم من الرغبة والكسل، فيقرأ قدْرَ ما لا يوجب تنفيرَ القوم عن الجماعة؛ لأنَّ تكثير الجماعة   أفضلُ من تطويل القراءة

“Disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam shalat tarawih. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah. Dan Umar bin Khathab pun memerintahkannya. Ini merupakan keutamaan, dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak dua atau tiga kali (dalam shalat tarawih) di zaman beliau. Adapun di zaman kita, yang utama imam membaca yang sesuai dengan keadaan kaumnya. Terkadang ada kaum yang semangat dan terkadang ada kaum yang pemalas. Maka hendaknya imam membaca bacaan yang tidak membuat orang meninggalkan jama’ah. Karena memperbanyak jumlah orang dalam jama’ah leih utama dari pada memperlama bacaan dalam shalat jama’ah” (Bada’i Ash Shana’i, 1/289).

Ad Dardir mengatakan:

“و” نُدِب للإمام “الخَتْم” لجميع القرآن   “فيها”، أي: في التراويح في الشهر كلِّه ليُسمِعَهم جميعه

“Dianjurkan bagi imam untuk mengkhatamkan seluruh Al Qur’an di bulan Ramadhan, yaitu di dalam shalat tarawih, agar jamaah mendengar semua bagian dari Al Qur’an” (Asy Syarhul Kabir, 1/315).

Men-jahr-kan Bacaan Dalam Shalat Tarawih

Disunnahkan men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih. Ulama ijma akan hal ini. An Nawawi mengatakan:

أجمع المسلمون على استحباب الجَهر بالقِراءة في… صلاة   التراويح، والوتر

“Ulama Islam sepakat disunnahkannya men-jahr-kan bacaan Qur’an dalam shalat tarawih dan witir” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 1/130).

Demikian fikih ringkas shalat tarawih, semoga bermanfaat. Wabillahi at taufiq was sadaad.

***

Penyusun: Yulian Purnama

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/39630-fikih-ringkas-shalat-tarawih.html

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari – 4)

Allah swt Berfirman :

وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ وَأَبۡقَىٰٓ

“Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS.Al-A’la:17)

وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ

Tetapi orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata, “Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar.” (QS.Al-Qashash:80)

قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٌ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ وَلَا تُظۡلَمُونَ فَتِيلًا

Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa (mendapat pahala turut berperang) dan kamu tidak akan dizhalimi sedikit pun.” (QS.An-Nisa’:77)

وَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَيۡءٖ فَمَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتُهَاۚ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ

Dan apa saja (kekayaan, jabatan, keturunan) yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti? (QS.Al-Qashash:60)

Ayat-ayat ini ingin mengingatkan kita kembali bahwa ada suatu penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia. Penyakit ini menjangkiti hati manusia dan menjadi sebab utama kehancuran hidupnya.

Gejala seseorang yang terjangkiti penyakit ini adalah :

1. Pikirannya tak pernah terlepas dari memikirkan dunia dan hal-hal yang terkait dengannya.

2. Segala cara ia lakukan untuk mendapatkan dunia, tak peduli dengan cara yang halal ataupun yang haram.

3. Tidak berbicara kecuali hal-hal yang berbau duniawi.

4. Menjadikan seluruh waktunya, tujuannya dan semua daya upayanya untuk mengejar dunia.

Ya, penyakit itu di sebut Cinta Dunia. Apabila gejala-gejala ini muncul dalam diri kita maka perlu segera di antisipasi dan di obati ! Karena ketika gejala-gejala ini muncul berarti kita sedang dalam kondisi yang sangat-sangat berbahaya.

Rasulullah saw mengomentari penyakit ini dalam sabdanya :

حُبُّ الدُّنيَا رَأسُ كُلِّ خَطِيئةٍ

“Cinta dunia adalah pangkal semua kesalahan.”

Dalam kondisi yang paling berbahaya ini, maka kita harus segera mengobati diri dengan terapi kesadaran dan merenungkan ayat-ayat di atas. Ayat-ayat ini adalah obat yang paling ampuh untuk mengobati penyakit Cinta Dunia.

Dengan ayat-ayat di atas kita akan menggugah hati bahwa seluruh kenikmatan dunia ini akan sirna. Pasti akan sirna entah kita yang meninggalkannya dengan kematian, atau dunia itu meninggalkan kita dalam kebangkrutan atau ketidak berdayaan. Yang kaya seketika bisa menjadi miskin dan yang sehat seketika bisa menjadi sakit.

Setiap jiwa kita mengajak untuk meraih dunia dengan menghalalkan segala cara, ingatlah bahwa pahala Allah lebih baik dan lebih kekal…

Ingatlah bahwa dunia ini sangat singkat dan sementara, sementara kehidupan akhirat itu kekal selamanya. Jangan pernah kau jual akhiratmu yang mahal dan kekal dengan dunia yang hina dan sementara.

Ingatlah bahwa kematian pasti akan datang kapanpun, terkadang tanpa ada tanda-tanda yang berarti. Sehingga tiada lagi kesempatan untuk mempersiapkan diri, tiba-tiba waktumu berhenti dan engkau hanya mampu menyesali.

Kita di lahirkan di dunia. Kita tidak dilarang untuk menikmati dunia. Tapi kejarlah dunia dengan cara yang indah, cara yang di ridhoi oleh Allah swt. Jadilah orang yang paling kaya, tapi jadikan semua itu hanya perantara untuk mengantarmu menuju kehidupan yang sebenarnya.

Jadikan dunia hanya perantaramu, bukan tujuan hidupmu !

Ayat-ayat ini harus selalu terngiang di benak kita. Bahwa dunia ini sementara dan akhirat itu kekal selamanya. Dunia ini tak berharga dibanding pahala dan janji Allah swt. Karena dengan ayat-ayat ini kita akan mampu meredam keinginan-keinginan kita yang akan menjerumuskan dalam cinta dunia yang menghancurkan.

Semoga bermanfat…

KHAZANAH ALQURAN

Amalan di Bulan Ramadhan (4)

Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan.

Sebagai umat Islam, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan amalan di bulan Ramadhan. Hal ini jelas karena banyak keutamaan melakukan amalan di bulan Ramadhan. Di antara amalan bulan Ramadhan yang bisa dilakukan yaitu:

d. Menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam kemuliaan yang lebih baik dari pada seribu bulan. Menurut pendapat paling kuat, malam kemuliaan itu terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, terlebih lagi pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan 29.
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS al-Qadar [97]: 3).

Malam itu adalah pelebur dosa-dosa di masa lalu, Rasulullah SAW bersabda: “Dan barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar semata-mata karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR Bukhari).

Yang dimaksud dengan menghidupkan lailatul qadar adalah dengan memperbanyak sholat malam, membaca Alquran, dzikir, berdoa, membaca shalawat, tasbih, istighfar, i’tikaf, dan lainnya. Aisyah RA berkata, ‘Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku mendapatkan lailatul qadar, maka apa yang aku ucapkan? Beliau menjawab, ‘Bacalah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Yang suka mengampuni, ampunilah aku.”

e. Memperbanyak sedekah

Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah, dan Rasul SAW lebih pemurah lagi di bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas RA, ia berkata: “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling pemurah, dan beliau lebih pemurah lagi di bulan saat Jibril AS menemui beliau, …” (HR Bukhari).

KHAZANAH REPUBLIKA

IPHI Imbau Calhaj Fokus Jalankan Ibadah Puasa

Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) meimbau calon jamaah haji (Calhaj) fokus menjalankan ibadah puasa. Jamah tidak perlu memikirkan apakah tahun ini bisa berangkat atau tidak ke Tanah Suci.

“Para calon jamaah haji Indonesia sudah saatnya untuk lebih fokus mempersiapkan diri dalam memasuki b culan suci Ramadhan,” kata Ketua Umum IPHI H Ismed Hasan Putro saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (23/4).

Ismed menyarankan, sebaiknya para calhaj tidak larut dan terjebak dalam kegamangan antara jadi berangkat haji atau tidak tahun ini. Karena memang, sampai saat ini Pemerintah Saudi belum memberikan kepastian apakah ibadah haji dapat dilaksanakan atau ditutup seperti halnya umroh.

“Manfaatkanlah bulan suci Ramadhan sebagai bagian dari proses ritual untuk mempertebal dan memperluas wawasan ke Islaman masing-masing,” ujarnya.

Untuk itu Ismed mengajak calon jamaah umumnya umat Islam Untuk memperbanyak ibadah dan beramal sosial pada masyarakat sekitar yang terdampak Covid -19. Hal itu lebih baik daripada larut dengan ketidak pasti antar jadi berangkat haji atau tidak. ” Lebih baik kita meningkatkan terus kualitas ibadah dan ketebalan kesholehan sosialnya,” katanya.

Karena kata Ismed, kesholehan sosial yang termanifestasi dalam semangat berbagai pada saudara kita yang tengah mengalami kesulitan hidupnya. Manifestasi itu merupakan refleksi dari kualitas keimana dan ke Islaman seorang insan, atau hamba Allah SWT.

Bulan suci Ramadhan ini kata Ismed merupakan momentum yang luhur bagi para calon jamaah haji Indonesia untuk merekatkan semangat persaudaraan dan kebersamaan. Baik pada tataran masyarakat maupun dengan Keluarga di rumah masing-masing.

Para  kesempatan ini, Ismed juga menyampaikan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan kepada seluruh alumni haji dan para calon amaah Haji Indonesia. Ia berharap Allah memberikan kekuatan kepada semua umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa.

“Semoga kita semua tetap diberi kesabaran, kekuatan dan kesehatan untuk bisa melaksanakan puasa Ramadhan yang lebih khusuk dan semakin berkualitas,” katanya.

IHRAM

Tentang Virus dari Sisi Herbal

Sepengetahuan saya -sebagaimana yang dikatakan Shinshe Abu Muhammad- semoga Allah menjaganya- bahwa virus itu dikategorikan faktor patogen luar dan sindrom penyakit yang diderita seseorang (akibat dari virus) adalah sindrom luar.

Cara pandang pengobatan tradisional klasik itu adalah penyakit yang masih di luar (belum sampai ke organ) ini merupakan penyakit yang ringan bukan penyakit mematikan.

Pola penyakit sindrom luar itu diantaranya adalah flu, batuk, demam, sakit tenggorokan, kadang pusing, takut dingin, mual, dan lain-lain.

Cara pandang ini tidak sama dengan pengobatan konvensional.

Karena terkadang menurut pengobatan klasik ini berat namun menurut konvensional ini ringan dan kadang sebaliknya menurut ini ringan dan menurut yang itu berat.

Kalau virus ini tergolong penyakit ringan, Namun kenapa dapat menyebabkan kematian?

Hal ini dikembalikan kepada Qalbu si penderitanya. Kuat tidak melawan penyakit tersebut.

Kalau dia kalah dalam pergulatan batin melawan penyakit itu maka akan hadir ketakutan, khawatir, panik, dan kecemasan yang kita tahu bahwa hal itu dapat melemahkan daya tahan tubuh seseorang (imunitas tubuh menurun).

Hal tersebut pernah terjadi pada seorang Arab Badui yang Nabi ﷺ pernah menjenguknya, padahal penyakitnya hanya demam. Namun dirinya kalah dan beranggapan negatif pada dirinya sehingga mati dengan sikapnya itu, bukan karena penyakitnya,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أَعْرَابِيٍّ يَعُودُهُ فَقَالَ لَا بَأْسَ عَلَيْكَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ قَالَ الْأَعْرَابِيُّ طَهُورٌ بَلْ هِيَ حُمَّى تَفُورُ عَلَى شَيْخٍ كَبِيرٍ تُزِيرُهُ الْقُبُورَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَعَمْ إِذًا

Bahwa Rasulullah ﷺ pernah menjenguk seorang arab badui yang sedang sakit. Beliau katakan: “Kamu tidak apa-apa, Insya Allah baik-baik saja.” Lantas si arab badui menjawab, “Apa!  Tidak apa-apa?! Bahkan ini adalah demam yang menggelegak atas orang yang sudah tua renta yang menghantarkannya kepada kuburan.” Maka Nabi ﷺ berkata: “Semoga iya, kalau begitu.” (HR. Bukhari, kitab Tauhid, bab Al-Masyi’ah wal Iradah, no.7470,

Dalam Syarahnya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani-rahimahullah-membawakan riwayat dari at-Thabari, Ibnu Sakan, Ad-Daulabi, dan Abddurrazzaq, bahwa orang Arab Badui tadi di pagi harinya langsung wafat)

أن الأعرابي المذكور أصبح ميتا…

‘Bahwa orang Arab Badui tersebut dipagi harinya meninggal’. Lihat: Fathul Bari, 10/230.

Dalam hadits ini banyak faedahnya, di antara yang sangat kita berhajat dengannya adalah menganggap ringan segala penyakit badan.

Sabda Nabi ﷺ di riwayat lain masih di Shahih Bukhari dan kisah yang sama pula dari sahabat yang sama pula Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, di bab Al-Mardhaa, no. 5656 ada tambahan lafadz:

َ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَى مَرِيضٍ يَعُودُهُ قَالَ لَا بَأْسَ طَهُورٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Setiap kali beliau menjenguk orang sakit, maka beliau akan mengatakan kepadanya: Tidak apa-apa, Insya Allah baik-baik saja.”

Lihatlah sikap beliau ﷺ, kalau melihat orang sakit selalu menganggapnya ringan, meskipun itu terlihat parah namun tetap saja ringan, karena selama belum merusak aqidahnya berarti itu masih ringan.

Demikian pula ketika datang seorang wanita yang berkulit hitam yang menderita penyakit (sejenis epilepsi/ayan). Dengan tenang dan sederhananya Nabi ﷺ menyikapi penyakit wanita tersebut dengan ungkapan:

قَالَ « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ » . فَقَالَتْ أَصْبِرُ .

“Jika engkau mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau aku akan berdoa kepada Allah agar menyembuhkanmu”, Wanita itu pun menjawab, “Aku memilih bersabar.”

(HR. Bukhari no.5652, Muslim no. 2576)

Lihatlah sikap beliau ﷺ ini! Menyederhanakan penyakit badan bahwa penyakit badan itu hakekatnya ringan; seberat apapun itu.

Termasuk dengan wabah yang menyebar pun, beliau ﷺ menyikapinya dengan sederhana.

Beliau ﷺ bersabda:

الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

“Penyakit Tha’un (wabah yang menyebar) dapat menjadikan mati syahid bagi setiap muslim.”

(HR Bukhari no.5732, Muslim no.1916)

Seharusnya hal ini menjadi kabar gembira bagi setiap muslim, bukan justru ketakutan menghadapinya.

UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR

Adapun mengenai mengambil sebab (الأخذ بالأسباب)

Upaya yang bisa dilakukan jika ada penyakit yang dapat menular adalah:

Pertama: Jaga Jarak; tidak bersentuhan langsung dengan penderita

ٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ

“Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit kusta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima bai’at Anda. Karena itu Anda boleh pulang.’” (HR. Muslim no. 2231)

Kedua: Jaga daya tahan tubuh

Kaidah dari Al-Imam Ibnul Qayyim-rahimahullah- adalah:

حفظ القوة مقدم على الحمية

Menjaga Energi vital (daya tahan tubuh) lebih diutamakan ketimbang berpantang (tindakan preventif). Lihat: Al-Fawa-id, bab Faidah Jaliilah bagian ke-5, hal.174.

Menurut pengobatan tradisional klasik upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga daya tahan tubuhnya atau sistem imunitasnya adalah cukup sederhana yaitu cukup dengan mengonsumsi teh kunyit.

RESEP TEH KUNYIT UNTUK MENJAGA DAYA TAHAN TUBUH

Resep ini (Wedang kunyit) ana dapatkan dari Shinshe Suhendri.

Cara bikin teh kunyit:
Ambil satu ruas kunyit sebesar telunjuk, bisa diparut lalu seduh dengan air panas tambahkan 3 sendok makan madu atau bisa juga direbus. Rebus dengan dua gelas air, sisakan separuhnya.

Selain teh kunyit dapat dengan mengonsumsi kapsul kunyit; pagi satu sore, satu kapsul.

Konsumsi itu selama 11 hari, pagi dan sore.

Semoga bermanfaat…

Ustadz Ahmad Milda, Lc. via Ustadz Badrusalam, Lc.

Read more https://pengusahamuslim.com/6982-tentang-virus-dari-sisi-herbal.html

Malaikat Menjaga Makam Ahli Puasa

SETIAP orang tentu saja mengharapkan kenikmatan di dalam kuburnya ketika dia sudah meninggal dunia nanti. Salah satu cara untuk mendapatkan kenikmatan itu adalah dengan rajin berpuasa. Seperti kisah di bawah ini tentang jenazah yang dijaga oleh malaikat di dalam kuburnya.

Di dalam sebuah riwayat yang berasal dari Sufyan As-Tsauri diceritakan bahwa ada seorang muslim yang telah mendapatkan kebahagiaan di alam barzah karena ia rajin berpuasa. Pada saat meninggal dunia, ia mendapatkan kenikmatan yang sangat luar biasa karena amalan-amalan ibadah selama hidupnya di dunia mampu menjaga dirinya.

Kejadian itu terjadi pada saat Sufyan AsTsauri tinggal di Makkah selama tiga tahun. Ketika itu, Sufyan salut melihat salah seorang penduduk Makkah yang bernama Abdullah. Pria itu memiliki kebiasaan beribadah yang sangat istiqomah. Selain istiqomah puasa sunnah, ia juga selalu datang ke Masjidil Haram pada waktu terik matahari, lalu melakukan tawaf dan shalat sunnah dua rakaat.

Sebelum pulang, ia biasa menyalami Sufyan sehingga diantara keduanya terjalin persahabatan yang sangat erat. Namun, pada siang hari yang terik, Sufyan tidak lagi menemukan Abdullah. Tentu saja hal itu membuat dirinya penasaran karena waktu sudah lepas dari shalat Ashar, namun sahabatnya itu tak kunjung datang ke masjid.

Rasa penasaran itu membuatnya selalu bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Abdullah?”Apa yang terjadi dengan sahabatku Abdullah?”

“Apakah dia sedang sakit?”

Pertanyaan itu terus berkecamuk dalan hati dan pikiran Sufyan.

Berawal dari situlah akhirnya Sufyan mendatangi rumah Abdullah. Dugaan Sufyan ternyata benar adanya. Pada saat itu Abdullah sedang terbaring sakit di ranjangnya. Dalam kondisi yang sangat lemah tersebut, Abdullah memanggil sahabatnya untuk duduk lebih dekat dengannya sembari mengucapkan sesuatu.

“Apabila aku mati nanti, hendaklah kamu sendiri yang memandikan aku, menyalatiku, lalu kuburkan aku dan jangan kau tinggalkan aku sendirian di kuburan pada malam harinya. Talqinkanlah aku dengan kalimat tauhid ketika Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku,” ujar Abdullah.

Sufyan pun menyanggupinya dan tak lama kemudian Abdullah meninggal dunia. Sufyan sangat sedih karena telah kehilangan sahabat karibnya itu. Meski demikian, Sufyan tetap sabar dan ikhlas sembari melaksanakan amanah yang disampaikan almarhum kepadanya. Ia merawat jenazah almarhum dengan memandikan, mengkafani, menyalati hingga ikut menguburkannya.

Berkat Puasa

Pada malam harinya, Sufyan juga menunggu seorang diri di atas makam sahabatnya itu sambil membacakan kalimat talqin. Beberapa saat kemudian, antara sadar dan tidak, Sufyan mendengar suara dari atas.

“Wahai Sufyan, orang tersebut tidak butuh penjagaanmu, tidak butuh talqinmu, tidaj juga butuh pelipur laramu karena aku telah mentalqinkannya dan memberinya kesenangan, “kata suara tanpa wujud itu.”Dengan apa engkau menjaganya? “tanya Sufyan.

“Dengan puasa di bulan Ramadhan dan diikuti puasa 6 hari di bulan syawal,” jawab suara itu.

Tak lama setelah dialog itu,tiba-tiba Sufyan terjaga dan tersadar. Ia kaget karena saat itu ia tidak melihat seorang pun di sekelilingnya. Sufyan masih ragu, apakah suara itu berasal dari malaikat atau setan yang berupaya menghasutnya. Oleh karena itu, Sufyan kemudian pergi untuk mengambil air wudhu, melaksanakan shalat, kemudian pergi tidur.

Anehnya, dalam tidur itu ia bermimpi sama persis dengan kejadian tadi. Bahkan mimpinya berulang hingga tiga kali. Hal itu membuat Sufyan yakin sekali bahwa suara itu berasal dar malaikat Allah, bukan dari setan. Ia juga mengerti bahwa sahabatnya itu telah mendapatkan nikmat kubur.

Sufyan pun berdoa kepada Allah SWT,”Ya Allah, dengan anugerah dan kemuliaan-Mu, berilah aku taufik agar dapat berpuasa seperti puasanya sahabatku ini, amiiin.”

INILAH MOZAIK

Satu Bulan Bersama Al-Qur’an (Hari – 3)

Allah swt Berfirman :

وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِيٓ إِلَىٰٓ أَجَلٖ قَرِيبٖ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS.Al-Munafiqun:10)

Renungan kita kali ini adalah mengenal agungnya sedekah di sisi Allah swt. Sehingga dalam ayat ini Allah swt menceritakan seseorang yang dalam keadaan sekarat dan mulai melihat alam lain, ia memohon di beri kesempatan lagi untuk melanjutkan hidup karena ia ingin “bersedekah”.

Ayat ini sangat mengherankan. Orang itu ingin di beri kesempatan untuk hidup beberapa waktu lagi karena ia ingin bersedekah. Ada apa dengan sedekah? Kenapa ia tidak berkata “Aku ingin Solat. Aku ingin Puasa. Aku ingin Haji atau Umrah.” ?

Mengapa ia tidak memohon karena ia ingin membaca Al-Qur’an? Ingin berbakti kepada orang tua? Atau ingin melakukan amal sholeh lainnya. Namun ia justru memohon dengan sangat agar Allah mengundurkan ajalnya karena ia ingin Bersedekah. Dan di akhiri dengan harapan bahwa ia ingin menjadi orang yang sholeh.

Dari ayat ini kita kan melihat begitu agungnya arti sedekah di mata Islam. Dalam beberapa riwayat yang sering kita baca, sedekah memiliki beberapa keajaiban berikut ini :

1. Sedekah akan menjauhkan seseorang dari akhir kehidupan yang Su’ul Khotimah.

2. Sedekah akan mengikir kemiskinan dan menambah umur.

3. Sedekah adalah obat bagi yang sakit.

4. Sedekah adalah penolak bala’.

5. Sedekah memancing rezeki.

6. Sedekah menghilangkan rasa sedih dan akan menyelamatkan seseorang dari binatang buas.

7. Dengan bersedekah dosa seseorang akan di ampuni.

8. Setiap mukmin akan berlindung dengan naungan sedekahnya di Hari Kiamat, disaat tidak ada lagi tempat berlindung.

9. Sedekah menyelamatkan seseorang dari api neraka.

10. Sedekah 70 kali lebih mulia dari Haji yang selain haji wajib.

Begitu dahsyatnya pengaruh sedekah bagi kehidupan seseorang di dunia hingga kehidupannya di akhirat. Maka tak heran bila seseorang yang ajalnya telah tiba memohon kepada Allah untuk di undur ajalnya karena ia ingin memperbanyak sedekah.

Manfaatkan waktu kita yang tersisa ini dengan sebaik mungkin. Khususnya di bulan Ramadhan keutamaan sedekah menjadi berlipat ganda.

Ingatlah bahwa sesuatu yang ada di tangan kita belum tentu menjadi milik kita. Namun sesuatu yang kita sedekahkan akan kekal selamanya.

Bila kita mencintai harta kita, maka jangan mau untuk berpisah dengannya. Dan satu-satunya cara agar kita tidak kehilangan harta itu selamanya adalah dengan bersedekah, maka hartamu akan menemanimu selamanya !

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Memakmurkan Masjid di Tengah Wabah Covid-19

Setelah WHO menyatakan wabah virus Corona (Covid 19) telah menjadi pandemi, dan memperhatikan desakan dari berbagai pakar dan kelompok dengan makin massifnya wabah di tengah masyarakat, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan keadaan darurat Covid 19.

Masyarakat diminta untuk tinggal di rumah (stay at home) dan menjaga jarak dalam berinteraksi (physical/social distancing). Dalam pada itu keluar pula fatwa MUI bahwa untuk kawasan atau daerah yang terpapar wabah Covid 19, demi menghindari meluasnya penularan wabah, maka ummat Islam diminta untuk tidak menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Shalat Jum’at diganti dengan shalat dzuhur di rumah.

Beberapa pemerintah daerah menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat dan fatwa MUI tersebut dengan membuat surat edaran yang isinya meminta kepada pengurus masjid dan masyarakat untuk tidak menyelenggarakan shalat jum’at dan dan shalat berjama’ah di masjid.

Pada umumnya surat edaran tersebut memohon kiranya shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid ditiadakan selama dua pekan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masa inkubasi Covid 19 adalah 14 hari. Maka untuk memutus mata rantai penyebaran wabah Covid 19 harus dilakukan social distancing di masjid selama dua pekan.

Tapi sampai saat ini, ketika himbauan dan fatwa MUI tersebut telah berlalu tiga pekan, ummat Islam belum juga kembali shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Sudah 3 kali shalat Jum’at tidak diselenggarakan di masjid. Tentu dengan pengecualian beberapa masjid yang pengurus dan masyarakat sekitarnya sepakat untuk “tidak taat” pada fatwa tersebut.

Dapat diduga bahwa untuk hari jum’at depan dan beberapa waktu kedepan tetap tidak akan diselenggarakan shalat jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Apalagi grafik wabah covid semakin menanjak. Pemerintah telah menetapkan Darurat Bencana Covid 19 sampai 29 Mei 2020.

Jika “darurat tidak shalat di Masjid” tersebut tetap mengikuti darurat covid 19 yang telah ditetapkan pemerintah , maka bukan saja masjid akan kosong dari shalat jum’at dan shalat lima berjama’ah, tapi juga bulan Ramadhan tahun ini –yang sebentar lagi akan tiba– akan dilalui ummat Islam dengan “hambar” tanpa shalat tarawih. Dan juga tanpa shalat Idul Fitri.

Secara fiqih tentu tidak salah menetapkan pelarangan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah lima waktu di Masjid. Banyak dalil yang bisa jadi rujukan. Ulama-ulama kita tentu telah mendalami berbagai dalil agama dan argumentasi ilmiyah untuk kemudian menetapkan fatwa. Karena itu fatwa yang sama juga dikeluarkan oleh hampir semua lembaga fatwa di negaranegara muslim.

Tapi sebagaimana dalam tradisi fiqih, adanya pandangan yang berbeda adalah suatu hal yang biasa. Maka jika ada saudara-saudara kita yang memilih tetap menyelenggarakan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid dapat pula diberi ruang pemakluman dalam konteks ini.

Menurut penulis, ada “jalan tengah” yang sesungguhnya dapat dilakukan untuk kembali ke Masjid di tengah wabah Covid 19 ini. Masjid tidak perlu terlalu lama kosong tidak ditempati shalat. Kita tidak harus pasrah menunggu sampai musim wabah Covid 19 lewat kemudian kembali shalat di masjid.

Dengan sedikit perjuangan atau mujahadah maka dalam waktu dua pekan kemudian kita sudah bisa kembali memakmurkan masjid. Dan ini berarti kita pun akan menjalani Ramadhan tahun ini tetap bersama dengan keberkahan shalat tarawih sebagaimana biasanya.

Program ini dilakukan dengan kerjasama antara pengurus Masjid dan pemerintah pada level bawah, yaitu ketua RT atau RW. Mereka bekerjasama mendata dan memastikan masyarakat sekitar Masjid untuk mesterilkan diri dari Covid 19 dengan cara stay at home selama 14 hari, dan untuk hari-hari selanjutnya tetap menjaga physical/sosial distancing.

Ini tentu memerlukan kejujuran dan komitmen kuat dari semua warga. Kalau perlu diperketat hanya untuk mereka yang memang sudah terbiasa atau rutin shalat berjama’ah dimasjid.

Semakin kecil suatu Masjid, apalagi Mushalla, semakin mudah melakukan program ini. Masjid dalam lingkungan pesantren dan kompleks perumahan dapat melakukan ini dengan baik. Mungkin program ini agak sulit dilakukan untuk Masjid Raya atau masjid-masjid besar. Saya kira itu tidak masalah.

Yang jelas jika program ini menjadi kesadaran umum ummat Islam dan dapat berjalan dengan baik, maka sebagian besar masjid dan ummat Islam dapat kembali memakmurkan Masjid dengan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah di masjid. Dan tidak kalah pentingnya adalah ummat dapat memenuhi “panggilan spiritual” shalat tarawih dengan perasaan aman.*

Oleh: Abd. Aziz Mudzakkar

*Penulis adalah Pengasuh Ponpes Hidayatullah Makassar.

HIDAYATULLAH

Amalan di Bulan Ramadhan (3)

Ada beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan.

Di bulan Ramadhan, kita dianjurkan untuk memperbanyak amalan. Di antara amalan di bulan Ramadhan yang bisa dilakukan yaitu:


c. Mendirikan shalat Tarawih 

“Sesungguhnya Rasulullah SAW keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau sholat di masjid, dan shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Ketika Nabi SWT mengerjakan sholat (di malam kedua), banyaklah orang yang sholat di belakang beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang kembali memperbincangkannya.

Di malam yang ketiga, jumlah jamaah yang di dalam masjid bertambah banyak, lalu Rasulullah SAW keluar dan melaksanakan sholatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jamaah, sehingga Rasulullah SAW hanya keluar untuk melaksanakan sholat Subuh. Tatkala selesai shalat Subuh, beliau menghadap kepada jamaah kaum Muslimin, kemudian membaca syahadat dan bersabda, “Sesungguhnya kedudukan kalian tidaklah sama bagiku, aku merasa khawatir ibadah ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melaksanakannya.” Rasulullah SAW wafat dan kondisinya tetap seperti ini. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA).

Kemudian, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, sholat Tarawih kembali dilakukan secara berjamaah di Masjid. Dan hal itu disepakati oleh semua sahabat Rasulullah SAW pada masa itu.

Namun yang perlu diperhatikan untuk saat ini (1441 H / 2020 M), di mana sedang terjadi pandemi virus corona (Covid-19), umat Islam di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, dianjurkan oleh pemerintah dan ulama untuk tidak melaksanakan sholat tarawih berjamaah di masjid. Termasuk juga sholat-sholat lainnya, seperti sholat wajib lima waktu. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran virus corona. Umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan ibadah sholat tarawih dan sholat lainnya di rumah. Wallahu A’lam.

KHAZANAH REPUBLIKA