Amanah Menjadi Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah.

DALAM Islam, menjadi pemimpin berarti mengemban amanah, jelas amanah di sini bukan perkara mudah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ amat teliti di dalam mendistribusikan amanah kepemimpinan ini. Sebab, menjadi pemimpin tak cukup hanya bekal ilmu tapi juga sangat butuh integritas, kekuatan mental, dan tentu saja, kesiapan berhadapan dengan resiko.

Tidak heran kala di masa Nabi Muhammad ﷺ orang tidak bernafsu menjadi pemimpin atau pejabat, salah-salah bisa sengsara di dunia juga di akhirat.

Pernah suatu waktu Abu Dzar menemui Nabi ﷺ dan menyampaikan hajatnya atas sebuah kepemimpinan. Nabi ﷺ memberikan jawaban tegas.

Sambil menepuk pundak Abu Dzar, Nabi ﷺ berkata, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut” (HR Muslim).

Kata “amanah” berasal dari kata “amuna” artinya tidak meniru, terpercaya, jujur, atau titipan. Segala sesuatu yang dipercayakan kepada mansuia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain, maupun hak Allah SWT.

Tidak heran jika di dalam sejarah kepemimpinan para sahabat Nabi ﷺ Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab tidak saja tegas dan adil, tetapi sangat sungguh-sungguh menegakkan keadilan dan menjaga diri dari kemewahan.

Pernah suatu waktu, kala umat Islam berhasil menaklukkan Kerajaan Persia dan kembali ke Madinah dengan membawa ghanimah dari istana Raja Kisra, Umat bin Khathab justru menangis. Ia sama sekali tidak bangga.

Ternyata itu karena Umar sangat khawatir harta benda itu akan memalingkan cintanya kepada Allah. Bahkan, capaian kemenangan demi kemenangan itu bagi Umar sama sekali bukan prestasi, sebab baginya, kalau Allah berkehendak, itu bisa saja terjadi di masa Nabi ﷺ dan Abu Bakar. Namung mengapa semua kemenangan itu justru terjadi di masanya. Demikianlah pemimpin sejati.

Umar juga rela di malam gulita memilih berjalan, memanggul sekarung gandum untuk membantu seorang ibu yang tidak punya makanan sedangkan anak-anaknya menangis karena lapar. Saat hendak dibantu oleh ajudannya, Aslam, Umar menolak. “Apakah kamu akan memikul bebanku di akhirat?”

Di sini dapat kita pahami dengan mudah bahwa pemimpin yang baik, amanah, dan pasti membela rakyat hanyalah pemimpin yang ingat akan akhirat. Sebaliknya, pemimpin yang tidak punya ilmu dan tidak punya visi akhirat, sudah jelas dia akan menjadi “mainan” banyak kepentingan. Sebab memang tidak mungkin amanah. Dan, tidak bisa amanah berarti adalah mudah diperalat oleh beragam kepentingan.

Oleh karena itu Nabi ﷺ memperingatkan Abu Dzar bahwa jika seseorang gagal amanah di dalam memimpin, maka ia akan mengalami kehinaan di dunia lebih-lebih di akhirat. Ini karena menjadi pemimpin berarti mendapatkan kepercayaan mengurus banyak kebutuhan manusia. Jika tidak amanah, maka sama dengan seorang pedagang yang selalu tidak jujur dalam setiap transaskinya, siapa yang mau membeli dagagannya.

Menyiapkan Pemimpin

Menyadari betapa berat amanah kepemimpinan, maka idealnya setiap keluarga Muslim berlomba-lomba menyiapkan pemimpin, yakni dengan mendidik anak-anak kita memahami Al-Qur’an dan Sunnah kemudian komitmen di dalam mengamalkannya. Jika tidak, berarti keberadaan pemimpin akan terus bergilir dari orang yang buruk kualitasnya, mulai dari iman, integritas, hingga keilmuan. Jika itu terus terjadi, maka kiamat akan terjadi.

Pernah suatu waktu, Rasulullah ﷺ sedang mengisi kajian dan menjelaskan perihal Hari Kiamat. Seorang Badui bertanya, “Kapan kiamat itu terjadi.”

Rasulullah ﷺ menjawab, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.”

Rupanya, Badui ini tidak langsung memahami, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”

Beliau ﷺ menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat.”

Menariknya DR. Mahir Ahmad dalam memberikan makna terhadap hadits tersebut sangat luas. Dalam bukunya Ensiklopedi Akhir Zaman ia menuliskan dengan sangat terang.

“Pemahaman dari amanah bukan hanya terbatas pada seseorang yang memberikan amanah kepada saya sampai waktu tertentu, lalu ketika ia kembali, maka saya berikan amanah tersebut kepadanya. Tapi amanah itu berarti segala sesuatu. Harta yang ada di tangan kita adalah amanah, tubuh kita ialah amanah, ilmu kita adalah amanah, kepemimpinan ialah amanah, kekuasaan ialah amanah, istri dan anak-anak ialah amanah, rezeki ialah amanah dan keimanan juga amanah.”

Dalam kata yang lain, sejatinya setiap jiwa adalah pemimpin. Dikatakan demikian karena ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan. Jika ini disadari, maka tidak ada cara terbaik selain berlomba-lomba menjadi pribadi yang amanah. Dengan begitu, insya Allah kita telah berupaya menyiapkan pemimpin amanah di masa depan. Dalam konteks keluarga, berikanlah keteladanan, pembelajaran, dan bimbingan untuk anak-anak kita agar kelak mereka siap menjadi pemimpin yang amanah, baik skala rumah tangga, lebih-lebih skala negara bahkan dunia. Allahu a’lam.*

HIDAYATULLAH


Beberapa Faidah dari Kisah Meninggalnya Abu Thalib

Abu Thalib adalah seseorang yang telah banyak berjasa membantu dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, Abu Thalib tetap enggan untuk mengucapkan kalimat “laa ilaaha illallah”. Bahkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalib untuk mengucapkan kalimat ini di akhir hayatnya, dia tetap saja enggan untuk mengucapkannya. Berikut ini kisah selengkapnya.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ « يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ » . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .

“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Thalib, “Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat yang dapat aku jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah”. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, “Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?” Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Beberapa faidah yang bisa diambil dari kisah di atas adalah:

Pertama, orang-orang Quraisy mengetahui bahwa kalimat tauhid bisa membatalkan peribadatan mereka kepada berhala yang mereka sembah. Artinya, mereka betul-betul memahami bahwa kalimat tauhid itu adalah lawan dari perbuatan kemusyrikan yang selama ini mereka lakukan. Sehingga jika Abu Thalib sampai mengucapkan kalimat tauhid, itu artinya Abu Thalib telah membenci agama kemusyrikan. 

Ini di antara salah satu sisi mengapa orang-orang musyrik jaman dahulu itu lebih memahami makna kalimat tauhid daripada orang-orang musyrik jaman sekarang.

Kedua, Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah menyebutkan argumentasi kepada Abu Thalib agar Abu Thalib tidak mengatakan kalimat tauhid. Argumentasi ini adalah argumentasi yang sangat jelek dan tercela, yaitu “Apakah Engkau membenci agama Abdul Muthallib?”

Ini adalah sikap mengikuti nenek moyang yang tercela, untuk menolak ajaran agama Islam yang lurus. Padahal, nenek moyang mereka tersebut berada di atas agama yang batil, yaitu agama kemusyrikan. Allah Ta’ala menceritakan tentang mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِم مُّهْتَدُونَ

“Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 22)

Demikian juga firman Allah Ta’ala ketika menceritakan Fir’aun,

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Fir’aun berkata, “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (QS. Thaaha [20]: 51)

Ketiga, pengaruh jelek dari teman pergaulan yang buruk. Oleh karena itu, hendaknya waspada dan menjauh dari bergaul dengan teman-teman yang berpotensi membawa kejelekan. Abu Thalib enggan mengucapkan kalimat tauhid, karena ketika dia sudah sakit parah dan hendak meninggal dunia, dia ditemani oleh teman-teman yang buruk. 

Keempat, jika seseorang dipastikan meninggal dalam kondisi kekafiran, maka tidak boleh dimintakan ampunan (maghfirah) dan tidak boleh didoakan. 

Hal ini berkaitan dengan ayat yang turun berkenaan dengan kisah Abu Thalib dan berisi larangan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memintakan ampunan bagi Abu Thalib. Allah Ta’ala berfirman,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9]: 113)

Kelima, demikian pula status hukum person tertentu yang jelas meninggal dunia di atas kekafiran adalah kekal di neraka, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah disebutkan di atas, yaitu, 

مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“ … sesudah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9]: 113)

Keenam, sesungguhnya hidayah taufik itu tidak ada yang memilikinya kecuali Allah Ta’ala. Bahkan manusia yang paling mulia pun, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki hidayah taufik. Lalu bagaimana mungkin dengan orang-orang yang kedudukannya berada di bawah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash [28]: 56)

Ketujuh, bahwa syafaat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Thalib adalah pengecualian dari firman Allah Ta’ala,

فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ

“Maka tidak berguna lagi bagi mereka (orang-orang kafir) syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (QS. Al-Muddatsir [74]: 48)

Akan tetapi, syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Thalib itu bukan untuk mengeluarkan Abu Thalib dari neraka. Namun hanya untuk meringankan adzab di neraka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika paman beliau, Abu Thalib, sedang diperbincangkan, beliau bersabda, 

لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ

“Semoga syafa’atku berguna baginya pada hari kiamat, sehingga dia tidak diletakkan dalam neraka yang dalam, yang tingginya sebatas kedua mata kakinya, namun itu pun menjadikan ubun-ubun kepalanya mendidih.” (HR. Bukhari no. 6564 dan Muslim no. 210)

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57185-beberapa-faidah-dari-kisah-meninggalnya-abu-thalib.html

Shabazz, Dai yang Sukses Islamkan Puluhan Napi Texas Wafat

Shabazz berdakwah kepada para narapidana di sejumlah penjara Texas.

Di antara orang-orang yang meninggal karena terinfeksi Covid-19, ada satu nama yang sangat berjasa terhadap para narapidana di penjara Texas, Amerika Serikat. 

Dia telah banyak berperan dalam membantu para narapidana menanamkan harapan dan menemukan hidayah sehingga memeluk Islam.   

Ialah Akbar Nurid-Din Shabazz. Sudah empat dekade dia menjadi pendakwah, sekaligus yang pertama, di penjara Texas. Entah bagaimana Shabazz bisa membantu para tahanan menanamkan harapan. Tetapi perannya sangat dirasakan para narapidana termasuk oleh Charlesetta Myers dari Dallas.  

Seperti dilansir The New York Times pada Jumat (26/6), Myers tersandung kasus hingga kembali masuk penjara untuk yang ketiga kalinya. Di penjara, Myers mencoba mempelajari Alquran  dan pergi ke layanan Muslim. Dia bertemu dengan Shabazz. Setelah itu dia pun masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Rashidah Muhammad.   

“Tuan Shabazz punya cara untuk memotivasi seseorang,” kata Muhammad yang memuji Shabazz karena telah mengubah hidupnya. 

Dua puluh tahun setelah keluar dari penjara, Muhammad kini menjadi seorang pengusaha dan menjadi tokoh yang aktif dikalangan Muslim Dallas yang setiap bulannya mengunjungi penjara sebagai guru sukarela.   

Shabazz meninggal pada 23 April di Rumah Sakit di The Woodlands dekat Houston. Dia meninggal di usia 70 tahun. Putrinya, Rabiah Shabazz mengatakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena Covid-19. 

Menurut keterangan Departemen Kehakiman Pidana Texas sedikitnya ada delapan staf penjara dan 72 narapidana di penjara Texas yang harus menyerah dengan Covid-19 hingga 25 Juni. Dan Shabazz termasuk di dalamnya.   

Shabazz tinggal di Huntsville. Dia menjadi satu dari 100 lebih pendakwah dari berbagai agama atau satu dari lima pendakwah Muslim yang berdakwah penjara. Dia memimpin ibadah dan berkeliling ke sekitar 25 penjara. dia seringkali memberikan nasihat pada anggota staf penjara dan para narapidana. Dia dikenal sebagai pendakwah yang mampu menyebarkan ajaran Islam di penjara Texas serta memperkuat praktik ibadah seperti sholat Jumat dan puasa Ramadhan dalam penjara. Shabazz begitu dihormati narapidana dari semua latar belakang agama. “Siapa saja yang sudah lama di sini tahu siapa Shabazz,” kata Direktur Eksekutif Departemen Peradilan Pidana, Bryan Collier.  

Menurut pengakuan sejumlah eks narapidana, Shabazz masih mau menjalin pertemanan meskipun mereka telah meninggalkan penjara. Bahkan Shabazz juga membantu membimbing eks narapidana untuk memulai bisnis atau meraih gelar sarjana.   

“Dia tahu bagaimana cara mengurangi konflik. Dia punya begitu banyak kesabaran dan ketenangan,” kata putri Shabazz yang juga seorang manajer Kesehatan Mental untuk para narapidana dan eks petugas lembaga pemasyarakatan.   

Kisah Shabazz baru-baru ini diceritakan oleh The Houston Chronicle. Shabazz sendiri adalah seorang mualaf. Akbar Nurid-Din Shabazz lahir dengan nama Robert Lynn Williams di Monroe Louisiana pada 20 Maret 1950. dia adalah anak kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan Robert dan Matheal Williams. Ayahnya seorang pengusaha kecil dan sopir truk. Sedang ibunya seorang perawat.   

Keluarga besar Shabazz kemudian masuk Islam setelah pindah ke Flint, Michigan Para 1951. Pertengahan 1970-an mereka mengubah nama dengan orang tuanya menjadi Omar dan Matheal Shabazz. 

Keluarga Muslim itu kemudian pindah ke Texas pada 1959. Shabazz pun dibesarkan di Dallas, kemudian dia kuliah di El Centro College sebelum menjadi staf peneliti di Universitas Texas Southwestern Medical Center. 

Pada 1972 Shabazz menikah dengan Mary Smith namun akhirnya bercerai pada 1981. Dia menjadi pendakwah di penjara sejak 1982. Kepergian Shabazz meninggalkan istri keduanya, Janice Shabazz serta enam anaknya.   

KHAZANAH REPUBLIKA


Cara Meraih Rahmat Allah

RASULULLAH SAW adalah orang yang diberi rahmat yang besar oleh Allah. Ia senantiasa bergerak seperti penebar cahaya kebaikan. Kebaikannya penuh ketulusan dan keindahan. Hidupnya diliputi kesabaran, tawadu’, dan ketenangan.

Saudaraku, kita ini sebetulnya makhluk rahmat.Tapi kita belum mencapainya kalau hanya baru menyayangi teman dekat. Ia akan meningkat kalau kita sudah rahmatan lil ‘alamiin. Sehingga untuk mencapainya kita harus berupaya serta memohon dan berharap rahmat yang besar kepada Allah.

Salah satu cara mengupayakan rahmat Allah adalah dengan mendatangi majelis ilmu dan majelis zikir. Nah. cara lainnya adalah mensyukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita sendiri, sebagai makhluk rahmat.

Pertama, dengan menebarkan sifat itu kepada yang paling berhak mendapatkan. Yaitu orangtua. Bagaimana pun orangtua kita, darah dagingnya tetap ada pada kita Itu takdir. Sehingga misalnya orangtua kita bergelimang dosa, maka kita tetap yang harus berada di barisan terdepan agar orangtua diberi ampunan oleh Allah.

Atau misalkan orangtua terlilit utang, kita yang berusaha melunasinya. Sekuatnya kita berusaha menumpahkan kasih sayang, perhatian, dan minimal mendoakan mereka dengan tulus. Allah pasti mengetahui.

Yang kedua, keluarga dan anak. Misalkan kalau kita menebarkan sifat rahmat pada anak, bukan dengan berpidato, “Anakku, ayah sangat mencintaimu, siang malam ayah membanting tulang cuma demi kamu nak.” Kata anaknya, “Ayah Iebay, kemarin ayah membanting piring.” Atau, “Anakku, setiap hari air mata ibu selalu mengalir untukmu”. Anaknya berkata,”BaikIah bu, nanti saya ajari cara mengiris bawang merah yang benar.”

Tidak bisa dengan kata-kata. Karena anak-anak itu mengertinya bahasa hati.Tunjukkanlah dengan diri kita sendiri yang terus merunduk dan bertobat. Bukan dengan merasa berjasa sebagai Orangtua, maupun dengan membelikan ponsel atau mobil.

Demikian pula terhadap keluarga atau saudara. Karena sudah takdirnya kita menjadi adik-kakak maupun sepupu. Berikan perhatian yang tulus kepada mereka. Jangan sampai, misalnya, kita sering berwakaf tapi saudara sendiri terabaikan. Hubungan silaturahim harus kita sambung danjaga.

Yang ketiga, anak-anak yatim. Yang ini sudah amat jelas dalilnya. Dan ini bukan perkara mendirikan panti yatim piatu. Tapi berikanlah perhatian kepada mereka dengan terus merunduk dan bertobat. Karena mereka yatim memang takdir dari Allah. Sebagai ladang amal dan tempat bagi kita untuk menebarkan sifat rahmat.

Yang keempat, fakir miskin dan termasuk single parent. Kita harus benar-benar banyak bertafa kur dengan apa yang menjadi takdir mereka. Supaya kita juga bisa menyadari bahwa takdir kita yang diberi Iebih oIeh Allah adalah untuk membantu dan menolongnya. Bukan malah meremehkan atau menzaliminya.

Yang kelima, orang yang sakit dan ditimpa musibah. Kunjungi dan beri perhatian pada mereka.Tapi saat mengunjungi jangan membuat mereka sakit hati. Misalnya, “Ini nih akibat dosamu, ini azabnya baru persekot lho.” Ringankan beban mereka. Seperti dengan membantu biaya rumah sakitnya. Kalau kita sanggup, bayari seluruhnya. Karena uang yang kita pegang juga milik Allah.

Dan yang keenam, yang harus kita tebarkan sifat rahmat padanya adalah para khadimat atau yang membantu kita.Yang ini kita harus benar-benar hati-hati.

Karena kadang-kadang kita suka merendahkan, bahkan ada yang tega menganiaya pembantunya. Padahal Rasulullah mengajarkan bahwa para pembantu itu juga saudara-saudara kita. Kita diperintahkan memberi makan dan pakaian yang sama dengan kita.

Atau mungkin kita memang sopan kepada mereka, tapi sifat rahmatnya tetap belum ada. Misalnya, “Tolong ambilkan sandal saya, maaf merepotkan dan terima kasih.” Kata pembantunya, ‘Maaf, saya sedang capek, kalau ambil sendiri bagaimana?” Lalu dibalas, “BaikIah, silakan istirahat di rumah sendiri dan tidak usah ke sini Iagi.” Memang sopan, tapi langsung PHK-nya ini belum rahmat.

Nah, saudaraku. Mari kita syukuri sifat rahmat yang ada pada diri kita ini. Kita harus terus berdoa dan berupaya supaya kita dirahmati AIIah Swt. Karena dengan rahmat Allah hidup kita di dunia bisa selalu tenang,. Dengan rahmat-Nya pula kita bisa selamat saat tiba waktunYa untuk pulang kembali kepada-Nya. [*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Islam Agama Perdamaian!

Allah Swt Berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِين

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS.Al-Baqarah:208)

Kata “Islam” di ambil dari kata السِّلم atau السَّلَام yang artinya kedamaian atau perdamaian.

Kedamaian adalah puncak tujuan bagi setiap orang yang berakal. Karena kata “السَّلام” sendiri menurut para Ahli bahasa mengarah pada arti kesehatan dan keselamatan.

Kata السَّلَامَة sebagaimana juga telah di adopsi dalam bahasa Indonesia memiliki arti selamat, atau selamatnya manusia dari berbagai musibah dan bahaya.

Islam membimbing manusia untuk meraih kedamaian dalam beberapa hal :

1. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan Tuhannya.

2. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

3. Kedamaian dalam hubungan manusia dengan masyarakatnya.

Di mulai dengan hati yang damai akan mengantarkan pada rumah yang penuh kedamaian, kemudian masyarakat yang damai dan dunia yang damai sebagai tujuan akhirnya.

Inilah kedamaian yang ingin di bangun oleh konsep Islam. Tak heran bila kita perhatikan, seluruh sisi agama ini penuh dengan kedamaian, seperti :

(1). Salah satu Nama Allah adalah As-Salam.

هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡمَلِكُ ٱلۡقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ

“Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera.” (QS.Al-Hasyr:23)

(2). Nama agama itu sendiri di ambil dari kata As-Salam.

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS.Ali ‘Imran:19)

(3). Ungkapan penyambutan dan penghormatannya juga dengan mengucap “Salam”.

وَإِذَا جَآءَكَ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِـَٔايَٰتِنَا فَقُلۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡۖ

“Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun ‘alaikum (selamat sejahtera untuk kamu).” (QS.Al-An’am:54)

(4). Kedamaian di saat turunnya Al-Qur’an.

سَلَٰمٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

“Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.” (QS.Al-Qadar:5)

(5). Kedamaian dalam Akidah dan keyakinan di dalamnya.

(6). Perdamaian kepada penganut agama dan keyakinan yang lain.

(7). Perdamaian kepada seluruh manusia selama mereka tidak menjadi musuh yang melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin dan mengusir kaum muslimin dari kampung halaman mereka. Maka saat itulah Islam akan bangkit untuk melawan kedzaliman dan membela kaum yang tertindas.

(8). Kedamaian dalam hukum serta keadilan dalam menegakkan kebenaran.

Bila kita simpulkan maka akan kita temukan bahwa agama ini adalah kedamaian yang berbalut dengan kedamaian pada setiap sisinya.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Mengikuti Sunnah Nabi, Tundukkan Hawa Nafsu

Kita disuruh mengikuti sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalahkan hawa nafsu.

Hadits Arbain #41

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ رُوِّيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.

Dari Abu Muhammad Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan sahih, kami meriwayatkannya dari kitab Al-Hujjah dengan sanad shahih).

Keterangan hadits

– Laa yu’minu: tidak sempurna imannya.

– Hawaahu: hawa nafsu condong padanya

– Tab’an limaa ji’tu bihi: mengikuti syariat yang nabi bawa

Penjelasan hadits

Dalam ayat disebutkan,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا۟ فِىٓ أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Faedah hadits

1. Peringatan mendahulukan hawa nafsu dari syariat.

2. Orang yang bagus imannya adalah yang menjadikan diri dan hawa nafsunya patuh pada syariat.

3. Hawa nafsu ada dua macam: (a) mahmud (terpuji) dan (b) madzmum (tercela). Mahmud berarti sesuai syariat, madzmum berarti menuruti syahwat.

4. Wajib berhukum dengan syariat Islam.

Kaedah dari hadits

1. Siapa yang menundukkan hawa nafsunya pada syariat maka ia akan selamat, sebaliknya ia akan ghawa (sesat).

2. Wajib mendahulukan dalil, lalu meyakini. Jangan kita meyakini, baru cari dalil, nantinya sesat.

3. Orang yang mendahulukan hawa nafsu berarti menjadikan sesuatu disembah selain Allah.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ  

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Semoga manfaat.

Selesai disusun Malam Jumat, 5 Dzulqa’dah 1441 H, 25 Juni 2020

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/25076-hadits-arbain-41-mengikuti-sunnah-nabi-tundukkan-hawa-nafsu.html

Keputusan Arab Saudi Gelar Haji Terbatas Sesuai Pedoman WHO

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung langkah Arab Saudi mengadakan haji terbatas untuk tahun ini. Mengutamakan kesehatan adalah pilihan yang harus dilakukan semua negara selama pandemi Covid-19.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam konferensi persnya menyambut keputusan Arab Saudi. Saudi mengumumkan memungkinkan peziarah dari berbagai negara yang berbeda, yang saat ini tinggal di dalam Kerajaan, untuk melakukan haji tahun ini.

Keputusan ini dinilai dibuat berdasarkan penilaian risiko dan analisis perbedaan skenario. Cara ini sesuai dengan pedoman WHO untuk melindungi keselamatan para peziarah dan meminimalkan risiko penularan.

“WHO mendukung keputusan ini. Kami memahami itu bukan keputusan yang mudah untuk dibuat, dan kami juga mengerti pengumuman itu membawa kekecewaan besar bagi banyak Muslim yang menantikan untuk melakukan ziarah mereka tahun ini,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip di Saudi Gazette, Kamis (25/6).

Ia lantas menyebut, keputusan yang diambil Kerajaan Saudi merupakan contoh lain dari pilihan sulit yang harus dilakukan semua negara untuk mengutamakan kesehatan.

Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Haji mengumumkan keputusan pembatasan jamaah untuk pelaksanaan haji 2020 pada Senin (22/6) malam waktu setempat.

Pembatasan jamaah ini akan menjadi kali pertama terjadi di zaman modern. Dimana umat Islam dari seluruh dunia tidak diizinkan untuk melakukan ziarah tahunan ke Makkah.

“Keputusan ini diambil untuk memastikan haji dilakukan dengan cara yang aman dari perspektif kesehatan masyarakat, sambil mengamati semua tindakan pencegahan dan protokol jarak sosial yang diperlukan untuk melindungi manusia dari risiko yang terkait dengan pandemi ini dan sesuai dengan ajaran Islam di  melestarikan kehidupan manusia,” tulis Kementerian Haji Saudi dalam keterangan yang dibagikan, Senin (22/6).

Hingga saat ini, penerbangan internasional ke negara tersebut masih dibatalkan. Ini karena penyakit coronavirus atau Covid-19 di seluruh dunia masih ada.

Arab Saudi mengatakan kemungkinkan hanya sekitar 1.000 jamaah haji yang diizinkan melakukan ritual tahunan ini. Selain itu, mereka yang berusia di atas 65 tahun atau memiliki penyakit kronis tidak diizinkan ikut serta.

“Jumlah peziarah akan sekitar 1.000, mungkin lebih sedikit. Tahun ini jumlahnya tidak akan mencapai puluhan atau ratusan ribu,” ujar Menteri Haji Mohammad Benten.

Para jamaah haji juga akan melakukan tes Covid-19 sebelum tiba di kota suci Makkah. Selain itu, mereka juga akan diminta untuk melakukan karantina di rumah sebelum maupun setelah menjalani ritual haji.

Sumber: https://saudigazette.com.sa/article/594703/SAUDI-ARABIA/WHO-chief-lauds-Saudi-Arabias-decision-to-host-limited-Hajj

IHRAM

Wasiat untuk Para Penuntut Ilmu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu (agama), maka akan Allah Ta’ala mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)

Mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala

Mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu agama adalah dengan meniatkan untuk mengangkat kebodohan dari dirinya sendiri, kemudian mengangkat kebodohan dari orang lain. Karena asal usul manusia adalah berada dalam kebodohan. Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl [16]: 78)

Menuntut ilmu agama adalah ibadah, karena Allah Ta’ala yang memerintahkannya dalam firman-Nya,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Ketahuilah (ilmuilah) bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)

Dan juga dalam firman-Nya,

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah [5]: 98)

Dan setiap yang Allah Ta’ala perintahkan adalah ibadah. Oleh karena itu, menuntit ilmu (belajar) di majelis pengajian atau di bangku sekolah resmi (universitas, misalnya) bernilai ibadah jika diikhlaskan niatnya untuk Allah Ta’ala. 

Menuntut ilmu agama juga bagian dari jihad fi sabilillah, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [9]: 122)

Mengamalkan ilmu agama

Amal adalah buah dari ilmu. Amal adalah sebab terjaganya ilmu, dan juga sebab bertambahnya ilmu. Sebagaimana perkataan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, 

العلم يهتف بالعمل فإن أجابه وإلا ارتحل

“Ilmu itu akan memanggil amal. Jika amal menyambutnya, (maka ilmu akan terjaga). (Jika amal tidak menyambutnya), ilmu pun pergi.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 1: 706)

Siapa saja yang tidak mengamalkan ilmu, dia berhak mendapatkan hukuman. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa memohon perlindungan (isti’adzah) dari ilmu yang tidak diamalkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ، الْقَبْرِ اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, ketakutan, kekikiran, kepikunan, dan siksa kubur. Ya Allah, ya Tuhanku, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik Dzat yang dapat mensucikannya, Engkaulah yang menguasai dan yang menjaganya. Ya Allah, ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak berguna (tidak bermanfaat), hati yang tidak khusyuk, diri yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak terkabulkan.’” (HR. Muslim no. 2722)

Setiap kita hendaknya berdoa kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan manfaat dari ilmu yang telah dipelajari, yaitu dengan mengamalkannya, dan untuk mengajarkan kita ilmu yang bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa,

اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي، وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي، وَزِدْنِي عِلْمًا

“Ya Allah, berilah manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Ajarkanlah kepadaku ilmu yang bermanfaat. Dan tambahkanlah ilmu untukku.” (HR. Tirmidzi no. 3599 dan Ibnu Majah no. 251 dan no. 3833, shahih) 

Mendakwahkan ilmu yang telah dipelajari

Allah Ta’ala berfirman, 

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf [12]: 108)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 187)

Ayat di atas, meskipun pada asalnya berkaitan dengan ahlul kitab, namun berlaku umum untuk umat Islam juga. 

Siapa saja yang tidak mengamalkan ilmunya, dia akan mendapatkan hukuman dengan dicabutnya ilmu, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami laknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya.” (QS. Al-Maidah [5]: 13)

Baca Juga:

[Selesai]

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/57183-3-wasiat-untuk-para-penuntut-ilmu.html

MUI Bahas Pola Ibadah Masa Pemberlakuan New Normal

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tengah membahas pola penyelenggaraan ibadah maupun aktivitas keagamaan di era new normal nanti.

MUI juga melakukan evaluasi terhadap efektivitas aturan pemerintah di masa pandemi selama ini. Setelah itu MUI akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. “Kita tidak mau terburu-buru,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang fatwa, KH Sholahuddin Al Aiyub, di Jakarta, Rabu (27/5).

Menurut dia, keselamatan jiwa masyarakat harus diutamakan daripada kepentingan-kepentingan yang lain, bahkan kepentingan masalah keagamaan sekalipun. Ia juga mengingatkan, dalam hal masalah keagamaan itu ada alternatif lain yaitu alternatif rukhsoh.

“Sementara kalau untuk menjaga jiwa masyarakat atau umat Islam itu tidak ada alternatif lain. Maka dalam hal ini, MUI ingin mendahulukan itu (perlindungan jiwa masyarakat). Kesimpulan seperti apa, saat ini masih digodok,” katanya.

Menurut Sholahuddin, perlu pendekatan yang lebih mikro dan bukan secara nasional untuk memastikan apakah suatu daerah bisa melaksanakan aktivitas keagamaan di rumah ibadah pada era new normal nanti. “Kondisi daerahnya seperti apa, tingkat penyebarannya seperti apa, karena ini variabel yang penting,” tuturnya.

Lebih lanjut, dia mengaku heran dengan kurva kasus Covid-19 yang masih menunjukkan tingginya penularan. Padahal menurutnya tingkat kepatuhan dan pemahaman masyarakat terhadap protokol medis sudah cukup bagus.

Contohnya pada saat melaksanakan sholat Idul Fitri akhir pekan lalu. “Kita mendapat laporan, aspek protokol kesehatan menjadi pertimbangan utama para jamaah untuk melakukan sholat Id,” ujar dia.

Sholahuddin menjelaskan, banyak kalangan Muslim saat itu yang tidak menggelar sholat Id dalam kapasitas yang besar. Mereka menggelar shalat Id di lingkup yang kecil seperti di area perumahan dengan membagi per blok atau klaster.

Dalam kondisi demikian, Sholahuddin mengakui, memang seharusnya ada dampak terhadap kurva kasus Covid-19. Tetapi nyatanya, masih belum berdampak pada penurunan grafik penularan Covid-19. Bahkan masih tinggi. Karena itu dia mengatakan, MUI ingin mengkajinya secara mendalam.

Menurut dia, variabel kepatuhan protokol medis sudah bagus tetapi kok penularan masih tinggi, ini sebenarnya karena apa. Informasi-informasi ini akan menjadi pertimbangan yang penting untuk merumuskan rekomendasi MUI kepada pemerintah. (Azhar/ Nashih)

MAJELIS ULAMA INDONESIA

ACT akan Distribusikan Daging Kurban ke 43 Negara

Sebanyak 75 persen daging kurban akan disalurkan di Indonesia, 25 persen luar negeri.

Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) akan mendistribusikan daging hewan kurban pada Idul Adha 1441 Hijriah hingga ke 43 negara, selain di Tanah Air. Ini untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

Sebenarnya target kita itu 67 negara tapi karena kondisi Covid-19 jadi 43 negara,” kata Presiden ACT Ibnu Khajar di Jakarta, Kamis (25/6).

Lebih rinci, ia menjelaskan sebanyak 75 persen daging hewan kurban akan didistribusikan ke berbagai wilayah Indonesia dan sisanya 25 persen diberikan ke sejumlah negara

Namun, khusus ke luar negeri lembaga kemanusiaan tersebut tidak mengirimkan dalam bentuk daging melainkan berupa uang yang kemudian mitra ACT di negara itu menyembelih hewan kurban dan dibagikan ke warga yang membutuhkan. Untuk mencapai target tersebut, ACT akan melibatkan dan mengajak 100 ribu agen yang bertujuan kembali merangkul orang-orang untuk berkurban saat Idul Adha nanti .

Hingga hari ini, kata dia, sekitar 11 ribu orang telah mendaftar sebagai agen ke lembaga kemanusiaan tersebut. Jika ditotal secara keseluruhan dengan mitra kelompok terdapat 70 ribu agen Global Qurban ACT.

“Selain agen individu, ada juga mitra yang mengelola agen pemasaran. Oleh sebab itu kita optimistis 100 ribu orang bisa terlibat untuk target kurban ini,” katanya.

Para agen kurban tersebut pada umumnya merupakan orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Apabila setiap agen bisa mengajak orang lain untuk berkurban maka ACT memberikan sejumlah imbalan untuk penghasilan keluarganya.

Ia menambahkan biasanya tren peningkatan orang untuk berkurban tersebut terjadi dua pekanmenjelang Idul Adha. Bagi masyarakat yang ingin berkurban bisa mendatangi 43 cabang ACT yang tersebar di 22 provinsi.

“Nantinya setiap desa kita akan sembelih lima ekor sapi. Jadi ternaknya kita beli dari warga setempat dan yang menerima daging kurban juga masyarakat setempat,” demikianIbnu Khajar.

KHAzANAHREPUBLIKA