Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (4)

Memulai dari Perbaikan Tauhid, atau Perbaikan Politik, Sosial, dan Ekonomi?

Kalaulah kita mau meneliti sejenak dakwah para Rasul, maka kita akan mendapati bahwa para Rasul semuanya memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Padahal, kondisi umat para Rasul tersebut berbeda-beda satu sama lain.

Di antara para Rasul tersebut ada yang menghadapi problem ekonomi sebagaimana yang dialami Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam. Salah satu problematika yang terjadi pada umat Nabi Syu’aib adalah masalah di bidang ekonomi. Karena umat beliau suka berbuat curang dalam jual beli dengan mengurangi takaran timbangan. Meskipun demikian, Nabi Syu’aib ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah tauhid sebelum memperbaiki kecurangan tersebut. AllahTa’ala berfirman,

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada sesembahan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-A’raf [7]: 85).

Di antara para Rasul juga ada yang mengahadapi problematika kebobrokan moral, sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam tergolong masyarakat yang moralnya sangat rusak. Mereka mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh umat sebelum atau semasa mereka. Kaum laki-laki menggauli kaum laki-laki dan kaum perempuan menggauli kaum perempuan (kaum gay dan lesbian). Meskipun demikian, Nabi Luth ‘alaihis salaam tetap mendahulukan dakwah menuju perbaikan aqidah umatnya tersebut.

Demikian pula, seluruh Rasul menghadapi problem politik dan hukum karena umat mereka semua tentu tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala. Salah satu contohnya adalah sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Yusuf ‘alaihis salaam. Di antara kerusakan kaum beliau adalah menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadah dan berhukum sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Dalam kondisi tersebut, beliau ‘alaihis salaam tetap berdakwah kepada tauhid terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf,

يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (39) مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (40)

“Wahai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 39-40).

Demikianlah kondisi para Rasul. Meskipun umat-umat mereka berbeda dan berbeda pula problematika yang mereka hadapi, namun dakwah dan seruan kepada tauhid tetap menjadi prioritas utama.

Sekarang, marilah kita berfikir sejenak. Taruhlah kita menghadapi kerusakan di bidang ekonomi, politik, sosial, dan hukum, di samping juga menghadapi kerusakan di bidang aqidah pada masyarakat kita sekarang ini. Pertanyaannya, apakah sama timbangannya di sisi Allah kemudian para Rasul-Nya antara kerusakan yang paling parah di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum dengan kerusakan di bidang aqidah? Atau apakah di antara keduanya ada yang lebih berbahaya, lebih membinasakan, dan lebih parah akibatnya?

Di dalam timbangan Allah Ta’ala dan timbangan para Nabi, tentu kerusakan yang lebih berat bahayanya adalah kerusakan di bidang aqidah berupa kesyirikan dengan segala macam bentuknya. Kalau kita tidak meyakini hal ini, dan tetap meyakini bahwa kerusakan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum itu lebih penting untuk diatasi, maka konsekuensinya kita menganggap bahwa seluruh Nabi dan Rasul adalah kumpulan orang-orang bodoh karena mereka tidak mengetahui prioritas dalam berdakwah dengan mendahulukan perbaikan aqidah sebelum perbaikan politik, ekonomi, sosial, dan hukum! [1,2] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 105.

[2] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

___

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (3)

Rasulullah Menolak untuk Menjadi Raja dan Tetap Konsisten Memegang Dakwah Tauhid

Setiap orang yang hendak meneliti jejak dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan mendapati bahwa Rasulullah tidak pernah menjadikan kekuasaan atau mendirikan negara sebagai sarana atau bahkan sebagai tujuan utama dakwahnya. Buktinya, ketika ditawarkan kepada beliau untuk memegang kekuasaan sebagai seorang Raja, beliau tetap menolaknya. Beliau tetap konsisten memegang teguh metode dakwah yang telah ditempuh oleh seluruh Rasul yang pernah diutus, yaitu memulai dari aqidah tauhid serta memerangi berbagai bentuk kesyirikan. Berikut ini penulis sampaikan beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut.

Hadits pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ فَقَالَ جِبْرِيلُ إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ قَبْلَ السَّاعَةِ فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ يَا مُحَمَّدُ أَرْسَلَنِى إِلَيْكَ رَبُّكَ أَفَمَلَكاً نَبِيًّا يَجْعَلُكَ أَوْ عَبْداً رَسُولاً قَالَ جِبْرِيلُ تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ « بَلْ عَبْداً رَسُولاً »

Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”[1]

Hadits ke dua, ketika dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai merisaukan hati orang-orang kafir Quraisy, maka mereka mengutus ‘Utbah bin Rabi’ah untuk memberikan beberapa penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Utbah bin Rabi’ah berkata,

يَا ابْنَ أَخِي ، إنْ كُنْت إنّمَا تُرِيدُ بِمَا جِئْتَ بِهِ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ مَالًا جَمَعْنَا لَك مِنْ أَمْوَالِنَا حَتّى تَكُونَ أَكْثَرَنَا مَالًا ، وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ شَرَفًا سَوّدْنَاك عَلَيْنَا ، حَتّى لَا نَقْطَعَ أَمْرًا دُونَك ، وَإِنْ كُنْت تُرِيدُ بِهِ مُلْكًا مَلّكْنَاك عَلَيْنَا ؛ وَإِنْ كَانَ هَذَا الّذِي يَأْتِيك رِئْيًا تَرَاهُ لَا تَسْتَطِيعُ رَدّهُ عَنْ نَفْسِك ، طَلَبْنَا لَك الطّبّ ، وَبَذَلْنَا فِيهِ غَلَبَ التّابِعُ عَلَى الرّجُلِ حَتّى يُدَاوَى مِنْهُ أَوْ كَمَا قَالَ لَهُ . حَتّى إذَا فَرَغَ عُتْبَةُ

Wahai keponakanku! Jika yang Engkau inginkan dari dakwahmu ini adalah harta, maka akan kami kumpulkan harta-harta yang kami miliki untukmu sehingga Engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya di antara kami. Jika yang Engkau inginkan adalah kemuliaan, maka akan kami serahkan kemuliaan itu untukmu, sehingga kami tidak bisa memutuskan suatu perkara tanpa dirimu. Jika yang Engkau inginkan adalah menjadi Raja, maka akan kami angkat Engkau menjadi Raja atas kami. Apabila Engkau terkena jin yang dapat Engkau lihat namun Engkau tidak dapat menolaknya dari dirimu, maka akan kami carikan pengobatan untukmu. Kami akan mengerahkan seluruh kemampuan kami untuk mengobatimu, karena seseorang terkadang dikalahkan oleh jin yang mengikutinya sampai dia diobati darinya”. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Utbah, sampai dia menyelesaikan perkataannya.

Setelah ‘Utbah selesai berbicara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membacakan surat Fushshilat, dan ketika sampai ke ayat as-sajdah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersujud. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ سَمِعْتَ يَا أَبَا الْوَلِيدِ مَا سَمِعْتَ فَأَنْت وَذَاكَ

Wahai Abul Walid! Sungguh Engkau telah mendengar apa yang telah kau dengar. Maka terserah padamu.” [2]

Hadits ke tiga, sekelompok orang dari kaum kafir Quraisy berkumpul dan memberikan penawaran kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penawaran yang hampir sama dengan penawaran yang disampaikan oleh ‘Utbah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

مَا بِي مَا تَقُولُونَ مَا جِئْتُ بِمَا جِئْتُكُمْ بِهِ أَطْلُبُ أَمْوَالَكُمْ وَلَا الشّرَفَ فِيكُمْ وَلَا الْمُلْكَ عَلَيْكُمْ وَلَكِنّ اللّهَ بَعَثَنِي إلَيْكُمْ رَسُولًا ، وَأَنْزَلَ عَلَيّ كِتَابًا ، وَأَمَرَنِي أَنْ أَكُونَ لَكُمْ بَشِيرًا وَنَذِيرًا ، فَبَلّغْتُكُمْ رِسَالَاتِ رَبّي ، وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَإِنْ تَقْبَلُوا مِنّي مَا جِئْتُكُمْ بِهِ فَهُوَ حَظّكُمْ فِي الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَإِنّ تَرُدّوهُ عَلَيّ أَصْبِرْ لِأَمْرِ اللّهِ حَتّى يَحْكُمَ اللّهُ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ

Aku tidak menginginkan tawaran kalian. Aku tidaklah datang dengan membawa misi-misi itu. Aku tidak meminta harta-harta kalian, tidak pula kemuliaan di tengah-tengah kalian, dan tidak pula meminta tahta kerajaan atas kalian. Akan tetapi, Allah mengutusku kepada kalian sebagai seorang Rasul, menurunkan kepadaku sebuah kitab, dan memerintahkanku untuk memberikan kabar gembira dan peringatan kepada kalian. Aku telah menyampaikan risalah Rabb-ku kepada kalian dan telah menasihati kalian. Jika kalian menerima apa yang aku bawa, maka itulah keberuntungan kalian di dunia dan di akhirat. Jika kalian menolaknya, maka kewajibanku adalah bersabar atas urusan Allah tersebut sampai Allah memutuskan (perkara) antara aku dengan kalian.” [3]

Kesimpulan dan faidah yang bisa kita ambil dari kisah-kisah ini adalah para Nabi tidaklah diutus untuk menghancurkan sebuah negara kemudian mendirikan negara yang baru, tidak pula untuk meminta kekuasaan, atau mendirikan partai-partai untuk meraih kekuasaan tersebut. Akan tetapi, mereka datang untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia, menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kesyirikan, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dan juga memberikan peringatan kepada mereka dengan janji Allah Ta’ala.

Meskipun ditawarkan kepada mereka tahta kerajaan, sungguh mereka pasti menolaknya. Mereka tetap konsisten menempuh metode dakwah mereka. Kaum kafir Quraisy telah menawarkan tahta sebagai raja kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tetap menolaknya. Bahkan, ketika Allah Ta’ala sendiri yang menawarkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui malaikat-Nya, apakah memilih menjadi seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul, maka beliau lebih memilih menjadi seorang hamba sekaligus seorang Rasul. [4]

Hadits-hadits di atas menjadi bantahan telak atas pemikiran yang dimiliki oleh banyak “tokoh-tokoh Islam” saat ini, yang memulai dakwahnya dengan berusaha merebut kekuasaan atau dengan mendirikan negara (khilafah). Logika mereka, syari’at Islam tidak akan bisa dijalankan secara sempurna kecuali dengan mendirikan sebuah negara (khilafah) terlebih dahulu atau minimal dapat membuat “undang-undang Islami”. Sehingga perhatian dakwah mereka selanjutnya adalah bagaimana dapat segera mendirikan sebuah khilafah. Apa pun dan bagaimana pun kondisi umat yang mereka pimpin (apakah di atas tauhid ataukah di atas kesyirikan; apakah di atas sunnah ataukah di atas bid’ah), tidaklah menjadi masalah bagi mereka, yang penting mereka berhasil mendirikan negara (khilafah) Islam.

Maka kita sampaikan kepada mereka, kalaulah benar pemikiran dan logika mereka itu, maka tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan lebih memilih menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja daripada seorang Rasul namun statusnya hanya sebagai seorang hamba biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Kalau merebut kekuasaan dan mendirikan negara merupakan suatu jalan yang mulia dan berfaidah, niscaya beliau akan menempuhnya tanpa terlambat sedetik pun.

Beliau akan menerima tawaran dari Allah Ta’ala untuk menjadi seorang Rasul sekaligus sebagai seorang Raja. Karena logikanya, dengan menjadi seorang raja sekaligus Rasul, tentu dakwah akan menjadi lebih mudah dan akan lebih cepat mendatangkan hasil yang diinginkan. Tentu tidak akan ada orang kafir Quraisy yang berani menyakiti dan merintangi dakwah beliau, karena beliau adalah seorang Raja yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Tentu dengan menjadi seorang Raja, beliau lebih mudah menjalankan misi-misi kerasulan untuk menghancurkan berhala-berhala sejak awal periode kerasulan beliau di Mekah, serta lebih mudah pula untuk memaksa orang Quraisy agar beragama tauhid. Beliau pun dapat melindungi sahabatnya dari kekejaman kaum kafir Quraisy. Dan beliau pun tidak perlu diliputi ketakutan sehingga harus repot-repot berhijrah ke Madinah. Akan tetapi, beliau tetap memegang teguh manhaj dakwah tauhid sebagaimana para Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah tidak memulai dakwahnya dengan ambisi merebut kekuasaan, maka beliau juga tidak mengawali dakwahnya dengan perbaikan ekonomi atau perbaikan sosial budaya. [5]

[Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad dalam Musnad no. 7359 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 6365. Syaikh Syu’aib Arnauth berkata dalam tahqiq beliau terhadap Shahih Ibnu Hibban,”Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1002.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/292 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Kisah ini mempunyai penguat dalam hadits Jabir yang dikeluarkan oleh ‘Abdu bin Humaid dan Abu Ya’la. Takhrij hadits tersebut telah disebutkan sebelumnya (hal. 96) [dan beliau menyatakan bahwa sanadnya tsiqoh, pen.sehingga kisah ini menjadi kuat dan kokoh”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 113.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam As-Sirah, 1/295 dari Ibnu Ishaq. Syaikh Rabi’ hafidzahullah mengatakan,”Hadits ini menjadi penguat hadits sebelumnya [yaitu hadits ke dua di atas, pen.] dan masing-masing di antara keduanya saling menguatkan”. Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 114.

[4] Lihat Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 115.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (2)

Rasulullah Memulai Dakwahnya dengan Tauhid

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya sama persis dengan para Nabi sebelum beliau, yaitu memulai dari aqidah tauhid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawali dakwahnya dengan menyeru umatnya agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang merupakan inti dari kalimat tauhid “laa ilaaha illallah”. Tidak pernah terlintas dalam pikiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memulai dakwahnya dengan selain dasar yang agung tersebut. Beliau terus-menerus menyerukan dakwah tauhid ini sepanjang periode kerasulan beliau selama 13 tahun di kota Mekah. Beliau tidak pernah merasa lelah dan bosan, beliau senantiasa bersabar terhadap setiap gangguan dan rintangan di jalan dakwah tauhid tersebut. Selama di Mekah, beliau tidaklah mewajibkan syari’at-syari’at dan rukun Islam kecuali shalat pada tahun ke sepuluh dari periode kerasulan. Meskipun beliau juga menyerukan kepada umatnya kepada akhlak yang mulia, menyambung tali persaudaraan, jujur, dan memelihara kehormatan diri, akan tetapi yang menjadi sentral dakwah dan titik perselisihan antara beliau dengan umatnya adalah dakwah kepada aqidah tauhid.

Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan dasar tauhid yang agung ini. Hal ini dapat kita cermati dari beberapa ayat berikut ini.

Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Sesunguhnya kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).(QS. Az-Zumar [39]: 2-3).

Ayat ke dua, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (11) وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ (12) قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (13) قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)

Katakanlah,’Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri’. Katakanlah,’Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Rabb-ku’. Katakanlah,’Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.(QS. Az-Zumar [39]: 11-14).

Ayat ke tiga, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (163)

Katakanlah,’Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ ” (QS. Al-An’am [6]: 162-163).

Adapun dari As-Sunnah, maka banyak kita dapatkan keterangan yang menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dakwahnya dengan tauhid, dan menutup dakwahnya dengan tauhid pula. Beliau terus-menerus memegang teguh dakwah tauhid tersebut di sepanjang kehidupan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara hadits yang menunjukkan hal itu adalah:

Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada umatnya,

« يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ تُفْلِحُوا »

“Wahai manusia, katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, niscaya kalian akan beruntung.” [1]

Hadits ke dua, dari ‘Amr bin ‘Abasah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,”Saat aku di masa jahiliyyah, aku menyangka bahwa manusia berada dalam kesesatan. Mereka tidaklah memiliki sesuatu apa pun, mereka menyembah berhala. Aku pun mendengar ada seorang laki-laki di Mekah yang menyampaikan berita-berita. Maka aku pun pergi ke sana dan mendatanginya. Saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersembunyi dari kejahatan kaumnya. Aku pun berjalan perlahan sampai bisa menemuinya di Mekah. Kemudian aku bertanya kepada beliau,’Siapakah Engkau?’ Beliau berkata,’Aku seorang Nabi’. Aku bertanya,’Apakah Nabi itu?’ Beliau menjawab,’Aku diutus oleh Allah’. Aku bertanya lagi,’Dengan apa Engkau diutus?’ Maka beliau menjawab,

« أَرْسَلَنِى بِصِلَةِ الأَرْحَامِ وَكَسْرِ الأَوْثَانِ وَأَنْ يُوَحَّدَ اللَّهُ لاَ يُشْرَكُ بِهِ شَىْءٌ »

Aku diutus untuk menyambung tali persaudaraan, menghancurkan berhala, dan agar mentauhidkan Allah serta tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.” [2]

Hadits ke tiga, dalam beberapa pertanyaan Raja Heraklius kepada Abu Sufyan ketika masa perjanjian Hudaibiyah. Heraklius menanyakan tentang keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Apa yang diperintahkan kepada kalian?” Aku (Abu Sufyan) berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ

Sembahlah Allah semata, dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Tinggalkanlah perkataan nenek moyang kalian! Beliau memerintahkan kami untuk mengerjakan shalat, jujur, menjaga kehormatan diri, dan menyambung persaudaraan.” [3]

Betapa kokohnya pengaruh dakwah tauhid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hati Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu. Sehingga yang pertama kali beliau sebutkan adalah inti dakwah tauhid yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan, sebelum menyebutkan perintah-perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya semacam shalat dan menyambung persaudaraan.

Tauhid inilah yang menjadi perhatian serius Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan penuh kesabaran Rasulullah mendakwahkan tauhid dan membina para sahabatnya di atas aqidah tauhid tersebut. Dakwah beliau bukanlah untuk mendapatkan kekuasaan atau untuk tujuan-tujuan rendah lainnya. Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menjadikan kekuasaan sebagai sarana atau alat untuk berdakwah. Padahal saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy agar menghentikan dakwahnya. [4, 5]

[Bersambung]

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

***

Catatan kaki:

[1]HR. Ahmad no. 16066. Syaikh Syu’aib Arnauth dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad (3/492) menyatakan bahwa status hadits ini adalah shahih li ghairihi.

[2] HR. Muslim no. 1967, hadits di atas adalah potongan dari hadits yang panjang.

[3] HR. Bukhari no. 7, hadits ini adalah potongan dari hadits yang panjang.

[4] Diringkas dari Manhajul Anbiya’ fi Ad-Da’wati Ilallah, hal. 72-77.

[5] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid? (1)

Dakwah Tauhid, Jalan Hidup Rasulullah dan Sahabatnya

Dakwah tauhid, mungkin dianggap sebagai sesuatu yang usang dan kuno bagi sebagian kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa pemahaman dan praktik tauhid di masyarakat kaum muslimin saat ini sudah baik, sehingga “tidak perlu diusik”. Tidak perlu lagi meributkan praktik dan “ritual” keagamaan sebagian kaum muslimin yang menjurus ke arah kesyirikan karena hanya akan memecah belah persatuan mereka. Yang penting bagi sebagian orang saat ini, bagaimana caranya agar kaum muslimin bersatu demi tegaknya sebuah negara Islam (khilafah) tanpa mau mempedulikan kaum muslimin model apa yang mereka persatukan dalam negara tersebut. Padahal, kalau kita mau melihat sejenak sejarah dan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menjadikan dakwah tauhid sebagai prioritas utama dalam dakwah. Beliau memulai dakwah dengan tauhid, membina umatnya di atas tauhid, dan menutup dakwah beliau dengan dakwah tauhid.

Dakwah Tauhid adalah Jalan Hidup Rasulullah dan Pengikutnya

Dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula para pengikutnya yang merupakan generasi terbaik umat ini dari kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Siapapun yang mengaku menjadi pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka sudah semestinya jika dia juga berdakwah kepada manusia menuju Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin seseorang mengaku sebagai pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dia tidak mau atau tidak memiliki keinginan untuk menempuh jalan hidup yang telah ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ’Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (QS. Yusuf [12]: 108)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini,

يقول الله تعالى لعبد ورسوله إلى الثقلين: الإنس والجن، آمرًا له أن يخبر الناس: أن هذه سبيله، أي طريقه ومسلكه وسنته، وهي الدعوة إلى شهادة أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، يدعو إلى الله بها على بَصِيرة من ذلك، ويقين وبرهان، هو وكلّ من اتبعه، يدعو إلى ما دعا إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم على بصيرة ويقين وبرهان شرعي وعقلي.

“Allah Ta’ala berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya bagi jin dan manusia (yaitu kepada Muhammad, pen.) dalam rangka memerintahkannya agar mengabarkan kepada manusia, bahwa inilah jalan dan sunnahnya, yaitu berdakwah kepada syahadat ‘tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu baginya’. Mengajak manusia kepada Allah di atas hujjah yang nyata serta di atas keyakinan dan petunjuk. Dia (Muhammad) dan setiap orang yang mengikutinya, semuanya berdakwah kepada apa yang didakwahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas hujjah yang nyata, keyakinan, dan petunjuk syariat dan petunjuk akal.” [1]

Terdapat dua faidah yang bisa kita ambil dari kalimat (أَدْعُو إِلَى اللَّه) [mengajak kamu kepada Allah], yaitu:

  1. Maksud dari berdakwah kepada Allah Ta’ala adalah mendakwahkan tauhid dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala.
  2. Peringatan untuk ikhlas dalam berdakwah. Barangsiapa yang ingin mendakwahkan Islam, maka dia sangat membutuhkan keikhlasan. Tidak ada tujuan lain dalam berdakwah kecuali untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala dan memahamkan umat terhadap urusan agamanya. Dia tidak bertujuan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya, mencari popularitas, mencari uang, atau bahkan untuk mencari kekuasaan. [2]

Ketika menjelaskan kalimat (إِلَى اللَّه) [kepada Allah], Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat dua kelompok da’i (juru dakwah).

Pertama, seorang da’i yang berdakwah kepada Allah Ta’ala. Dialah da’i yang mukhlis (da’i yang ikhlas) yang menginginkan agar manusia sampai kepada Allah Ta’ala.

Kedua, seorang da’i yang berdakwah kepada selain Allah Ta’ala terkadang berdakwah kepada dirinya sendiri, agar banyak orang menjadi pengikutnya. Dia mendakwahkan kebenaran agar dirinya diagung-agungkan oleh masyarakat dan agar masyarakat menghormati dan memuliakannya. [3]

Demikianlah, jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap orang yang mengikuti jalan beliau adalah mendakwahkan tauhid, mendakwahkan syahadat laa ilaaha illallah. Dakwah ini, sebagaimana ibadah yang lainnya, sangatlah membutuhkan keikhlasan. Inilah ujian terbesar bagi seorang da’i ketika berdakwah. Apakah dia betul-betul berdakwah mengajak masyarakat kepada Allah Ta’ala? Apakah dia benar-benar berdakwah agar masyarakat mentauhidkan Allah? Atau apakah dia berdakwah mengajak masyarakat kepada dirinya? Kepada organisasi atau partai yang dipimpinnya? Atau dakwah untuk tujuan-tujuan rendah lainnya?

Setelah kita memahami bahwa dakwah tauhid adalah jalan hidup yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bukti-bukti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah pun menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memprioritaskan dakwah tauhid sejak awal sampai akhir beliau berdakwah, sebagaimana yang akan kami tunjukkan di bagian kedua tulisan ini. Beliau tidaklah berdakwah dengan merebut kekuasaan terlebih dahulu, atau dengan mendirikan negara, dan tidak pula dengan mendirikan partai politik. Akan tetapi, beliau memulai dakwah perbaikan masyarakat dengan dakwah tauhid.

Oleh karena itu, setiap orang yang ingin mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaklah memperhatikan bagaimanakah metode yang ditempuh oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam jalan dakwah tersebut. Jangan sampai kita berdakwah dengan menempuh jalan yang tidak ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hak ini karena dakwah adalah salah satu bentuk ibadah, dan salah satu syarat diterimanya ibadah adalah ittiba’, yaitu mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [4] [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 17 Rajab 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

[1] Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 4/422.

[2] Lihat At-Tamhiid, hal. 65.

[3] Lihat Al-Qoulul Mufiid, 1/128-129.

[4] Disarikan dari buku penulis, “Saudaraku … Mengapa Engkau Enggan Mengenal Allah?” (Pustaka Al-Fajr, Yogyakarta, tahun 2010).

Artikel Muslim.Or.Id

Sejarah Penamaan “Muhammad” untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam

Tentang penamaan “Muhammad” untuk nama Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada beberapa riwayat yang menceritakan mengenai sejarahnya. Dahulu di masa jahiliyah tak banyak orang yang menyandang nama Muhammad. Bagi masyarakat jahiliyah kala itu, nama ini masih teramat asing di telinga mereka. Oleh karenanya, saat kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abdul Muthalib, memilih nama “Muhammad” (orang yang terpuji) untuk cucu tercintanya, mereka merasa heran. Hal ini karena keputusan yang dilakukan Abdul Muthalib tersebut  berbeda dengan adat orang-orang Quraisy dahulu. Dimana diantara adat mereka, mereka menjadikan nama-nama leluhur sebagai nama untuk anak keturunan mereka.

Beberapa orang dari suku Quraisy memberi masukan untuk Abdulmutholib; yang kala itu selaku pembesar suku Quraisy, perihal nama untuk cucu tercintanya,

لما رغبت به عن أسماء أهل بيته؟

“Mengapa tidak dinamai dengan nama salah seorang dari kerabatnya saja?”

Abdul Muthalib menjawab,

أردت أن يحمده الله تعالى في السماء وخلقه في الأرض

“Aku ingin agar Allah memujinya di langit, dan ia dipuji makhluk-makhluk-Nya di bumi” (Lihat Dala ilun Nubuwwah 1: 113).

Ucapan ini menjadi kenyataan. Allah telah menjadikan Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam adalah orang yang paling terpuji dan paling mulia di segenap penduduk langit dan bumi. Dalam Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari perkataan Abdulmutholib ini. Beliau mengatakan, “Allah ‘azzawajalla telah mengilhamkan kepada mereka untuk menamai Nabi dengan nama Muhammad (orang yang terpuji). Hal ini karena dalam diri beliau telah tertanam sifat-sifat yang luhur, agar menjadi sepadan antara nama dan tindakan, dan agar sinkron antara nama dan yang diberi nama, baik dalam hal nama maupun tindak-tanduknya” (Bidayah wan Nihayah 1: 669)

Ada pula riwayat lain yang menjelaskan sejarah penamaan Nabi shallallahu’alaihiwasallam. Dalam Raudhatul Unuf, Imam As-Suhaili menukilkan riwayat tersebut. Kisahnya berawal dari perjalanan kakek beliau; Abdulmutholib menuju negeri Syam bersama tiga orang rekannya untuk suatu keperluan bisnis. Di perjalanan, mereka bertemu dengan seorang rahib (pendeta). Sang rahib menanyakan, “Dari mana kalian?”

“Kami berasal dari Makkah.” Jawab mereka.

Mengetahui mereka datang dari Makkah, sang rahib pun mengabarkan perihal berita yang dia dapatkan dalam kitab suci agamanya, “Sesungguhnya dari negeri kalian itu akan muncul seorang Nabi.” tegas sang rahib. Dengan penuh keheranan, Abdul Muthalib dan tiga orang kawannya menanyakan perihal nama Nabi tersebut. Rahib itu menjawab, “Namanya adalah Muhammad.”

Perawi menyatakan,

ولم يكن اسم محمد معروفا عند العرب

“Kala itu nama Muhammad belum dikenal di kalangan penduduk Arab.”

Mendengar jawaban rahib tersebut, Abdul Muthalib beserta tiga rekannya bertekad bila nanti lahir bayi laki-laki sepulang mereka dari Syam, mereka akan memberi nama Muhammad. Allah pun menakdirkan, ternyata bayi laki-laki yang pertama kali lahir sepulangnya mereka dari Syam adalah dari menantu Abdul Muthalib, yaitu Aminah binti Wahb; Ibunda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Abdulmutholib pun menyematkan nama Muhammad untuk cucu tercintanya. Adapun ketiga rekan beliau; yaitu Sufyan bin Mujasyi’, Uhaihah bin Jallaj, dan Himran bin Rabi’ah, mereka juga tak mau kalah, saat lahir bayi laki-laki mereka, mereka juga segera menamai putera mereka dengan nama Muhammad. “Empat orang inilah,” terang Imam As-Suhaili,  “orang Arab pertama yang menamai anaknya dengan nama Muhammad.” (Raudhotul Unuf 1: 820).

Harits bin Tsabit bersenandung dalam bait-bait syairnya,

فشق له من اسمه ليجله

فذو العرش محمود وهذا محمد

Namanya diambil dari nama (Tuhan) Nya untuk mengagungkannya

Karena Pemilik Arsy itu Maha terpuji (Mahmud) dan inilah hamba-Nya; orang yang terpuji (Muhammad).

Wallahu a’lam bis showab.

__

Referensi: Al Lu’lu’u Al Maknun fi Shiroti An Nabi Al Ma’muun, karya Musa Rasyid Al ‘Azimi. Cetakan ketiga, tahun 1436/2015. Penerbit Darus Suma’i, Riyadh.

***

Penulis: Ahmad Anshori

Artikel : Muslim.Or.Id

Manfaat Belajar Sejarah Hidup Nabi Muhammad

Allâh ‘Azza wa Jalla telah menentukan nabi terakhir dan menjatuhkan pilihan-Nya pada diri Muhammad bin `Abdillâh shallallahu ‘alaihi wasallam . Beliau mendapatkan berbagai keistimewaan dari Allâh ‘Azza wa Jalla yang tidak dimiliki oleh orang lain, sebagaimana umat Islam juga memiliki keistimewaan yang tidak ada pada agama sebelumnya.

Dalam Shahîh Muslim, Rasûlullâh shallâllahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allâh memilih Kinânah dari keturunan (Nabi) Ismail. Dan memilih suku Quraisy dari (bangsa) Kinânah. Kemudian memilih Bani Hâsyim dari suku Quraisy dan memilih diriku dari Bani Hâsyim” (HR Muslim no. 4221).

Melalui hadits yang mulia ini, dapat diketahui bahwa Rasûlullâh shallâllahu ‘alaihi wasallam merupakan pokok dari seluruh intisari kebaikan melalui tinjauan kemuliaan nasab, sebagaimana pada beliau shallâllahu ‘alaihi wasallam juga terdapat pokok dari intisari-intisari keutamaan dan ketinggian derajat di sisi Allâh ‘Azza wa Jalla ( Min Akhlâqir Rasûl, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad).

Manfaat dirasah (mempelajari) Siroh Nabawi

Mempelajari Siroh (sejarah hidup) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berguna sebagai nutrisi bagi hati dan sumber keceriaan bagi jiwa serta penyejuk bagi mata. Bahkan hal itu merupakan bagian dari agama Allah Ta’ala dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sarat merupakan kehidupan dengan mobilitas tinggi, ketekunan, kesabaran, keuletan, penuh harapan, jauh dari pesimisme dalam mewujudkan ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendakwahkan ajaran agama-Nya.

Faedah dan manfaat mempelajari Sirah Nabawi tersimpulkan pada poin-poin berikut:

  1. Mengenal teladan terbaik bagi seluruh manusia dalam aqidah, ibadah dan akhlak. Allah Ta’ala berfirman:
    Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah“. (QS. Al-Ahzab/33:21).
    Dan usaha meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa lepas dari mengetahui sejarah hidup dan petunjuk-petunjuk beliau.
  2. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi mizan (timbangan) amal perbuatan manusia. Tentang ini, Imam Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah timbangan paling inti. Maka, segala sesuatu ditimbang dengan akhlak, siroh dan petunjuk beliau. Yang sesuai, maka itulah yang benar, dan yang berlawanan dengannya, maka itulah kebatilan”. (Diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dalam muqaddimah kitab al-Jami li Akhlaqir Rawi wa Adabi as-Sami’).
  3. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantu dalam memahami Kitabullah, karena kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengamalan nyata terhadap al-Qur`an. Hal ini berdasarkan keterangan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak beliau, “Akhlak beliau adalah al-Qur`an”. Dan yang dimaksud dengan akhlak di sini adalah pengamalan agama beliau, beliau telah mengerjakan petunjuk al-Qur`an dengan sempurna, dalam hal perintah dan larangan serta adab-adab al-Qur`an.
  4. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkuat cinta seorang Muslim kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Penanaman cinta dan penguatannya pada hati seorang Muslim menuntutnya untuk mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, supaya cintanya kian subur di hatinya terhadap sosok yang mulia ini. Dan selanjutnya, cinta tersebut akan mendorongnya menuju setiap kebaikan dan ittiba’ kepada beliau.
  5. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pintu menuju peningkatan keimanan.
  6. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantu memudahkan memahami Islam dengan baik dalam aspek aqidah, ibadah dan akhlak. Dan sejarah telah mencatat bahwa beliau memulai dakwah dengan tauhid dan perbaikan aqidah dan menekankan pada masalah tersebut.
  7. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggariskan manhaj (metodologi) dalam berdakwah di atas bashirah (ilmu). Dan seorang dai sejati adalah orang yang menguasai petunjuk, langkah dan sejarah hidup beliau. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf/12:108)
  8. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sudah merupakan bukti kebenaran nubuwwah dan kerasulan beliau.
  9. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pintu berkah menuju gerbang kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan seseorang tergantung pada sejauh mana ia mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab tidak ada jalan menuju kebahagiaan bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat kecuali melalui petunjuk para rasul.
  10. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa perilaku dan sejarah hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan jalan hidup bagi setiap Muslim yang mengharap kebaikan dan kehidupan mulia di dunia dan akhirat. Generasi Islam akan mengalami kemerosotan bila sebagian mereka lebih mengenal sejarah hidup orang-orang yang tidak pantas diteladani.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantungkan kebahagiaan dunia dan akhirat pada ittiba kepada beliau, dan menjadikan celaka di dunia dan akhirat disebabkan menentang beliau”. (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad 1/36).

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengklasifikasikan sikap manusia terhadap sejarah hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi tiga golongan: mustaktsir (banyak tahu), muqill (kurang peduli), mahrum (jauh darinya). Tiga jenis manusia yang disebutkan Ibnul Qayyim ini otomatis menjadi realita yang ada di tengah umat.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لَا يَرْتَدُّ وَنَعِيْمًا لَا يَنْفَدُ وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keimanan yang tidak akan lepas, nikmat yang tidak pernah habis dan menyertai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Surga Khuld yang paling tinggi”. (HR. Ahmad dan lainnya. Al-Albani menilai hadits ini berderajat hasan. Ash-Shahihah no.2301).

[Bahan kajian ini merupakan ringkasan dari makalah Min Fawaaidi ad-Dirasah as-Siratin Nabawiyyah. Syaikh Prof.DR. Abdur Rozzaq al-Badr dalam websitenya al-badr.net, dengan sedikit tambahan]

Penulis: Ustadz Muhammad Ashim Musthafa Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Bulan Shafar Bulan Kesialan dan Bala’, benarkah?

Dikenal di dalam tradisi kejawen, dan juga tradisi beberapa daerah diluar Jawa, sebuah mitos tentang bulan Shafar (bahasa Jawa-Sapar). Bahwasanya bulan Shafar adalah lanjutan dari bulan Muharram (bahasa Jawa-Suro), yang mana anggapan beberapa masyarakat awam, keduanya erat dengan kesialan dan bala’.

Dikenal di dalam keyakinan orang awam ada istilah Arba’ Mustakmir atau Rebo Wekasan, di beberapa daerah, sebut saja di Jogjakarta, disebut Rabu Pungkasan, atau di daerah Banten sebagai Rebo Kasandan, dianjurkan untuk melakukan amalan shalat sunah tolak bala, yaitu salat sunnah (menurut mereka), yang dilaksanakan setelah terbitnya matahari, atau di waktu shalat Dhuha.

Pelaksanaan sholat sunnah tolak Bala ini diambil dari keterangan yang tercantum dalam kitab al-Jawahir al-Khomsi halaman 51-52, dilaksanakan pada pagi hari Rabu terakhir bulan Shofar, sebanyak 4 rakaat 2 kali salam.

Dengan niat

اُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلاَءِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

“Saya sholat sunnah untuk tolak bala dua rakaat karna allah“.

Setiap rakaat ba’da fatihah membaca :
– Surat al-Kaustar 17 kali,
– Surat al-Ikhlash 5 kali,
– Surat al-Falaq dan an-Nas masing-masing 1 kali

Bagaimana pandangan Islam terhadap keyakinan masyarakat awam ini?

Anggapan adanya waktu sial di Bulan Shafar ini dibantah langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada tiyaroh (mengkaitkan nasib buruk dengan apa yang dilihat atau didengar), tidak ada burung yang menunjukkan akan ada anggota keluarga yang mati, dan tidak ada kesialan di bulan shofar”
(HR Al-Bukhari dan Muslim). (1)

Syaikh bin Baz, memberikan penjelasan kata-kata (وَلاَ صَفَرَ) pada hadits di atas

وأما قوله ﷺ: ولا صفر فهو الشهر المعروف وكان بعض أهل الجاهلية يتشاءمون به. فأبطل النبي ﷺ ذلك، وأوضح ﷺ أنه كسائر الشهور ليس فيه ما يوجب التشاؤم

“Adapun perkataan Rasulullah ﷺ, tidak ada Shafar, maksudnya nama bulan yang kita kenal, dan dahulu orang-orang jahiliyah menganggapnya sial. Maka nabi menepis anggapan tersebut, dan menjelaskan bahwasanya bulan Shafar sebagaimana bulan lainnya, tidak ada di dalamnya sesuatu yang mengjadikanya sial.” (2)

Begitu juga dengan shalat sunnah tolak bala’ ini. Lajnah Daimah pernah ditanya,

إن بعض العلماء في بلادنا يزعمون أن في دين الإسلام نافلة يصليها يوم الأربعاء، آخر شهر صفر وقت صلاة الضحى أربع ركعات، بتسليمة واحدة تقرأ في كل ركعة: فاتحة الكتاب وسورة الكوثر سبع عشرة مرة، وسورة الإخلاص خمسين مرة، والمعوذتين مرةً مرةً، تفعل ذلك في كل ركعة، وتسلم، وحين تسلم تشرع في قراءة: (وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ) ثلاثمائة وستين مرة، وجوهر الكمال ثلاث مرات، واختتم بسبحان ربك ربِّ العزة عما يصفون، وسلام على المرسلين، والحمد لله رب العالمين
وتصدق بشيء من الخبز إلى الفقراء، وخاصية هذه الآية لدفع البلاء الذي ينزل في الأربعاء الأخير من شهر صفر
وقولهم إنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفًا من البليات، وكل ذلك يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب الأيام في السنة كلها، فمن صلَّى هذه الصلاة بالكيفية المذكورة: حفظه الله بكرمه من جميع البلايا التي تنزل في ذلك اليوم!!

“Beberapa ulama di negeri kami beranggapan bahwasanya di dalam agama Islam, ada shalat sunnah yang dikerjakan di hari Rabu akhir bulan Shafar, dikerjakan di waktu shalat Dhuha sebanyak empat raka’at, sekali salam, dan membaca di setiap raka’at, Al Fatihah, Surat Al Kautsar 17 kali, dan Surat Al Ikhlas sebanyak 50 kali, Al Falaq dan An Nas dibaca sekali-sekali, dilakukan seperti itu di setiap raka’atnya. Lalu Salam, dan ketika salam disyariatkan membaca

وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah berkuasa atas urusanNya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (3)
Dibaca sebanyak 370 kali.

Dan Jauhar Kamal 3 kali, ditutup dengan bacaan, “Subhana rabbika’ ‘Izzati ‘Amma Yasifuun, wa salamun ‘alal mursaliin, wal hamdu lillahi rabbil ‘alamin.”

Lalu bersedekah dengan beberapa roti kepada faqir miskin, dan kekhususan ayat ini untuk menangkal bala’ yang akan turun di Rabu Akhir dari bulan Shafar.

Perkataan mereka, sesungguhnya bala’ tersebut akan turun di setiap tahunnya, 320.000 bala'(musibah). Dan hal tersebut terjadi pada hari Rabu akhir bulan Shafar. Maka hari itu menjadi hari terberat selama setahun. Barangsiapa yang mengamalkan shalat sunnah tersebut dengan tatacara yang sudah disebutkan diatas, maka dengan kemurahanNya, Allah menjaganya dari semua musibah yang akan turun pada hari tersebut.

فأجابت اللجنة بما يلي
الحمد لله والصلاة والسلام على رسوله وآله وصحبه، وبعد:
هذه النافلة المذكورة في السؤال لا نعلم لها أصلًا في الكتاب ولا من السنَّة، ولم يثبت لدينا أنَّ أحدًا من سلف هذه الأمة وصالحي خلفها عمل بهذه النافلة، بل هي بدعة منكرة
وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: «من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد»، وقال: «من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد»
ومن نسب هذه الصلاة وما ذُكر معها إلى النبي صلى الله عليه وسلم أو إلى أحدٍ من الصحابة رضي الله عنه: فقد أعظم الفرية، وعليه من الله ما يستحق من عقوبة الكذَّابين

Maka Lajnah Daimah menjawabnya
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan atas rasulNya, keluarga Rasulullah dan sahabatnya. Wa ba’du

Amalan sunnah yang disebutkan tersebut di dalam pertanyaan, kami tidak mengetahui asal usulnya dari Al Qur’an maupun sunnah, dan tidak pula ada keterangan menurut sepengetahuan kami, bahwasanya salah seorang dari generasi salaf ummat ini, dan juga orang-orang shalih setelahnya, mengamalkan amalan yang dianggap sunnah ini. Bahkan ia termasuk bid’ah munkarah.

Telah datang perkataan dari Rasulullah, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari kami maka amalanya tertolak.”(4)
Dan beliau juga bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami (agama Islam) yang sejatinya ia bukan berasal darinya, maka ia tertolak.”
Barangsiapa yang menisbatkan kepada Rasulullah, shalat ini dan apa-apa yang disebutkan dari amalan-amalan yang menyertainya atau menisbatkanya kepada perbuatan salah seorang sahabat Radhiallahu ‘anhu, maka sungguh besar kedustaanya, dan baginya layak mendapatkan hukuman dari Allah bagi para pendusta. (5)

Tidak ada waktu sial di dalam islam. Kesialan, bala’ dan musibah yang menimpa seseorang adalah karena ulahnya sendiri, dan itu sudah Allah taqdirkan, dan Allah lah yang menghendakinya, tanpa disangkutpautkan dengan waktu-waktu tertentu, bahkan dengan sesuatu apapun.

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (الأعراف: 131)

“jika datang kepada mereka kebaikan mereka berkata, itu adalah karena usaha kami, dan apabila mereka ditimpa keburukan (kesialan), mereka menyangkutpautkan kesialan itu pada Musa dan orang-orang yang bersama mereka. Ketahuilah sesungguhnya kesialan itu adalah ketetapan Allah akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (6)

Waspadalah kepada perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu yang tidak ada tuntunannya di dalam Al Qur’an maupun Sunnah, karena dikhawatirkan terjatuh ke dalam perbuatan mencela waktu.

Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺbersabda

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُؤْذِينِي ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ:، وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

“Berkata Allah Ta’ala, keturunan Adam mencelaku, ia mencela waktu, dan akulah (pencipta) waktu, di tanganku lah urusan tersebut, aku membolak-balikan malam dan siang.” (7)

Referensi

1.Hadits Bukhary (no. 5757) dan Muslim (no. 2220), riwayat Abu Hurairah. Di riwayat Jabir bin Abdillah dengan penambahan lafadz “Laa Ghoula”, dishahihkan oleh Al Labany di dalam Shahih Al Jami’ (no. 7531) .
2.www.binbaz.org.sa
3.Surat Yusuf ayat 21
4.Hadits riwayat Bukhary (no. 2550) dan Muslim (no. 1718)
5.Fatwa lajnah Daimah (2/354) no. 1619
6.Surat Al A’raf ayat 131
7.Hadits riwayat Bukhary (no. 7491), Muslim (no. 2246)

Wallahu ‘alam.

Ditulis Oleh:
Ustadz Kukuh Budi Setiawan, S.S., S.H., حفظه الله
(Kontributor bimbinganislam.com)

BIMBINGAN ISLAM

Sikap Pertengahan terhadap Ibnu Sina

Abu Ali Al Husain bin Abdillah al-Balkhi (wafat 427H), lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina, adalah seorang ilmuwan ahli di bidang kedokteran, bidang filsafat, kimia dan berbagai macam ilmu lainnya. Beliau terkenal cerdas dan menguasai cukup banyak bidang ilmu. Beliau juga belajar agama, akan tetapi pelajaran agama beliau banyak terpengaruh oleh ilmu filsafat Yunani dan terpengaruh ajaran-ajaran yang menyimpang akidah Islam. Bahkan penyimpangan-penyimpangan yang ia lakukan sampai pada level mengeluarkan pelakunya dari Islam. Beliaupun ikut mendakwahkan akidah menyimpang ini, dan menulis beberapa kitab filsafat diantaranya “asy-Syifa”, “al-Isyarat”, “al-Qanun”, dan yang lainnya.

Inti dari tulisan kami adalah sikap pertengahan terhadap Ibnu Sina terkait status beliau sebagai ilmuwan dan akidah beliau yang sangat jauh keluar dari Islam. Ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:

Pertama: Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam. Mungkin ini hal ini membuat “kaget” sebagian kaum muslimin di Indonesia karena selama ini mereka mengira bahwa Ibnu Sina adalah Islam dan ilmuwan Islam. Kami akan nukilkan perkataan-perkataan ulama yang menyatakan hal ini, terutama ulama yang terkenal dari mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab mayoritas di Indonesia semisal Az-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Ibnu Katsir. Masih banyak penjelasan ulama lainnya terkait akidah Ibnu Sina ini.

Kedua: Status beliau sebagai seorang ilmuwan, maka kita pun memperlakukan beliau sebagaimana ilmuwan non-muslim lainnya. Tidak haram mengambil ilmu dunia bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama.

Ketiga: Ada pendapat yang lemah (karena kebenarannya belum bisa dipastikan) bahwa beliau telah bertaubat dari akidah yang menyimpang tersebut ketika akan meninggal. Tentu kita sangat berharap ini benar. Namun demikian pendapat ini lemah, dan yang terpenting bagi kita adalah tetap berlepas diri dan mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam.

Keempat: Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan masjid dan sarana Islami dengan nama Ibnu Sina. Masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis.

Mari kita bahas poin-poin ini satu-per-satu.

Para Ulama Mengkafirkan Ibnu Sina

Banyak ulama yang sudah menganggap beliau keluar dari Islam karena akidah yang sangat melenceng dari Islam.

Kami nukilkan beberapa penjelasan ulama terkait akidah Ibnu Sina yang sangat jauh keluar dari Islam.

Adz-Dzahabi setuju dengan perkataan Imam Al-Ghazali yang telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam,

“وقد كفره الغزالي في كتاب “المنقذ من الضلال

“Sungguh Al-Ghazali telah menyatakan Ibnu Sina keluar dari Islam dalam buku beliau yaitu Al-Munqiz Wad-Dhalal” (Siyar Al-A’lam An-Nubala’, 17/535).

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan beberapa akidah Ibnu Sina yang sangat melenceng dari akidah Islam, beliau berkata:

قال ابن أَبِي الدم الحموي الفقيه الشافعي، شارح الوسيط في كتابه الملل والنحل: قد اتفق العلماء على أن ابن سينا كان يقول بقدم العالم، ونفي المعاد الجسماني، ولا ينكر المعاد النفساني. ونقل عنه أنه قال: إن الله لا يعلم الجزئيات بعلم جزئي، بل بعلم كلي.

“Ibnu Abi ad-Dam Al-Hamawi, pensyarah kitab Al-Wasith dalam kitab beliau Al-Milal wan Nahl telah mengatakan: para ulama telah BERSEPAKAT bahwa Ibnu Sina memiliki pendapat bahwa alam semesta ini qadim (yaitu, bahwa alam semesta tidak diciptakan, namun sudah ada sejak dahulu, pent.), menafikan adanya kebangkitan jasad manusia (di hari akhir), walaupun beliau tidak mengingkari kebangkitan ruh di hari akhir. Juga dinukilkan dari beliau bahwa beliau berpendapat Allah itu tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyat (spesifik), Allah hanya tahu kejadian-kejadian secara global saja” (Lisanul Mizan 2/293).

Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan pemikiran Ibnu Sina yang jauh keluar dari Islam dan ada tiga pembahasan yang yang sangat fatal dari pemikiran Ibnu Sina, yaitu:

قوله بقدم العالم وعدم المعاد الجسماني وأن الله لا يعلم الجزئيات

“Dia berpendapat bahwa alam ini qadim, tidak adanya hari pembangkitan jasmani (hanya ruh), dan Allah tidak mengetahui hal-hal yang juz’iyyah (spesifik)” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Demikian juga ulama lainnya menjelaskan, seperti Ibnul Qayyim yang menjelaskan bahwa Ibnu Sina ini adalah mulhid. Sebutan mulhid biasanya disematkan kepada orang yang tidak beriman kepada Allah atau memiliki keyakinan yang menyimpang tentang Allah. Ibnul Qayyim berkata,

الملحد، بل رأس ملاحدة الملة

“Ibnu Sina adalah mulhid. Bahkan beliau adalah pemimpinnya orang-orang mulhid” (As-Shawaiqul Mursalah, 2/1031).

Dalam kitab yang lain, Ibnul Qayyim juga menjelaskan:

وكان ابن سينا كما أخبر عن نفسه قال: أنا وأبي من أهل دعوة الحاكم فكان من القرامطة الباطنية الذين لا يؤمنون بمبدأ ولا معاد ولا رب خالق ولا رسول مبعوث جاء من عند الله تعالى

“Ibnu Sina, sebagaimana ia ceritakan tentang dirinya sendiri, ia berkata: Saya adalah seorang juru dakwah, seorang hakim, bagian dari sekte Qaramithah Bathiniyyah (salah satu sekte Syi’ah) yang tidak beriman terhadap penciptaan alam semesta, tidak beriman tentang adanya Rabb yang menciptakan alam semesta, tidak mengimani adanya Rasul yang diutus oleh Allah Ta’ala” (Ighatsatul Lahafan, 2/266).

Dan beberapa akidah menyimpang lainnya yang disebutkan para ulama. Jika kita perhatikan beberapa akidah menyimpang yang telah disebutkan di atas, membuat kita tidak heran jika para ulama menganggapnya keluar dari Islam. Nas’alullah as salamah wal ‘afiyah.

Ibnu Sina sebagai ilmuwan

Adapun status beliau sebagai seorang ilmuwan, kita terapkan perlakuan yang sama sebagaimana ilmuwan non-Muslim lainnya. Tidak mengapa mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari beliau, selama hal itu tidak ada kaitannya dengan agama. Karena hukum asal muamalah duniawi itu mubah dan halal.

Para ulama menjelaskan, boleh bermuamalah dengan orang kafir, termasuk mengambil ilmu duniawi yang bermanfaat dari mereka. Selama tidak mempengaruhi agama kita dan tidak menimbulkan wala’ (loyalitas) kepada mereka. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun bermuamalah duniawi dengan orang non Muslim. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ وَدِرْعُهُ مَرْهُوْنَةً عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ فِي ثَلاَثِيْنَ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Rasulullah wafat dalam keadaan baju besi beliau masih tergadai pada seorang Yahudi karena beliau mengambil 30 sha’ gandum” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan hadits ini dengan mengatakan,

وفي الحديث جواز معاملة الكفار فيما لم يتحقق تحريم عين المتعامل فيه

“Hadits ini merupakan dalil bolehnya bermuamalah dengan orang kafir selama belum terbukti keharamannya” (Fathul Bari, 5/14).

Sebagian ulama menyatakan Ibnu Sina sudah bertaubat

Ada pendapat yang lemah, karena kebenarannya belum bisa dipastikan, bahwa Ibnu Sina telah bertaubat dari akidah yang menyimpang di akhir hayatnya. Tentu kita sangat berharap ini benar terjadi. Kita bergembira ketika mendengar seseorang itu di atas iman, dari pada mengetahui bahwa ia keluar dari keimanan.

Namun demikian pendapat ini banyak disebutkan oleh para ulama sebagai pendapat yang lemah. Dan yang terpenting kita tetap berlepas diri dan tetap mengingatkan umat dari akidahnya yang sangat melenceng dari akidah Islam. Ketika Ibnu Katsir menyebutkan tentang Ibnu Sina dan pendapat para ulama tentang beliau, Ibnu Katsir menukil satu pendapat:

ويقال: إنه تاب عند الموت, فالله سبحانه وتعالى أعلم

“Terdapat pendapat bahwa beliau bertaubat di akhir hayatnya, sungguh Allah Ta’ala yang lebih mengetahui” (Al-Bidayah Wan-Nihayah, 15/668).

Di sini Ibnu Katsir menggunakan lafadz “yuqaalu”, yang termasuk shighah tamridh. Yaitu lafadz yang mengisyaratkan kelemahan riwayat atau pendapat. Tentang taubatnya Ibnu Sina juga disebutkan oleh Ibnu Khallikan dalam Wafayat al A’yaan (2/160).

Namun keterangan ini bertentangan dengan keterangan banyak ulama besar yang juga pakar dalam bidang tarikh (sejarah), seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyah dan lainnya. Selain itu, Ibnu Sina banyak memiliki penyimpangan fatal dalam masalah akidah, sebagaimana sudah disebutkan. Sedangkan keterangan yang menyebutkan Ibnu Sina telah bertaubat, tidak menyebutkan ia bertaubat dari penyimpangan yang mana. Ini semakin melemahkan pendapat tersebut. Wallahu a’lam.

Penggunaan Nama Ibnu Sina oleh Kaum Muslimin

Setelah kita ketahui sikap para ulama terhadap Ibnu Sina. Bahwa mereka menganggap Ibnu Sina keluar dari Islam. Maka tidak selayaknya kaum Muslimin memberi nama masjid, sarana dakwah, aset-aset dan syiar kaum Muslimin, dengan nama Ibnu Sina. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, beliau berkata,

” لا ينبغي للمسلمين أن يسموا محلاً بأسماء “ابن سينا

“Tidak selayaknya kaum muslimin menamakan tempat dengan nama Ibnu Sina” (Al-Fawaid Al-Jaliyyah, hal. 37).

Karena melakukan hal tersebut, berarti secara tidak langsung juga memuliakan orang kafir dan merekomendasikan akidah kufurnya. Serta tidak adanya bara’ah (sikap berlepas diri) terhadap akidah-akidah yang kufur dan menyimpang. Padahal Allah Ta’ala berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’” (QS. Al Mumtahanah: 4).

Terlebih, masih banyak nama-nama ilmuwan lainnya di bidang kedokteran seperti Abu Qasim Az-Zahrawi dan Ibnu An-Nafis. Wallahu a’lam.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK

Artikel Muslim.or.id

Apa Sih Beda Pacaran dan Ta’aruf? Kamu Harus Tahu Ini

Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang apa sih beda pacaran dan ta’aruf? kamu harus tahu…
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Ustadz, saya mau bertanya, apa beda pacaran dan ta’aruf? mohon penjelasannya Ustadz, Syukron Ustadz.

(Disampaikan oleh Fulan, Member grup WA BiAS)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du

Pacaran jelas dilarang dalam Islam, dimana dalam interaksi pacaran ini bagi yang belum menikah telah melanggar batasan syariat. Ciri-ciri pacaran bisa bermacam-macam; mulai dari melalaikan kewajiban (lalai dari mengingat Allah Ta’ala), melihat yang bukan haknya (wanita asing) dengan pandangan yang tidak halal, berdua-duaan (khalwat), pegang-pegangan (menyentuh yang tidak halal), serta ada yang sampai melakukan zina.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan jauh-jauh hari kepada umatnya akan bahaya yang sangat besar, fitnah wanita bagi lelaki, beliau bersabda,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan setelahku nanti, sebuah bencana yang lebih berbahaya bagi laki-laki melebihi godaan wanita.”
(HR. Bukhari, no. 5096 dan Muslim, no. 2740).

Hukum Asal Ta’aruf

Adapun Ta’aruf berasal dari bahasa Arab, asal katanya berarti perkenalan, jika yang dimaksud adalah melamar calon pasangan dengan perkenalan, caranya dengan berkunjung ke rumah wali calon pasangan, berbicara dengan orang tua tentang niat melamar, maka hal ini disyariatkan.
Atau melalui wali utusan, karena ingin perkenalan, kata populernya melalui jalan ‘mak comlang’ atau biro jodoh maka hal ini boleh dengan tetap menjaga adab-adab Islam.

Ta’aruf Mengalami Perluasan Makna

Akan tetapi jika yang dimaksud Ta’aruf adalah sama dengan pacaran pada zaman sekarang ini atau menyerupai salah satu cirinya, seperti berhubungan melalui jaringan medsos, tidak pernah ketemu tapi saling calling-callingan, bercanda ria bahkan terkesan gombal menggoda, memperkenalkan diri secara lebih mendalam dan mendetail bahkan sampai membongkar rahasia kecil, maka semua perbuatan ini telah menerjang batasan agama, melanggar koridor syariat, sehingga dihukumi terlarang dalam ajaran Islam yang mulia, karena melihat keumuman hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, ia pasti mendapatkannya tidak bisa tidak. Maka zina mata adalah dengan pandangan, zina lisan adalah dengan ucapan, sedangkan jiwa menginginkannya dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan hal itu atau mendustakannya.”
(HR. Bukhari, no. 6243 dan Muslim, no. 2657).

Kapan Pacaran Dibolehkan?

Pacaran dibolehkan ketika anda dan pasangan anda telah sah melalui sebuah akad pernikahan.

Ketika ayah atau wali calon istri telah mengatakan;
“saya nikahkan putri saya yang bernama “fulanah binti fulan” dengan mas kawin “emas 100 gr” dibayar tunai !”

Kemudian Anda (calon suami) menjawab : “Saya terima nikahnya “Fulanah binti fulan” dengan mas kawin yang tersebut dibayar tunai ”

Setelah itu, Anda boleh berpacaran dengan istri Anda, dan tidak ada lagi larangan pacaran. Ta’aruf sangat dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib guna mengenali pasangan masing-masing, untuk sebuah komunikasi terbaik di antara keduanya. Semoga Allah Ta’ala Memberkahi…

Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Kamis, 05 Shafar 1442 H / 24 September 2020 M

BIMBINGAN ISLAM

Bagaimana Kita Memilih Jalan Hidup?

 Allah Swt Berfirman ;

فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ – وَمِنۡهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ – أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّمَّا كَسَبُواْۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ

Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.

Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya.

(QS.Al-Baqarah:200-203)

Ayat ini menggambarkan kepada kita tentang bermacam kondisi manusia dalam kehidupan ini.

(1). Ada yang memiliki pandangan yang sangat dangkal, sehingga ia hanya memikirkan urusannya di dunia dan melupakan akhirat.

فَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا

“Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,”

Ambisinya hanya meraih dunia dan menjadikannya sebagai tujuan akhir dalam hidupnya. Mungkin ia akan meraihnya, namun semua itu fana dan hanya sementara.

Setelah meraih dunia lalu apa? Di akhir ayat tersebut di jawab :

وَمَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖ

“Dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun.”

Dia tidak mendapatkan bagian apapun di akhirat karena memang dia tidak pernah memikirkan dan mempersiapkannya. Maka pada akhirnya mereka termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam Firman-Nya :

خَسِرَ ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأٓخِرَةَۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ

“Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS.Al-Hajj:11)

(2). Di sisi lain ada manusia-manusia yang memiliki pandangan yang jauh. Mereka berusaha meraih kehidupan dunia dan menikmati apa yang telah diberikan Allah kepadanya, namun mereka juga selalu mengingat akhirat sebagai rumah abadinya, tempat ia kembali nanti. Dunia bagi mereka hanya rumah singgah dan akhirat adalah tujuan utama yang sebenarnya.

وَمِنهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”

Mereka berjuang meraih dunia, namun hanya sebagai kendaraan untuk meraih tujuan yang lebih besar yaitu akhirat. Mereka selalu khawatir dengan siksaan akhirat sehingga berhati-hati dalam setiap langkahnya.

Mereka lah orang-orang yang bahagia di dunia dan lebih berbahagia lagi kelak di akhirat.

أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ نَصِيبٞ مِّمَّا كَسَبُواْۚ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ

Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya.

Maka lihatlah kepada diri kita, berada di posisi mana kita sekarang?

KHAZANAH ALQURAN