Sengaja Menyimpan Emas Untuk Di Jual di Tahun-Tahun Selanjutnya

Pertanyaan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ustadz, Jika kita membeli emas hari ini dan sengaja menyimpannya, untuk di jual di tahun-tahun berikutnya. Karena kita tahu inflasi emas terus bertambah,

sehingga kita mendapat keuntungan dari harga emas yg semakin tinggi. Apakah hal tersebut diperbolehkan?

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari HAMBA ALLOH di Jawa barat Anggota Grup WA Bimbingan Islam T05 G-31)

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Membeli emas dengan tujuan untuk dijual kembali pada tahun-tahun berikutnya, yaitu ketika harga emas lebih tinggi dari sebelumnya hukumnya diperbolehkan.

Namun apabila telah memenuhi syarat diwajibkannya zakat maka wajib dikeluarkan zakatnya.

Perkara ini tidak termasuk kategori penimbunan yang diharamkan Islam.

Penimbunan (ihtikar) adalah pembelian bahan kebutuhan pokok untuk ditimbun, dan akan dijual kembali tatkala harga melambung tinggi.

Perkara ini dilarang keras oleh Islam, karena akan merugikan dan mengurangi kebutuhan bahan pokok yang berada di pasaran.

Hal ini akan menjadikan harga kebutuhan pokok melonjak tinggi dan akan memberatkan dan menyengsarakan masyarakat luas. Rasulullah bersabda:

مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

“Barangsiapa menimbun barang, maka dia berdosa.” (HR. Muslim No.1605).

Konsultasi Bimbingan Islam

Ustadz Muhammad Romelan, Lc.

BIMBINGAN ISLAM

Kaidah Al-Qur’an Yang Mengantarmu Pada Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Allah Swt Berfirman :

يَهۡدِي بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ

“Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan.” (QS.Al-Ma’idah:16)

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur tentang hubungan sosial di tengah masyarakat. Yang apabila aturan-aturan itu kita praktekkan, maka akan mengurangi banyak sekali masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sosial kita. Sehingga bisa terwujud kehidupan yang aman, tentram dan damai.

Itulah kenapa tujuan dari aturan-aturan Islam adalah mengantarkan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Apa saja aturan-aturan tersebut, antara lain :

1. Jangan saling menggunjing satu sama lain.

Allah Swt berfirman :

وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ

“Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.” (QS.Al-Hujurat:12)

Kita sangat dilarang untuk menggunjing karena dengan menggunjing kita sedang menyebarkan keburukan atau aib orang lain sehingga membuat dia sakit hati. Dan tentunya akan merusak hubungan sosial di antara sesama.

2. Berbuatlah adil lah walau kepada musuhmu !

وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ

“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS.Al-Ma’idah:8)

Terkadang kita berselisih dengan seseorang, namun dalam urusan hak kita harus memperlakukannya dengan adil. Jangan sampai kebencian kita membuat kita berlaku dzalim kepadanya.

Coba bayangkan apabila kita selalu berbuat adil bahkan terhadap musuh kita sekalipun dan begitu pula sebaliknya, maka tentunya kehidupan ini akan langgeng dan damai.

3. Jangan mengikuti sesuatu sebelum engkau mengerti dan yakin dengannya.

Allah Swt berfirman :

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Isra’:36)

Janganlah kamu ikut campur terhadap sesuatu yang kamu tidak benar-benar mengerti tentangnya. Jangan pula berpegang kepada suatu berita yang kamu belum benar-benar yakin tentangnya.

Sayangnya, media-media di dunia kita sekarang ini seringkali menebar kebohongan dan hoax. Tanpa mencari tau sumber aslinya terlebih dahulu, tanpa tabayun terlebih dahulu, mereka berlomba mencari berita terheboh untuk kepentingan mereka.

Andai saja masalah ini bisa diatur, maka sebagian besar dari masalah di dunia ini telah selesai !

4. Jagalah amanat, jangan berkhianat !

Allah Swt berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS.Al-Anfal:27)

Janganlah engkau mengkhianati sebuah amanat. Dan amanat yang dimaksud bukan hanya masalah harta saja, tapi bisa juga amanat dalam hal tugas dan tanggung jawab. Siapa yang tidak menjalankan amanat dengan sesuai maka ia bisa disebut berkhianat.

5. Jangan pernah takut kepada ancaman siapapun.

Allah Swt berfirman :

فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.” (QS.Ali ‘Imran:175)

Sembahlah Allah dan berpeganglah kepada-Nya. Bergantunglah kepada Allah dalam menghadapi musuh dan jangan sampai hatimu gentar dengan mereka.

Selama engkau bersama Allah, maka tiada seorang pun yang bisa melemahkanmu !

6. Jangan engkau cenderung kepada orang-orang dzalim.

Allah Swt berfirman :

وَلَا تَرۡكَنُوٓاْ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim.” (QS.Hud:113)

Jangan pernah bersandar kepada orang dzalim dan cenderung kepada mereka. Cenderung artinya berharap dan berlindung kepada orang-orang yang dzalim.

Karena kecenderunganmu kepada mereka akan menyeretmu menjadi bagian dari kedzalimannya.

Itulah beberapa kaidah Al-Qur’an dalam kehidupan sosial kita sehari-hari.

Mari kita amalkan mulai dari hal yang terkecil agar kita bisa selangkah lebih dekat dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Dampak Maksiat: Merusak Akal

Maksiat bisa merusak akal.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya yang berjudul Ad-Da’ u wa ad- Dawa’ (Terapi Penyakit Hati) mengatakan, di antara dampak maksiat adalah merusak akal. Sungguh, akal memiliki cahaya, sedangkan maksiat pasti memadamkan cahayanya. Jika cahaya tersebut padam, niscaya kemampuan akal pun berkurang dan melemah.

Sebagian Salaf berkata: “Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah melainkan akalnya hilang.” Hal ini sangat jelas karena apabila akal seseorang sehat, pasti ia akan mencegah pelaku maksiat dari maksiatnya. Akalnya akan menyadarkannya bahwa dia berada dalam genggaman Rabb, di bawah kekuasaan-Nya, di dalam negeri dan bumi-Nya, diawasi oleh Allah, dan para Malaikat melihat serta bertindak sebagai saksinya.

Peringatan al-Qur-an, iman, kematian, dan Neraka akan mencegahnya dari bermaksiat. Kebaikan dunia dan akhirat yang dihilangkannya akibat maksiat berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan kesenangan dan kelezatan maksiat tersebut. Apakah pemilik akal yang waras akan meremehkan semua ini?

KHAZANAH REPUBLIKA

Doa untuk Bayi yang Baru Lahir yang Dianjurkan

Lahirnya si buah hati merupakan prosesi kehidupan yang sangat ditunggu kehadirannya oleh para orang tua. Tangis bayi sebagai tanda awal kehidupan, biasanya akan dibarengi dengan tangis haru bahagia dari kedua orang tua, terlebih seorang ibu. Berat menanggung kehamilan selama 9 bulan bahkan lebih, dan sakitnya proses melahirkan, namun seolah itu semua hilang begitu saja setelah melihat bahwa buah hati yang lahir berada dalam kondisi baik dan sehat walafiat.

Hanya berbahagia saja tentunya tidak cukup, karena syariat agama Islam mengajarkan kepada kita untuk bersyukur kepada Allah ta’ala atas berbagai karunia dan nikmat yang telah diberi, kemudian untuk para sahabat, teman, saudara dari kedua orang tua bayi setelahnya akan berdzikir dan mendoakan untuk disampaikan sebagai ucapan selamat atas bayi yang baru lahir kepada kedua orang tua yang sedang diliputi kebahagiaan.

Ada beberapa redaksi yang diajarkan para ulama terkait doa untuk orang tua yang baru dikaruniai anak.

Namun sejatinya tidak ada lafadz khusus yang valid dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam tentang doa selamat untuk kelahiran bayi, sebagaimana kata syaikh Solih al-Munajjid حفظه الله

إن صيغة التهنئة بالمولود الجديد لم تثبت فيها سنة نبوية خاصة

“Sighoh/bentuk lafadz doa selamat untuk bayi yang baru lahir tidak ditemukan ada sunnah Nabi yang secara khusus valid dalam hal ini”.

Dan ketika lafadz doa di luar ritual peribadatan khusus boleh kita bacakan secara mutlak tanpa ada ikatan lafadz tertentu, maka seorang yang berdoa boleh memilih lafadz doa yang paling ia sukai dan kagumi, yang penting makna dari doa tersebut mencukupi maksud dari yang hendak disampaikan, para ulama menganjurkan untuk membaca beberapa doa berikut:

1. Doa yang diriwayatkan dari Imam al-Hasan al-Bashry rohimahullah (tabiin).

Disebutkan oleh al-Imam al-Nawawy rohimahullah dalam kitab al-Adzkar hal 289 beliau berkata:

“Para ulama syafiiyah kami menganjurkan untuk memberikan ucapan doa selamat atas kelahiran sebagaimana diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashry rohimahullah, bahwa dulu beliau pernah mengajari seseorang mengucapkan doa:

باركَ الله لكَ في الموهوب لك، وشكرتَ الواهبَ، وبلغَ أشدَّه، ورُزقت برّه

“Semoga Allah memberkahi anak yang dianugerahkan kepadamu, semoga kamu bisa mensyukuri Sang Pemberi (Allah), semoga cepat besar dan dewasa, dan engkau mendapatkan baktinya si anak.”

Dan dianjurkan bagi yang diucapkan selamat untuk membalas dengan doa:

باركَ الله لك، وبارَك عليك، وجزاكَ الله خيراً، ورزقك الله مثلَه

“semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu di kala senang dan sedihmu, dan semoga Allah membalasmu kebaikan, semoga Allah mengaruniakan rezeki yang semisal padamu”.

2. Membacakan doa yang diriwayatkan dari Ayyub al-Sikhtiyani rohimahullah (tabiin).

Diriwayatkan dari Ayyub as-Sikhtiyani, bahwa beliau ketika mendengar kabar ada tetangga yang punya anak, beliau mendoakan:

جَعَلَهُ اللهُ مُبَارَكًا عَلَيكَ وَعَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم

“Semoga Allah menjadikannya anak yang diberkahi untukmu dan untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Doa ini diriwayatkan Ibnu Abi ad-Dunya dalam al-Iyal (no. 202), dari Khalid bin Khaddas dari Hammad bin Zaid, riwayat dari Ayyub al-Sikhtiyani ini juga dikeluarkan oleh imam al-Tabrani dalam kitab al-Dua’ 1/294.

Sighoh/lafadz yang serupa juga diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashry dengan sanad yang hasan, doa dari al-Hasan al-Bashry ini juga disebutkan oleh al-Tabarani dalam kitab al-Dua’ hal 1243, dan sanad dari doa tersebut dihasankan oleh muhaqqiq kitabnya Doktor Muhammad al-Bukhary.

3. Atau ketika tidak mampu dan tidak hafal melafadzkan doa seperti yang disebutkan oleh para ulama sebagaimana paparan di atas, boleh-boleh saja mendoakan dengan bahasa masing-masing yang dipahami, dengan makna dan harapan kebaikan serta keberkahan yang ditujukan kepada kedua orang tua yang sedang mendapatkan karunia momongan yang baru.

Paparan di atas diambil dengan penyesuaian dari sumber: IslamQA الدعاء للمولود الجديد بالصلاح بصيغ متعددة

Wallahu a’lam.

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Wudhu Dapat Hilangkan Berbagai Macam Penyakit

Wudhu bisa menghilangkan penyakit asal dilakukan dengan cara yang baik dan benar.

Berwudhu tidak hanya menjadi syarat sahnya shalat, tapi juga bisa menghindarkan umat Islam dari penyakit dan bahkan menyembuhkan dari berbagai macam penyakit. Asalkan, wudhunya dilakukan dengan cara yang baik dan benar.

Dalam bukunya yang berjudul “Sehat dengan Wudhu”, Syahruddin El-Fikri menjelaskan bahwa berwudhu itu menyehatkan dan dapat menghilangkan berbagai macam penyakit, seperti penyakit kanker, flu, pilek, asam urat, rematik, sakit kepala, telinga, pegal linu, sakit mata, sakit gigi, dan lain sebagainya.

“Mungkin hal ini, tak pernah kita sadari. Wudhu yang dilakukan dengan baik dan benar serta sempurna maka hal itu dapat menyehatkan dan mencegah seseorang dari berbagai macam penyakit,” kata Syahruddin dikutip dari bukunya, Senin (28/9).

Seperti yang diungkapkan Muhammad Husein Haykal dalam bukunya yang berjudul “Hayatu Muhammad”, sepanjang hidupnya Rasulullah juga tak pernah menderita penyakit, kecuali saat sakaratul maut hingga wafatnya. Menurut Syahruddin, hal ini menunjukkan bahwa wudhu dengan cara yang benar, niscaya dapat mencegah berbagai penyakit.

Dalam penelitian yang dilakukan Muhammad Salim tentang manfaat wudhu untuk kesehatan, menurut Syahruddin, juga diungkapkan bahwa berwudhu dengan cara yang baik dan benar, akan mengakibatkan tubuh seseorang terhindar dari segala penyakit.

Sedangkan cara berwudhu yang baik adalah dimulai dengan membasuh tangan lalu berkumur-kumur, lalu mengambil air dan menghirupnya ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya. Langkah ini hendaknya dilakukan sebanyak tiga kali secara bergantian.

Dalam penelitian Muhammad Salim itu, menurut Syahruddin, juga menganalisis masalah kesehatan ratusan hidung orang-orang sehat yang tidak berwudhu dan membandingkannya dengan ratusan orang yang teratur dalam berwudhu selama lima kali dalam sehari dan melaksanakan shalat.

Berdasarkan hasil penelitian itu, Syahruddin menyimpulkan bahwa sesungguhnya berwudhu itu menyehatkan, baik secara lahir maupun batin. Dari hal yang tampaknya kecil dan sepele, ternyata wudhu mengandung hikmah dan manfaat yang sangat besar bagi kesehatan seseorang.

Jauh sebelum penelitian itu, Rasulullah Saw pernah bersabda:  “Sempurnakan wudhu, lakukan istinsyaq (memasukkan air ke hidung) kecuali jika kamu berpuasa.”

KHAZANAH REPUBLIKA

Cara Menyikapi Atribut Bertuliskan Kalimat Tauhid

Bagaimana cara menyikapi atribut bertuliskan kalimat tauhid? Apakah boleh digunakan atau bagaimana? Simak penjelasannya pada artikel berikut ini! Semoga bermanfaat.

Cara Menyikapi Atribut Bertuliskan Kalimat Tauhid

Tanya Jawab Grup WA Akhawat Bimbingan Islam

Pertanyaan:

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Afwan,ada titipan pertanyaan dari Sahabat BiAS,

Ustadz, berkaitan dengan banyaknya baju / topi yang bertuliskan kalimat tauhid bagaimana kita menyikapinya? Apakah memang di perbolehkan kita memakai seperti itu?

Jazaakallaahu Khoyron

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

(Disampaikan oleh Admin BiAS)

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh

Washshalātu wassalāmu ‘alā rasūlillāh, wa ‘alā ālihi wa ash hābihi ajma’in.

Sebelum kita jawab, perlu ditelusuri dulu apa niat dan latar belakang memakai atribut tauhid itu? sebagai pertanda keimanan? atau untuk syiar islam?

Jika tujuannya sebagai pertanda keimanan, maka tidak perlu. Kenapa? Memakai atribut tauhid tidak menunjukkan level keimanan seseorang, tidak berbanding lurus dengan kualitas keimanan seseorang. Walaupun ia memakai atribut tauhid mulai dari kaos, rompi, syal, sampai topi, tidak akan otomatis membuatnya jadi ahli tauhid. Lebih baik ia buktikan kualitas keimanannya dengan memahami atau mempelajari tentang tauhid dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun jika mengenakan atribut untuk syiar, ini juga tidak perlu. Kenapa? Walaupun disana ada sisi positifnya, namun banyak diantara kita yang masih belum tau batasan-batasannya. Bisa jadi saat ia berusaha mensyiarkannya pada khalayak, yang ada justru merendahkannya.

Sejatinya memakai atribut tauhid dapat mempersempit ruang gerak, atau malah berpotensi melakukan kesalahan. Misal para pemakai atribut tauhid jika akan menunaikan buang hajat, masuk kamar mandi harus dilepas, dan ini tentu saja merepotkan. Kalau sekedar topi mungkin tidak masalah, tapi kalau kaos? Saat sedang jalan ke mall dan butuh ke kamar mandi, maka ia pun harus melepas kaosnya sebelum masuk kamar mandi, repot kan? Dan andai ia terlanjur masuk kamar mandi dengan memakai atribut tauhid ‘Laa Ilaaha Illallah’, tercatat baginya dosa karena merendahkan kalimat tauhid. Karenanya, lebih baik hal ini dihindari.

Apakah lantas dilarang memakai antribut secara mutlak?

Berarti tidak boleh kita pakai atribut tauhid apapun tujuannya? Boleh, tapi harus paham konsekuensinya dan ada hal lain yang harus lebih diprioritaskan. Dan ini harus dipahami bukan dari sisi konsumen atribut tauhid saja, tapi juga produsennya. Ia harus memahami bahwa kalimat tauhid adalah kalimat yang mulia, sebagaimana mulianya Al-Quran. Maka tidak boleh ia meremehkan dan merendahkannya, bahkan terlarang pula baginya untuk melakukan sesuatu yang berpotensi merendahkan kalimat mulia tersebut.

Para ulama telah menjelaskan tentang hal ini,

قال الإما فخر الدين الزيلعي الحنفي رحمه الله : وَيُكْرَهُ كِتَابَةُ الْقُرْآنِ وَأَسْمَاءِ اللَّهِ تَعَالَى على ما يُفْرَشُ ، لِمَا فيه من تَرْكِ التَّعْظِيمِ ، وَكَذَا على الْمَحَارِيبِ وَالْجُدْرَانِ ، لِمَا يُخَافُ من سُقُوطِ الْكِتَابَةِ ، وَكَذَا على الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ

Imam Fakhruddin Az-Zaila’i Al-Hanafi rahimahullah berkata, “Dimakruhkan menulis Al-Qur’an dan Nama-nama Allah Ta’ala (lafadz Allah) di sesuatu yang dihamparkan. Karena hal itu termasuk meninggalkan pengagungan terhadapnya (meremehkan atau merendahkan). Begitu juga (menulis) di mihrab dan dinding. Karena dikhawatirkan tulisannya jatuh. Begitu juga di koin dirham dan dinar.” (Tabyinul Haqaiq, 1/58) .

وقال الشيخ محمد بن عليش المالكي رحمه الله : وينبغي حُرمة نقش القرآن ، وأسماء الله تعالى مطلقاً ، لتأديته إلى الامتهان ، وكذا نقشها على الحيطان

Syaikh Muhammad bin Ulaisy Al-Maliky rahimahullah berkata, “Seyogyanya diharamkan mengukir Al-Qur’an dan Nama-nama Allah secara mutlak. Karena bisa menuju penghinaan, begitu juga mengukir di dinding.” (Minahul Jalil, 1/517-518).

Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah yang mewakili pendapat Syafi’iyyah juga mengatakan hal yang sama,

قال الإمام النووي رحمه الله : وتكره كتابته على الجدران عندنا

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dan dimakruhkan menulisnya di dinding menurut (madzhab) kami.” (At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an, hal 110)

Cara memuliakan lafal Tauhid adalah dengan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari

Nah, jika kalimat mulia seperti Lafal Allah, Kalimat Tauhid, atau bahkan Al-Quran saja tidak dianjurkan untuk diletakkan/ditulis di sembarang tempat karena khawatir adanya potensi diremehkan, apalagi jika mengenakannya. Jangan sampai saat mengenakan pakaian beratribut tauhid namun dibarengi dengan maksiat, dibarengi dengan merokok, dan aktivitas maksiat lainnya. Kecuali jika ia bisa menjaga adab-adabnya dan paham batasan-batasannya. Dan kecuali pula jika itu untuk hal yang sifatnya syiar dan urgent, seperti lafal mulia yang terpampang pada bendera suatu negara (Saudi Arabia), karena memang sifatnya sebagai lambang identitas dan pembeda dengan yang lain, atau pada bendera perang di zaman dahulu. Karena memang tidak ada kita dapati dalam literatur-literatur sejarah, bahwa para sahabat menuliskan lafal tauhid di pakaian mereka, di kain jubah atau gamis mereka. Justru dengan tidak menuliskan dan meletakkan di sembarang tempat itulah yang dikatakan sebagai bentuk pemuliaan lafal tauhid. Sebab para salafus sholeh telah paham, bahwa yang terpenting bukan mengenakan atribut berlafalkan tauhid, tapi memahami, memuliakan, dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.

Wallahu A’lam

Wabillahittaufiq.

BIMBINGAN ISLAM

Pengaruh Penting Mengimani Sifat Khabariyyah

Sifat khabariyyah yaitu sifat yang penetapannya berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah saja. Jika tidak ada dalil yang menyebutkannya, akal kita tidak mampu menetapkan sifat tersebut. Di antara sifa-sifat khabariyyah adalah wajah (الوجه), tangan (اليدين), jari-jemari (الاصابع), telapak kaki (القدمين), betis (الساق), dan yang lainnya. Semua sifat-sifat ini terdapat penetapannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Bagaimana Cara Mengimani Sifat Khabariyyah ?

Keimanan yang benar terhadap seluruh sifat-sifat Allah adalah sebagaimana penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab beliau Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah,

“Termasuk keimanan kepada Allah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya dan Rasulullah tetapkan untuk Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif.“

Tahrif artinya menyelewengkan makna dari makna yang seharusnya. Ta’thil maksudnya menolak dan mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah, baik mengingkari keseluruhan maupun sebagian. Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik) suatu sifat. Adapun yang dimaksud tamtsil  yaitu menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Semuanya ini terlarang dalam mengimani sifat-sifat Allah. [1]

Kewajiban kita terhadap setiap penyebutan ayat-ayat sifat dalam Al Qur’an dan As Sunnah -termasuk juga terhadap sifat khabariyyah– adalah mengimani dan menetapkannya untuk Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala serta tidak menyerupakannya dengan makhluk.

Pengaruh Penting Mengimani Sifat Khabariyah Bagi Seorang Hamba

Barangsiapa mengimani dan membenarkannya sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah tanpa melakukan tahrifta’thiltamtsil, dan takyif  maka sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan. Sebaliknya, barangsiapa yang lebih mengedepankan akalnya yang rusak daripada dalil shahih kemudian menolak sifat-sifat tersebut, atau menyelewengkan maknanya, atau menganggapnya sebagai majaz, maka dia sungguh telah melakukan kesalahan fatal dan merugi. Mengapa? Karena dengan demikan berarti dia telah membedakan antara sebagian sifat Allah dengan sifat-sifat yang lain. Dia juga berarti telah mendustakan Allah mengenai sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya yang disebutkan dalam Al Qur’an. Demikian pula, berarti dia telah mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sifat-sifat Allah yang telah beliau tetapkan untuk Allah melalui hadits-hadits yang shahih.

Seandainya tidak ada buah manis mengimani sifat-sifat ini kecuali menjadikan orang yang mengimaninya termasuk ke dalam golongan orang beriman dan bertauhid, maka ini sudah cukup. Seandainya tidak ada pengaruh mengimani sifat-sifat tersebut kecuali hal ini menjadi menjadi pembeda antara orang yang jujur dalam keimanan dan tauhidnya dengan orang-orang yang berdusta dan menyelewengkan makna firman Allah dan sabda rasul-Nya, maka ini pun sudah cukup.

Baca juga: Larangan Terhadap Nama dan Sifat Allah

Namun ternyata, masih ada pengaruh penting yang lain dalam mengimani sifat-sifat khabariyyah tersebut, di antaranya:

  • Jika Engkau mengimani bahwasanya Allah memiliki wajah yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan Allah, dan melihat wajah-Nya adalah di antara nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya di hari kiamat, niscaya hal ini akan menjadi motivasi besar bagi hamba untuk beramal dan meminta kepada Allah agar kelak bisa melihat wajah-Nya yang mulia.
  • Jika Engkau beriman bahwa Allah memiliki tangan dan seluruh kebaikan berada di tangan-Nya, maka Engkau pun akan termotivasi untuk hanya meminta kepada Allah, yang segala sesuatu berada di tangan-Nya.
  • Jika Engkau mengetahui dan mengimani bahwa hatimu berada di antara jari-jemari Allah, niscaya Engkau akan terus meminta kepada Allah agar meneguhkan hatimu di atasa agama Islam. [2]

Demikian pula seterusnya untuk sifat-sifat yang lain. Hal ini hanya akan didapatkan oleh seorang mukmin yang benar keimanannya terhadap sifat-sifat Allah di atas. Duhai sungguh merugi, bagi orang-orang yang menolak sifat tersebut sehingga tidak ada motivasi baginya untuk beramal dan mendapatkan berbagai kebaikan.

Masih banyak sifat-sifat Allah yang lain. Tidak ada satu pun sifat Allah kecuali bagi orang yang mengimaninya pasti akan mendapat buah yang manis dan pengaruh positif dari keimanannya tersebut. Sungguh nikmat yang agung bagi Ahlus sunnah wal jamaah yang beriman dengan benar terhadap setiap sifat-sifat Allah sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah Ta’ala.

– – –

Penulis : Adika Mianoki

Artikel: Muslim.or.id

Buah dari Istiqomah

Secara hukum akal, Istiqomah dalam segala sesuatu pasti akan membuahkan hasil yang besar. Dalam urusan dunia saja Istiqomah dan ketelatenan akan menghasilkan hasil yang luar biasa, apalagi dalam urusan akhirat.

Amalan kecil yang terus dilakukan secara Istiqomah lebih baik daripada amal besar yang dilakukan sekali dua kali saja.

Istiqomah akan membuahkan hasil yang beragam dan tak pernah terputus. Istiqomah adalah salah satu pintu dari pintu-pintu kebaikan yang membawa keberkahan bagi yang melaksanakannya.

Kita seringkali bersemangat dalam melakukan kebaikan, tapi yang sangat sulit adalah ber-istiqomah dalam menjalankannya. Bila kita ingin bahagia di dunia dan akhirat, maka Istiqomah adalah jalan terbaik untuk meraihnya.

Adapun buah yang akan dihasilkan oleh Istiqomah antara lain :

1. Melimpahnya kebaikan.

Yakni melimpahkan kenikmatan materi untuk ciptaan Allah secara umum. Seperi yang disebutkan dalam Surat Jin :

وَأَلَّوِ ٱسۡتَقَٰمُواْ عَلَى ٱلطَّرِيقَةِ لَأَسۡقَيۡنَٰهُم مَّآءً غَدَقٗا

“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.” (QS.Al-Jinn:16)

2. Keamanan di hari kiamat.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqomah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati.” (QS.Al-Ahqaf:13)

Selamatnya seseorang dari rasa takut dan kesedihan di akhirat adalah termasuk berkah teragung di hari kiamat.

3. Menjadi sebab kecintaan Malaikat kepada seorang hamba sehingga ia mendapatkan bantuan dan kekuatan dari Malaikat tersebut.

نَحْنُ أَوْلِيَآؤُكُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ

“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS.Fushilat:31)

4. Kabar gembira berupa surga.

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushilat:30)

5. Kesuksesan dan keberuntungan.

Sebenarnya poin kelima ini memiliki satu makna dengan poin sebelumnya, karena Surga adalah kesuksesan terbesar.

Rasulullah Saw bersabda :

إِن تَستَقِيمُوا تُفلِحُوا

“Bila engkau ber-istiqomah maka engkau akan beruntung (berhasil).”

6. Keselamatan.

Karena Istiqomah adalah tempat perlindungan seorang mukmin dari jebakan kesalahan.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

من لزم الإستقامة لزمته السلامة

“Siapa yang menjalankan Istiqomah maka ia pasti akan selamat.”

7. Kemuliaan di dunia dan akhirat.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

عَلَيكَ بِمَنهَجِ الإستِقَامَة فَإِنَّهُ يكسبك الكَرَامة و يكفيك الملامة

“Hendaknya engkau ber-istiqomah, karena hal itu akan mendatangkan kemuliaan dan akan menghindarkanmu dari cercaan.”

8. Kebahagiaan.

Sayyidina Ali bin Abi tholib berkata :

أَفضَلُ السَّعَادَة اِستِقَامَة الدِّين

“Sebaik-baik kebahagiaan adalah Istiqomah dalam agama.”

Semoga bermanfaat..

KHAZANAH ALQURAN

Salah Kaprah Istilah “Khalifah”

Syaikh Shalih bin Abdillah Al Ushaimi –hafizhahullah

Amir adalah nama untuk orang yang mengurusi urusan manusia dalam hal kekuasaan dan hukum. Ada beberapa nama lain untuk makna ini, dia bisa disebut hakim, sultan, khalifah, dan imam. Nama-nama ini meskipun berbeda-beda, tapi maknanya sama. Nama-nama tersebut dalam syariat dipakai sebagai julukan untuk setiap orang yang mengurusi urusan manusia dalam pengaturan kekuasaan dan hukum.

Dan termasuk KESALAHAN, persangkaan bahwa nama khalifah itu (hanya) untuk orang yang mengumpulkan seluruh manusia dalam kekuasaannya, bahwa hanya dia yang berhak dibaiat secara syar’i, bahwa tidak ada baiat kecuali untuk seorang khalifah!

Karena istilah khalifah dalam syariat dan bahasa adalah julukan untuk setiap orang yang mengurusi urusan makhluk dalam hal hukum (kekuasaan), baik mereka (yang berada di bawahnya) itu seluruh kaum muslimin, atau sebagiannya. Dia dinamakan khalifah (penerus), karena dia meneruskan kekuasaan orang sebelumnya.

Maka siapapun yang telah sah kekuasaannya atas kaum muslimin, untuk semua kaum muslimin (di seluruh dunia) atau hanya di sebagian negeri; dia bisa disebut sebagai khalifah, karena dia telah didahului oleh orang sebelumnya yang mendahuluinya (dalam kekuasaan).

Dia juga -sebagaimana telah disebutkan tadi- disebut sebagai amir, hakim, sultan, dan imam. Nama-nama ini memiliki konsekuensi kewajiban yang sama dalam syariat, karena maknanya sama, yaitu orang yang mengurusi urusan manusia dalam hal kekuasaan dan hukum. Maka seorang yang hari ini disebut malik (raja) atau sultan atau amir, dia adalah khalifah secara syariat dan urf (pandangan masyarakat).

Sunnahnya orang yang menjadi pengatur (tertinggi) urusan seluruh kaum muslimin itu satu orang, namun apabila sunnah ini tidak bisa ditegakkan, maka tetap sah kekuasaan setiap orang yang telah diakui kekuasaan dan hukumnya di negeri yang dikuasainya.

Dan inilah yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin berabad-abad lamanya, dari sejak abad pertama (Islam) hingga sekarang ini. Dan telah ada IJMA’ (dari para ulama Islam) akan sahnya kekuasaan mereka, meskipun wilayah mereka terpisah-pisah. Ijma’ para ulama Islam dalam masalah ini telah disebutkan oleh sekelompok ulama, diantara mereka adalah Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, dan beberapa ulama yang lainnya.

***

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=RmgbSCEqc-Y

Penerjemah: Ust. Musyaffa’ Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslim.or.id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (5)

Khilafah, Hadiah untuk Hamba-Nya yang Bertauhid

Dengan kembali kepada ajaran tauhid-lah, umat Islam ini akan kembali menemukan kejayaannya sebagaimana yang pernah diraih oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya dahulu. Allah Ta’ala telah berjanji kepada hamba-Nya, bahwa Allah akan memberikan kejayaan kepada ahli tauhid. Allah Ta’ala berfirman dalam rangka menjelaskan hal ini,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku.” (QS. An-Nuur [24]: 55).

Di dalam ayat ini terdapat sesuatu yang dijanjikan, orang yang mendapat janji, dan kondisi (syarat) dimana janji tersebut dipenuhi. Adapun orang yang mendapat janji, mereka adalah orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih”, mereka adalah orang-orang yang mendapat janji.

Adapun sesuatu yang dijanjikan adalah tiga hal:

  1. Sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi”. Maksudnya, jika mereka tidak memiliki kekuasaan, maka dalam jangka waktu yang panjang atau pendek, Allah Ta’ala akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Allah Ta’ala telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa.
  2. Kemudian Allah Ta’ala berfirman tentang janji yang kedua yang artinya,“Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka”. Masalah terbesar yang diusahakan dan diinginkan oleh orang-orang yang beriman adalah mereka dapat beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keteguhan. Mereka tidak takut dan tidak merasa lemah di dalam melaksanakan agama Allah Ta’ala. Bahkan mereka adalah orang-orang yang dihormati. Itu semua sesuai dengan janji Allah Ta’ala.
  3. Adapun janji yang ketiga adalah firman-Nya yang artinya,“Dan Dia akan benar-benar menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa”. Setelah mereka merasakan sedikit ketakutan serta setelah Allah Ta’ala memenangkan dan meneguhkan agama mereka, maka setelah adanya ketakutan itu mereka menjadi aman sentosa. Mereka merasa aman terkait diri mereka sendiri, agamanya, anak-anak mereka, kehormatan mereka, dan terkait harta-harta mereka semua. Semua ini adalah karunia dan janji dari Allah Ta’ala.

Sedangkan kondisi (syarat) orang yang mendapat janji dijelaskan oleh kalimat berikutnya dalam firman Allah Ta’ala yang artinya,”Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku”. Maksudnya, ketika Allah menjadikan mereka berkuasa di bumi,meneguhkan bagi mereka agama merekadanmenukar keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, bagaimana kondisi mereka ketika itu dan sebelumnya? Yaitu bahwa mereka tetap menyembah Allah dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah Ta’ala.

Ini adalah pengaruh tauhid yang terbesar bagi manusia dalam konteks masyarakat dan negara. Yaitu kalau mereka menyembah Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, meyakini kebenaran tauhid dan menjauhi kesyirikan, maka mereka dijanjikan akan dibukakan anugerah dari Allah Ta’ala untuk mereka dengan ketiga hal ini. Demikian pula, akan dibukakan berkah untuk mereka dari langit dan dari bumi. Allah pun akan meluaskan rizki mereka. Sehingga mereka berada dalam kehidupan yang baik dan damai. [1]

Ayat ini seharusnya menjadi renungan bagi para da’i dan seluruh aktivis dakwah dan tokoh-tokoh Islam, bahwa kejayaan Islam yang mereka impi-impikan itu dapat diraih jika kaum muslimin mentauhidkan Allah Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Sedangkan kondisi kaum muslimin yang seperti itu tidaklah mungkin dapat diraih kecuali dengan memberikan perhatian serius terhadap dakwah tauhid, membina kaum muslimin dengan aqidah tauhid, serta membentengi umat ini dari segala hal yang menjadi lawan dari tauhid tersebut.

Hal ini pun telah terbukti pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak awal beliau berdakwah, beliau tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bahkan hanya sebagai sarana dakwah pun tidak. Namun, beliau tetap konsisten membina sahabatnya di atas aqidah tauhid selama bertahun-tahun di kota Mekah. Bahkan beliau rela hijrah ke Madinah karena kejahatan luar biasa kaum Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabatnya demi menyelamatkan aqidah tauhid yang ada dalam hati mereka.

Pada saat itu, beliau tidak menyerukan untuk berjihad dan lebih memilih hijrah karena kondisi kaum muslimin yang memang masih lemah. Dengan penuh ketekunan, keuletan, dan kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam men-tarbiyah (membina) sahabatnya di atas tauhid sehingga semakin kuatlah tauhid tersebut menancap dalam dada kaum muslimin saat itu. Dan pada saat itulah, Allah Ta’ala membuktikan janji-Nya dengan membukakan kemenangan demi kemenangan kepada kaum muslimin sehingga mereka menjadi umat yang disegani di muka bumi ini. Kekuasaan mereka pun meluas dari jazirah Arab sampai Andalusia (Spanyol). Siapakah yang mengingkari fakta sejarah ini?

Sekarang, marilah kita melihat kondisi kaum muslimin saat ini. Ketika mereka meninggalkan ajaran agama mereka, dan yang paling penting adalah meninggalkan ajaran tauhid, maka kehinaanlah yang mereka alami saat ini. Kaum muslimin saat ini menjadi kaum yang terhinakan, harta-harta negeri kaum muslimin dirampas, nyawa mereka seolah tidak ada harganya, martabat mereka diinjak-injak, dan kehinaan demi kehinaan lain yang terus menimpa kaum muslimin saat ini. Semua ini adalah akibat dari berpalingnya mereka dari ajaran tauhid dan tersebarnya berbagai bentuk kesyirikan. Kehinaan ini tidak akan Allah Ta’ala cabut sampai kita semua kembali kepada agama Allah Ta’ala.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ »

Jika Engkau melakukan jual beli dengan sistem ‘inah (sejenis riba, pen.), Engkau memegangi ekor-ekor sapi, Engkau merasa puas terhadap pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [2] [3]

[Selesai]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari ceramah Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah yang berjudul Fadhlu Tauhid wa Takfiiruhu li Dzunuub.

[2] HR. Abu Dawud. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 11.

[3] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id