Pertama dalam Sejarah, Jamaah Haji Hanya Melewati Satu Miqat

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jamaah yang melakukan haji tahun ini harus melewati hanya satu Miqat. Miqat adalah istilah yang mengacu pada batas dari mana jamaah harus menghiasi pakaian Ihram, dua lembar kain putih tanpa jahitan, untuk melakukan haji tahunan atau umrah.

Empat batas dipilih oleh Nabi Muhammad SAW untuk para peziarah yang datang dari berbagai daerah di dunia untuk melakukan ritual haji dan umroh, sedangkan yang kelima dipilih oleh khalifah Islam kedua, Omur bin Al-Khattab.

Lima batas, atau Mawaqeet, mewakili ritual pertama haji. Terletak di timur laut Makkah, Miqat Qarn Al-Manazel, yang dianggap oleh para sejarawan sebagai Miqat orang-orang Najd, juga biasanya merupakan Miqat bagi para peziarah yang bepergian dari negara-negara Teluk dan Asia Timur saat ini. Istilah ini mengacu pada gunung kecil yang membentang ke utara dan selatan dengan air mengalir di kedua sisi, alasan mengapa itu juga dikenal sebagai Al-Sail Al-Kabir (banjir besar).

Seperti dilansir Arab News, Ahad (26/7), jumlah peziarah yang melakukan ziarah tahunan tahun ini jauh lebih sedikit mengingat keadaan luar biasa yang disebabkan oleh pandemi penyakit coronavirus. Para jamaah diharapkan untuk menuju ke Miqat Qarn Al-Manazel karena itu adalah Miqat terdekat ke Makkah.

Masjid Al-Sail Al-Kabir di dalam Miqat Qarn Al-Manazel dianggap sebagai salah satu yang terbesar di Kerajaan, dilengkapi dengan layanan modern untuk jamaah haji.

Adnan Al-Sharif, profesor sejarah dan peradaban di Universitas Umm Al-Qura di Makkah, mengatakan tentang Miqat: “Tempat itu terkait dengan kehidupan Nabi, ketika Nabi melewatinya selama Pengepungan Taif. Menurut beberapa novel sejarah, Nabi melewati ‘Qarn’ yang berarti Qarn Al-Manazel.”

Al-Sharif mengatakan negara Saudi telah merawat Miqat Qarn Al-Manazel dengan baik, dan menyediakannya dengan fasilitas bagi para peziarah yang berkunjung untuk melakukan umroh dan haji.

Sepanjang sejarah, makna yang berbeda ada di balik penamaan Qarn Al-Manazel, menurut jurnalis dan sejarawan Hamad Al-Salimi. Dikatakan bahwa Al-Asmai, seorang filolog dan satu dari tiga ahli tata bahasa Arab dari sekolah Basra di Irak, menggambarkan Miqat sebagai gunung di Arafat.

Sementara itu, para sejarawan percaya bahwa itu juga melayani orang yang datang dari arah lain sepanjang sejarah. Al-Ghuri, sultan ke-45 dari dinasti Mamluk, mengatakan itu adalah Miqat rakyat Yaman dan Taif, sedangkan Qadi Ayyad, seorang sarjana hukum Maliki terkenal di Zaman Keemasan Islam (800-1258) mengatakan itu adalah Qarn Al -Thaalib yang berfungsi sebagai Miqat rakyat Najd. 

IHRAM

Mufti Malaka Imbau Umat Waspada Iming-Iming Badal Haji

Mufti Negara di Malaka, Malaysia, Datuk Abdul Halim Tawil mengingatkan umat Islam di negara bagian agar tidak mudah tertipu oleh layanan Badal Haji. Haji yang dilakukan atas nama orang lain yang secara fisik tidak layak atau meninggal, oleh pihak-pihak tertentu tahun ini, yang dipandang tidak hanya menimbulkan keraguan, tapi resiko penipuan.

“Ini karena pemerintah Arab Saudi telah mengkonfirmasi sistem pembatasan peziarah haji hanya 1.000 orang mulai 29 Juli, dengan menerapkan SOP ketat untuk menahan penyebaran COVID-19,” katanya seperti dikutip Bernama, Ahad (26/7).

Untuk diketahui, badal haji adalah menghajikan orang lain dan hukumnya boleh dengan ketentuan bahwa orang yang menjadi wakil harus sudah melakukan haji wajib bagi dirinya dan yang diwakili (dihajikan itu) telah mampu untuk pergi haji tetapi dia tidak dapat melaksanakan sendiri karena sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya. (Udzur Syar’i) yang menghilangkan istitha’ahnya (kemampuannya) atau karena meninggal dunia setelah dia berniat haji.

Orang laki-laki boleh mengerjakan untuk laki-laki dan perempuan, demikian pula sebaliknya. Di utamakan yang mengerjakan itu adalah keluarganya.

Seperti diketahui, Kerajaan Arab Saudi telah memutuskan membatasi jumlah jamaah haji pada tahun ini. Penduduk dari 160 negara yang berbeda atau ekspatriat di Arab Saudi ditetapkan memenuhi 70 persen kuota dari jumlah total jamaah. Adapun jumlah jamaah yang diizinkan menunaikan haji tak lebih dari 10 ribu jamaah.

IHRAM


Menggabungkan Kurban dan Akikah

Apakah boleh menggabungkan kurban (qurban) dan akikah (aqiqah) dengan satu hewan sembelihan?

Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin rahimahullah ditanya, “Jika waktu akikah jatuh pada Idul Adha, apakah sah melaksanakan akikah dan kurban sekaligus dengan satu sembelihan? Bagaimana niatnya?”

Jawab beliau, “Tidak bisa digabungkan antara niat kurban dan akikah. Yang mesti dilakukan adalah menyembelih akikah satu atau dua ekor kambing secara tersendiri. Tidak bisa akikah tersebut digabungkan dengan kurban. Karena akikah dan kurban masing-masing punya sebab dan kaitan waktu tersendiri. Antara akikah dan kurban bisa dilakukan pada waktu lapang atau sempit. Kurban dilakukan pada hari Idul Adha atau hari tasyriq. Yang lebih afdhol, shohibul kurban memakan 1/3-nya, menghadiahkan 1/3-nya, dan menyedekahkan 1/3-nya. Sedangkan akikah dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran. Jika luput dari hari ketujuh, bisa dilakukan pada hari ke-14. Jika tidak bisa pada hari tersebut, maka pada hari ke-21. Yang paling bagus, akikah tersebut diadakan seperti walimah dengan mengundang kerabat dan rekan untuk mendo’akan bayi yang baru lahir.

Namun jika berada dalam kondisi darurat untuk menyembelih kurban dan akikah pada satu waktu, maka itu boleh karena kedua amalan tersebut adalah sunnah. Keutamaan pada kurban lebih besar daripada keutamaan pada akikah.”

Sumber: http://ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-1061-.html

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Muslim.Or.Id

Agar Bisnis Jadi Ibadah

BISNIS adalah ibadah. Karena setiap aktifitas yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah menjadi ladang amal sholeh bagi dirinya, termasuk yang takdirnya menjadi seorang pedagang.

Ibadah itu minimal ada dua syaratnya. Pertama, niat lurus lillaahi taala, hanya mengejar ridho Alloh Swt. Dan yang kedua, caranya benar di jalan Alloh Swt.

Mengapa bisnis kita harus jadi ibadah? Karena kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa rezeki itu sepenuhnya sudah diatur oleh Alloh Swt. Setiap makhluk yang Alloh ciptakan itu sudah dilengkapi dengan rezekinya. Mari kita renungkan firman Alloh Swt.”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud [11] : 6).

Tidak ada satupun yang terlewat di antara segala makhluk yang ada di alam semesta ini, kecuali telah Alloh Swt. jamin rezekinya. Bahkan sejak manusia masih berada di dalam rahim ibunya, Alloh sudah jamin rezekinya meski ia belum bisa berikhtiar untuk menjemput rezeki Alloh Swt.

Setelah beranjak dewasa, manusia diperintahkan untuk melakukan ikhtiar untuk menjemput rezeki Alloh Swt. yang bertebaran di muka bumi ini. Mengapa kita istilahkan dengan menjemput, bukan mencari? Karena kalau menjemput itu sudah pasti ada, sedangkan mencari itu belum tentu ada.

Hanya saja apakah kita terampil menjemput rezeki Alloh Swt. sesuai dengan tatacara yang Alloh ridhoi, ataukah tidak. Inilah yang menentukan keberkahan rezeki yang kita peroleh. Inilah yang menentukan ikhtiar kita menjadi ibadah ataukah tidak.

Jika niat kita lurus dan cara kita benar, maka kita akan berjumpa dengan rezeki yang menjadi hak kita dalam keadaan berkah. Hati kita akan tenang, kebutuhan kita akan tercukupi, dan menjadi amal sholeh yang bernilai ibadah di hadapan Alloh Swt.

Sedangkan jika niat kita salah dan tatacara ikhtiar kita juga tidak sesuai dengan yang Alloh ridhoi, maka kita akan diliputi oleh rasa cemas dan gelisah, tidak yakin akan jaminan Alloh, kita merasa harus bertarung dengan orang lain, kita lupa bahwa setiap orang sudah ada jatah rezekinya masing-masing.

Bisnis itu adalah amal sholeh dan ibadah. Bahkan bisnis dicontohkan pula oleh nabi Muhammad Saw. Bisnis harus menjadi ibadah dengan cara niat yang lurus karena Alloh Swt. dan tatacara yang juga baik dan benar sesuai dengan yang Alloh ridhoi. Kejujuran, bertanggungjawab, tidak berbuat curang dalam timbangan, memberikan informasi apa adanya tentang kondisi barang dagangan kepada konsumen, adalah beberapa di antara wujud ikhitar yang baik dan benar.

Jika demikian, maka Alloh Swt. akan memberikan kemudahan memperoleh ide dan inspirasi kepada kita sehingga bisnis kita semakin berkah, semakin bermanfaat bagi lebih banyak orang, dan bernilai ibadah. Insyaa Alloh.[*]

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

INILAH MOZAIK

Kebejatan Manusia dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Allah Swt Berfirman :

كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ – أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

“Sekali-kali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS.Al-‘Alaq:6)

Tak jarang kita melihat manusia yang melakukan sesuatu di luar batas. Bahkan hingga kita tak habis pikir bagaimana bisa ia tega melakukan kebejatan-kebejatan tersebut.

Tentunya banyak penyebab seseorang melakukan sesuatu yang melampaui batas, seperti :

1. Jauh dari Allah Swt.
2. Hilangnya perasaan butuh kepada Allah.
3. Sombong dan tidak mengenal kadar dirinya sendiri.
4. Bersandar kepada kekuatan-kekuatan semu seperti harta, pasukan, senjata dan lain sebagainya.

Dunia dan segala kelezatan di dalamnya membuat manusia tenggelam dalam kebejatan dan jauh dari Allah Swt. Itu semua bermula dari jiwa yang lalai dari Sang Pencipta yang menguasai segalanya.

Ia lupa bahwa di dunia ini waktunya amat singkat.

كَأَنَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَهَا لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا عَشِيَّةً أَوۡ ضُحَىٰهَا

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS.An-Nazi’at:46)

Ia lupa bahwa semua yang ada di tangannya bisa lenyap dalam seketika. Al-Qur’an pun mengisahkan fenomena penting ini dalam kisah pemilik dua kebun yang karena kesombongannya kehilangan semua ia yang miliki dalam sekejap. (Bisa kita lihat dalam Surat Al-Kahfi ayat 32-36).

Kemudian kita berhenti pada lanjutan ayat pertama di atas, yaitu penyebab manusia melakukan sesuatu yang melampaui batas.

أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ

“Apabila melihat dirinya serba cukup.”

Yakni manusia “berani” melakukan kebejatan yang melampaui batas karena ia secara sadar atau tidak telah meyakini bahwa ia tidak membutuhkan bantuan Allah Swt dalam hidupnya. Ia merasa mendapat segala yang ia miliki dengan kemampuannya sendiri. Sehingga membuatnya merasa tidak butuh lagi kepada Robbal Alamin.

Kadar kebejatan manusia bisa di ukur dari sejauh mana ia merasa tidak butuh kepada Allah. Semakin ia merasa tidak butuh, maka ia akan semakin sewenang-wenang dalam melakukan sesuatu.

Padahal selamanya manusia selalu faqir dan butuh kepada Tuhannya. Karena manusia tidak bisa sedetik pun lepas dari bantuan-Nya.

Allah Swt Berfirman :

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.” (QS.Fathir:15)

Manusia hanya “merasa” tidak butuh dan ia berkhayal bisa melakukan segala sesuatu tanpa bantuan Allah Swt.

Apabila ia telah merasa tidak butuh kepada Allah, maka mulai lah ia berlaku sewenang-wenang dan melanggar batas. Namun apabila ia ditimpa cobaan dan kesempitan hidup, ia mulai sadar akan kelemahannya dan kebutuhannya kepada Allah Swt.

Dari sini menjadi jelas bahwa masalah utama dari kebejatan manusia adalah masalah akhlak dan masalah jiwa. Yang kemudian masalah ini menyebar menjadi masalah yang mulai mengganggu masyarakat dan orang lain.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Muslim Mendzalimi Kafir

Jika muslim mencuri hartanya orang kafir, dan sampai mati harta itu belum dikembalikan, bagaimana cara qishasnya?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Hari kiamat adalah hari dimana semua makhluk dihisab atas semua perbuatannya. Di saat itulah, keadilan diletakkan dan disempurnakan. Sehingga kedzaliman apapun yang belum selesai ketika di dunia, akan diadili di akhirat.

Allah berfirman,

وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ

“Kami akan tegakkan timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya: 47)

Allah juga berfirman,

الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” (QS. Ghafir: 17)

Allah juga berfirman,

إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ . ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ

Kamu akan mati, mereka juga akan mati. Kemudian kalian akan saling berdebat pada hari kiamat di sisi Rab kalian. (QS. az-Zumar: 30-31)

At-Thabari menafsirkan ayat ini, dengan mengatakan,

ثم إن جميعكم ، المؤمنين والكافرين ، يوم القيامة عند ربكم تختصمون ؛ فيأخذ للمظلوم منكم من الظالم ، ويفصل بين جميعكم بالحقّ

Kemudian kalian semua, mukmin maupun kafir, akan berdebat di hari kiamat di sisi Rab kalian. Orang yang didzalimi akan mengambil haknya dari orang yang mendzalimi. (Tafsir At-Thabari, 21/287)

Disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Unais radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ ، أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ، وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ، وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ، حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ ، حَتَّى اللَّطْمَةُ؛ قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: ” بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.

Tidak layak bagi ahli neraka untuk masuk neraka, sementara dia masih memiliki hak yang belum ditunaikan oleh penduduk surga, hingga dilakukan qisas untuk hak itu. Dan tidak layak bagi ahli surga untuk masuk surga, sementara ada salah satu penduduk neraka yang memiliki hak darinya, hingga dilakukan qisas, sampaipun hanya satu tamparan. Para sahabat bertanya, “Bagaimana qisas itu bisa dilakukan sementara kita menghadap Allah dalam kondisi telanjang, tidak membawa apapun?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dengan dosa dan pahala.” (HR. Ahmad 16042 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Syaikhul Islam menjelaskan hadis ini,

فَبَيَّنَ فِي الْحَدِيثِ الْعَدْلَ وَالْقِصَاصَ بَيْنَ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَأَهْلِ النَّارِ

Dalam hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keadilan dan qishas antara penduduk surga dan penduduk neraka. (Majmu’ al-Fatawa, 18/188)

Berdasarkan keterangan di atas, kita mendapat kesimpulan bahwa muslim yang mendzalimi orang kafir akan diqishas di hari kiamat.

Syaikh Dr. Soleh al-Fauzan pernah ditanya tentang bagaimana cara qishas kedzaliman seorang muslim kepada orang kafir.

Jawaban beliau,

الله أعلم ، المهم أن القصاص يجري يوم القيامة بين الناس من باب إقامة العدل ، أما كيف يقتص : فالله أعلم

Allahu a’lam, yang jelas terjadi qishas antar-manusia di hari kiamat, dalam rangka menegakkan keadilan. Sementara tata cara qishasnya, Allahu a’lam. (http://www.alfawzan.af.org.sa/node/6537)

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

KONSULTASI SYARIAH

Pahala Menunggu Shalat

Kehadiran salat  ditunggu, lantaran salat membawa nikmat.

Kecintaan seorang muslim dalam beribadah tergambar dari kesediaannya menunggu ibadah itu datang lagi. Baginya, ibadah terasa manis. Manisnya ibadah tak lain adalah buah dari iman. Misalnya salat. Kehadirannya ditunggu, lantaran salat membawa nikmat. Salat memberikan kesegaran fisik, psikis, dan fisiologis.

Secara teoritis, pantas kalau salat membawa nikmat. Pertama, karena salat adalah ibadah yang diawali dengan pengakuan akan kebesaran Allah SWT dengan ucapan “Allahu Akbar”. Tak ada yang berkuasa, digdaya, berpengaruh selain Allah SWT. Kesadaran ini, secara psikologis, membuat orang yang salat me-nol-kan dirinya.

Artinya, di hadapan Allah SWT ia tidak menghargai dirinya satu, sepuluh, atau seribu. Padahal sikap mental inilah yang kerap membuat manusia tinggi hati. Setelah lafazh  “Allahu Akbar” terlontar, maka orang yang salat merasakan  kebesaran Allah SWT yang tak terhingga. Ia pun merasa dirinya kecil dan kerdil.

Kedua, sepanjang salat berlangsung sejatinya orang yang salat sedang berdoa, memohon kepada Allah SWT. Persis seperti makna generik salat yang berarti doa. Oleh karena itu, apabila dihayati kata demi kata dari bacaan salat, maka itu ibarat rangkaian puisi paling indah. Maka tak heran kalau salat membuat ketagihan dan selalu ditunggu.

Ketiga, ujung dari salat adalah mengucapkan salam. Salam berarti kedamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan. Artinya, bagi orang yang khusyu salatnya, di ujung salat ia merasakan itu semua. Di samping, ia merasakan kesegaran fisik ketika rukuk, merasakan kesyahduan eksistensial ketika sujud.

Selain semua itu, orang yang menuggu salat juga akan didoakan oleh para malaikat. Nabi SAW memberi kabar, “Tidaklah seseorang di antara kalian duduk menunggu salat, selama ia berada dalam keadaan suci, melainkan para malaikat mendoakannya, “Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, sayangilah dia.” (HR. Muslim).

Malaikat adalah makhluk Allah SWT yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Mereka terbebas dari sifat-sifat manusia dan jin yang penuh nafsu angkara murka. Insya Allah doa para malaikat kepada Allah SWT untuk orang yang menunggu salat direspons secara cepat. Orang yang menunggu salat akan diampuni dan diberkahi.

Amaliah yang dapat dilakukan pada saat menunggu datang waktu salat bisa berzikir, membaca Alquran, dan memperdalam ilmu agama (tafaqquh fiddin). Bisa juga membicarakan persoalan umat Islam seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dalam sebuah kajian atau memusyawarahkan agenda aksi keumatan dan kemanusiaan.

Pada saat seseorang berada di dalam masjid untuk menunggu waktu salat, maka orang itu akan  mendapatkan pahala iktikaf (berdiam diri di masjid). Sementara itu, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang iktikaf dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Dailami).

Terakhir, orang yang menunggu salat pasti berada di antara adzan dan iqamat. Kesempatan ini dapat digunakan, lagi-lagi untuk berdoa, karena itu adalah momentum mustajabah. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya doa di antara adzan dan iqamat tidak akan pernah tertolak, karena itu berdoalah.” (HR. Ibnu Khuzaimah). Saatnya menunggu salat!

Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

KHAZANAH REPUBLIKA

Kurban dengan Kambing Betina

Pertanyaan, ‘Assalamu alaikum, maaf mau tanya, apakah hewan kurban harus jantan? Boleh tidak berkurban dengan kambing betina?

Jazaakumullah khairan

Tri jogja (trXXXXX@yahoo.com)

Kurban dengan Kambing Betina

Wa alaikumus salam…

Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan kurban. Sehingga boleh berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Dalilnya, hadis dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لا يضركم ذكرانا كن أو إناثا

“Akikah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (H.r. Ahmad 27900 dan An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani).

Berdasarkan hadis ini, As Sayrazi As Syafi’i mengatakan,  “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika akikah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berkurban.” (Al Muhadzab 1/74).

Hanya saja, bagi Anda yang mampu membeli hewan jantan, sebaiknya tidak berkurban dengan betina. Mengingat hewan jantan umumnya lebih mahal dan lebih bagus dari pada betina. Sementara kita disyariatkan agar memilih hewan sebaik mungkin untuk kurban. Sehingga pahalanya lebih besar. Allah berfirman:

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Siapa yang mengagungkan syiar Allah maka itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Q.s. Al-Haj: 32)

Ibn Abbas mengatakan, “Mengagungkan syiar Allah (dalam berkurban) adalah dengan mencari yang paling gemuk dan paling bagus.” (Tafsir Ibn Katsir, 5/421)

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

KonsultasiSyariah

Hukum Mematikan Fitur “Centang Biru” di Whatsapp

“Centang Biru” adalah fitur dari aplikasi whatsapp di mana teman chatting akan tahu apakah kita sudah membaca chatting itu atau belum. Apabila fitur ini dinon-aktifkan, maka teman chatting tidak akan tahu apakah kita sudah membaca atau belum. Pembahasan ini sempat menjadi pertanyaan beberapa orang karena ada anggapan apabila mematikan fitur ini, akan membuat orang suudzan atau buruk sangka sehingga mematikan fitur “centang biru” hukumnya tidak boleh dan suatu bentuk kedzaliman.

Berikut kami akan membahas hukumnya dengan beberapa dalil. Apakah boleh mematikan fitur “centang biru”? Jawabannya boleh saja. 

Adapun yang beralasan ini perbuatan yang tidak boleh atau haram karena membuat orang marah dan akan menimbulkan suudzan atau buruk sangka karena tidak mau membalas chat, alasan ini tidak tepat karena:

Pertama: Hampir semua semua pengguna whatsapp tahu ada fitur mematikan centang biru, jadi ia akan paham kalau lawan chattingnya mematikan fitur ini

Ini adalah urusan dunia dan hukum asal urusan dunia adalah mubah dan boleh sebagaimana kaidah fikh,

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

“Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya“

Kedua: Orang tersebut yang membaca chat hendaknya berusaha husnudzan kepada saudaranya yang belum membalas “mungkin dia sedang sibuk, atau dia sedang ada kegiatan yang hanya bisa membaca dan tidak bisa membalas dengan mengetik”

Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (QS. Al-Hujuraat: 12).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا 

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [HR. Bukhari & Muslim]

Ketiga: Fitur ini disediakan oleh whatsapp, jadi boleh memakai, boleh juga tidak, hendaknya kita menghormati hak Setiap  orang memilih fitur yang digunakan selama tidak melanggar syariat 

Demikian semoga bermanfaat

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Tahukah Anda Perbedaan Kata سَنَة dengan kata عَام ?

Allah Swt Berfirman :

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمۡسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zhalim.” (QS.Al-Ankabut:14)

Yang menarik dari ayat ini, Allah Swt menggunakan kata “1000 tahun kurang 50 tahun”, mengapa tidak menyebut langsung 950 tahun?

Kemudian di saat menyebut kata 1000 tahun, Al-Qur’an menggunakan kata سَنَة dan ketika menyebut 50 tahun menggunakan kata عَام, yang keduanya sama-sama memiliki arti “Tahun”.

Lalu mengapa dibedakan? Apa makna dibalik semua ini?

Ternyata lafadz سَنَة menunjukkan masa-masa yang berat dan sulit. Seperti firman Allah Swt ketika menceritakan tentang Nabi Yusuf as.

قَالَ تَزۡرَعُونَ سَبۡعَ سِنِينَ

Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut).” (QS.Yusuf:47)

Sementara lafadz عَام menunjukkan masa-masa yang nyaman, tenang dan penuh kenikmatan. Seperti Firman Allah Swt :

ثُمَّ يَأۡتِي مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ عَامٞ فِيهِ يُغَاثُ ٱلنَّاسُ

Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan (dengan cukup).” (QS.Yusuf:49)

Dari sini kita dapat memahami bahwa Nabi Nuh as telah menjalani 900 tahun masa-masa yang sulit dan 50 tahun masa-masa yang damai.

Sungguu indah makna di balik ayat-ayat Al-Qur’an.

Semoga Bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN