Bolehkah Seorang Wali Meninggalkan Ajaran Agama?

Ada orang yang beranggapan bahwa sebagian orang yang dianggap wali boleh meninggalkan perkara yang wajib, seperti shalat, atau boleh melakukan hal yang dilarang dalam agama, karena mereka dianggap mengetahui hakikat dari ajaran Islam, atau mereka dianggap mendapat ‘ilham’ dari Allah yang mengizinkan mereka melakukan hal-hal tersebut. Kita, orang-orang biasa, seolah ‘haram’ memprotes perbuatan nyeleneh sang wali karena kita sebagai orang biasa dianggap tidak mengetahui hakikat dibalik perbuatan sang wali tersebut. Bahkan ketika sang ‘wali’ sengaja tidak shalat pun tetap dibela karena dianggap ada ‘ilham’ dari Allah yang mendasari perbuatannya itu. Allahul Musta’an.

Biasanya mereka memberi contoh kasus Nabi Khidir ‘alaihissalam. Nabi Khidir membocorkan perahu dan membunuh seorang anak, yang tentu menurut syariat yang dibawa Nabi Musa ketika itu adalah perbuatan maksiat, namun dibalik perbuatan Nabi Khidir tersebut ternyata beliau diberi ilham oleh Allah untuk melakukannya. Dan ketika Nabi Khidir melakukan perbuatan tersebut, Nabi Musa ‘alaihissalam tidak mengetahui alasan yang mendasari perbuatan ‘maksiat’ tersebut.

Menjelaskan hal ini, Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah berkata:

“Khidir adalah seorang Nabi yang diberi wahyu oleh Allah berupa ilmu yang tidak diketahui oleh Nabi Musa ‘alaihissalam. Allah Ta’ala berfirman:

فَوَجَدَا عَبْداً مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْماً

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami‘ (QS. Al Kahfi: 65)

Kemudian Nabi Khidir menceritakan alasan-alasan atas hal-hal yang Nabi Musa tidak bersabar dalam menghadapinya dan berkata,

 وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya‘ (QS. Al Kahfi: 82)

Syariat Nabi Musa ‘alahissalam ketika itu tidak berlaku untuk seluruh manusia. Tidak sebagaimana syari’at yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu’alaihi Wasallam. Sehingga Nabi Khidir diperkenankan untuk tidak mengikuti syari’at Nabi Musa.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

إن موسى عليه السلام لم تكن دعوته عامة ولم يكن يجب على الخضر اتباع موسى عليهما السلام، بل قال الخضر لموسى إني على علم من الله علمنيه الله ما لا تعلمه وأنت على علم من الله علمكه الله لا أعلمه

‘Dakwah Musa alaihissalam tidak kepada seluruh manusia, dan Nabi Khidir termasuk yang tidak wajib untuk mengikuti syariat Nabi Musa ‘alaihissalam. Bahkan Nabi Khidir berkata kepada Nabi Musa: ‘Aku melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepada saya, yang engkau tidak tahu. Dan engkau melakukan sesuatu berdasarkan ilmu yang diajarkan Allah kepadamu, yang aku tidak tahu’  (Majmu’ Fatawa, 27/59).

Wallahu’alam“.

[ Sumber: http://www.islamweb.net/ver2/Fatwa/ShowFatwa.php?lang=A&Id=37719&Option=FatwaId ]

Adapun setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam diutus, seluruh manusia wajib mengikuti syari’at yang beliau bawa, tanpa kecuali. Allah Ta’ala berfirman:

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

Sehingga tidak ada ‘wali’ yang halal untuk meninggalkan perkara yang wajib atau melakukan perkara yang haram, ia wajib tunduk kepada ajaran agama. Kita tidak meraguan kewalian Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, bahkan beliau adalah Khalilullah. Namun sampai beliau wafat, sama sekali beliau tidak melanggar atau meninggalkan syariat yang telah beliau tetapkan dan ajarkan kepada ummatnya.

Selain itu, ajaran Islam sudah sempurna, tidak mungkin ada penambahan, pengurangan atau pengubahan ajaran agama yang dikirimkan oleh Allah melalui ‘ilham’, wangsit, atau mimpi dari salah seorang manusia setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3)

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Salah Kaprah Mengenai Wali dan Karomah

Tidak sedikit kaum muslimin yang salah paham mengenai definisi wali dan karomah.

Salah Paham Tentang Wali

Banyak orang yang salah memahami mengenai wali. Mereka mengira wali Allah adalah orang-orang yang bisa melakukan perkara-perkara yang ajaib-ajaib. Dari kesalah-pahaman inilah timbul berbagai macam penyimpangan dan kesesatan. Karena orang-orang yang bisa melakukan perkara yang ajaib-ajaib kemudian dikultuskan bahwan disembah.

Wali Terbebas dari Beban Syariat?

Orang-orang awam juga berkeyakinan bahwa wali itu adalah orang yang sudah tidak lagi menjalankan syariat agama, karena sudah mencapai level teratas dalam agama. Jadi mereka orang yang dianggap wali, sudah tidak wajib lagi shalat, tidak wajib puasa, tidak wajib menutup aurat, boleh minum khamr, zina, mencuri, dll. Keyakinan ini jelas batilnya.

Syaikh Muhammad at Tamimi dalam risalah beliau “al Ushul as Sittah” membahas masalah ini, beliau mengatakan:

“Landasan yang kelima: Penjelasan Allah Subhaanahu tentang wali-wali Allah dan perbedaan antara wali Allah dengan pihak-pihak yang menyerupai mereka (wali setan) dari kalangan musuh-musuh Allah kaum munafikin dan kaum fajir (yang banyak berbuat dosa). Cukuplah dalam hal ini ayat dalam surat Ali Imron yaitu firman Allah:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

Katakanlah: Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian…(Q.S Ali Imran ayat 31)

Dan ayat dalam surat al-Maidah yaitu firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad (keluar dari Islam) di antara kalian, Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah…” (Q.S al-Maidah ayat 54)

Dan (dua) ayat dalam Surat Yunus:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ  الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ingatlah, sesungguhnya para Wali Allah itu tidak ada perasaan takut pada mereka dan merekapun tidak bersedih. Mereka adalah orang yang beriman dan bertaqwa.” (Q.S Yunus ayat 62-63)

Kemudian Allah ta’ala menakdirkan ternyata kebanyakan orang yang mengaku berilmu dan mengaku kalau dia adalah da’i kepada Allah dan penjaga syariat bahwa para wali haruslah orang yang meninggalkan ittiba’ (meneladani Rasul) dan yang mengikuti Rasul bukanlah mereka (wali Allah), Wali Allah haruslah meninggalkan jihad, barangsiapa yang berjihad bukanlah wali Allah. Wali Allah haruslah meninggalkan iman dan taqwa, barangsiapa yang berpegang teguh dengan iman dan taqwa bukanlah Wali Allah. Wahai Tuhan kami, kami memohon kepadaMu pemaafan dan ‘afiyat (kesehatan dan keselamatan), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”

[selesai nukilan]

Manusia Paling Mulia Tidak Pernah Meninggalkan Syariat

Padahal manusia yang paling bertaqwa kepada Allah ta’ala, wali yang paling wali, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak pernah meninggalkan syariat bahkan sampai akhir hidupnya. Dari Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika beliau sakit menjelang wafatnya beliau bersabda:

أَصَلَّى النَّاسُ؟ فَقَالُوْا: لَا هُمْ يَنْتَظِرُونَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: ضَعُوا لِي مَاءً فِي الْمِخْضَبِ

“Apakah orang-orang telah melaksanakan shalat?”. Para Sahabat menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu engkau (untuk menjadi imam)”. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Taruhkanlah air untukku pada al-mikhdhab (tempat air)” (HR. Bukhari no.687, Muslim no. 418).

Demikian juga para sahabat Nabi, yang mereka jelas para wali Allah yang mulia, mereka tidak ada yang meninggalkan syariat sampai akhir hayatnya. Lihat bagaimana Umar bin Khathab radhiallahu’anhu ketika sakaratul maut akibat ditusuk oleh Abu Lu’luah, beliau tetap melaksanakan shalat. Dari Musawwar bin Makhramah radhiallahu’anhu:

أنَّه دخَلَ مع ابنِ عبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهما على عُمرَ رَضِيَ اللهُ عَنْه حين طُعِن، فقال ابنُ عبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهما: (يا أميرَ المؤمنين، الصَّلاةَ! فقال: أجَلْ! إنَّه لا حَظَّ في الإسلامِ لِمَنْ أضاعَ الصَّلاةَ)

“Ia masuk ke rumah Umar bin Khathab bersama Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma ketika Umar (pagi harinya) ditusuk (oleh Abu Lu’luah). Maka Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkata: Wahai Amirul Mukminin, ayo shalat! Umar pun menjawab: betul, tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang menyia-nyiakan shalat” (HR. Malik dalam Al Muwatha, 1/39, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/225).

Maka jelaslah kebatilan keyakinan bahwa wali itu adalah orang yang boleh meninggalkan syariat.

Wali Allah adalah Setiap Orang yang Bertaqwa

Allah ta’ala sudah mendefinisikan wali dalam Al Qur’an. Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“dan mereka (kaum Musyrikin) bukanlah wali-wali Allah? Wali-wali Allah hanyalah orang-orang yang bertaqwa. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. Al Anfal: 34).

At Thabari rahimahullah (wafat 310 H) menuturkan:

يعني: الذين يتقون الله بأداء فرائضه, واجتناب معاصيه

“Wali Allah adalah yang bertaqwa kepada Allah, menjalankan semua kewajiban-Nya, dan meninggalkan semua larangan-Nya” (Tafsir Ath Thabari).

As Sa’di rahimahullah menjelaskan:

وهم الذين آمنوا باللّه ورسوله، وأفردوا اللّه بالتوحيد والعبادة، وأخلصوا له الدين‏

“Wali Allah adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka mentauhidkan Allah dalam ibadah dan mengikhlaskan amalan hanya kepada Allah” (Taisir Karimirrahman).

Maka tidak benar bahwa wali Allah itu adalah orang yang punya khawariqul ‘adah (keajaiban-keajaiban). Bahkan semua orang yang beriman dan bertaqwa adalah wali Allah. Semakin tinggi ketaqwaannya dan pengamalannya terhadap syariat agama, semakin tinggi pula kewaliannya.

Para Ulama Sunnah, Mereka Jelas Wali Allah

Jika anda memahami bahwa semua orang yang beriman dan bertaqwa adalah wali Allah. Dan tingkat kewalian itu sebanding dengan ketaqwaan. Maka para ulama ahlussunah, mereka lah yang paling pantas disebut wali. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللهَ قال : من عادَى لي وليًّا فقد آذنتُه بالحربِ

“Sesungguhnya Allah berfirman: barangsiapa yang menentang wali-Ku, ia telah menyatakan perang terhadap-Ku” (HR. Bukhari no. 6502).

Oleh karena itu Imam Asy Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) mengatakan:

إن لم يكن الفقهاء العاملون أولياء الله فليس لله ولي

“Jika para fuqaha (ulama) yang mengamalkan ilmu mereka tidak disebut wali Allah, maka Allah tidak punya wali” (diriwayatkan Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i, dinukil dari Al Mu’lim hal. 21).

Maka para ulama, orang-orang yang mengajarkan agama yang benar, dan juga orang-orang yang belajar agama dan mengamalkannya, merekalah wali-wali Allah yang paling nyata.

Perbedaan Karomah dengan Sihir dan Perdukunan

Syaikh Shalih al Fauzan menjelaskan tentang karomah, “Diantara akidah ahlussunah wal Jama’ah adalah membenarkan adanya karomah wali. Karomah wali adalah perkara khawariqul ‘adah (yang di luar kebiasaan manusia) yang Allah jadikan pada diri sebagian wali-Nya, sebagai pemuliaan bagi mereka. Ini ditetapkan dalam al Qur’an dan as Sunnah. 

Orang-orang Mu’tazilah dan Jahmiyah mengingkari adanya karomah. Mereka mengingkari perkara yang sudah menjadi suatu realita. 

Namun perlu kita ketahui bersama, bahwa di zaman sekarang, banyak orang yang terjerumus dalam kesesatan dalam masalah karomah wali. Mereka ghuluw dalam masalah ini sampai-sampai menganggap sya’wadzah (perdukunan), sihir setan dan dajjal sebagai karomah wali. 

Padahal perbedaannya jelas antara karomah wali dan perdukunan. Karomah dijadikan oleh Allah untuk terjadi pada diri orang yang shalih. Sedangkan sya’wadzah (perdukunan) dilakukan oleh tukang sihir dan orang sesat yang ingin menyesatkan manusia dan meraup harta mereka. Kemudian karomah itu terjadi karena sebab ketaatan dan sya’wadzah terjadi karena kekufuran dan maksiat” (Min Ushuli Aqidah Ahlissunnah, 37-38).

As Sa’di rahimahullah juga menjelaskan:

وشرط كونها كرامة أن يكون من جرت على يده هذه الكرامة مستقيمًا على الإيمان ومتابعة الشريعة ، فإن كان خلاف ذلك فالجاري على يده من الخوارق يكون من الأحوال الشيطانية

“syarat dikatakan karomah adalah ia terjadi pada orang yang lurus imannya dan mengikuti syariat. Jika tidak demikian maka keajaiban yang terjadi padanya adalah dari setan” (Tanbihat Al Lathifah, 107).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

والكرامة موجودة من قبل الرسول ومن بعد الرسول إلى يوم القيامة ، تكون على يد ولي صالح ، إذا عرفنا أن هذا الرجل الذي جاءت هذه الكرامة على يده هو رجل مستقيم قائم بحق الله وحق العباد عرفنا أنها كرامة . 

وينظر في الرجل فإذا جاءت هذه الكرامة من كاهن – يعني : من رجل غير مستقيم – عرفنا أنها من الشياطين ، والشياطين تعين بني آدم لأغراضها أحياناً

“Karomah sudah ada sebelum diutusnya Rasulullah dan tetap ada sepeninggal beliau hingga hari kiamat. Karomah terjadi pada seorang wali yang shalih. Jika orang yang terjadi karomah pada dirinya kita ketahui ia adalah orang yang lurus agamanya, menjalankan hak-hak Allah, dan menjalankan hak-hak hamba, maka kita ketahui itu adalah karomah.

Dan kita lihat seksama pada orang tersebut, jika karomah tersebut terjadi pada seorang dukun, yaitu orang yang tidak lurus agamanya, maka kita ketahui ia adalah dari setan. Setan terkadang membantu manusia untuk melancarkan tujuan-tujuan setan” (Liqa Baabil Maftuh, 8/8).

Karomah yang Paling Sakti

Orang sering mengidentikkan karomah wali dengan kesaktian-kesaktian dan berbagai keajaiban. Namun tahukah anda apa karomah wali yang paling “sakti” menurut para ulama?

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) mengatakan:

في الحقيقة إنما الكرامة لزوم الاستقامة ، وأن الله تعالى لم يكرم عبدا بكرامة أعظم من موافقته فيما يحبه ويرضاه وهو طاعته وطاعة رسوله

“Karomah yang sebenar-benarnya adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah Ta’ala tidak memuliakan seorang hamba dengan suatu karomah yang paling besar kecuali dengan memberinya taufiq untuk tetap melaksanakan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, yaitu taat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya” (Syarah Aqidah Thahawiyah, 2/ 748).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وانما غاية الكرامة لزوم الاستقامة، فلم يكرم الله عبدا بمثل أن يعينه على ما يحبه ويرضاه، ويزيده مما يقربه اليه ويرفع به درجته

“Sesungguhnya karomah yang paling ‘sakti’ adalah seseorang tetap bisa istiqomah. Allah tidak memuliakan seorang hamba dengan kemuliaan yang lebih besar ketimbang ia diberi pertolongan untuk tetap bisa melakukan apa-apa yang Allah cintai dan ridhai, dan menambah apa-apa yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan mengangkat derajatnya di hadapan Allah” (Al Furqan baina Auliya-ir Rahman wa Auliya-isy Syaithan, 1/187).

Maka karomah yang paling sakti bukanlah hal-hal ajaib seperti bisa terbang, bisa jalan di atas air, bisa mengubah daun jadi uang, dan semisalnya. Karomah paling sakti adalah seseorang menghabiskan hari-harinya dalam keadaan bisa istiqamah di atas ketaatan dan tidak bermaksiat. Sungguh ini sangat sulit kita dapati pada diri-diri kita, dan andai ada orang yang bisa demikian, dialah wali Allah yang sejati.

Semoga Allah ta’ala menjadikan kita semua sebagai wali-wali-Nya.

Penulis: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Salah Memahami Hadits Tentang Wali Allah

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz 

Soal:

Orang-orang sufi berdalil dengan hadits:

ولئِن سألَني لأعطينَّهُ

“Jika ia (wali Allah) meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberinya” (HR. Al Bukhari).

bahwa Allah bersatu dengan para walinya (akidah wihdatul wujud). Karena dalam hadits tersebut disebutkan bahwa Allah menjadi pendengarannya dan penglihatannya*).

Jawab:

Ini adalah bentuk kejahilan mereka (kaum sufi). Yang benar, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 

لئِن سألَني لأعطينَّهُ ولئنِ استعاذني لأعيذنَّهُ 

“Jika ia (wali Allah) meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberinya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya” (HR. Al Bukhari). 

Maksudnya, ia mendapatkan taufik untuk menjalankan yang benar. Sebagaimana disebutkan dalam lafadz yang lain: 

كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها

“Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya” 

Maksudnya, ia melakukan semua perbuatannya dengan taufik dari Allah dan hidayah dari Allah. Inilah tafsiran hadits tersebut.

Dan tentu saja, pendengaran seseorang, penglihatan dan perbuatannya itu terjadi atas ketetapan Allah. Namun di sini maksudnya, ia mendapatkan petunjuk dan taufik dari Allah. Ini perkara yang biasa bagi orang Arab, dan bentuk gaya bahasa orang Arab. Oleh karena itulah, dalam riwayat lain lafadznya: 

فبي يسمع 

“ia mendengar dengan (taufik dari) Aku”, untuk menafsirkan makna hadits. 

Namun orang-orang sufiyah mereka jahil dan menyimpang, mereka tidak memahami hal ini. Nas’alullah as salaamah wal ‘afiyah.

Sumber: website resmi Syaikh Abdul Aziz bin Baz, url: https://bit.ly/3mS7u7U 

*) lafadz lengkap dari hadits adalah sebagai berikut. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ قالَ: مَن عادَى لي ولِيًّا فقَدْ آذَنْتُهُ بالحَرْبِ، وما تَقَرَّبَ إلَيَّ عَبْدِي بشيءٍ أحَبَّ إلَيَّ ممَّا افْتَرَضْتُ عليه، وما يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إلَيَّ بالنَّوافِلِ حتَّى أُحِبَّهُ، فإذا أحْبَبْتُهُ: كُنْتُ سَمْعَهُ الذي يَسْمَعُ به، وبَصَرَهُ الذي يُبْصِرُ به، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بها، ورِجْلَهُ الَّتي يَمْشِي بها، وإنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، ولَئِنِ اسْتَعاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وما تَرَدَّدْتُ عن شيءٍ أنا فاعِلُهُ تَرَدُّدِي عن نَفْسِ المُؤْمِنِ، يَكْرَهُ المَوْتَ وأنا أكْرَهُ مَساءَتَهُ

“Allah ta’ala berfirman: Barangsiapa yang memerangi wali-Ku, maka ia mengumumkan perang terhadap-Ku. Dan ketika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku, maka tidak ada yang paling Aku cintai melebihi perkara-perkara yang Aku wajibkan kepadanya. Dan ketika seorang hamba senantiasa melakukan amalan-amalan sunnah, maka aku semakin mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, maka Aku lah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, pukulan tangannya, dan langkah kakinya. Jika ia meminta kepada-Ku, akan Aku berikan. Jika ia minta perlindungan kepadaku, akan Aku lindungi. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti Aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman. Dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya” (HR. Bukhari no. 6502).

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel: Muslim.or.id

Antara Tasbih dan Istighfar?

Allah Swt Berfirman :

فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS.An-Nashr:3)

Dalam ayat ini Allah Swt menggabungkan antara Tasbih dan Istighfar. Padahal keduanya memiliki konteks yang berbeda. Istighfar adalah upaya untuk menghapus dosa-dosa sementara tasbih adalah mensucikan Allah dan mencari kesempurnaan serta derajat yang tinggi.

Lalu pertanyaannya, mana yang lebih utama, tasbih atau istighfar?

Seorang bijak ditanya, “Mana yang lebih bermanfaat bagi seseorang, apakah tasbih atau istighfar ?”

Orang bijak itu menjawab, “Bagi pakaian yang bersih, maka wewangian dan air mawar itu lebih bermanfaat baginya. Namun bagi baju yang kotor, maka sabun lebih dibutuhkan baginya.”

Tasbih adalah wewangian bagi orang-orang yang suci. Sementara istighfar adalah sabun bagi ahli maksiat.

Maka dua hal ini memiliki fungsi yang berbeda. Istighfar membersihkan kita dari dosa dan tasbih menambah kemuliaan didalamnya.

Poin penting lainnya yang sayang untuk dilewatkan adalah bahwa kita tidak mampu bersyukur kepada Allah sebagaimana mestinya, karenanya kita mendahulukan tasbih sebelum mengucap syukur dan istighfar.

Seperti halnya para Malaikat yang selalu bertasbih kepada Allah sebelum mengucap syukur dan memohon ampunan kepada-Nya.

وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَيَسۡتَغۡفِرُونَ لِمَن فِي ٱلۡأَرۡضِۗ أَلَآ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Dan malaikat-malaikat bertasbih memuji Tuhannya dan memohonkan ampunan untuk orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS.Asy-Syura:5)

وَتَرَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ حَآفِّينَ مِنۡ حَوۡلِ ٱلۡعَرۡشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡۚ وَقُضِيَ بَيۡنَهُم بِٱلۡحَقِّۚ وَقِيلَ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

Dan engkau (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling ‘Arsy, bertasbih sambil memuji Tuhannya; lalu diberikan keputusan di antara mereka (hamba-hamba Allah) secara adil dan dikatakan, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS.Az-Zumar:75)

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Menghidupkan Perpustakaan Masjid

Selain menjadi tempat ibadah, Masjid Agung Cianjur pun me nyediakan perpustakaan umum. Meskipun sarana yang berada di lantai dua ini baru berdiri sejak 2007 lalu, namun perkembangannya cukup pesat. Hal itu bisa dilihat dari jumlah bu ku yang ada di perpustakaan. Pada 2007 lalu, jumlah judul buku di perpustakaan hanya 200 buku. Saat ini, jumlahnya telah meningkat menjadi 1.000 lebih judul buku.

Jumlah buku diupayakan terus meningkat dari tahun ke tahun,’’ ungkap Kepala Perpustakaan masjid Agung Cianjur, Jujun Darmawan. Penambahan buku-buku di perpustakaan mendapatkan bantuan dari Perpustakaan Daerah (Perpusda) Pemkab Cianjur.

Menurut Jujun, sebagian besar koleksi buku yang ada di masjid, berkaitan dengan pengetahuan agama Islam. Persentase buku agama mencapai sekitar 80 persen, sementara sisanya pengetahuan umum. Kata dia, buku yang ada di perpustakaan sebagian be sar dikemas untuk kalangan remaja.

Misalnya, ucap dia, pemberian pemahaman keIslaman melalui cerita atau novel. Sehingga tidak heran, 70 persen pengunjung perpustakaan adalah pelajar mulai dari tingkatan SD hingga SMA. Sementara sisanya adalah para mahasis wa dan masyarakat umum lainnya. Dari data yang ada, jumlah anggota perpustakaan masjid kini mencapai sekitar 650 orang.

Jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah banyak seiring dengan semaraknya kegiatan di dalam masjid. Untuk memuaskan minat baca pengunjungnya, kata Jujun, maka jam buka perpustkaan masjid tidak sama dengan di tempat yang lain. Pasalnya, perpustakaan baru buka pada pukul 13.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Jadwal buka hanya lima hari mulai dari Senin hingga Jumat,’’ tutur dia.

Namun, terkadang perpustakaan juga membuka layanan di hari sabtu ketika ada kegiatan besar keagamaan. Menurut Jujun, kehadiran perpustakaan di dalam masjid menjadikan jamaah betah berada di lingkungan masjid. Walaupun diakuinya, sarana yang ada di perpustakaan masih sangat terbatas, bila dibandingkan dengan yang lain.

Sementara itu, salah seorang pengunjung perpustakaan, Ahmad Tohari yang merupakan mahasiswa di Cianjur berharap, jumlah koleksi buku di perpustakaan masjid dapat ditambah. Perpustakaan masjid jangan kalah dengan perpustakaan umum, ucap dia. Ahmad merasa bertambah wawasan pengetahuan agama dengan membaca buku yang ada di perpustakaan. Selain itu, dia bisa melakukan kegiatan ibadah bersa ma dengan warga lainnya. 

IHRAM



Memberi Upah Pada Pengamen, Bolehkah?

Pertanyaan: izin bertanya ustadz, belakangan ini kita terutama yang di jogja, di jalan-jalan perkotaan, atau pemberhentian di lampu traffic light, kita mendapati banyak orang yang mengamen, entah dengan model musik angklung, atau gitaran, atau yang sedang menjamur model mengamen dengan memakai kostum boneka menari yang diiringi musik, pertanyaannya, dalam pandangan islam apakah boleh memberikan upah pada para pengamen tersebut? Syukron.

Jawaban:

Bismillah, alhamdulillah, was sholatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala aalihi wa sohbihi wa man waalah, wa ba’du

Penanya yang budiman, telah lalu beberapa pembahasan perihal musik dan hukum yang berkaitan dengannya, diantaranya pada artikel bimbinganislam berikut: https://bimbinganislam.com/hukum-musik/ , juga dalam artikel berikut: https://bimbinganislam.com/hukum-musik/ dan beberapa artikel yang lainnya, yang kesimpulan akhirnya adalah diharamkan memainkan ala-alat musik karena adanya banyak dalil yang melarang hal tersebut, bahkan para ulama pun banyak yang menukilkan adanya ‘ijma/konsensus dalam tema ini, diantaranya perkataan al-Imam Abu al-Husain al-Bagowy rohimahullah:

وَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيم المزامير والملاهي وَالْمَعَازِف ” انتهى من ” شرح السنة ” 12/383

“Para ulama bersepakat haramnya penggunaan seruling, alat-alat yang melalaikan, dan alat-alat musik secara umum”. (Syarhu al-Sunnah juz:12 hal:383)

Juga pernyataan Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali rohimahullah:

آلَةُ اللَّهْوِ كَالطُّنْبُورِ ، وَالْمِزْمَارِ … آلَةٌ لِلْمَعْصِيَةِ ، بِالْإِجْمَاعِ ” انتهى من ” المغني ” 9/132

“Alat-alat yang melalaikan seperti gendang, seruling…kesemuanya adalah alat-alat kemaksiatan secara konsensus ulama”. (Al-Mughny juz:9 hal:132)

Bahkan telah banyak para ulama lintas madzhab yang menukilkan adanya konsensus perihal haramnya nyanyian yang dibarengi dengan alat-alat musik, diantaranya seperti Imam Ibnu Jarir al-Thabary, Imam Abu Bakr al-Aajury, Imam Abu al-Thayyib al-Thabary al-Syafii, Imam Abu Amr ibnu Solah dan yang selain mereka, statement mereka bisa dilihat pada kita “al-Rad ‘ala al-Qhardhawy wa al-Judai’ mulai hal:351”, atau juga bisa dilihat pada kita “Ighotsatu al-Lahfan oleh Ibnu al-Qayyim juz:1 hal 415”.

Dari sedikit paparan di atas, kita simpulkan bahwa memainkan alat-alat musik hukumnya terlarang menurut sudut pandang agama kita, jika hal tersebut dilarang, maka tidak diperkenankan untuk mencari penghidupan dengan perantara alat-alat musik, konsekuensinya adalah tidak boleh seseorang mengamen, menjadi biduan, membentuk group musik, band dan yang sejenisnya, karena pekerjaan-pekerjaan tersebut pasti tidak terlepas dari permasalahan musik.

Ketika pekerjaan-pekerjaan tersebut terlarang menurut perspektif agama, hasil uang yang didapatkan pun tidak terhitung sebagai hasil yang halal, justru merupakan hasil yang haram.

Ketika kita tahu bahwa penghasilan mereka adalah haram, lantas apakah kita boleh memberi upah mereka atas jasa bermusiknya, bernyanyinya dan berjogetnya? Jawabnya adalah tidak dibolehkan kita memberi, dalam kaidah fiqih disebutkan:

ما حرم أخذه حرم إعطاؤه

“Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”

Maksud dari kaidah ini adalah: bahwa sesuatu yang haram untuk diambil oleh seseorang (pihak pertama), maka diharomkan pula bagi orang lain (pihak kedua) untuk memberikannya pada orang tersebut (pihak pertama), entah pemberian tersebut diberikan begitu saja, ataukah diberikan karena landasan timbal balik dari suatu pekerjaan. (al-Mumti’ fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah hal:345)

Dalil dari kaidah ini adalah firman Allah ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al-Maidah: 2)

Sisi pendalilan dari ayat tersebut: bahwa ketika memberikan sesuatu yang diharamkan terhitung sebagai bentuk pertolongan kepada orang lain untuk mengambil perkara yang haram, maka ini masuk pada kategory saling tolong menolong dalam dosa, padahal ayat telah menegaskan terlarangnya hal tersebut, oleh karenanya jadilah perkara memberikan sesuatu yang haram hukumnya pun adalah haram, sebagaimana hukum asal bagi orang yang mengambilnya juga haram.

Sebagaimana dalam dalil yang lain, hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لعن الله آكل الربا وموكله

“Allah melaknat pemakan harta riba dan orang yang memberikan harta riba tersebut”. (H.R Muslim no:1218)

Sisi pendalilan dari hadist tersebut: dalam hadist tersebut datang penjelasan adanya laknat bagi orang yang memakan/mengkonsumsi harta riba (pelaku), juga kepada orang yang memberikan harta riba tersebut (korbannya), hadist ini secara gamblang menjelaskan bahwa “Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”, karena kedua orang yang disebutkan dalam hadist mereka saling tolong menolong dalam kebatilan.

Hasilnya, tidak diperkenankan bagi kita memberikan upah, recehan, atau materi lainnya kepada para pengamen tersebut, karena penghasilan mereka dari bermusik dan berjoget adalah penghasilan yang haram, dan kita tidak diperkenankan untuk memberi mereka upah, jika kita berikan berarti kita mendukung dan ikut bertolong menolong dalam perbuatan dosa. Betapa banyak sebagian saudara kita yang mengamen (walau tidak semua) , selain mereka menjadi lalai karena sebab musiknya, rata-rata juga banyak yang akhirnya lalai dari ibadah, sampai-sampai waktu solat, adzan berkumandang mereka tidak berhenti dan tidak memenuhi panggilan ilahi untuk ke masjid.

Bentuk lain pengaplikasian dari kaidah fiqih yang disebutkan, misalnya seperti haramnya memberikan tambahan pinjaman (riba), karena tambahan itu haram untuk diambil oleh pemilik piutang, si penghutang pun haram untuk memberikannya.

Aplikasi lain misalnya, telah jelas secara syari bahwa seseorang tidak boleh menerima uang suap/sogokan, maka hukumnya juga haram bagi yang memberikan suap, karena kaidah mengatakan:

ما حرم أخذه حرم إعطاؤه

“Sesuatu yang haram untuk diambil/diterima, maka juga haram untuk memberikannya”.

Ada pengecualian ketika seseorang boleh memberikan upah bagi pengamen, ini dalam kondisi ketika darurat, yaitu ketika terkadang sebagian pengamen memaksa harus diberi ketika meminta upah, dan ditakutkan ketika tidak memberi upah pada pengamen tersebut justru nanti akan mencelakakan keselamatan atau membahayakan, maka silahkan diberi, ini dalam rangka menangkal mudhorot yang akan menimpa, atau karena darurat yang ada sehingga menjadi boleh melakukan perkara haram karena terdesak, dalam kaidah fiqih dikatakan:

الضرورات تبيح المحذورات

“Kondisi darurat membolehkan seseorang melakukan perkara yang terlarang”.

Adapun bagi sebagian kaum muslimin yang mungkin terlanjur punya profesi mengamen, atau biduan, atau bermusik, punya group band, kami memaklumi bahwa memang mencari nafkah terkadang memang susah, yang kemudian menjadikan sebagian dari kaum muslimin terjatuh kepada profesi-profesi yang tidak diperbolehkan, disinilah ujian kita sebagai seorang yang beriman, namun kemudian setelah ketika kita tahu bahwa ternyata profesi kita tidak diperbolehkan menurut tinjauan agama, maka kami mengajak saudara-saudara sekalian, alangkah lebih bagusnya untuk kita tinggalkan profesi tersebut, sembari berusaha semaksimal mungkin mencari mata pencaharian lain yang halal, sungguh seseorang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“من ترك شيئا لله عوضه الله خيرا منه” صححه الألباني في حجاب المرأة المسلمة

“Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Dia (Allah) akan menggantinya dengan hal yang lebih baik”. (Dishahihkan oleh al Baani dalam Hijab al Mar’ah al Muslimah)

Percayalah kepada Allah, pasti akan ada jalan keluar jika kita mampu meninggalkan yang haram.

Semoga Allah beri taufiq pada semuanya..

Disusun oleh:
Ustadz Setiawan Tugiyono, M.H.I حفظه الله

BIMBINGAN ISLAM

Larangan Mencela Pemerintah

Larangan Mencela Pemerintah

بســـمے اللّه الرّحمنـ الرّحـيـمـے
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Kaum Muslimin,
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga kita semuanya.

Mencela penguasa di dalam Islām merupakan pelanggaran syariat, dan ini adalah termasuk sesuatu yang dilarang didalam agama kita dan bahkan ini adalah termasuk penghinaan terhadap penguasa sebagaimana yang datang di dalam sebuah hadīts, bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang menghina sultan Allāh (menghina seorang sultan/ menghina seorang penguasa/ menghina seorang pemimpin) di bumi, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menghinakan orang tersebut. “

(Hadīts Shahīh riwayat Tirmidzi nomor 2224)

⇒ Menunjukan kepada kita tentang diharāmkannya dan dilarangnya seseorang mencela penguasa.

Kemudian mencela penguasa adalah termasuk benih fitnah dan ini adalah awal dari sebuah kerusakan dan awal terjadinya sesuatu yang lebih besar dari itu yang dinamakan dengan pemberontakan terhadap penguasa.

Dan kita tahu, bahwasanya pemberontakan adalah sebab dari kerusakan, baik kerusakan dunia maupun kerusakan agama seseorang. Dan tidaklah terbunuh khalifah yang ketiga yaitu ‘Utsmān bin Affan Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu kecuali sebabnya karena awalnya ada sebagian kaum Muslimin yang mencela dan juga menghinakan beliau Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Mencela seorang penguasa bukan jalan yang benar, untuk mengatasi dan memperbaiki sebuah keadaan, Islām telah mengajarkan umatnya bagaimana mereka memperbaiki keadaan,

→ Memperbaiki keadaan penguasa
→ Memperbaiki keadaan rakyat

Apabila seseorang melihat kesalahan dari seorang penguasa atau pemerintah maka hendaklah dia terlebih dahulu husnudzan, terlebih dahulu dia berbaik sangka kepada pemerintah tersebut.

Kemudian apabila dia ingin menasehati, maka hendaklah dia menasehati dengan baik dan bukan dengan cara yang kasar, demikian pula diusahakan supaya nasehat tersebut adalah nasehat yang rahasia, yang tidak mengetahui kecuali dia dan penguasa tersebut.

Demikian pula diantara adab seorang rakyat, di dalam memperbaiki keadaan penguasa hendaklah dia berdo’a kepada Allāh, berdo’a kepada Allāh dengan do’a yang ikhlās.

√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memperbaiki penguasa dia.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepadanya.
√ Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan ketaqwaan kepadanya.

⇒ Demikianlah seorang Muslim, berdo’a kepada Allāh supaya Allāh memperbaiki penguasa.

Demikian pula memohon kepada Allāh supaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan penguasa tersebut adalah:

√ Penguasa yang lemah lembut terhadap rakyatnya.
√ Menegakan agama Allāh Azza wa jal.

⇒ Bukanlah sikap seorang Muslim yang baik mendo’akan kejelekan kepada seorang penguasa, mendo’akan kejelekan dengan melaknat dia atau mendo’akan supaya dia mendapatkan kehancuran didunia dan juga diakhirat. Tidak!

Inilah yang membedakan antara seorang ahlulsunnah waljama’ah dengan yang lain, mereka senantiasa menjaga ucapan mereka dari mencela penguasa, mencela pemerintah. Karena keumuman firman Allāh Azza wa jal, ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan tentang persaudaraan diantara orang-orang yang berimān.

Selama penguasa (pemerintah) tersebut adalah seorang Muslim maka mereka adalah saudara kita, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

(QS Al Hujurāt: 10)

Dan diantara hak seorang Muslim atas Muslim yang lain dilarang kita saling menghinakan, dilarang kita saling mencela satu dengan yang lain.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ

“Wahai orang-orang yang berimān, janganlah sebagian kaum menghina sebagian yang lain, mungkin mereka lebih baik daripada mereka”.

(QS Hujurāt: 11)

Seorang Muslim harām atas Muslim yang lain, apanya?

√ Hartanya
√ Darahnya
√ Kehormatannya

Tidak boleh seorang muslim mencela kehormatan muslim yang lain, dan telah datang dari sebagian shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu (sebagian salaf) seperti Anas bin Mālik Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu dan juga yang lain, beliau mengatakan:

كَانَ اْلأَكَابِرُ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَوْنَنَا عَنْ سَبِّ اْلأُمَرَاءِ

“Dahulu para pembesar shahābat nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kami untuk mencela para penguasa.”

(Hadīts Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam At-tamhid)

Ini menunjukan bagaimana sikap para shahābat Radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum yang mereka adalah panutan kaum Muslimin, bahwasanya mereka melarang kita semua untuk mencela para ‘umara mencela para penguasa kita.

Demikian pula telah datang dari Abdullāh Ibnu Mubārak rahimahullāh bahwasanya beliau mengatakan:

مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلعُلَمَاءِ ذَهَبَتْ آخِرَتُهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِالسُّلْطَانِ ذَهَبَتْ دُنْيَاهُ وَ مَنِ اسْتَخَفَّ بِاْلإِخْوَانِ ذَهَبَتْ مُرُوْءَتُهُ

“Barangsiapa yang mencela (menghinakan) para ulamā maka akan hilang akhiratnya dan barangsiapa yang mencela para ‘umara (para penguasa) maka akan hilang dunianya dan barangsiapa yang mencela dan merendahkan saudaranya maka akan hilang kehormatannya.”

(Siyar A’lam an-Nubala XVII/251)

Semoga apa yang kita sampaikan ini bermanfaat, Wabillāhi taufīq wal hidayah.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________

BimbinganIslam.com
Ustadz ‘Abdullāh Roy, Lc. MA
Materi Tematik | Larangan Mencela Pemerintah
⬇️ Download audio: bit.ly/BiAS-Tmk-AR-LaranganMencela

BIMBINGAN ISLAM

Doa Masuk dan Keluar Masjid Lengkap dengan Artinya

Masjid adalah rumah Allah SWT. Tentunya kita harus membaca doa masuk dan keluar masjid. Hal ini dapat mencegah kita melakukan hal-hal yang melanggar etika saat berada di masjid.

Masjid bisa jadi ladang kebaikan dan lautan ampunan bagi siapa saja yang memasukinya. Namun sebaliknya, rumah ibadah ini bisa menyumbangkan dosa ketika kamu melanggar etika masjid di dalamnya seperti menyebarkan kebencian dan kemunkaran di masjid.

Dikutip dalam buku berjudul “Zikir dan Doa Penghuni Surga” oleh Supriyadi disebutkan bahwa masjid adalah milik Allah SWT. Jika hendak bertamu tentunya kita harus beretika baik. Dalam hal ini, QS Al-Jinn (72): 18 menegaskan secara lebih nyata:

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka, janganlah kamu menyembah seseorang pun didalamnya di samping (menyembah) Allah.”

Selain itu, masjid juga digunakan sebagai tempat berdakwah. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9) ayat 18:

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Berikut ini doa masuk masjid lengkap yang dikutip dalam islam.nu.or.id agar Allah selalu membimbing perilaku kita di dalam masjid. Pastikan ketika masuk masjid, dahulukan kaki kanan.

أَعُوْذُ بِاللهِ العَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ. أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Doa masuk masjid latin:

A’ûdzu billâhil ‘azhîm wa biwajhihil karîm wa sulthânihil qadîm minas syaithânir rajîm. Bismillâhi wal hamdulillâh. Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa ‘alâ âli sayyidinâ muhammadin. Allâhummaghfirlî dzunûbî waftahlî abwâba rahmatik.

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Besar, kepada Dzat-Nya Yang Maha Mulia, dan kepada kerajaan-Nya Yang Sedia dari setan yang terlontar. Dengan nama Allah dan segala puji bagi Allah. Hai Tuhanku, berilah shalawat dan sejahtera atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad. Hai Tuhanku, ampuni untukku segala dosaku. Buka lah bagiku segala pintu rahmat-Mu,” (Lihat Sayid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta)

Sedangkan ini adalah doa ketika kita keluar masjid:

أعُوْذُ بِاللهِ العَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلهِ. أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذُنُوْبِي وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ فَضْلِكَ

Latin:
A’ûdzu billâhil ‘azhîm wa biwajhihil karîm wa sulthânihil qadîm minas syaithânir rajîm. Bismillâhi wal hamdulillâh. Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ muhammadin wa ‘alâ âli sayyidinâ muhammadin. Allâhummaghfirlî dzunûbî waftahlî abwâba fadhlik.

Artinya, “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Besar, kepada Dzat-Nya Yang Maha Mulia, dan kepada kerajaan-Nya Yang Sedia dari setan yang terlontar. Dengan nama Allah dan segala puji bagi Allah. Hai Tuhanku, berilah shalawat dan sejahtera atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad. Hai Tuhanku, ampuni untukku segala dosaku. Bukakan lah bagiku segala pintu kemurahan-Mu,” (Lihat Sayid Utsman bin Yahya, Maslakul Akhyar, Cetakan Al-‘Aidrus, Jakarta)

Jadi mulai sekarang yuk, baca doa sebelum masuk dan saat keluar masjid!

DETIK

Tertarik untuk wakaf Jam Masjid? SIlakan mampir ke Toko Albani

Ini Adab Masuk dan Keluar Masjid Lengkap dengan Doanya

Ketika masuk ke dalam masjid, seorang muslim hendaklah memperhatikan adab-adab masuk atau keluar masjid. Dalam buku ‘Adab dan Doa Sehari-hari untuk Muslim Sejati’ oleh Thoriq Aziz Jayana masjid adalah rumah Allah. Sehingga kita wajib memuliakan masjid dan masuk dengan keadaan berakhlak dan menggunakan adab-adab yang baik saat di masjid.

Allah SWT berfirman dalam surat Annur ayat 36-37:

“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. Annur: 36-37).

Rasulullah SAW bersabda,
“Apabila kamu hendak masuk masjid, jika kamu melihat kotoran atau najis pada kedua sandalmu, bersihkanlah terlebih dahulu…” (HR. Abu Dawud).

Dalam hadits lain disebutkan, “Rasulullah memerintahkan untuk membangun masjid di kampung-kampung, membersihkan dan diharumkannya.” (HR. Ahmad).

Berikut ini beberapa adab dan doa yang dibaca dan dilakukan ketika berada di masjid sampai keluar masjid:

Adab Masuk Masjid

1. Doa keluar rumah
Saat keluar dari rumah menuju masjid, sebaiknya bacalah doa berikut:

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Arab-latin: “Bismillahi tawakkaltu’alallahi laa hawla wa laa quwwata illa billahi.”
Artinya: “Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali Allah.”

2. Doa menuju masjid
Ketika berada dalam perjalanan menuju masjid, bacalah doa ini:

اَللهُمَّ اجْعَلْ فِىْ قَلْبِى نُوْرًا وَفِى لِسَانِىْ نُوْرًا وَفِىْ بَصَرِىْ نُوْرًا وَفِىْ سَمْعِىْ نُوْرًا وَعَنْ يَسَارِىْ نُوْرًا وَعَنْ يَمِيْنِىْ نُوْرًا وَفَوْقِىْ نُوْرًا وَتَحْتِىْ نُوْرًا وَاَمَامِىْ نُوْرًا وَخَلْفِىْ نُوْرًا وَاجْعَلْ لِّىْ نُوْرًا


Arab-latin: “Alloohummaj-‘al fii qolbhii nuuroon wa fii lisaanii nuuroon wa fii bashorii nuuroon wa fii sam ‘ii nuuroon wa ‘an yamiinii nuuroon wa’an yasaarii nuuroon wa fauqii nuuroo wa tahtii nuuroo wa amaamii nuuroon wa kholfii nuuroon waj-‘al lii nuuroon.”

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah di hatiku cahaya, pada lisanku cahaya dalam pendengaranku cahaya, di pandanganku cahaya, dari kananku cahaya, dari kiriku cahaya, dari atasku cahaya, dari bawahku cahaya, dari depanku cahaya, belakangku cahaya, dan jadikanlah untukku cahaya.”

3. Berjalanlah ke masjid tanpa tergesa-gesa
4. Pastikan ketika berangkat ke masjid sudah dalam keadaan suci.
5. Mengenakan pakaian yang sopan, bersih dan suci.
6. Perbanyak dzikir dan bershalawat.
7. Sampai di masjid, lepaskan alas kaki yang dimulaid ari kiri terlebih dulu kemudian baru diikuti dengan bagian kanan.
8. Masuk ke dalam masjid dengan mendahulukan kaki kanan.
9. Membaca doa masuk masjid berikut ini:


اَللهُمَّ افْتَحْ لِىْ اَبْوَابَ رَحْمَتِكَ

Arab-latin: “alloohummmaf tahlii abwaaba rohamtika.”
Artinya: “Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.”

10. Mengerjakan sholat tahiyatul masjid dua rakaat

Sholat tahiyatul masjid termasuk sunnah yang dianjurkan. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya. Sabda Nabi:

“Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan sholat sunnah dua rakaat (sholat sunnah tahiyatul masjid).” (HR. Bukhari Muslim).

Adab Keluar Masjid

1. Keluar dengan mendahulukan kaki kiri.
2. Berdzikir kepada Allah dan bershalawat serta salam kepada Nabi.
Rasulullah SAW bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, hendaklah ia mengucapkan salam atas Nabi dan mengatakan; “Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu bagiku. Apabila ia hendak keluar, maka ucapkanlah salam atas Nabi dan mengatakan: “Ya Allah, lindungilah aku dari gangguan setan.” (HR. Ibnu Majah).
3. Berniat untuk kembali ke masjid untuk melakukan sholat sesudahnya. Hal ini termasuk adab untuk mengaitkan hati dengan masjid. Sehingga ketika panggilan sholat berkumandang, Anda akan datang kembali ke masjid.

DETIK


Tilik Saat Pandemik

Tilik merupakan salah satu kebiasaan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan ulama.

Beberapa waktu lalu, film pendek berjudul Tilik viral dan menjadi perbincangan publik. Tilik merupakan film pendek yang memenangkan penghargaan Maya Award of Best Short Film dan sudah ditonton lebih dari 24 juta kali. Sesuai dengan judulnya, tilik yang dalam bahasa Jawa artinya ‘menjenguk’, film ini bercerita tentang sekumpulan ibu-ibu yang hendak menjenguk Bu Lurah yang sedang sakit. 

Tilik merupakan salah satu kebiasaan Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan ulama. Itu menjadi bukti perhatian Nabi Muhammad kepada para sahabatnya. Dan di Indonesia, tilik telah menjadi budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Ada beberapa keutamaan tilik orang sakit, sebagaimana dijelaskan dalam hadis: “Apabila seseorang menjenguk saudaranya yang Muslim (yang sedang sakit), maka (seakan-akan) dia berjalan sambil memetik buah-buahan surga sehingga dia duduk, apabila sudah duduk maka diturunkan kepadanya rahmat dengan deras. Apabila menjenguknya pada pagi hari maka 70 ribu malaikat mendoakannya agar mendapatkan rahmat hingga waktu sore tiba. Apabila menjenguknya pada sore hari maka 70 ribu malaikat mendoakannya agar diberi rahmat hingga waktu pagi tiba.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dengan sanad sahih).

Tilik orang sakit merupakan kewajiban seorang Muslim. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: “Hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada enam.”

Sahabat bertanya, “Apa saja, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, bila ia mengundangmu maka hadirilah, bila ia meminta nasihat maka nasihatilah, bila ia bersin dan memuji Allah (mengucap alhamdulillah) maka jawablah (dengan mengucapkan: yarhamukallah), bila ia sakit maka jenguklah, dan bila ia meninggal dunia maka antarkanlah (jenazahnya hingga makam).” (HR Muslim).

Pada saat kita tilik, ada kebahagiaan dari yang sedang sakit dan keluarganya karena kepedulian yang kita berikan. Bagi orang yang membesuk, kita dianjurkan untuk mendoakan orang yang sakit, yakni “La ba’sa thahuurun insya Allah”. Artinya, “Tidak mengapa, semoga sakitmu ini membersihkanmu dari dosa-dosa, insya Allah.” (HR al-Bukhari).

Lantas, bagaimana mau tilik orang sakit saat pandemik? Tidak semua orang yang sakit dapat kita tilik. Bisa karena larangan dari dokter dan keluarganya, bisa juga karena dikhawatirkan akan tertular dari penyakit yang dialaminya. Jika tidak memenuhi dua kriteria tersebut, tentu tidak ada masalah melaksanakan anjuran Nabi SAW untuk tilik orang sakit.

Namun, jika yang akan ditilik memiliki penyakit yang membahayakan orang lain, seperti terkena virus korona, maka tidak perlu ditilik karena mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya. Namun sebaliknya, jika ternyata orang yang sakit aman untuk ditilik walaupun saat pandemik, maka sebaiknya dilakukan.

Tentu dengan tetap menggunakan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun atau handsanitizerWallahu a’lam.

OLEH FAOZAN AMAR

KHAZANMAH REPUBLIKA