Indonesia Jangan Terserah dan Menyerah Melawan Covid19

Tagar #IndonesiaTerserah adalah ‘unek-unek’ sebagian teman-teman medis, hal ini adalah wajar karena mereka juga manusia dan di puncak kejenuhan ketika berjuang merawat pasien covid19 bahkan ada di antara mereka yang menjadi korban terkena covid19, akan tetapi banyak juga tenaga medis yang bersabar dan hanya mengadu kepada Allah.

Apabila ada musibah menimpa kita hendaknya kita pertama kali mengadu kepada Allah terlebih dahulu. Allah berfirman mengenai Nabi Ya’qub ‘alaihis salam yang hanya mengadu kepada Rabbnya, beliau berkata,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf : 86).

Setelah itu barulah kita mengajak musyawarah orang yang bisa diajak untuk musyawarah (tidak ke semua orang), untuk bersama-sama mencari solusi masalah ini.

Allah Ta’ala berfirman,

وَ شَاوِرْهُمْ في الأَمْرِ 

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Ali Imran: 159)

Mari, kita sama-sama menghadapi wabah covid19. Semua pihak harus berperan dengan poin berikut:

  1. Aturan yang tegas dan pemerintah terkait PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan lain-lain
  2. Warga yang patuh terhadap arahan dan himbauan para ahli mengenai social distancing, physical distancing dan lain-lain
  3. Support terhadap Rumah sakit dan tenaga kesehatan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang cukup seperti APD (Alat pelindung diri) dan lain-lainnya

Mari kita ganti tagar #IndonesiaTerserah dengan #IndonesiaBerbenah atau #IndonesiaBangkit dan sebagainya. Intinya kita jangan sampai menyerah melawan wabah covid19 ini. Kita pemerintah dan rakyat sama-sama memberikan sumbangsih nyata melawan covid19.

Terlebih seorang muslim, harus optimis dan tidak boleh menyerah serta putus asa, karena putus asa termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ 

“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.” [QS. Az-Zumar:53]

Mari kita berbenah saat yang lain menyerah, Kita bangkit saat yang lain terpuruk, Kita peduli saat yang lain cuek dan tidak peduli. Ketika kita tetap tawakkal, berusaha dan berdoa, pasti Allah akan memberikan solusi, jalan keluar dan hikmah dari arah yang tidak pernah kita sangka-sangka.

Allah Ta’ala berfirman,

ﻭَﻣَﻦ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞ ﻟَّﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟﺎً ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ

”Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan memberikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka” (QS. Ath Thalaaq:2-3)

Semoga Allah segera mengangkat wabah ini dari muka bumi dan Indonesia tercinta.

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56712-indonesia-jangan-terserah-menyerah-melawan-covid19.html

Faedah Sirah Nabi: Pelajaran dari Persaudaraan Muhajirin dan Anshar

Apa saja pelajaran yang bisa diambil dari persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar?

Pertama:

Jumlah kaum Muhajirin yang datang dari Makkah menuju Madinah sangat banyak. Sementara mereka tidak membawa perbekalan yang mencukupi dan tidak mengetahui di mana akan bertempat tinggal. Bahkan, mereka meninggalkan keluarga dan harta mereka, datang ke tempat yang tidak dikenal sebelumnya dan tidak pernah sebelumnya mereka tinggal di sana. Hal ini pasti akan menimbulkan kesulitan terutama bagi orang-orang tua. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi yang baik yakni dengan mempersaudarakan antara dua golongan tersebut atas nama ukhuwah Islamiyah, yang dilandasi dengan hati yang jujur, yang dapat mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala.

Kedua:

Diawali dengan mempersaudarakan antara kedua golongan tersebut menunjukkan tentang betapa pentingnya sebuah persaudaraan. Perlu diketahui bahwa nikmat yang terbesar bagi kaum muslimin adalah nikmat persaudaraan karena Allah. Hal itu tergambar dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

Pertama, ayat di atas menceritakan tentang nikmat persaudaraan. Kedua, nikmat diselamatkannya mereka dari jurang neraka. Barangkali jika dilihat, maka nikmat kedualah yang terpenting. Akan tetapi, kedua nikmat tersebut saling berkaitan dengan erat, yaitu nikmat persaudaraan dan iman adalah dua hal yang saling sejalan. Sebab, persaudaraan tanpa iman tidak akan bertahan lama. Sedangkan iman tanpa persaudaraan juga tidak akan memberikan kemaslahatan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

Jadi, bagaimana mungkin iman akan tegak tanpa ada persaudaraan? Persaudaraan karena Allah merupakan nikmat yang sangat besar.

Hasan Al-Bashri menyebutkan,

إِخْوَانُنَا أَحَبُّ إِلَيْنَا مِنْ أَهْلِنَا وَأَوْلاَدِنَا، لِأَنَّ أَهْلَنَا يُذَكِّرُوْنَنَا بِالدُّنْيَا وَإِخْوَانُنَا يُذَكِّرُوْنَنَا بِالآخِرَةِ

“Saudara kami lebih kami cintai dari keluarga dan anak-anak kami. Sebab, keluarga akan mengingatkan kami pada dunia, sedangkan saudara kami mengingatkan pada akhirat.” (Imam Al-Ghazali menyebutkannya dalam Ihya’ ‘Ulum Ad-Diin).

Ketiga:

Diawali dengan mempersaudarakan, maka hal tersebut menunjukkan tentang keuniversalan Islam terhadap urusan agama dan dunia. Sebagaimana Islam mementingkan hubungan antara hamba dengan Rabbnya melalui pembangunan masjid, maka Islam juga mementingkan hubungan antara seseorang dengan muslim lainnya melalui persaudaraan.

Keempat:

Bersegeranya kaum Anshar untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka pun berlomba-lomba untuk membantu dan menjamu kaum Muhajirin yang datang kepada mereka. Hal ini sangat berbeda dengan umat zaman kita sekarang yang lebih suka mementingkan diri sendiri, egois, dan individualistis yang berlebihan, yang selalu bersembunyi, dan tidak mau membantu jika ia mengetahui bahwa seseorang datang kepadanya untuk meminta bantuan.

Kelima:

Tujuan dari pesaudaraan tersebut adalah seperti yang disebutkan oleh Suhaili, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan sahabat-sahabatnya ketika mereka tiba di Madinah supaya mereka tidak merasa asing, dan untuk menghilangkan rasa kesedihan karena telah meninggalkan keluarga sehingga mereka bisa saling membantu.

Keenam:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka, supaya orang Anshar dapat memberi kepada orang Muhajirin meskipun sedikit. Namun, kaum Anshar tidak puas jika hanya sekadar memberi, bahkan persaudaraan atas prinsip persamaan, yaitu mereka memberikan separuh dari apa yang mereka miliki. Seperti halnya kisah Sa’ad bin Rabi’ Al-Anshari dengan saudaranya ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, yang ia memberikan setengah dari hartanya dan menceraikan salah satu istrinya agar ‘Abdurrahman menikahinya. Bahkan, orang Anshar pun lebih mementingkan orang Muhajirin di atas kepentingan mereka sendiri, seperti firman Allah,

وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9). Yaitu mereka lebih mengutamakan saudaranya, kaum Muhajirin daripada diri mereka sendiri berupa berbagai kebutuhan dunia, walaupun mereka sendiri adalah orang fakir dan juga membutuhkan. Inilah yang disebut itsar. Sikap mendahulukan orang lain adalah derajat tertinggi dalam prinsip kesetaraan. Orang Anshar telah membantu orang Muhajirin melebihi dari diri mereka sendiri terhadap keperluan dunia. Cukuplah ini sebagai bukti atas kebenaran cinta dan kuatnya iman mereka kepada Allah.

Bagaimana kita bisa melakukan itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri)?

  • Memperhatikan kewajiban, anggap selalu kurang ketika melakukan yang wajib sehingga kehati-hatiannya ia mendahulukan orang lain walau ia pun butuh.
  • Meredam sifat pelit.
  • Semangat punya akhlak yang mulia karena itsar adalah tingkatan akhlak yang paling mulia. Sampai-sampai Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin menyatakan bahwa itsar adalah tingkatan dermawan (as-sakha’) yang paling tinggi. (Nudhrah An-Na’im fii Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim, 3:630, 639)

Faedah dari Itsar

  • Menunjukkan iman yang sempurna dan kebagusan Islam seseorang.
  • Ini adalah jalan mudah untuk menggapai ridha dan cinta Allah.
  • Akan timbul rasa cinta dan sayang antar sesama manusia.
  • Menunjukkan begitu dermawannya seseorang karena sampai ia butuh pun dikorbankan.
  • Punya sifat husnuzhan yang tinggi kepada Allah.
  • Menunjukkan amalan yang baik di penghujungnya (husnul khatimah).
  • Menunjukkan seseorang memiliki semangat yang tinggi dan terjauhkan dari sifat tercela.
  • Itsar membuahkan keberkahan.
  • Itsar memudahkan seseorang masuk surga dan terbebas dari neraka.
  • Itsar mengantarkan kepada keberuntungan (falah) karena telah mengalahkan sifat pelit (syuhh).

Ketujuh:

Inti dari persaudaraan adalah untuk membentuk masyarakat yang baru, karena masyarakat yang baik tidak akan terbentuk dengan perpecahan, pertikaian, dan perselisihan. Akan tetapi, tegak dengan kuatnya persaudaraan, saling membantu, tolong menolong, dan bahu membahu. Apa yang dicontohkan oleh golongan Anshar kepada Muhajirin merupakan sebuah pertanda betapa pentingnya persaudaraan dalam kehidupan kita sehari-hari dan sudah semestinya masyarakat saat ini memiliki kepekaan social kepada saudara mereka, saling membantu, dan tolong menolong.

Kedelapan:

Pada persaudaraan antara orang Anshar dengan Muhajirin kita simpulkan bahwa Anshar mengutamakan saudara mereka melebihi diri mereka sendiri. Sementara orang Muhajirin merasa malu dan tidak berkeinginan terhadap harta mereka seperti dicontohkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu ketika ingin dibantu oleh Sa’ad bin Ar-Rabi’. Di antara sifat seorang muslim adalah:

  1. Ketika dalam keadaan berada, maka ia bersifat itsar (mendahulukan orang lain padahal dirinya sendiri butuh);
  2. Ketika dalam keadaan ketiadaan, maka ia bersifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri).

Kesembilan:

Dengan persaudaraan akan memperlihatkan hakikat yang sesungguhnya dalam membangun masyarakat yang islami; yang kaya peduli terhadap yang fakir. Berbeda dengan masyarakat lain yang saling sikut menyikut, yang kuat memangsa yang lemah, bahkan yang kuat menunggu kesempatan yang baik untuk menyikat habis harta orang fakir, dengan perkataan lain senang di atas penderitaan orang lain.

Kesepuluh:

Ayat yang disebutkan di atas bukan untuk menghapus hukum mempersaudarakan antarsesama, tetapi yang dihapuskan, tetapi yang dihapuskan adalah hak untuk mewarisi dan dikembalikan atas dasar pertalian nasab. Alquran menjelaskan tentang kewajiban untuk saling tolong menolong atas kebenaran dan kebaikan, mengambil hak dari tangan orang-orang yang zalim, serta saling menasihati dan saling membantu. Seperti dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas,

إِلاَّ النَّصْرَ وَالرِّفَادَةَ وَالنَّصِيحَةَ ، وَقَدْ ذَهَبَ الْمِيرَاثُ وَيُوصِى لَهُ

Yang tetap diperbolehkan adalah saling menolong, saling memberi, saling menasihati, sedangkan saling mewariskan ditiadakan. Memberikan wasiat masih dibolehkan.” (HR. Bukhari, no. 2292)

Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (4:473) menyebutkan, “Persaudaraan di awal hijrah adalah persaudaraan yang mendapatkan hak untuk warisan, kemudian hak untuk saling mewarisi dihapuskan dan tinggallah kewajiban untuk saling tolong menolong atas kebenaran, kebaikan, dan mengambil hak dari tangan orang-orang yang zalim.”

Referensi:

  1. Fiqh As-Sirah. Cetakan Tahun 1424 H. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
  2. Nudhrah An-Na’im fi Makarim Akhlaq Ar-Rasul Al-Karim. Dikumpulkan oleh para ahli dengan pembimbingan: Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid (Imam dan Khatib Al-Haram Al-Makki). Penerbit Dar Al-Wasilah. 3:629-640.

Diselesaikan di Darush Sholihin, 18 Rajab 1441 H (13 Maret 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23539-faedah-sirah-nabi-pelajaran-dari-persaudaraan-muhajirin-dan-anshar.html

Jual Beli Gharar yang Barangkali Ada di Sekitar Kita

Berikut adalah keterangan mengenai macam-macam jual beli gharar yang barangkali ada di sekitar kita. Ini adalah bentuk-bentuk secara umum.

RUANG LINGKUP GHARAR DALAM AKAD JUAL BELI

Gharar bisa terjadi dalam akad, objek akad, dan waktu pelunasan kewajiban.

Gharar dalam akad jual beli

Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal secara kredit kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi (mau tunai ataukah kredit), jual beli semacam ini mengandung gharar dalam akad.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akad” (HR. An-Nasai, no. 4632; Tirmidzi, no. 1231; dan Ahmad, 2:174. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Al-Jaami’ Ash-Shahih, no. 6943).

Lihat penjelasan di atas dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi), Pertanyaan 15-169, 15/6/1393 H.

Gharar dalam objek akad (barang atau harga)

  1. Fisik barang tidak jelas. Contoh: menjual barang dalam kotak dengan harga Rp.100.000,-.
  2. Sifat barang tidak jelas. Contoh: menjual mobil dengan harga Rp.50.000.000,-, di mana pembeli belum pernah melihat mobil dan belum dijelaskan spesifikasinya.
  3. Ukuran barang tidak jelas. Contoh: menjual tanah Rp.10.000.000,- tanpa menentukan ukuran batasannya.
  4. Barang bukan milik penjual. Contoh: seorang calo tanah membuat transaksi jual beli dengan pihak ketiga tanpa mendapatkan izin dari pemilik tanah sebelumnya.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual beli. Tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu. Tidak halal menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Daud, no. 3504 dan Tirmidzi, no. 1234. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

  1. Barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama. Contoh: A membeli motor dari B. Sebelum A menerima motor dari B, A menjual kepada C. A menerima uang dari C dan meminta B untuk menyerahkan langsung motor ke C. Ini termasuk bai’ gharar karena motor tersebut bisa jadi lenyap dari B dan tidak bisa diserahterimakan kepada C.

Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا ، وَمَا يُحَرَّمُ عَلَيَّ قَالَ : فَإِذَا اشْتَرَيْتَ بَيْعًا ، فَلاَ تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ.

“Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual beli, apa jual beli yang halal dan yang haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima.’” (HR. Ahmad, 3:402. Syaikh Syuaib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lainnya, secara sanad hadits ini hasan).

  1. Barang tidak dapat diserahterimakan. Contoh: barang di luar negeri dan ia menjualnya di Indonesia. Ini termasuk jual beli gharar, karena barang tersebut kemungkinan tidak diizinkan masuk ke Indonesia.
  2. Gharar pada harga disebabkan penjual tidak menentukan harga. Contoh: Aku jual mobil dengan harga sesukamu. Namun masih boleh jual beli dengan penetapan harga pasar.

Gharar dalam jangka waktu pembayaran

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883).

Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu.

Masalah: Bayar nanti ketika sudah mampu

Adapun menyatakan pembayaran dengan ucapan “dibayar kapan mampu”, seperti ini dibolehkan berdasarkan hadits yang disebutkan dalam Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah. Ada hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إنَّ فُلَانًا قَدِمَ لَهُ بِزٌّ مِنْ الشَّامِ ، فَلَوْ بَعَثْتَ إلَيْهِ ، فَأَخَذْت مِنْهُ ثَوْبَيْنِ نَسِيئَةً إلَى مَيْسَرَةٍ ؟ فَبَعَثَ إلَيْهِ .فَامْتَنَعَ } أَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ .

“Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, perawinya tsiqqah). [HR. Tirmidzi, no. 1213; An-Nasai, 7:294; Ahmad, 42:70; Al-Hakim, 2:23, 24; Al-Baihaqi, 6:25. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari, tetapi tidak dikeluarkan oleh Bukhari – Muslim].

Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram(6:261) berkata, “Jual beli secara tertunda itu boleh dan sah pula jika pembayaran sampai waktu yang dimudahkan.”

Referensi: 

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani.

Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.


Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24660-jual-beli-gharar-yang-barangkali-ada-di-sekitar-kita.html

Aturan Membayar Utang Puasa Ramadhan (Qadha Puasa) yang Jarang Diketahui

Bagaimana aturan membayar utang puasa Ramadhan (qadha puasa)? Sebagian yang disebutkan di dalam tulisan ini ada yang jarang diketahui.

Siapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena sakit atau bersafar (menjadi musafir), maka ia wajib mengqadha’ sesuai jumlah hari yang ia tidak berpuasa. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Beberapa aturan qadha’ puasa

  1. Jika ada yang luput dari berpuasa selama sebulan penuh, ia harus mengqadha’ sebulan.
  2. Boleh puasa pada musim panas diqadha’ pada musim dingin, atau sebaliknya.
  3. Qadha’ puasa Ramadhan boleh ditunda.
  4. Jumhur ulama menyatakan bahwa menunaikan qadha’ puasa ini dibatasi tidak sampai Ramadhan berikutnya (kecuali jika ada uzur). Aisyah mencontohkan bahwa terakhir ia mengqadha puasa adalah di bulan Syakban.
  5. Apabila ada yang melakukan qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan berikutnya tanpa ada uzur, ia berdosa.

Dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anhamengatakan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban.”  (HR. Bukhari, no. 1950 dan Muslim, no. 1146).

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَوْ بِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-

“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

  1. Yang harus dilakukan ketika menunda qadha’ Ramadhan melampaui Ramadhan berikutnya adalah (1) mengqadha’ dan (2) menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin untuk setiap hari puasa). Hal ini berdasarkan pendapat dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Fidyah ini dilakukan karena sebab menunda. Adapun fidyah untuk wanita hamil dan menyusui (di samping menunaikan qadha’) disebabkan karena kemuliaan waktu puasa (di bulan Ramadhan). Adapun fidyah untuk yang sudah berusia lanjut karena memang tidak bisa berpuasa lagi.
  2. Yang menunda qadha’ puasa sampai melampaui Ramadhan berikut bisa membayarkan fidyah terlebih dahulu kemudian mengqadha’ puasa.

Beberapa aturan qadha’ puasa ini diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 28:75-76.

Beberapa catatan tentang qadha puasa

Pertama: Qadha’ Ramadhan sebaiknya dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala,

أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mu’minun: 61)

Kedua: Qadha’ puasa tidak boleh dibatalkan kecuali jika ada uzur yang dibolehkan sebagaimana halnya puasa Ramadhan.

Ketiga: Tidak wajib membayar qadha’ puasa secara berturut-turut, boleh saja secara terpisah. Karena dalam ayat diperintahkan dengan perintah umum,

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqadha’ puasa) tidak berurutan.” (Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga dikeluarkan oleh Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya, 4:241,243, dengan sanad yang sahih).

Keempat: Qadha’ puasa tetap wajib berniat di malam hari (sebelum Shubuh) sebagaimana kewajiban dalam puasa Ramadhan. Puasa wajib harus ada niat di malam hari sebelum Shubuh, berbeda dengan puasa sunnah yang boleh berniat di pagi hari.

Dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 2454; Tirmidzi, no. 730; An-Nasai, no. 2333; dan Ibnu Majah no. 1700. Para ulama berselisih apakah hadits ini marfu’—sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—ataukah mauquf—hanya sampai pada sahabat–. Yang menyatakan hadits ini marfu’ adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, An-Nawawi. Sedangkan yang menyatakan hadits ini mauqufadalah Al-Imam Al-Bukhari dan itu yang lebih sahih. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Al-Bulugh Al-Maram, 5:18-20).

Adapun puasa sunnah (seperti puasa Syawal) boleh berniat dari pagi hari hingga waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ

Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau menyantapnya. (HR. Muslim, no. 1154).

Imam Nawawi membawakan judul bab untuk hadits di atas “Bolehnya berniat di siang hari sebelum zawal untuk puasa sunnah. Boleh pula membatalkan puasa sunnah tanpa ada uzur. Namun, yang lebih baik adalah menyempurnakannya.”

Imam Nawawi juga berkata, “Menurut jumhur (mayoritas) ulama, puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal.” (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 32-33).

Kelima: Ketika ada yang melakukan qadha’ puasa lalu berhubungan intim di siang harinya, maka tidak ada kewajiban kafarah, yang ada hanyalah qadha’ disertai dengan taubat. Kafarah berat (yaitu memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu berarti berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu berarti memberi makan pada 60 orang miskin, pen.) hanya berlaku untuk puasa Ramadhan saja.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24554-aturan-membayar-utang-puasa-ramadhan-qadha-puasa-yang-jarang-diketahui.html

Pembatalan Keberangkatan Jemaah, Dirjen: Saudi Belum Buka Akses Layanan

Jakarta (Kemenag) — Kementerian Agama memutuskan membatalkan keberangkatan jemaah haji 1441H/2020M. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nizar mengatakan keputusan ini diambil antara lain karena hingga saat ini Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M. 

“Pemerintah Arab Saudi sampai saat ini belum memberikan kepastian kapan akan dibukanya akses layanan penyelenggaraan haji 1441H/2020M, tidak hanya bagi Indonesia, tapi juga bagi negara-negara pengirim jemaah haji lainnya,” terang Nizar di Jakarta, Selasa (02/06).

Nizar mengatakan, pihaknya memahami jika Arab Saudi hingga kini belum membuka akses tersebut. Pasalnya, hingga saat ini Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) juga masih menjadi pandemi. Sebagaimana di Indonesia, hal itu juga berpengaruh pada proses persiapan penyelenggaraan haji yang mereka lakukan. Apalagi, Covid-19 juga dapat mengancam keselamatan jemaah. Sementara agama mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. 

“Pandemi Covid-19 tentu juga menjadi pertimbangan, baik Saudi maupun Indonesia, karena itu terkait kesehatan jemaah,” ujarnya.

Dibuka atau tidaknya akses layanan penyelenggaraan dari Arab Saudi sangat penting dan akan berpengaruh pada persiapan yang dilakukan negara pengirim jemaah, termasuk Indonesia. Tentu persiapan itu membutuhkan waktu. “Sampai saat ini belum ada kepastian sehingga sudah tidak ada waktu lagi untuk melakukan persiapan,” tandasnya.

Humas Kemenag RI

Utamakan Keselamatan, Keberangkatan Jemaah Haji 1441H Dibatalkan

Jakarta (Kemenag) — Menteri Agama Fachrul Razi memastikan bahwa keberangkatan Jemaah haji pada penyelenggaraan ibadah haji 1441H/2020M dibatalkan. Kebijakan ini diambil karena Pemerintah harus mengutamakan keselamatan jemaah di tengah pandemi Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang belum usai.

“Saya hari ini telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 494 tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020M,” tegas Menag dalam kesempatan telekonferensi dengan awak media di Jakarta, Selasa (02/06).

“Sesuai amanat Undang-undang, selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, dan keamanaan jemaah haji harus dijamin dan diutamakan, sejak dari embarkasi atau debarkasi, dalam perjalanan, dan juga saat di Arab Saudi,” sambungnya. 

Menag menegaskan bahwa keputusan ini sudah melalui kajian mendalam. Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia dan Arab Saudi, dapat mengancam keselamatan jemaah. Agama sendiri mengajarkan, menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan. Ini semua menjadi dasar pertimbangan dalam menetapkan kebijakan.

Kemenag telah melakukan kajian literatur serta menghimpun sejumlah data dan informasi tentang haji di saat pandemi di masa-masa lalu. Didapatkan fakta bahwa penyelenggaraan ibadah haji pada masa terjadinya wabah menular, telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan di mana puluhan ribu jemaah haji menjadi korban. Tahun 1814 misalnya, saat terjadi wabah Thaun, tahun 1837 dan 1858 terjadi wabah epidemi, 1892 wabah kolera, 1987 wabah meningitis. Pada 1947, Menag Fathurrahman Kafrawi mengeluarkan Maklumat Kemenag No 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang.

Selain soal keselamatan, kebijakan diambil karena hingga saat ini Saudi belum membuka akses layanan Penyelenggaraan Ibadah Haji 1441H/2020M. Akibatnya, Pemerintah tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan dalam pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah. Padahal persiapan itu penting agar jemaah dapat menyelenggarakan ibadah secara aman dan nyaman.

“Waktu terus berjalan dan semakin mepet. Rencana awal kita, keberangkatan kloter pertama pada 26 Juni. Artinya, untuk persiapan terkait visa, penerbangan, dan layanan di Saudi tinggal beberapa hari lagi. Belum ditambah keharusan karantina 14 hari sebelum keberangkatan dan saat kedatangan. Padahal, akses layanan dari Saudi hingga saat ini belum ada kejelasan kapan mulai dibuka,” tuturnya.

“Jika jemaah haji dipaksakan berangkat, ada risiko amat besar yaitu menyangkut keselamatan jiwa dan kesulitan ibadah. Meski dipaksakan pun tidak mungkin karena Arab Saudi tak kunjung membuka akses,” katanya lagi.

Pembatalan keberangkatan Jemaah ini berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia (WNI). Maksudnya, pembatalan itu tidak hanya untuk jemaah yang menggunakan kuota haji pemerintah, baik reguler maupun khusus, tapi termasuk juga jemaah yang akan menggunakan visa haji mujamalah atau furada.

“Jadi tahun ini tidak ada pemberangkatan haji dari Indonesia bagi seluruh WNI,” ujar Menag.

Dampak Pembatalan

Seiring keluarnya kebijakan pembatalan keberangkatan Jemaah ini, jemaah haji reguler dan khusus yang telah melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) tahun ini akan menjadi jemaah haji 1442H/2021M. Setoran pelunasan Bipih yang dibayarkan akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

“Nilai manfaat dari setoran pelunasan itu juga akan diberikan oleh BPKH kepada jemaah paling lambat 30 hari sebelum pemberangkatan kloter pertama penyelenggaraan haji 1442H/2021M,” jelasnya.

“Setoran pelunasan Bipih juga dapat diminta kembali oleh jemaah haji,” sambungnya.

Bersamaan dengan terbitnya KMA ini, lanjut Menag, Petugas Haji Daerah (PHD) pada penyelenggaraan ibadah haji tahun ini dinyatakan batal. Bipih yang telah dibayarkan akan dikembalikan. “Gubernur dapat mengusulkan kembali nama PHD pada haji tahun depan,” urai Menag.

Hal sama berlaku bagi pembimbing dari unsur Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) pada penyelenggaraan haji tahun ini. Statusnya dinyatakan batal seiring terbitnya KMA ini. Bipih yang dibayarkan akan dikembalikan. KBIHU dapat mengusulkan nama pembimbing pada penyelenggaraan haji mendatang.

“Semua paspor Jemaah haji, petugas haji daerah, dan pembimbing dari unsur KBIHU pada penyelenggaraan ibadah haji 1441H/2020M akan dikembalikan kepada pemilik masing-masing,” ucapnya.

Menag menyampaikan simpati kepada seluruh jemaah haji yang terdampak pandemi Covid-19 tahun ini. Untuk memudahkan akses informasi masyarakat, selain Siskohat, Kemenag juga telah menyiapakn posko komunikasi di Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Kemenag juga tengah menyiapkan WA Center yang akan dirilis dalam waktu dekat.

“Keputusan ini pahit. Tapi inilah yang terbaik. Semoga ujian Covid-19 ini segera usai,” pungkas Menag.

(Humas Kemenag)

Anjuran untuk Bersiwak

Pengertian Siwak 

Siwak adalah bagian dari syariat. Islam Yang dimaksud siwak adalah menggunakan kayu atau sejenisnya untuk membersihkan kotoran dan warna kuning yang menempel pada gigi dan gusi dan menghilangkan baunya. Bersiwak bisa dengan kayu semisal kayu arok, zaitun, tangkai kurma, atau kayu jenis lain yang tidak mudah hancur dan tidak melukai mulut. (Al Mulakhos al Fiqhy)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak menurut istilah para ulama yaitu kegiatan menggunakan ranting atau yang semcamnya untuk menghilangkan warna kuning serta kotorang lain yang ada pada gigi. “ (Syarh Shahih Muslim)

Apakah siwak boleh menggunakan sikat gigi dan pasta gigi ? Jawabannya doleh. Dianjurkan siwak menggunakan kayu arok. Jika tidak ada maka boleh menggunakan benda lain yang bisa membersihkan gigi dan mulut. Termasuk dalam hal ini menggunakan sikat gigi dan pasta gigi. Walllahu a’lam. (Shahih Fiqhu Sunnah)

Bersiwak Hukumnya Sunnah 

Bersiwak hukumnya sunnah dilakukan pada setiap waktu berdasarkan keumuman dalam hadits ‘Aisyah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak membuat bersih mulut dan mendatangkan ridho Allah” (H.R Ahmad, shahih)

Bersiwak merupakan sunnah para rasul-rasul terdahulu. Yang pertama kali bersiwak adalah Nabi Ismail ‘alaihi sallam. Terdapat lebih dari hadits yang menjelaskan tentang siwak dan motivasi untuk melakukannya. Ini menunjukkan bahwa siwak adalah sunnah yang sangat ditekankan untuk diamalkan.(Al Mulakhos al Fiqhy)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Siwak hukumnya sunnah dan tidak wajib dalam keadaaan apaun, baik ketika hendak shlat maupun dalam kondisi lain” (Syarh Shahih Muslim)

Manfaat Siwak 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak membuat bersih mulut dan mendatangkan ridho Allah” (H.R Ahmad, shahih

Hadits ini menunjukkan dua manfaat penting bersiwak :

  1. Manfat duniawi yaitu akan membersihkan mulut. 
  2. Manfaat ukhrawi yaitu akan mendapatkan keridhoan Allah. 

Ini menunjukkan perbuatan yang ringan bisa menghasilkan kebaikan dan pahala yang agung. (Asy Syarhu al Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’

Disamping membersihkan gigi dan mulut dengan siwak juga bermanfaat untuk menjaga kebersihan dan bau mulut serta bermanfaat bagi kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit.

Cara Bersiwak 

Cara bersiwak adalah dengan menggosok gigi dan gusi dimulai dari sisi mulut sebelah kanan kemudian ke kiri. Dalil yang menunjukkan hal ini karena kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterangkan dalam hadits berikut :

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ 

“ Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai memulai pada bagian kanan saat mengenakan sandal, menyisir rambut, bersuci, dan dalam urusannya yang penting semuanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Para ulama berselisih pendapat apakah memegang siwak menggunakan tangan kanan ataukah tangan kiri ?

Sebagain ulama berpendapat menggunakan tangan kanan. Bersiwak adalah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ketaatan kepada Allah tidak layak dilakukan dengan yang kiri. Karena ini adalah termasuk ibadah maka yang lebih utama adalah menggunakan tangan kanan. 

Sebagian ulama yang lain berpendapat yang lebih utama adalah dengan tangan kiri karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran. Kegiatan membersihkan kotoran adalah menggunakan tangan kiri seperti saat melakukan istinja’ atau isitijmar

Sebagian ulama yang lainnya memberikan perincian. Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran seperti saat bangun tidur atau membersihkan sisa makan dan minum maka menggunakan tangan kiri karena ini termasuk perbuatan membersihkan kotoran. Jika niatnya untuk melaksanakan sunnah maka menggunakan tangan kanan karena hal ini semata perbuatan ibadah. Seperti bersiwak ketika hendak wudhu atau ketika akan sholat maka menggunakan tangan kanan. 

Menyikapi peerbedaan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al‘Utsaimin rahimahullah menyimpulkan bahwa dalam maslah ini perkaranya luwes dan fleksibel, bisa menggunkan tangan kanan maupun tangan kiri. Tidak ada dalil yang jelas dan tegas dalam masalah ini. (Lihat Asy Syarhu al Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’)

Waktu Untuk Bersiwak 

Siwak lebih ditekankan untuk dilakukan pada kondisi berikut :

(1). Ketika wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ

“ Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu” (HR. Ahmad, shahih).

Menurut Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah bahwa bersiwak ketika wudhu dilakukan saat berkumur-kumur. (Al Mulakhos al Fiqhy)

(2). Ketika shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ

“ Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari).

(3). Ketika membaca Al Qur’an. Dari Ali bin Abi Thalib radhyiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ‘Kami diperintahkan untuk bersiwak dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إن العبد إذا قام يصلي أتاه الملك فقام خلفه يستمع القرآن ويدنو فلا يزال يستمع ويدنو حتى يضع فاه على فيه فلا يقرأ آية إلا كانت في جوف الملك

“ Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya. Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan Al-Qu’rannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shahih)

(4). Ketika masuk rumah. Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ

Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak” (Muttafaqun ‘alaihi).

(5). Ketika hendak shalat malam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

“ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun tidur di malam harimaka beliau bersiwak.” (Muttafaqun ‘alaih). (Shahih Fiqhu Sunnah)

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa siwak hukukmnya sunnah dilakukan kapanpun saja di setiap waktu. Akan tetapi ada lima keadaan yang lebih ditekankan untuk bersiwak : (1) ketika hendak shalat, (2) ketika hendak wudhu, (3) saat hendak membaca Al Qur’an, (4) saat bangun tidur, dan (5) saat ada perubahan bau mulut seperti misalnya karena lama tidak makan dan minum, memakan makan yang berbau tidak enak, lama diam, dan banyak bicara. (Lihat Syarh Shahih Muslim)

Semoga bermanfaat. Allahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad.

Penulis : Adika Mianoki

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/56838-anjuran-untuk-bersiwak.html

Hadits Arbain #32: Tidak Boleh Memberikan Mudarat Sengaja ataupun Tidak

Tidak boleh memberikan mudarat sengaja ataupun tidak.

Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah #32

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺقَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدًا، وَرَوَاهُ مَالِكٌ فِي المُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺفَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ، وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.

Dari Abu Sa’id Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja atau pun disengaja.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah, no. 2340; Ad-Daraquthni no. 4540, dan selain keduanya dengan sanadnya, serta diriwayatkan pula oleh Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 31 secara mursal dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebutkan Abu Sa’id, tetapi ia memiliki banyak jalan periwayatan yang saling menguatkan satu sama lain) [Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 250]

Faedah hadits

Pertama:

Islam mendorong untuk mengangkat mudarat dan dilarang memberikan mudarat pada orang lain. Mudarat bisa diberikan pada badan, harta, anak, hewan ternak, dan lainnya.

Kedua:

Hadits ini berisi kaedah syariat yaitu mengangkat dharar dan dhirar. Kalimat dalam hadits adalah dalam bentuk khabar nanti bermakna an-nahyu (larangan).

Ketiga:

Dharar dan dhirar ada yang berpendapat maknanya sama. Ada pendapat lain yang menyatakan maknanya berbeda.

Dharar: memberi bahaya tanpa niatan, tanpa disengaja.

Dhirar: memberi bahaya dengan niatan, disengaja.

Kalau dharar saja dilarang, lebih-lebih lagi dhirar.

Keempat:

Hadits ini jadi rujukan dalam banyak bab, lebih-lebih dalam bahasan muamalah, seperti jual beli, gadai. Begitu juga hadits ini jadi dipakai dalam bab nikah di mana seorang suami tidak boleh memberikan mudarat pada istrinya. Juga dalam bab wasiat, seseorang tidak boleh memberikan yang nantinya memudaratkan ahli waris.

Kelima:

Dari hadits ini Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan kaedah:

مَتَى ثَبَتَ الضَّرَرُ وَجَبَ رَفْعُهُ وَمَتَى ثَبَتَ الإِضْرَارُ وَجَبَ رَفْعُهُ مَعَ عُقُوْبَةِ قَاصِدِ الإِضْرَارِ

Jika ada dharar kapan pun itu, wajib dihilangkan. Kapan juga adanya dhirar (bahaya yang disengaja), wajib pula dihilangkan disertai adanya hukuman karena mudarat yang diberikan dengan sengaja.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 354)

Contoh mudarat disengaja atau pun tidak

Pertama: Seseorang memiliki tetangga dan memiliki pohon yang tiap hari ia siram. Namun airnya masuk ke rumah tetangganya, mengganggu tetangganya, yang menyiram tidak tahu akan hal itu. Ini disebut dharar melakukan dengan tidak sengaja.

Kedua: Ada seseorang punya masalah dengan tetangganya karena salah paham. Tetangga A mengatakan, “Pokoknya, saya akan mengganggumu.” Lantas ia membunyikan mesin traktor, tujuannya untuk menggangu tetangganya. Ini namanya dhirar.

Kasus kedua sudah diketahui kalau ia sedang memberikan mudarat, karena ia sengaja melakukannya. Kasus pertama, jika ia diberitahu kalau telah mengganggu tetangga, maka ia pasti tidak akan mengganggu seperti itu. Intinya dharar maupun dhirar sama-sama dilarang.

Ketiga: Di masa jahiliyyah, ketika suami menceraikan istrinya, maka ketika masa ‘iddahnya mau selesai, suami rujuk kembali. Kemudian ia mentalaknya lagi kali kedua, lalu jika masa ‘iddahnya mau selesai, suami rujuk kembali. Kemudian ia mentalak seterusnya hingga talak ketiga, keempat, tujuannya adalah untuk dhirar, yaitu mencelakakan dengan sengaja. Karena itu Allah batasi talak itu hanya sampai tiga kali. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ  …

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229)

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230).

Keempat: Seseorang memberikan wasiat bahwa setelah meninggal dunia separuh hartanya untuk si fulan, tujuannya untuk mengurangi jatah waris. Ini tidaklah dibolehkan karena wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta.

Dari ‘Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ لِكُلِّ وَارِثٍ نَصِيبَهُ مِنَ الْمِيرَاثِ فَلاَ يَجُوزُ لِوَارِثٍ وَصِيَّةٌ

Sesungguhnya Allah membagi untuk setiap ahli warisnya sudah mendapatkan bagian-bagiannya. Karenanya tidak boleh ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ibnu Majah, no. 2712; Tirmidzi, no. 2121. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Namun kalau yang diberi wasiat adalah selain ahli waris, itu boleh. Namun wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggal sebagaimana penjelasan dari hadits Sa’ad bin Abi Waqqash berikut.

Dari ‘Amir bin Sa’ad, dari ayahnya, Sa’ad, ia adalah salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang engkau lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab,

وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ

Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada sesama manusia. Sesungguhnya apa yang kamu nafkahkan dengan maksud untuk mencari ridha Alah pasti kamu diberi pahala, termasuk apa yang dimakan oleh istrimu.” (HR. Bukhari, no. 4409; Muslim, no. 1628).

Empat contoh di atas, diambil dari Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Kelima: Yang memberikan mudarat lagi adalah:

  1. Menjual rokok.
  2. Menimbun barang ketika sangat dibutuhkan dan stok terbatas.
  3. Menjadi calo hingga memborong tiket angkutan umum sehingga tiket jadi langka dan begitu mahal.

Kaedah dari hadits

  1. Adh-Dharar yuzaal: bahaya itu mesti dihilangkan.
  2. Adh-Dharar yudfa’u bi qodri al-imkaan: bahaya itu dihilangkan sebisa mungkin.
  3. Adh-Dharar yuzalu bi adh-dhoror al-akhoff: bahaya itu dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.
  4. Adh-Dharar laa yuzaalu bi mitslihi: bahaya itu tidak dihilangkan dengan yang semisalnya.
  5. Yahtamilu adh-dhoror al-khass adh-dhoror al-‘amm: Memikul bahaya yang lebih khusus agar tidak mendapatkan bahaya yang sifatnya lebih umum.

Referensi:

  1. Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/23904-hadits-arbain-32-tidak-boleh-memberikan-mudarat-sengaja-atau-pun-tidak.html

Hukum Memakai Masker Saat Shalat di Masa Pandemi Covid-19

Bolehkah shalat memakai masker di masa pandemi covid-19? Sahkah shalatnya?

Pada asalnya seorang yang shalat dimakruhkan untuk memakai masker atau secara umum menutup mulutnya. Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُغَطِّيَ الرَّجُلُ فَاهُ فِي الصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat.” (HR. Abu Daud, no. 643 dan Ibnu Majah, no. 966. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaifSyaikh Al-Albani menilai hadits ini hasan).

Oleh karena itu, hukum asal untuk para muslimah, hendaklah tidak menggunakan cadar saat shalat. Menurut kesepakatan para ulama, dilarang menutup wajah saat shalat. Di antara alasan dilarangnya adalah karena terlihat tidak indah, padahal Allah perintahkan,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf: 31)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat dihukumi makruh. Meletakkan tangan pada mulutnya juga dihukumki makruh.” (Al-Majmu’, 3:179)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

ويكره أن يصلي الرجل متلثما أي مغطيا فاه بيده أو غيرها ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا إذا تثاءب فإن السنة وضع اليد على فيه ففي صحيح مسلم عن أبي سعيد إن النبي صلى الله عليه وسلم

“Menutup mulut dan hidung (at-talatstsum) atau menutup mulut saja dengan tangan atau yang lain ketika shalat dimakruhkan. Dimakruhkan juga menutup mulut dengan tangan. Hal ini dikecualikan untuk yang bersin dalam shalat, maka diperbolehkan menutup mulut karena dalam kondisi ini yang sesuai sunnah adalah menggunakan tangan untuk menutup mulut sebagaimana pengajaran yang terdapat dalam hadits di Shahih Muslim (hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas).” (Al-Majmu’, 3: 179)

Suatu yang makruh menjadi boleh ketika ada hajat seperti saat batuk, pilek, takut menularkan ataukah takut tertular berdasarkan kaedah,

الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ

“Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”

Kesimpulan: Memakai masker saat shalat berjamaah saat pandemi covid-19 dibolehkan karena ada hajat (kebutuhan).

Referensi:

  1. Al-Ahkaam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. (File PDF)
  2. Al-Haajatu Asy-Syar’iyyah Hududuha wa Qawa’iduhaa. Ahmad Kaafi. Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah. hlm. 130-132.

Darush Sholihin, 5 Syawal 1441 H, 28 Mei 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24594-hukum-memakai-masker-saat-shalat-di-masa-pandemi-covid-19.html

Inilah Kuliner Kesukaan Rasulullah SAW

MANUSIA tidak lepas dari kebutuhan terhadap makanan. Demikian juga Rasulullah SAW. Sebagaimana manusia pada umumnya, beliu juga punya kuliner kesukaan. Apa saja kah itu?

Dikutip dari buku yang berjudul ‘Mutiara Ihya’ Ulumuddin’ karya Al-Ghazali, makanan yang sangat disukai Nabi Muhammad adalah daging.

Beliau bersabda, “Daging itu dapat menambah pendengaran, dan itu merupakan makanan utama di dunia dan di akhirat. Seandainya aku memohon kepada Tuhanku agar Dia memberiku makanan daging setiap hari, niscaya Dia akan memberi.”

Beliau pun biasa makan roti berkuah dengan daging dan labu air. Beliau menyukai labu air, dan Beliau berkata bahwa labu air itu adalah pohon saudaranya, Yunus AS.

Aisyah ra berkata, “Jika kamu memasak sayur, perbanyaklah di dalamnya labu air, karena labu air dapat menguatkan hati orang yang susah.”

Aisyah juga mengatakan jika Rasulullah SAW biasa memakan daging burung yang diburu. Beliau sendiri tidak ikut berburu dan tidak pula memburunya. Beliau suka agar orang orang lain berburu untuknya dan membawakan padanya, lalu Beliau menyantapnya. Beliau pun suka memakan roti dan minyak samin.

Di antara sayuran Beliau menyukai al-handaba, al-badzruj, dan sayuran al-hamqa.

Sedangkan, buah-buahan yang paling beliau sukai adalah kurma, semangka, dan anggur. Kadang-kadang beliau memakan buah anggur dengan mengigit dari tangkainya sehingga tampak air anggur itu menempel pada janggutnya seperti mutiara. Paling sering menu makan Rasulullah SAW adalah air dan kurma. Rasulullah SAW memakan al-qatsa (buah sejenis mentimun) dengan kurma dan garam.

Selain itu, Rasulullah SAW juga suka menggabungkan susu dengan kurma. Beliau menamainya al-athyabain (dua yang paling baik).

Beliau menyukai makanan, jika dari daging kambing adalah bagian lengan dan bahu. Adapun jika dimasak dalam periuk adalah labu air, dari lauk-pauk adalah cuka, dan dari kurma adalah ‘ajwah (jenis kurma paling bagus).

Pada ‘ajwah itu, Beliau mendoakan keberkahan, dan mengatakan bahwa itu adalah dari surga serta obat penawar racun dan sihir. []

sumber: Khazanah Republika/ISLAMPOS