Hukum Talak dengan Sekedar Niat

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan :

فضيلة الشيخ، لو أن إنساناً نوى الطلاق، هل يقع الطلاق؟

Fadhilatusy Syaikh,  jika ada seseorang yang baru berniat untuk mentalak istrinya, apakah telah jatuh talak?

Jawab :

Apabila seseorang berniat untuk mentalak, maka belumlah jatuh talak. Bahkan apabila ada bisikan hati bahwa dia telah mentalak istrinya, maka belumlah jatuh talak kepada istrinya. Jika ada orang yang mengatakan (dalam hatinya), “Aku akan menulis surat cerai untuk istriku sekarang, kemudian dia mengambil kertas dan pena”, akan tetapi dia tidak jadi melakukannya, maka talak belum jatuh kepada istrinya. Dalil akan hal ini berasal dari sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam :

إن الله تجاوز عن أمتي ما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أو تتكلم

“Sesungguhya Allah memaafkan bisikan hati dalam diri umatku, selama belum dilakukan atau diucapakan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ini adalah nikmat yang besar dari Allah Ta’ala, yang mana hal ini sering terjadi pada manusia yang normal.

Adapun orang yang terkana was-was tentang perkara talak ini, maka talaknya belum jatuh walaupun dia sempat mengucapkan ucapan talak. Hal ini dikarenakan sebagian orang – semoga Allah memberi keselamatan kepada kita – diuji dengan dengan penyakit was-was di dalam hubungan rumah tangganya. Seperti dijumpai sebuah peristiwa yang mana sang suami mentalak istrinya dengan alasan karena ada sesuatu yang memaksanya. Bahkan ada sebagian orang yang ingin mencari sebuah catatan atau buku untuk dibaca, namun setan pun membisikan ke dalam hatinya, “Jika aku mencari buku ini, maka aku akan ceraikan istriku”. Sampai-sampai setan terus membisikkan was-was ini dalam setiap keadaan. Peristiwa ini belumlah teranggap talak sama sekali, sampai walaupun dia telah menulis dengan tangannya dan mengucapkan dengan lidahnya. Dalil akan hal tersebut adalah sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam : 

لا طلاق في إغلاق

“Tidak ada talak dalam keadaan tertutup akalmya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad).

Makna ighlaq adalah akal seseorang tertutup sehingga ia melakukan sesuatu yang di luar keinginannya.

Sumber https://ar.islamway.net/fatwa/76117

Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo

Artikel: Muslim.or.id

Shalat, Sebab Penggugur Dosa

Salah satu buah (pahala) yang agung dari ibadah shalat adalah bahwa shalat tersebut adalah sebab dosa-dosa terampuni dan terhapusnya kesalahan-kesalahan kita. Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu dan shalat Jumat ke Jumat berikutnya adalah penghapus untuk dosa di antaranya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)

Juga diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ

“Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian, lalu dia mandi lima kali setiap hari? Apakah kalian menganggap masih akan ada kotoran (daki) yang tersisa padanya?”

Para sahabat menjawab,

لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا

“Tidak akan ada yang tersisa sedikit pun kotoran padanya.”

Lalu beliau bersabda,

فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُواللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

“Seperti itu pula dengan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus semua kesalahan.” (HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 283)

Memohon Ampunan dalam Semua Posisi Shalat

Dalam semua posisi shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa memohon ampunan. Hadits-hadits yang semakna dengan dua hadits di atas sangatlah banyak. Oleh karena itu, disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon ampunan ketika shalat, baik dalam doa istiftah, ruku’, sujud, duduk antara dua sujud, dan juga sebelum dan sesudah salam.

Ketika ruku’ dan sujud, kita disyariatkan membaca,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Subhaanakallahumma rabbanaa wa bihamdika allahummagh firlii (Mahasuci Engkau wahai Tuhan kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku.)” (HR. Bukhari no. 794 dan Muslim no. 484)

Hadits di atas diceritakan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Doa lain yang disyaritkan dibaca ketika sujud adalah,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ

Allahummaghfirli dzanbi kullahu, diqqahu wajullahu, wa awwalahu wa akhirahu, wa ‘alaniyatahu wa sirrahu (Ya Allah, ampunilah semua dosa-dosaku, yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, dan yang terang-terangan, maupun yang sembunyi-sembunyi).” (HR. Muslim no. 483)

Hadits di atas diceritakan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Saat duduk di antara dua sujud, kita pun disyariatkan untuk memperbanyak doa memohon ampunan. Dari sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di antara dua sujud dan lamanya seperti ketika beliau sujud. Dan dalam duduk di antara dua sujud, beliau mengucapkan,

رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي

Rabbighfirlii, Rabbighfirlii. (Wahai Rabbku, ampunilah aku. Wahai Rabbku, ampunilah aku.)” (HR. Abu Dawud no. 874, sanadnya dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 818)

Begitu juga sebelum salam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta ampunan. Diceritakan oleh ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, bahwa pada akhir tasyahud sebelum memberi salam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,

اللهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

Allahummagh firlii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wamaa asrartu wa maa a’lantu wa asraftu wa maa anta a’lamu bihi minnii antal muqaddimu wa antal mu`akhkhiru laa ilaaha illaa anta (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang lama dan yang baru, yang tersembunyi dan yang terlihat, yang aku telah melampaui batas. Dan Engkau lebih tahu daripadaku. Engkaulah yang memajukan dan memundurkan. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau).” (HR. Muslim no. 771)

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa meminta ampunan setelah salam. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Jika Rasulullah selesai shalat, beliau akan meminta ampunan tiga kali dan memanjatkan doa,

اللهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Allaahumma antas salaam wa minkas salaam tabaarakta dzal jalaalil wal ikroom (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan. Maha Besar Engkau, wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”

Kata Walid, maka kukatakan kepada Auza’i, “Lalu bagaimana bila hendak meminta ampunan?”

Jawabnya, “Engkau ucapkan saja, ‘Astaghfirullah, Astaghfirullah.’” (HR. Muslim no. 591)

Demikianlah kondisi shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memohon ampunan sejak awal shalat ketika membaca doa istiftah [1], ketika ruku’, ketika mengangkat kepala dari ruku’ [2], ketika sujud, ketika duduk di antara dua sujud, ketika duduk tasyahhud sebelum salam, dan bahkan setelah salam. Sebagian haditsnya telah kami sebutkan di atas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,

“Maka tidaklah beliau berada dalam suatu keadaan (posisi) ketika shalat, juga ketika berada dalam salah satu rukun shalat, kecuali beliau akan meminta ampunan kepada Allah ketika itu.” (Jaami’ul Masaa’il, 6: 274-275) [3]

***

@Rumah Kasongan, 10 Shafar 1442/ 27 September 2020

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Kecintaan Shahabiyyah Sumaira pada Rasulullah

Sumaira menganggap segala musibah yang menimpanya tidak ada apa-apanya.

Sumaira adalah salah satu shahabiyyah (sebutan untuk sahabat Rasulullah dari kalangan wanita) yang sangat mencintai Rasulullah. Sebuah kisah menggambarkan betapa besar kecintaannya kepada Rasulullah seperti diceritakan dalam Cahaya Abadi Muhammad SAW Kebanggaan Umat Manusia

Ketika Sumaira mendengar bahwa Rasulullah telah syahid di medan perang Uhud, ia pun bergegas menuju gunung Uhud. Setibanya di sana, para sahabat yang lain langsung menunjukkan kepada Sumaira jasad ayah, suami dan anaknya yang telah gugur sebagai syahid. Tetapi Sumaira hanya memandang sebelah mata kepada keluarganya yang telah gugur itu dan lebih memilih untuk terus mencari Rasulullah.

Sambil berjalan ke sana ke mari, Sumaira berseru “Apa yang dilakukan Rasulullah?” Dan, ketika akhirnya beberapa orang sahabat menunjukkan posisi Rasulullah kepada Sumaira, wanita itu langsung menyuruk dihadapan Rasul seraya berujar, “segala musibah yang tidak menimpamu adalah ringan,”

Begitulah kecintaan Sumaira kepada Rasulullah. Sampai menganggap segala musibah yang menimpanya tidak ada apa-apanya. Sementara keselamatan Rasulullah adalah lebih utama dari semuanya.

KHAZANAH REPUBLIKA

Adakah Bacaan Khusus Selesai Shalat Jumat?

Adakah amalan atau bacaan khusus selesai shalat jumat? Karena banyak kita temui fenomena adanya hal itu di masyarakat setiap selesai shalat jumat. Simak penjelasannya berikut ini!

Adakah Bacaan Khusus Selesai Shalat Jumat?

Tanya Jawab Grup WA Admin Akhwat Bimbingan Islam

Pertanyaan:

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Pertanyaan dari Sahabat BiAS T08 G05;

Ustadz afwan, adakah amalan ini shohih? Amalan setelah Shalat Jum’at:     

  1. Membaca surah Al Fatihah,
  2. Surah Al Ikhlas,
  3. Surah Al Falaq,
  4. Surah An Naas,

masing masing sebanyak 7x dan dilanjutkan dengan membaca:

 اللهم يا غني يا حميد يا مبدئ  يا معيد  يا رحيم  يا ودود  اغنني بحلا لك عن حرامك  وبطا عتك عن معصيتك و بفضلك عمن سواك

Barang siapa membaca doa di atas, Allah akan kayakan dengan rizqi uang tidak disangka-sangka dan Allah akan ampuni segala dosa-dosanya, serta Allah akan lindungi dirinya, keluarganya serta anak-anaknya. (Keterangan dari kitab Tanwiirul Quluub hal 136 Syekh M. AMIN AL KURDY)

جَزَاك الله خَيْرًا

(Disampaikan: admin BiAS T08)

Jawaban:

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Alhamdulillāh, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Ini termasuk ritual bid’ah yang tidak ada dalilnya di dalam agama kita, maka hendaknya kita tidak melakukannya. Akan tetapi kita berdoa kepada Allah ta’ala dengan doa-doa ma’tsur (yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah) atau meminta rizki secara umum dengan tanpa melakukan kreasi-kreasi baru di dalam agama kita.

Dan sebagian redaksi doa yang ditanyakan adalah redaksi doa yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, ia telah dimodifikasi ditambahi ini dan itu.

Selayaknya kita membaca doa dengan redaksi aslinya saja dan kita baca kapanpun, dimanapun terutama pada waktu-waktu yang mustajab dengan tanpa diiringi pembacaan surat tertentu dengan jumlah tertentu.

Berikut kami nukilkan riwayat dari redaksi doa tersebut:

عن عَلِيٍّ رضي الله عنه أَنَّ مُكَاتَبًا جَاءَهُ فقال إني قد عَجَزْتُ عن كِتَابَتِي فَأَعِنِّي قال ألا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ عَلَّمَنِيهِنَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لو كان عَلَيْكَ مِثْلُ جَبَلِ ثبير دَيْنًا أَدَّاهُ الله عَنْكَ قال قُلْ اللهم اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عن حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Dari Ali bahwasanya telah datang seorang yang punya hutang lantas berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mampu lagi melunasi hutangku.’ Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Maukah engkau aku ajari kalimat yang diajarkan oleh Nabi kepadaku, seandainya engkau memiliki hutang dinar sebanyak gunung Tsabir maka Allah akan melunasinya. Ucapkanlah oleh engkau: “Allahummakfinii bihallaalika ‘an haroomika, Wa Aghninii Bifadhlika ‘an siwaaka.” (Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan lindungilah aku dari yang haram, Cukupkanlah aku dengan keutamaan-Mu dan jauhkanlah aku dari selain-Mu). (HR Tirmidzi : 4/276, Al-Hakim : 1/538, Ahmad : 1/153 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah : 266).

Penutup

Walhasil, kita boleh membaca redaksi doa yang tersebut di dalam hadits yang kita nukilkan ini secara umum dengan tanpa disertai pembacaan surat atau ayat tertentu dengan jumlah tertentu.

Karena tidak ada dalil memerintahkan untuk membaca ayat kursi sebanyak tujuh kali setelah shalat jumat, akan tetapi hal tersebut disebutkan oleh Al-Ghazali dengan tanpa menyebutkan dalil yang melandasinya. Dan kita dituntut untuk mengikuti dalil di dalam melaksanakan peribadahan kepada Allah ta’ala.

Kecuali jika dzikir-dzikir yang dibaca setelah shalat sebagaimana yang tersebut di dalam sunnah, sebagaimana yang sudah sangat masyhur kita ketahui, maka itu tidak mengapa.

Wallahu a’lam, wabillahittaufiq.

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله
Jumat, 11 Muharram 1440H / 21 September 2018M

BIMBINGAN ISLAM

Siapa Orang Dzalim yang Dilaknat Itu?

Allah Swt Berfirman :

فَأَذَّنَ مُؤَذِّنُۢ بَيۡنَهُمۡ أَن لَّعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ

Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, “Laknat Allah bagi orang-orang zhalim.” (QS.Al-A’raf:44)

Melanjutkan kajian yang kemarin, siapakah yang dimaksud orang-orang dzalim yang mendapat laknat Allah dalam Surat Al-A’raf ini ?

ٱلَّذِينَ يَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَيَبۡغُونَهَا عِوَجٗا وَهُم بِٱلۡأٓخِرَةِ كَٰفِرُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” (QS.Al-A’raf:45)

Ayat ini menyempurnakan ayat yang sebelumnya. Ketika kita bertanya siapakah orang-orang dzalim yang mendapat laknat Allah dalam ayat ini ?

Ayat selanjutnya memberi penjelasan bahwa yang dimaksud dzalim dalam ayat ini bukan kedzaliman seperti merampas hak orang lain, tapi yang di maksud adalah kedzaliman yang merampas hak Allah Swt.

Apa yang dimaksud merampas hak Allah ?

Salah satu hak Allah yang terbesar adalah hak untuk disembah. Ketika seseorang menghalangi hamba lainnya untuk menyembah Allah maka selain dia dzalim kepada hamba tersebut, dia juga sedang mengganggu hak Allah Swt.

Karenanya ayat ini menyebutkan tiga sifat bagi orang-orang dzalim yang dimaksud, yaitu :

1. “(yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (orang lain) dari jalan Allah…”

Yakni menghalangi manusia untuk mengikuti kebenaran bagaimanapun caranya.

2. “..dan ingin membelokkannya…”

Mereka paling tidak suka melihat orang Istiqomah di jalan yang lurus, ia selalu berusaha untuk membelokkannya dengan pengkhianatan, dusta dan kemunafikan.

3. “Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.”

Semua itu mereka lakukan karena mereka tidak percaya akan adanya hari kebangkitan. Mereka tidak percaya akan adanya surga dan neraka. Karenanya mereka tidak takut untuk berbuat dzalim dan sewenang-wenang.

Setelah semua ini, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari percakapan antara penghuni surga dan neraka ini?

Perhatikanlah tempat kita kembali nanti !

Akankah kita tergabung bersama orang-orang dzalim yang mendapat laknat Allah ? Atau kita termasuk orang-orang yang menghalangi manusia dari mengikuti kebenaran ? Atau kita termasuk orang-orang munafik yang beramal hanya untuk di lihat oleh manusia ?

Saudaraku, para penghuni surga adalah mereka yang menjalankan akhlak penghuni surga sejak di dunia. Maka apabila akhlak dan perilaku kita sehari-hari masih menyakiti orang lain, merampas hak orang lain dan menjalani keburukan-keburukan lainnya maka kita harus berhati-hati, karena penghuni surga tidaklah semacam itu.

Mari kita perbaiki diri dan bersikaplah seperti sikap penghuni surga yang selalu memberi rahmat, kasih sayang dan tegas untuk mengatakan “Tidak” pada kebatilan.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Istiqamah Hingga Akhir Hayat

Perjalanan hidup tidaklah mudah, banyak aral melintang. Godaan syubhat dan syahwat terus mendatangi kita di setiap hari, sejak terbangun hingga kembali ke pembaringan. Duhai celakanya kita jika tidak bisa mengarunginya.

Setiap kita tentunya ingin untuk bisa menjadi orang yang shalih. Namun apa daya, kadang diri ini lemah dan kalah. Kalah sudah kebodohan kita oleh syubhat. Kalah sudah jiwa kita oleh syahwat. Kalah dan patah, berkali-kali. Namun wahai saudaraku, jangan biarkan beberapa kesalahan tersebut membuat jiwa kita mengalah dan menyerah, tetaplah istiqamah.

Saudaraku, kehidupan ini hanya sekali. Dan di sana hanya adalah pilihan kenikmatan abadi atau siksa abadi. Semua yang akan kita dapatkan nanti tergantung apa yang kita lakukan saat ini. Selalu ingatlah saudaraku, bahwa semua perjuangan untuk istiqamah akan mendapatkan hasil yang indah di akhirat. Dan sungguh Allah telah berfirman mengenai orang-orang yang istiqamah.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita (Al-Ahqaf ayat 13)

Yakinlah saudaraku bahwa istiqamahmu tidak akan berakhir pahit, tidak akan sia-sia semua lelah dan payah yang engkau lakukan karena-Nya. Satu butir debu pun akan engkau temui balasannya di surga kelak, di akhirat kelak, di negeri yang terasa jauh namun sejatinya negeri itu dekat.

Dan jika dirimu sekarang sedang merasa lemah, merasa patah,… janganlah engkau berputus asa. Mintalah kepada Allah agar memberi keteguhan, berdoalah dan bergeraklah mengerjakan amal-amal shalih. Sesungguhnya hal tersebut akan dapat membuat semangat kembali muncul, serta mendatangkan penjagaan Allah terhadap diri kita.

Dan jika dirimu sekarang sedang merasa lemah, merasa patah,… teruslah berbenah, jangan pernah berputus asa. Sungguh sahabat Ibnu Mas’ud yang mulia pernah berkata:

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Kebinasaan itu ada pada dua perkara, yaitu merasa putus asa dari rahmat Allah, dan merasa bangga terhadap diri sendiri.” (muslimah).

Jagalah imanmu, wahai saudaraku. Tegakkan kakimu di atas kebenaran, jangan mundur dan jangan merasa lemah. Sesungguhnya Allah selalu bersamamu. Istiqmahlah hingga akhir hayat. (haryo/dakwatuna.com)

DAKWATUNA

Amalan yang Pertama Kali Dihisab di Akhirat


Hari kiamat merupakan hari yang datangnya pasti terjadi, hanya saja mengenai waktunya tak ada seseorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’alaa saja. Maka, kerahasiaan terjadinya hari kiamat seharusnya menjadi motivasi terbesar bagi kita untuk senantiasa memperbaiki diri dan memaksimalkan ikhtiar dalam beribadah kepada ALlah Ta’alaa.

Tahukah Anda? Diantara banyaknya macam amalan yang dianjurkan oleh syariat Islam, tenyata ada satu amalan yang akan ditanya dan dihisab pada saat pertama kali ketika di hari kiamat. Amalan tersebut adalah shalat. Mengapa demikian? Berikut ini penjelasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قاَلَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا )) رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيثٌ حَسَنٌ ))

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Faedah dari Hadits

Perkara yang pertama kali akan dihisab pada hamba dari perkara ibadah pada hari kiamat adalah shalat.

Siapa yang mendirikan shalat, maka bagus amalnya. Siapa yang tidak bagus shalatnya, maka amalnya pasti rusak.

Allah sangat penyayang pada hamba di mana Allah menyempurnakan amalan wajib yang ia lakukan dengan amalan sunnah sebagai penutup kekurangannya.

Umumnya amalan wajib akan disempurnakan dengan amalan sunnah sampai bertambahlah kebaikan hingga mengalahkan kejelekan sampai masuk surga dengan rahmat Allah.’

Hendaklah setiap orang bisa memperbanyak dan menjaga amalan sunnah, bukan hanya mementingkan yang wajib saja.

Keutamaan Shalat Sunnah

Pertama, dihapuskan dosa dan ditinggikan derajat.

Ma’dan bin Abi Tholhah Al-Ya’mariy, ia berkata, “Aku pernah bertemu Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-,  lalu aku berkata padanya, ‘Beritahukanlah padaku suatu amalan yang karenanya Allah memasukkanku ke dalam surga’.” Atau Ma’dan berkata, “Aku berkata pada Tsauban, ‘Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai Allah’.” Ketika ditanya, Tsauban malah diam.

Kemudian ditanya kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, ‘Aku pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

“Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak shalat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud (memperbanyak shalat sunnah, pen.) karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu’.” Lalu Ma’dan berkata, “Aku pun pernah bertemu Abu Darda’ dan bertanya hal yang sama. Lalu sahabat Abu Darda’ menjawab sebagaimana yang dijawab oleh Tsauban padaku.” (HR. Muslim, no. 488).

Kedua, akan dekat dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga

Dari Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Saya pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku membawakan air wudhunya dan air untuk hajatnya. Maka beliau berkata kepadaku, “Mintalah kepadaku.” Maka aku berkata, “Aku hanya meminta agar aku bisa menjadi teman dekatmu di surga.” Beliau bertanya lagi, “Adakah permintaan yang lain?” Aku menjawab, “Tidak, itu saja.” Maka beliau menjawab, “Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud (memperbanyak shalat).” (HR. Muslim, no. 489)

Ketiga, shalat adalah sebaik-baik amalan.

Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلاَةُ وَلاَ يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلاَّ مُؤْمِنٌ

“Beristiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak dapat istiqomah dengan sempurna. Ketahuilah, sesungguhnya amalan kalian yang paling utama adalah shalat. Tidak ada yang menjaga wudhu melainkan ia adalah seorang mukmin.” (HR. Ibnu Majah, no. 277 dan Ahmad, 5:276. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Keempat, menggapai wali Allah yang terdepan.

Orang yang rajin mengamalkan amalan sunnah secara umum, maka ia akan menjadi wali Allah yang istimewa.

Allah Ta’ala berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus: 62-63)

Wali Allah itu ada dua macam: (1) As Saabiquun Al Muqorrobun (wali Allah terdepan) dan (2) Al Abror Ash-habul yamin (wali Allah pertengahan).

As-saabiquun al-muqorrobun adalah hamba Allah yang selalu mendekatkan diri pada Allah dengan amalan sunnah di samping melakukan yang wajib serta dia meninggalkan yang haram sekaligus yang makruh.

Al-Abror ash-habul yamin adalah hamba Allah yang hanya mendekatkan diri pada Allah dengan amalan yang wajib dan meninggalkan yang haram, ia tidak membebani dirinya dengan amalan sunnah dan tidak menahan diri dari berlebihan dalam yang mubah.

Mereka inilah yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Waqi’ah ayat 1-14. (Lihat Al-Furqon baina Awliya’ Ar-Rahman wa Awliya’ Asy-Syaithan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 51)

Kelima, Allah akan beri petunjuk pada pendengaran, penglihatan, kaki dan tangannya, serta doanya pun mustajab

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 2506)

Referensi:

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:255-256.

Wallahu a’lam bish shawab.

UMMA.id

Anda mau mewakafkan Jam Masjid? Silakan kunjungi Toko Albani!


Untuk Saudaraku Yang Sedang Tertimpa Musibah

Banyak orang yang menghadapi musibah dengan cara-cara yang justru menimbulkan musibah baru! Sebagian lagi ada yang stress berat, sehingga bermata gelap! Alih-alih menyelesaikan masalah, kenyataannya malah justru menambah masalah, dengan melakukan berbagai kemungkaran dan kezaliman, karena menuruti kemarahannya. Misalnya, ia melampiaskan kesedihannya dengan membunuh, mencuri dan merusak barang orang lain tanpa alasan yang hak! Padahal itu bukan jalan keluar, camkanlah!

Sebagian lagi ada yang putus asa, memilih bunuh diri sebagai ‘jalan keluarnya’, padahal sesampai di alam kubur, bukan malah selesai masalahnya. Justru dia terancam mendapatkan musibah yang lebih besar, yaitu siksa!

Ada pula yang memprovokasi manusia untuk melakukan makar dan pengrusakan. Yang lainnya, terus menggerutu dan berkeluh kesah, semua ditumpahkan di berbagai media sosial, apakah itu solusi?? Tentu tidak! Malah memperluas masalah, orang yang gak tahu jadi tahu aib orang lain, akhirnya ghibah rame-rame!

Daripada sibuk menggerutu karena lampu mati, ambillah kursi, lalu gantilah lampu tersebut! Toh dengan menggerutu lampu tetap padam!”

Namun, masih ada orang yang dengan taufik Allah, tegar di tengah-tengah gelombang musibah yang silih berganti,sembari mengatakan :

إِنِّي لَأُصَابُ بِالْمُصِيبَةِ فَأَحْمَدُ اللهَ عَلَيْهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

Sesungguhnya saya memuji Allah atas musibah yang menimpaku dengan empat pujian,

أَحْمَدُهُ إِذْ لَمْ تَكُنْ أَعْظَمَ مِمَّا هِيَ

(Pertama) saya memuji-Nya, karena musibah yang menimpaku tidak lebih besar dari kenyataannya sekarang yang sedang saya rasakan,

وَأَحْمَدُهُ إِذْ رَزَقَنِيَ الصَّبْرَ عَلَيْهَا

(Kedua) dan sayapun memuji-Nya, karena Dia telah menganugerahkan kesabaran kepadaku dalam menghadapinya,

وَأَحْمَدُهُ إِذْ وَفَّقَنِي لِلِاسْتِرْجَاعِ لِمَا أَرْجُو فِيهِ مِنَ الثَّوَابِ

(Ketiga) demikian pula saya memuji-Nya, karena Dia telah menganugerahkan kepadaku taufik untuk bisa mengatakan : ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun’, dengan maksud mengharap pahala

وَأَحْمَدُهُ إِذْ لَمْ يَجْعَلْهَا فِي دِينِي

(Keempat) dan saya memuji-Nya, karena tidak menjadikan musibah itu mengenai agamaku!

(Ucapan Syuraih Al-Qodhi dalam Syu’abul Iman lil Baihaqi 9507).

Itulah sikap baik seorang Mukmin ketika tertimpa musibah!

Barangsiapa yang mendapatkan taufik Allah saat mendapatkan musibah,dengan cara merealisasikan empat pedoman hidup di atas ,sembari memuji Allah, maka musibah yang menimpanya menjadi kebaikan dan keberkahan baginya, dan sesungguhnya dalam kamus hidup seorang Mukmin, semua urusannya adalah kebaikan baginya.

Bagi seorang Mukmin, tertimpa musibah dan mendapatkan kesenangan adalah sama-sama baik akibatnya, karena keduanya merupakan ujian. Sebagaimana suatu musibah, jika dihadapi dengan sabar, itu adalah kebaikan dan sebab pahala. Maka demikian pula kesenangan, jika dihadapi dengan syukur, itu juga kebaikan yang diiringi pahala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR.Muslim, shahih).

(Diolah dari artikel Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr di http://al-badr.net/muqolat/3116)

Penulis: Ust. Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Ujian Atau Adzab?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-

Pertanyaan:

Apabila seseorang ditimpa suatu musibah seperti penyakit atau musibah pada diri atau hartanya, maka bagaimana dia bisa mengetahui musibah itu ujian atau kemurkaan dari Allah Ta’ala?

Jawab:

Allah memberikan musibah kepada hambanya berupa kelapangan, kesempitan, kesusahan dan kelapangan, sebagai cobaan kepada hambanya untuk mengangkat derajatnya, meninggikan kedudukannya, dan melipat gandakan kebaikan-kebaikan untuknya. Sebagaimana cobaan yang dihadapi oleh para Nabi dan Rasul alaihimus shalatu was salam dan para hamba-hambanya yang saleh. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أشد الناس بلاء الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل

“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal, dan semisalnya” (HR. At Tirmidzi no. 2398, dihasankan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.143).

Terkadang Allah Ta’ala menimpakan musibah diakibatkan oleh dosa dan maksiat yang diperbuat hamba, maka jadilah cobaan yang dihadapinya tersebut sebagai hukuman yang disegerakan oleh Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syura: 30).

Umumnya manusia itu berbuat kesalahan dan tidak melaksanakan kewajiban yang diperintahkan, maka musibah yang menimpanya adalah disebabkan dosa dan maksiat terhadap perintah Allah Ta’ala. Apabila salah seorang dari hamba Allah yang saleh diuji dengan suatu cobaan seperti sakit dan lain-lain, maka cobaannya ini sejenis dengan cobaan para nabi dan rasul yang fungsinya adalah untuk menaikkan derajatnya, membesarkan pahalanya, dan sebagai teladan bagi orang lain dalam hal kesabaran dan mengharapkan pahala.

Kesimpulannya bahwa musibah bisa terjadi dalam rangka untuk mengangkat derajat dan membesarkan pahala sebagaimana musibah yang dihadapi oleh para nabi, rasul, dan orang-orang saleh. Terkadang musibah bisa menjadi penghapus keburukan. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِه

“Barangsiapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu” (QS. An-Nisa’: 123).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ما أصاب المسلم من هم ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها

“Tidaklah menimpa kepada seorang muslim berupa kegelisahan, kesukaran, kesulitan, kesedihan, dan gangguan kecuali Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya meskipun berupa duri yang menusukknya sekalipun” (HR. Bukhari no.5641).

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَن يُرِدِ اللَّهُ به خَيْرًا يُصِبْ منه

“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah akan mengujinya” (HR. Bukhari no. 5645).

Dan terkadang hukuman azab yang disegerakan disebabkan oleh maksiat yang diperbuat dan tidak bersegera dalam bertaubat. Sebagaimana yang terdapat di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إذا أراد الله بعبده الخير عجل له العقوبة في الدنيا وإذا أراد الله بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافي به يوم القيامة,  خرجه الترمذي وحسنه

“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hambanya, maka Allah akan menyegerakan hukuman di dunia untuknya dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hambanya, maka Allah akan menahan hukumannya di dunia dengan membiarkan dosanya sampai dibalas di hari kiamat” (HR. At Tirmidzi no.2396, ia menghasankannya. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

***
Sumber binbaz.org.sa

Penerjemah: Muhammad Bimo P

Artikel: Muslim.or.id

Di Akhirat Kelak Manusia Ingin Tebus Kesalahan, Tapi Telat

Umat manusia berharap bisa tebus kesalahan di akhirat tapi mustahil.

Manusia siap menebus dan membayar ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah agar ia dapat sembuh dari penyakit ginjal, jantung, kanker, dan lainnya. 

Di akhirat, manusia ingin menebus dengan dua kali lipat dari semua kekayaan yang ada di dunia agar ia terhindar dari siksa neraka! Ini menunjukkan siksa yang sangat pedih di mana manusia tidak tahan menerimanya. 

Ketika Anda menzalimi pihak lain, misalnya, hakikatnya Anda telah menzalimi diri sendiri. Orang zalim bukanlah orang yang cerdas karena dia lupa bahwa orang yang dizalimi memiliki Allah yang akan membalas, cepat atau lambat, di dunia sebelum di akhirat.

Dr Muhammad Ratib an-Nabulsi berkata, “Seorang meyakini suatu ideologi atau keyakinan yang ia bela dan perjuangkan selama 50 tahun, misalnya, kemudian suatu saat ia menyadari bahwa itu ideologi batil, jiwanya akan terguncang. Orang-orang yang zalim akan terguncang pada hari kiamat.”

Ya Allah, jadikan kami sebagai orang-orang yang takut kepada-Mu. Imam Mujahid (101 H) berujar, “Mereka melakukan amalan yang mereka anggap baik, ternyata amal buruk.” Imam Assuddi (127 H) berkata, “Mereka melakukan amal buruk dan berharap bertobat, kemudian kematian datang terlebih dahulu sebelum bertobat. Atau, mereka menganggap Allah akan mengampuninya meskipun tidak bertobat dengan amal saleh yang akan menghapus dosanya atau dengan syafaat, ternyata Allah tidak ampuni dosa mereka.” 

Suatu ketika Muhammad bin al-Munkadir (130 H) menangis panjang hingga keluarganya khawatir. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Ia tidak menjawab dan tetap menangis. Kemudian, keluarganya mengirim utusan kepada Abu Hazim (135 H) untuk menanyakannya. 

Abu Hazim datang dan mendapati al-Munkadir sedang menangis. Abu Hazim bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, apa yang menyebabkanmu menangis? Sungguh, engkau telah membuat keluargamu khawatir?” 

Muhamamd bin al-Munkadir menjawab, “Sesungguhnya aku telah merenungi sebuah ayat dari Alquran.” Abu Hazim bertanya lagi, “Ayat apakah itu?” Ia menjawab, “Firman Allah SWT: 

وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِنْ سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ

‘Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan, tampaklah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.’” (QS az-Zumar: 47).

Abu Hazim menangis juga dan tangisan mereka berdua semakin keras. Keluarga Ibnu al-Munkadir berkata kepada Abu Hazim, “Kami membawamu agar menghentikan tangisannya, tetapi engkau justru malah menambahnya menangis.” Abu Hazim menceritakan kepada mereka apa yang menyebabkan beliau berdua menangis. 

KHAZANAH REPUBLIKA