Terikatlah dengan Apa yang Disukai Allah

KETIKA Rasulullah Saw mendapat perintah dari Allah Ta’ala untuk berdakwah secara terbuka, beliau pun mendaki Bukit Shafa. Di sana beliau menyeru dan mengumpulkan para pembesar suku Quraisy. Setelah menanyakan tentang kepercayaan mereka terhadap Beliau, lalu Rasulullah Saw bersabda, “Aku memperingatkan kamu semua bahwa di depanku (akhirat) ada siksa yang amat pedih.”

Di antara orang-orang Quraisy itu terdapat Abu Lahab, paman kandung Nabi Saw. Abu Lahab yang ikut hadir itu langsung menyahuti ajakan Nabi dengan makian, “Celakalah engkau sepanjang hari! Apakah untuk ini engkau mengumpulkan kami?”. Tetapi Nabi Saw tidak membalas ejekan keras tersebut.

Beberapa waktu setelah itu, dan masih di sekitar Bukit Shafa juga, Rasulullah Saw pernah dicaci-maki oleh Abu Jahal dengan kata-kata yang luar biasa menyakitkan. Namun beliau tetap diam saja. Yang bertindak justru paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib RA yang saat itu belum masuk Islam setelah mendapatkan laporan tentang hal tersebut. Pahitnya cacian sampai membuat Hamzah memukul Abu Jahal dengan panah yang masih dibawanya sepulang dari berburu.

Saudaraku, kebaikan Rasulullah Saw itu sempurna, Beliau mengajak manusia kepada keselamatan dan akhlak mulia. Apa yang beliau sampaikan pun bukan untuk kepentingan pribadi beliau, akan tetapi untuk kebaikan manusia. Walau demikian, beliau tetap saja dianggap jelek oieh sebagian orang. Padahal, Rasulullah Saw sudah dikenal sebagai orang yang terpercaya jauh sejak sebelum diangkat sebagai rasul.

Jadi, sebaik apapun yang kita lakukan, tidak akan semua menganggapnya baik. Oleh sebab itu, dalam berbuat baik, kita tidak usah terpenjara oleh kelakuan dan perkataan orang. Karena, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat.” (QS. qaf [50]:18). Apa yang diucapkannya pasti kembali kepada dirinya sendiri.

Begitu juga kalau ada orang yang pelit kepada kita, jangan merasa tertantang atau dendam untuk ikut ikutan pelit. Ajaran Islam mengajarkan agar kita memberi kepada yang pelit itu. Kalau tidak sanggup, kita maafkan dia, tidak usah membalas atau marah. Kalau kita membalas melotot kepada orang yang melotot, kita akan menjadi kembaran dia sehingga tidak ada bedanya antara kita dengan dirinya. [*]

INILAH MOZAIK

Ketika Kehadiran Tamu Jadi Sebab Kelancaran Rezeki

Menghargai tamu tanpa membedakan status sosial-ekonominya memerlukan latihan tertentu. Nabi Ibrahim tidak mau makan sendirian. Jika tidak ada tamu yang menemaninya, ia pergi ke pasar mencari orang yang mau diajak makan bersama. 

Nabi Muhammad SAW menegaskan dan sekaligus mencontohkan dirinya sebagai orang yang sangat mencintai tamu tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan agama.  Bagi umat Islam, memuliakan tamu sudah merupakan suatu keharusan sebagaimana ditegaskan Rasulullah: “Akrim al-dhaif walau kana kafiran” (muliakanlah tamunya walaupun ia seorang kafir). 

Dalam kitab-kitab hadits ditemukan suatu bab khusus tentang kemuliaan tamu (takrim al-dhaif). Suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu non-Muslim berjumlah 60 orang, 14 orang di antaranya dari kelompok Kristen Najran.

Rombongan tamu dipimpin Abdul Masih. Rombongan ini diterima di masjid dengan penuh persahabatan. Bahkan, menurut Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, sebagaimana dikutip Abdul Muqsith dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibn Hisyam, juz II, hlm 426-428, ketika waktu kebaktian tiba, rombongan tamu Rasulullah ini melakukan kebaktian di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Ia tidak membeda-bedakan tamu berdasarkan kelas dan status sosial.

Suatu ketika, Rasulullah menerima seorang tamu laki-laki Arab pegunungan, kira-kira semiprimitif. Tiba-tiba tamu ini beranjak ke sudut masjid lalu kencing berdiri di situ. Terang saja para sahabat marah dan bermaksud memukulnya. Namun, Rasulullah menahannya dan memerintahkan agar kencingnya ditimbun dengan pasir. Bahkan, pernah suatu ketika Rasulullah menerima tamu tak diundang, seorang yang sudah lama dicari-cari masyarakat karena terkenal sebagai tukang onar.  

Salah seorang sahabat menghunus pedang untuk membunuh orang tersebut, tetapi ditahan Rasulullah dan mengatakan, “Biarkan kita dengarkan apa maksud kedatangannya di sini.” Sang tamu menyadari kalau dia seorang penjahat dan telah melakukan berbagai macam dosa dan maksiat. Ia menjelaskan tujuannya datang menjumpai Rasulullah, siapa tahu pada masa lalunya pernah mengerjakan suatu kebaikan, maka ia akan menghibahkan kebaikan itu kepada orang yang ditunjuk Rasulullah SAW.  

Semua sahabat yang hadir di masjid tertegun mendengarkan penjelasan itu. Akhirnya, kasus ini menyebabkan turunlah QS Hud [11]:114:  إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ “Innal hasanat yudzhibna al-sayyi’at” (Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapuskan dosa-dosa/perbuatan buruk).

Dalam kasus lain, ketika Rasulullah SWT sedang melayani tamu dari pembesar Quraisy, tiba-tiba datang tamu lain yang kebetulan buta (Abdullah bin Ummi Maktum) lalu Rasulullah berpaling daripadanya demi menghargai pembesar Quraisy.

Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS ‘Abas [80]:1-2: عَبَسَ وَتَوَلّٰٓى اَنۡ جَآءَهُ الۡاَعۡمٰ “‘Abasa watawalla, ‘an jaahul a’ma” (Dia bermuka masam dan berpaling. Karena, telah datang seorang buta kepadanya).” Kita sebagai umatnya, selayaknya mencontoh etika dan pribadi Rasulullah terhadap tamu. Tamu tidak pernah mengurangi jatah dan rezeki kita, bahkan para tamu mengundang turunnya berkah dan rezeki dari langit. 

Oleh Prof Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.

KHAZANAH REPUBLIKA

Tercelanya Menafsirkan Al-Qur’an Tanpa Ilmu

Saudaraku, menafsirkan al-Qur’anul-Karim dengan sekadar akal dan tanpa dilandasi oleh ilmu adalah perbuatan yang haram. Barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan akalnya maka dia telah memaksakan sesuatu yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak menapaki jalan yang telah diperintahkan untuknya. Jika tafsirnya tersebut ternyata kebetulan benar, maka dia tetap telah melakukan kesalahan, karena dia tidak memasuki perkara tafsir ini dari pintunya. Maka, bagaimana lagi jika tafsirnya tersebut ternyata salah dan justru bertentangan dengan syari’at?

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, orang yang paling mulia dari kalangan umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata,

أي أرض تُقلُّني، وأي سماء تُظلُّني، إذا قلت في كتاب الله ما لم أعلم؟

“Bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang Kitabullah sesuatu yang aku tidak tahu?”

Demikian pula Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Walaupun beliau adalah mufassir umat ini dan telah didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bisa menguasai tafsir al-Qur’an, beliau tetap menahan diri untuk berkata sesuatu tentang al-Qur’an jika hal itu tidak dilandasi oleh ilmu. Ibn Abi Mulaikah rahimahullah berkata,

سأل رجل ابن عباس عن {يوم كان مقداره ألف سنة}، فقال له ابن عباس: فما {يوم كان مقداره ألف سنة}؟ فقال الرجل: إنما سألتك لتحدِّثني، فقال ابن عباس: هما يومان ذكرهما الله في كتابه، الله أعلم بهما، وأكره أن أقول في كتاب الله بما لا أعلم.

“Seseorang bertanya kepada Ibn ‘Abbas tentang ayat, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun.’ Maka Ibn ‘Abbas berkata kepadanya: Ada apa dengan ayat tersebut, ‘Satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun’? Orang tersebut berkata: Aku bertanya kepadamu agar kamu menjelaskan ayat tersebut kepadaku. Maka Ibn ‘Abbas berkata: Ini adalah dua hari yang Allah sebutkan di Kitab-Nya, dan Allah lebih mengetahui tentang kedua hari tersebut. Dan aku benci untuk berkata tentang Kitabullah dengan sesuatu yang aku tidak tahu.”

Adapun perkataan para salaf bahwa mereka tidak berbicara sama sekali tentang tafsir, maka yang dimaksud adalah perkataan yang tidak didasari oleh ilmu. Malik rahimahullah berkata,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان إذا سُئل عن تفسير آية من القرآن، قال: إنا لا نقول في القرآن شيئا.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa jika beliau ditanya tentang tafsir sebuah ayat al-Qur’an, maka beliau menjawab: Sesungguhnya kami tidak berbicara apapun sama sekali mengenai al-Qur’an.”

Ibn Syaudzab rahimahullah berkata,

حدَّثني يزيد بن أبي يزيد قال: كنا نسأل سعيد بن المسيب عن الحلال والحرام، وكان أعلم الناس، فإذا سألناه عن تفسير آية من القرآن سكت كأن لم يسمع.

“Yazid ibn Abi Yazid berkata kepadaku: Kami bertanya kepada Sa’id ibn al-Musayyib tentang halal dan haram, di mana beliau adalah orang yang paling berilmu. Akan tetapi ketika kami bertanya kepadanya tentang tafsir ayat al-Qur’an, maka beliau diam seolah tidak mendengar sama sekali.”

Sikap Sa’id ibn al-Musayyib rahimahullah ini adalah seolah-olah beliau tidak mau berbicara tentang al-Qur’an sama sekali secara mutlak. Akan tetapi, sebuah riwayat dari al-Laits rahimahullah menjelaskan sikap beliau dengan lebih utuh,

عن يحيى بن سعيد، عن سعيد بن المسيب، أنه كان لا يتكلم إلا في المعلوم من القرآن.

“Dari Yahya ibn Sa’id, dari Sa’id ibn al-Musayyib, bahwa beliau tidak berbicara apapun sama sekali kecuali tentang sesuatu yang telah diilmui dari al-Qur’an.”

Hal ini sejalan dengan perintah syari’at bagi kita untuk tidak menyembunyikan ilmu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَإِذ أَخَذَ اللَّـهُ ميثـٰقَ الَّذينَ أوتُوا الكِتـٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنّاسِ وَلا تَكتُمونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” [Surat Ali ‘Imran: 187]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من سُئل عن علم فكتمه أُلجم يوم القيامة بلجام من نار.

“Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan dikekang pada hari kiamat dengan tali kekang dari neraka.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidziy]

Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk bersikap pertengahan. Tidak boleh bagi kita untuk berbicara tentang al-Qur’an tanpa ilmu. Tetapi, jika kita sudah mengetahui ilmunya, maka tidak boleh bagi kita untuk menyembunyikannya. Wajib bagi kita untuk menyampaikan dan mendakwahkan ilmu tersebut, terlebih ketika umat sangat membutuhkannya di tengah banyaknya orang yang berani berbicara tentang tafsir dengan sekadar akalnya tanpa dilandasi oleh ilmu.

Penulis: Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57003-tercelanya-menafsirkan-al-quran-tanpa-ilmu.html

Memahami Perbedaan Kata Dalam Al-Qur’an

(1) Apa perbedaan antara kata مُخۡتَال dan فَخُور ?

Kata مُخۡتَال bermakna : Memandang diri sendiri dengan perasaan bangga dan merasa lebih hebat dari yang lain.

Sementara kata فَخُور bermakna : memandang orang lain dengan pandangan remeh dan merendahkan.

Allah Swt Berfirman :

وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ

“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS.Al-Hadid:23)

Sungguh indah pemilihan kata dalam Al-Qur’an !

(2) Apa perbedaan kata ظُلمٌ dengan هَضمٌ ?

Kata ظُلمٌ bermakna : Mengambil seluruh hak.

Sementara kata هَضمٌ bermakna : Mengambil atau mengurangi sebagian hak saja.

Allah Swt Berfirman :

فَلَا يَخَافُ ظُلۡمٗا وَلَا هَضۡمٗا

“… maka dia tidak khawatir akan perlakuan zhalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya.” (QS.Tha-Ha:112)

Sungguh indah pemilihan kata dalam Al-Qur’an !

(3) Apa perbedaan kata المُقسِط dan القَاسِط ?

Kata المُقسِط bermakna : Orang yang adil atau menemapatkan sesuatu sesuai porsinya (pada tempatnya).

Allah Swt Berfirman :

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.Al-Mumtahanah:8)

Sementara kata القَاسِط bermakna : Orang yang dzalim atau keji.

Allah Swt Berfirman :

وَأَمَّا ٱلۡقَٰسِطُونَ فَكَانُواْ لِجَهَنَّمَ حَطَبٗا

“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka Jahanam.” (QS.Al-Jinn:15)

Sungguh indah pemilihan kata dalam Al-Qur’an !

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQURAN

Mencari Kesimpulan Jalan Hidup Bahagia

DIA sudah bersekolah di mana-mana, menyelesaikan berbagai tingkatan pendidikan sampai pada tingkat tertinggi. Tak cukup di situ, dia tambah pengetahuan dan skill dirinya dengan mengikut berbagai training dan workshop.

Semangatnya luar biasa. Saya acungi dua jempol. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian saya dan mendorong saya untuk tahu apa penyebabnya. Dia sulit tersenyum dan wajahnya selalu tampak sedih tak beraura bahagia.

Dari sisi pekerjaan, dia terbilang lebih mujur dibandingkan banyak orang. Kesibukannya luar biasa, jarang ada di tempat, mobilitasnya tinggi. Dari sisi rumah tempat tinggal, dia terbilang memiliki rumah yang bisa dikatogorikan mewah. Lebih dari itu, dia sering menginap di hotel mewah dan sejenisnya. Jangan tanya saya tentang makanan yang dikonsumsinya. Tak perlu saya ulas. Namun mengapa dia terlihat jarang tersenyum dan tampak resah serta gelisah selalu? Ini yang membuat penasaran saya.

Akhirnya penasaran saya terjawab sedikit demi sedikit berkah obrolan saya dengan kiai kampung tempat asal dia belajar mengeja dan mengaji saat TK dan SD dulu. Kiai itu berkata melalui telpon: “Dunia ini penuh dengan keanehan ya. Orang pintar dan kaya tak mesti lebih tenang dibandingkan orang bodoh dan miskin.”

Panjang kami berbincang sambil tertawa mengurutkan satu persatu keanehan dunia, termasuk tetangganya sendiri yang tak gelisah dengan wabah virus corona karena tak pernah tahu dan mendengar serta membacanya di berita-berita. Yang pusing kan yang sering update berita dan mengakses semua berita baik yang benar atau yang hoax.

Tibalah akhir cerita tentang dia yang saya kisahkan di atas. Beberapa hari lalu saat usai shalat hari raya menelpon sang kiai bertanya tentang kesimpulan hidup, apa yang sesungguhnya menyebabkan seseorang itu bahagia dan menderita dalam hidup ini. Dia mengaku terus dirundung gelisah, tak menemukan tenang, senang dan bahagia.

Sang kiai diam agak lama dalam teleponnya dengan saya. Saya ikut penasaran. Tapi saya tak berani menyuruh beliau segera melanjutkan jawaban dan kisahnya. Rupanya beliau lama terdiam karena hp nya ada gangguan, maklum hp lama. Lalu beliau berkata: “Jawabannya ada di QS 20 ayat 123 dan ayat 124. Renungkanlah itu.”

Tak berhenti sampai di sini kisah sang kiai. Beliau jelaskan bagaimana wujud nyata kehidupan manusia yang benar-benar mengambil hikmah dari dua ayat tersebut. Luar biasa jawaban kiai kampung ini. Jangan hina kampung dengan selalu mengatakan “dasar kampungan.” Salam hormat untuk kiai kampung, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Mau Menyalahkan Takdir?

SALAH satu kaidah kehidupan yang perlu kita ketahui dan yakini agar tak larut dalam kesedihan panjang adalah bahwa “tidak ada takdir yang keliru.” Apa yang kita harapkan terjadi pada kita dan ternyata tak terwujud nyata terjadi pada kita tidaklah bermakna bahwa takdir yang salah tempat, salah orang, salah waktu dan salah sasaran. Ia bermakna bahwa memang hal itu bukan takdir kita. Bukankah memang tak setiap keinginan harus menjadi kenyataan?

Apa yang memang menjadi takdir kita pasti akan tiba pada kita betapapun menurut nalar kita sesuatu itu tidak mungkin menjadi takdir kita. Pertanyaannya kemudian adalah “siapakah yang paling menentukan sesuatu itu menjadi takdir kita? Kitakah? Atau kekuatan luar biasa yang ada di luar kemampuan kita? Pagi segenap pembelajar makna hidup yang sering mencari tahu hakikat kaidah kehidupan pasti memiliki jawaban yang sama: “Ada Tuhan yang Mahakuasa yang mengatur dan menentukan semuanya.”

Orang yang tak percaya Tuhan akan menghabiskan waktu menyalahkan orang lain, menyalahkan apapun yang memungkinkan dirinya memiliki alasan kuat menolak kenyataan. Cara menghibur diri semacam ini biasanya mengantarkan pelakunya gagal untuk bahagia dan move on demi masa depan yang lebih cerah. Inilah pesan rahasia yang terkandung dalam kalimat “innaa liLLAAH wa innaa ilayhi raaji’uun” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya).

Pesan dan semangat kalimat “innaa liLLAAH wa innaa ilayhi raaji’uun” inilah sesungguhnya cara paling tepat untuk menghibur diri dari kegagalan diri meraih takdir yang diharapkan. Mari kita tanamkan kesadaran dalam diri kita bahwa kita adalah hamba. Bisanya kita adalah berupaya, berharap dan berdoa. Selanjutnya adalah kehendak dan kuasa Allah yang menentukan segalanya. Kehendak, pengaturan dan kuasaNya adalah yang terbaik karena Dia adalah Dzat Yang Mahabaik, Mahabijak, Mahaindah dan segenap sifat sempurna lainnya. Hapuslah air matamu dan mulailah tersenyum. Bismillaah, bahagia. Salam, AIM. [*]

Oleh KH Ahmad Imam Mawardi

INILAH MOZAIK

Nikmat-Nikmat Allah SWT yang Kerap Bikin Manusia Terlena

Terdapat sejumlah nikmat yang kerap dijadikan manusia terlena.

Suatu ketika, Rasulullah SAW memberi petuah soal hakikat dan pentingnya waktu atau masa. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Hakim ini sangat masyhur di kalangan umat Islam, tapi hanya sedikit yang menjaganya dengan baik. Beliau SAW hendak mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu ada masanya dan akan berakhir pada saatnya.

Artinya, tidak ada yang abadi di dunia ini karena semua akan berakhir seiring bergantinya waktu. Kita renungkan pesan Nabi SAW berikut ini: 

اغتنِمْ خمسًا قبل خمسٍ : شبابَك قبل هِرَمِك ، وصِحَّتَك قبل سِقَمِك ، وغناك قبل فقرِك ، وفراغَك قبل شُغلِك ، وحياتَك قبل موتِك

“Gunakanlah lima masa (kesempatan) sebelum tiba lima masa (kesempitan). Masa mudamu sebelum tuamu. Masa sehatmu sebelum sakitmu. Masa kayamu sebelum fakirmu. Masa luangmu sebelum sibukmu. Masa hidupmu sebelum kematianmu.”

Kelima nikmat tersebut sering kali melalaikan manusia, padahal semua akan sirna. Masa muda, sehat, kaya, luang, dan hidup adalah kesempatan yang mesti dimanfaatkan untuk beramal kebajikan. Sebab, kesempatan ini suatu saat akan berubah menjadi kesempitan, yakni tua, sakit, fakir, sibuk, hingga kematian. 

Tak selamanya kita muda, sehat, kaya, luang, apalagi hidup. Siapa yang pandai mengguna kannya akan beruntung, dan bagi yang melalaikan pasti merugi dan menyesali (QS 103: 1-3).

Pakar tafsir Alquran, Prof M Qurasih Shihab dalam buku Wawasan AlQuran mengatakan, masa atau waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan, waktu akan berlalu. Ketika waktu berlalu begitu saja, jangan kan keuntungan yang diperoleh, modal pun telah hilang. 

Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok. Tetapi, waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.”

Namun begitu, kebanyakan manusia tidak mengguna kan nya dengan baik. Setelah tua, baru belajar mengaji dalam kepayahan. Setelah sibuk, baru mau membersamai anakanak belajar. Setelah fakir, baru bicara sedekah. Setelah sakit, baru ingat Allah dan ketika ajal tiba, baru ingin menjadi orang saleh (QS 63: 9-11). 

Sahabat Ibnu Abbas RA meriwayatkan: نِعمَتانِ مغبونٌ فيهما كثيرٌ من الناسِ: الصَّحَّةُ والفَّراغُ 

“Ada dua nikmat yang paling sering diabaikan atau melenakan kebanyakan manusia dari ketaatan kepada Allah SWT, yakni sehat dan sempat atau luang.” (HR Bukhari). 

Mengapa sehat (ashshihhah) dan sempat (al-faraagh) sering membuat manusia terlena? Sebab, watak manusia itu cepat lupa akan kebaikan yang diperolehnya. Jika dalam kesakitan dan kesulitan, rajin mengiba dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. Namun, setelah lepas dari penderitaan, ia lupa seakan tak pernah meminta (QS 10:12, 39:49).

Dalam hal ini, manusia ada empat macam: Pertama, orang yang sehat dan sempat berbuat baik. Kedua, orang yang sehat, tapi tak sempat berbuat baik. Ketiga, orang yang tak sehat, tapi sempat berbuat baik. Keempat, orang yang tak sehat dan tak sempat berbuat baik.

Lalu, kita termasuk kate gori yang mana? Selagi sehat dan sempat maka bersegera lah mengisi sisa umur dengan ketaatan agar meraih husnul khatimah (akhir hidup yang baik). Jangan sampai larut dalam kemaksiatan hingga ajal tiba karena akan termasuk su`ul khatimah (akhir hidup yang buruk), na’udzubillahi min dzalik.

KHAZANAH REPUBLIKA


Negara tak Kirimkan Jamaah Haji Terus Bertambah

Negara yang memutuskan tak mengirimkan jamaah hajinya pada tahun ini bertambah. Setelah Singapura, Indonesia, dan India, sekarang bertambah Afrika Selatan dan Brunei Darussalam.

Pemerintah Afrika Selatan memutuskan menunda pemberangkatan jamaah haji 2020. Keputusan tersebut diambil, menimbang pandemi covid-19 yang masih menyelimuti banyak negara dan kemungkinan adanya gelombang kedua dari pandemi tersebut.

Sekretaris Jenderal Dewan Haji dan Umroh Afrika Selatan, Moaaz Casoo dalam siaran persnya menyatakan, Afrika Selatan tidak akan mengirimkan jamaah haji tahun ini ke Arab Saudi. 

“Dengan menyesal kami informasikan Afrika Selatan mengakreditasi Hujaaj bahwa pilgrim Afrika Selatan tidak akan bisa memulai Haji 1441/2020,” ujar Casoo dalam siaran persnya yang dilansir dari Sahuc.org pada Jumat (12/6).

Keputusan tersebut ujar Casoo diambil setelah menggelar pertemuan untuk membahas pelaksanaan haji 2020. Dewan Haji dan Umrah Afrika Selatan (SAHUC) telah berdiskusi dengan Kementerian Haji dan Umrah, Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Pretoria serta Departemen Hubungan dan Kerjasama Internasional Afrika Selatan (DIRCO) sehubungan dengan Haji dalam situasi Pandemi. Pertemuan tersebut berlangsung pada Kamis (11/6). 

Menteri Departemen Hubungan Internasional dan Kerjasama, Menteri Kehormatan Naledi Pandor, menyatakan bahwa perbatasan Afrika Selatan saat ini masih ditutup dan tidak akan dibuka untuk perjalanan komersial maupun Internasional. Selain itu, dari hasil pemantauan kementerian saat ini, bahwa jumlah kasus di Arab Saudi pun terus melonjak sehingga dikhawatirkan akan terjadi penularan virus.

“Jumlah kasus aktif di Arab Saudi terus bertambah dan ada kekhawatiran tentang gelombang kedua coronavirus secara internasional,” kata Casoo.

Atas pertimbangan tersebut, Pemerintah Afrika Selatan memilih menunda pemberangkatan haji 2020. Keputusan ini, ungkapnya, tentu akan mengecewakan umat Islam yang akan melaksanakan ibadah haji.

Sebagaimana hadits yang juga diceritakan sahabat bahwa Nabi Muhamaad SAW pernah melarang bepergian dalam kondisi wabah. 

“Jika Anda mendengar wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya. Tetapi jika wabah itu terjadi di tempatkan Anda berada di dalamnya, (maka) jangan tinggalkan tempat itu.”

Casoo juga mengimbau kepada calon jamaah haji yang gagal berangkat untuk menghubungi operator haji yang terakreditasi masing-masing untuk mengatur pembebasan dari kontrak dan untuk pengembalian uang haji. Operator haji terakreditasi tidak akan memungut biaya administrasi apapun.

“Untuk tiket penerbangan, petugas akan mengembalikan uang (jamaah) sesuai dengan kebijakan pembatalan perusahaan penerbangan tersebut. Di mana setoran dibayarkan ke Kerajaan Arab Saudi Bagi operator, bagian-bagian pengembalian dana akan berkurang begitu dana diterima dari mitra Saudi. SAHUC Akan mengembalikan biaya akreditasi R1500 ke semua jamaah. Setelah Anda dibebaskan dari kontrak dengan operator haji, silakan kirim detail perbankan Anda bersama dengan nomor referensi akreditasi Anda ke info@sahuc.org.za ,” terang Casoo.

Sementara, Pemerintah Brunei Darussalam mengumumkan tahun ini pemberangkatan haji tidak akan dilakukan mengingat kondisi yang berisiko di tengah pendemi Covid-19. Menteri Agama Brunei Darussalam Awang Badaruddin Othman telah mengumumkan keputusan pembatalan keberangkatan jamaah haji ke tanah suci tahun ini.

“Negara tidak akan mengirim 1.000 jamaah haji yang dipilih setiap tahun dan begitu pula mereka yang bepergian dengan biaya sendiri untuk melakukan haji,” ujar Menteri Agama Brunei Darussalam, Awang Badaruddin Othman yang dikutip di Anadolu Agency, Jumat (12/6).

Baddarudin mengatakan, keputusan itu dibuat setelah Sultan Hassanal Bolkiah memberikan persetujuannya atas rekomendasi Dewan Agama Islam Brunei untuk membatalkan partisipasi jamaah Brunei dalam haji tahun ini. Menurutnya, penyebaran virus yang masih menjadi ancaman global dan masih dapat terselesaikan, menjadi alasan utama diputuskannya pembatalan haji.

“Mengenai keikutsertaan jamaah haji, dipastikan pandemi Covid-19 masih menjadi ancaman global dan bahwa penyebaran virus ini sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat,” ujar Baddarudin.

IHRAM

Berhaji Harus Ikhlas dan Sesuai Tuntunan

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Seperti diketahui bahwa syarat-syarat diterimanya amal ibadah ada dua yaitu; ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

{قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا }

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. (QS. Al Kahfi: 110).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ketika mengomentari ayat di atas,

وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.

“Ini adalah dua rukun diterimanya amalan yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir.

Sedangkan Ibnul Qayyim mengatakan suatu perkataan yang sangat indah dan penuh makna,

أي كَما أنهُ إلهٌ واحدٌ لاَ إلهَ سواهُ فَكذلكَ ينبغِي أَنْ تكُونَ العبادةُ لهُ وحدَهُ فَكمَا تَفَرَّدَ بِالالهيةِ يُحِبُّ أنْ يُفردَ بِالعبوديةِ فالعملُ الصالحُ هوَ الْخالِى مِن الرياءِ المُقَيَّدُ بِالسُّنةِ وَكان مِنْ دُعَاء عمرِ بنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِى كلَّهُ صَالحِاً وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصاً وَلاَ تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيْهِ شَيْئاً

 “Sebagaimana Allah adalah sembahan satu-satu-Nya, tidak ada sesembahan selain-Nya, maka demikian pula seharusnya ibadah hanya milik-Nya semata, sebagaimana Allah satu-satu-Nya di dalam perkara kekuasaan, maka Dia menyukai disendirikan dalam hal peribadatan. Jadi, amal shalih adalah amal perbuatan yang terlepas dari riya’ dan yang terikat dengan sunnah. Termasuk doa Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu adalah “Allahummaj’al ‘amali kullaha shoolihan waj’al liwajhika kholishon wa la taj’al li ahadin fihi syai-an” (Wahai Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal shalih/baik dan jadikanlah amalanku hanya murni untuk wajah-Mu dan janganlah jadikan dalam amalku sedikitpun untuk seorang makhluk). Lihat Kitab Al Jawab Al Kafi.

Dan demikian pula dalam ibadah haji, harus:

Pertama: Ikhlas, yaitu mengerjakan amal ibadah murni hanya kepada Allah Ta’ala saja bukan kepada yang lain.

Dan ikhlas adalah,

الإِخْلاَصُ أَلاَّ تَطْلُبَ عَلَى عَمَلِكَ شاَهداً غَيْرَ اللهِ ، وَلاَ مُجَازِياً سِوَاهُ

 “Tidak mencari yang melihat atas amalmu adalah selain Allah dan tidak mencari yang memberi ganjaran atas amalmu selain-Nya”. Lihat Madarij As Salikin.

Orang yang ikhlas tidak akan pernah suka dipuji oleh manusia dan tidak akan pernah berharap apa yang ada ditangan manusia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

لاَ يَجْتَمعُ الإِخلاصُ فيِ الْقلْبِ وَمحبةُ الْمَدحِ وَالثَّنَاءِ وَالطَّمَعِ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ إِلاَّ كَمَا يَجْتَمِعُ المْاءُ والنارُ والضَّبُ والحُوتُ

“Tidak akan berkumpul di dalam hati, keikhlasan dengan kecintaan terhadap pujian dan ketamakan terhadap yang ada di tangan manusia kecuali seperti berkumpulnya air dengan api atau biawak dengan ikan”. Lihat kitab Al Fawaid, karya Ibnul Qayyim.

Amalan yang tidak ikhlas tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala  berfirman: “Aku Maha tidak butuh kepada sekutu, barangsiapa beramal suatu amalan yang dia menyekutukan-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan amalan itu bersama apa yang dia sekutukan”. (HR. Muslim)

Khusus mengenai ikhlas dalam ibadah haji, Allah Ta’ala berfirman,

{وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}

Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud“. (QS. Al Hajj: 26).

Kedua: Mutaba’ah, yaitu amalan ibadah tersebut hendaklah sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari agama kita maka amalan itu tertolak”. (HR. Muslim).

Khusus di dalam pelaksanaan ibadah haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ عَامِى هَذَا

“Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai).

 خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ

 “Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).

Tidak akan lurus perkataan, perbuatan dan niat kecuali mengikuti sunnah. Sufyan bin Sa’id Ats Tsaury rahimahullah berkata,

” كان الفقهاءُ يَقُولُونَ : لاَ يَسْتَقِيْمُ قَولٌ إِلاَّ بِعَملٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ ، وَلاَ يَسْتَقِيْمُ قولٌ وعملٌ ونيةٌ إِلاَّ بِمُوَافقةِ السُّنَّةِ”.

 “Para Ahli Fikih berkata: “Tidak akan lurus perkataan kecuali dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti ajaran (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)”. Lihat kitab Al Ibanah, karya Ibnu Baththah.

Siapa yang beribadah menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ibadahnya akan melenceng dari kebenaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

من فارق الدليل ضل السبيل، ولا دليل إلا بما جاء به الرسول – صلى الله عليه وسلم –

 “Barangsiapa yang menjauhi dalil maka ia telah tersesat jalan, dan tidak ada dalil kecuali dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Lihat kitab Miftah Dar As Sa’adah

Jadi hajipun harus ikhlas dan harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberi kita semua kaum muslim haji mabrur.

Rabu, 23 Syawwal 1432 H, Dammam KSA

Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/10261-haji-mabrur-1-berhaji-harus-ikhlas-dan-sesuai-tuntunan.html

Banyak yang Berangkat Haji, Sedikit yang Berhaji

Kita diperintah untuk ikhlas dalam amalan dan bukan hanya terus menerus memperbanyak amal. Niat kita mesti diluruskan dalam setiap beramal. Termasuk pula dalam amalan mulia semacam haji.

Ada seseorang yang pernah berkata pada Ibnu ‘Umar mengenai banyaknya orang yang berhaji. Ibnu ‘Umar berujar, “Memang banyak yang berangkat haji, namun sedikit yang berhaji.” Syuraih juga berkata, “Yang berhaji itu sedikit , namun yang berangkat haji itu banyak.” Maksudnya adalah banyak orang yang berbuat baik, namun sedikit yang bisa ikhlas dalam ibadah, yaitu hanya mengharap wajah Allah.

Dalam beramal kita dituntut untuk melakukan dua perkara yaitu murni dalam beribadah pada Allah (alias: ikhlas) dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110).

Fudhail bin ‘Iyadh ditanya mengenai ayat,

لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2). Kata Fudhail, yang dimaksud adalah akhlashuhu wa ashwabuhu, yaitu yang paling ikhlas dan paling mengikuti tuntunan nabi.

Semoga Allah memberi kita taufik dan hidayah agar terus beribadah kepada Allah dengan ikhlas.

(*) Dikembangkan dari kitab “Ahwalus Salaf fil Hajj”, karya: Dr. Badr bin Nashir Al Badr, hal. 24-25, terbitan Darul Fadhilah.

@ Sakan 27, KSU, Riyadh, KSA, 15 Syawal 1433 H

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/2781-banyak-yang-berangkat-haji-sedikit-yang-berhaji.html